Anda di halaman 1dari 10

I.

LATAR BELAKANG
Bagi pembuat kebijakan seperti Bank Indonesia, krisis ekonomi dan keuangan adalah
suatu kejadian mahal yang dapat digunakan untuk melakukan refleksi, mengambil pelajaran atas
kejadian yang baru saja dilewati, dan melakukan penyesuaian-penyesuaian atas apa yang
dilakukan selama ini. Sebagaimana halnya krisis-krisis ekonomi sebelumnya, krisis ekonomi dan
keuangan global yang saat ini sedang dalam proses pemulihan memberikan sejumlah pelajaran
berharga bagi otoritas moneter. Pelajaran-pelajaran yang dapat dipetik mempunyai implikasi
yang penting bagi perbaikan-perbaikan atas kerangka kebijakan moneter yang selama ini kita
pahami dan kita gunakan.
Boom-bust dari pertumbuhan kredit seiring dengan siklus kepercayaan ini pada akhirnya
semakin memperbesar fluktuasi perekonomian. Secara inheren perilaku bank membaik, berbalik
menjadi sangat risk-averse yang berlebihan ketika terjadi pelemahan ekonomi. Kedua, perilaku
ini juga seringkali diperparah oleh regulasi yang bekerja secara prosiklikal, yaitu mendorong
pertumbuhan kredit di saat pertumbuhan ekonomi membaik dan sebaliknya mendorong
pengetatan kredit saat perekonomian melemah. Regulasi perbankan yang lebih difokuskan pada
kesehatan individu bank ini seringkali tidak kompatibel dengan tujuan menjaga stabilitas sistem
keuangan dan makroekonomi.
Implikasinya adalah bahwa kebijakan moneter yang berorientasi pada inflasi yang
rendah, seperti Inflation Targeting Framework tidaklah cukup. Dia perlu didukung oleh adanya
sebuah instrumen regulasi prudensial di sektor perbankan yang didisain untuk menjaga stabilitas
makroekonomi secara keseluruhan sebuah instrumen yang sering disebut sebagai kebijakan
makroprudensial. Dalam konteks ini, bank sentral harus selalu memperhatikan interaksi antara
sektor finansial dan sektor riil. Mengabaikan interaksi ini dapat menyebabkan bank sentral
menjadi cenderung memandang rendah risiko di sektor keuangan ketika makroekonomi dalam
kondisi yang stabil, dan cenderung memandang berlebihan terhadap risiko di sektor keuangan
ketika dihadapkan pada kondisi makroekonomi yang tidak stabil. Artinya, perlu sebuah sinergi
antara kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial. Kebijakan makroprudensial yang
berperan menekan prosiklikalitas mendukung kebijakan moneter untuk mengurangi fluktuasi
output.

II.

PERUMUSAN MASALAH

Makalah ini akan mencoba membuka pemikiran tentang perlunya sebuah paradigma baru
dalam kebijakan moneter pasca krisis global. Mengintegrasikan aspek makroprudensial ke dalam
kebijakan moneter, membawa implikasi pada perlunya melakukan penyesuaian-penyesuaian
terhadap kerangka kebijakan moneter. Bagaimana pentingnya kebijakan moneter terhadap
stabilitas sistem keuangan? Bagaimana memasukkan makroprudensial kedalam framework
kebijakan moneter? Bagaimana kebijakan makroprudensial yang countercyclical?
III. PEMBAHASAN
Tujuan utama kebijakan moneter adalah menjaga stabilitas harga. Untuk mencapai tujuan
tersebut, bank sentral menggunakan suku bunga kebijakan sebagai instrumen utama. Namun,
menjaga stabilitas harga tidaklah cukup untuk menjamin tercapainya stabilitas makroekonomi,
karena sistem keuangan yang berperilaku prosiklikal menyebabkan fluktuasi perekonomian yang
berlebihan. Dalam konteks ini, pertanyaannya adalah bagaimana kebijakan moneter dapat secara
efektif menjaga stabilitas makro ekonomi.
A. Kebijakan Moneter dan Stabilitas Sistem Keuangan
Isu penting dalam konteks peran kebijakan moneter dalam menjaga stabilitas sistem
keuangan adalah bagaimana bank sentral merespon ketidakseimbangan yang terjadi di sektor
keuangan (financial imbalances). Isu yang telah lama menjadi perdebatan ini muncul kembali
setelah krisis global karena adanya argumen bahwa krisis global yang terjadi sebagaian
disebabkan oleh kebijakan moneter yang melakukan pembiaran terjadinya akumulasi imbalances
dan kenaikan harga aset yang berlebihan. IMF (2009), misalnya, mengatakan bahwa pendekatan
benign neglect seperti itu telah menyebabkan moral hazard dan speculative booms yang
menyebabkan kenaikan harga aset jauh melebihi fundamentalnya.
Dalam perdebatan ini, ada dua pendapat yang berseberangan, yaitu clean vs lean
pendekatan aktif vs pendekatan pasif. Pandangan pertama mengatakan bahwa bank sentral
seharusnya fokus pada inflasi. Harga-harga aset perlu dimonitor sepanjang mengandung
informasi mengenai kondisi perekonomian, namun bank sentral tidak perlu merespon kenaikan
harga aset tersebut itu sendiri. Pandangan ini didasarkan pada dua argumen. Pertama, tidak
mudah membedakan antara kenaikan harga aset yang disebabkan oleh spekulasi dengan yang
disebabkan oleh optimisme yang masih rasional. Kedua, kebijakan moneter terlalu tumpul untuk
menghentikan kenaikan harga aset dan intervensi kebijakan lebih banyak mudaratnya daripada

manfaatnya. Pandangan ini mengatakan lebih baik merespons dampak dari bubble secara expost,
daripada mencegah berkembangnya asset bubble secara ex ante.
Kenaikan harga aset akibat spekulasi memang tidak mudah diidentifikasi dengan pasti.
Namun, lebih baik melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya krisis dari pada bersikap
pasif dan membiarkan berkembangnya kegiatan spekulatif yang mengarah kepada skenario
krisis. Membatasi peran bank sentral untuk sekedar pasif ketika pertumbuhan kredit melambung
tinggi dan membiarkan harga aset menggelembung. Hal ini akan menciptakan moral hazard dari
pelaku pasar. Selama pelaku pasar tahu bahwa bank sentral tidak akan mengerem kenaikan harga
aset, mereka akan terus mendorong harga aset. Apalagi ketika mereka tahu bahwa ada jaminan
dari bank sentral akan menyediakan likuiditas yang cukup ketika krisis terjadi.
Hal tersebut mendorong munculnya argumen sebaliknya, yaitu bank sentral seharusnya
leaning againts the wind, melakukan respon terhadap keseimbangan di sektor keuangan.
Argumen ini telah banyak dikemukakan utamanya oleh Bank for International Settlement (BIS)
jauh-jauh hari sebelum global terjadi.1[1]
Argumennya adalah bank sentral dapat menggunakan instrumen suku bunga lebih dari
yang diperlukan oleh inflasi dan output gap apabila menghadapi pertumbuhan kredit yang terlalu
cepat dan laju kenaikan yang kencang dari harga aset.2[2] Artinya, walaupun inflasi kelihatannya
terkendali, bank sentral dapat melakukan pengetatan kebijakan moneter apabila ada tanda-tanda
berkembangnya bubble, tercermin dari kenaikan yang tajam dari pemberian kredit,
meningkatnya leverage pada institusi keuangan, neraca perusahaan, dan rumah tangga, maupun
harga-harga asset, termasuk stok dan properti. Dengan kata lain, untuk menjaga stabilitas sistem
keuangan kebijakan moneter harus berperan secara simetris,bukan saja merespon ketika fase
bust, namun juga pada saat fase boom dari siklus ekonomi dan keuangan.
Kebijakan moneter mempunyai potensi dalam memitigasi risiko berkembangnya
ketidakseimbangan di sektor keuangan. Kebijakan moneter dapat mempengaruhi perekonomian
riil dan inflasi melalui pengaruhnya pada neraca perusahaan, neraca bank, dan perilaku
perusahaan dan bank terhadap risiko. Oleh sebab itu, kebijakan moneter mempunyai peran yang
signifikan dalam mempengaruhi ekspansi yang berlebihan di sektor keuangan yang mengarah
1
2

kondisi yang tidak sustainable. Dengan demikian, kebijakan moneter memiliki potensi untuk
mengurangi ketidakseimbangan di sektor keuangan dan prosiklikalitas dengan mengurangi
optimisme yang berlebihan dan menekan permintaan kredit.
Pentingnya kebijakan moneter dalam mengendalikan ketidakseimbangan di sektor
keuangan, tidak berarti bahwa stabilitas harga aset menjadi target eksplisit kebijakan moneter.
Kebijakan moneter sendiri tidak mampu mengendalikan harga aset, terutama ketika spekulasi
harga aset mendorong kenaikan harga aset yang menyebabkan imbal hasil dari aset tersebut
sangat tinggi. Dalam kondisi demikian, perubahan suku bunga kebijakan tidak akan berpengaruh
pada portofolio investor, terutama untuk investasi di pasar keuangan. Kenaikan suku bunga
kebijakan yang bersifat across the board ini akan menyebabkan overkill terhadap perekonomian
secara keseluruhan.
Mengikuti prinsip Tinbergen bahwa satu instrumen tidak bisa digunakan untuk
mentargetkan lebih dari tujuan, kebijakan moneter memerlukan instrumen tambahan untuk
mendukungnya dalam mengendalikan kenaikan harga aset. Instrumen regulasi makroprudensial
yang didisain untuk melakukan countercyclical dapat digunakan untuk mengatasi prosiklikalitas
dan mendukung kebijakan moneter dalam mencapai stabilitas makroekonomi.
B. Kebijakan Makroprudensial yang Countercyclical
1. Konsep kebijakan makroprudensial
Kebijakan makroprudensial adalah instrumen regulasi prudensial yang ditujukan untuk
mendorong stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, bukan kesehatan lembaga keuangan
secara individu. Walaupun kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial dan kebijakan
mikroprudensial memiliki area yang saling tumpang tindih, kebijakan makroprudensial
mempunyai tujuan dan peran tersendiri. Tujuan kebijakan moneter adalah menstabilkan harga
dari barang dan jasa dalam perekonomian. Sementara itu, tujuan dari kebijakan makroprudensial
adalah untuk menjamin daya tahan sistem keuangan secara keseluruhan dalam rangka menjaga
suplai jasa intermediasi keuangan kepada perekonomian secara keseluruhan. Untuk itu,
kebijakan makroprudensial digunakan untuk mencegah terjadinya siklus boom-bust suplai kredit
dan likuiditas yang dapat menyebabkan ketidakstabilan perekonomian. Dengan peran menjaga
stabilitas suplai intermediasi keuangan ini, kebijakan makroprudensial mempunyai peran yang
menunjang tujuan kebijakan moneter dalam menjaga stabilitas harga dan output.

Ada dua dimensi penting dari kebijakan makroprudensial. Pertama, dimensi crosssection,
yang menggeser fokus dari regulasi prudensial yang diterapkan pada individual lembaga
keuangan menuju pada regulasi sistem secara keseluruhan. Sejarah krisis keuangan menunjukkan
bahwa sebagian besar dari krisis keuangan yang terjadi di dunia bukanlah akibat dari masalah
individual bank yang kemudian menular secara keseluruh sistem keuangan. Sebaliknya, krisiskrisis besar yang terjadi merupakan akibat dari eksposure terhadap ketidakseimbangan makrokeuangan yang dilakukan secara bersamaan oleh sebagian besar pelaku sistem keuangan. Oleh
sebab itu, pandangan yang lebih holistik terhadap sistem keuangan dan hubungannya dengan
perekonomian makro dari berbagai sisi sangat diperlukan.
Dimensi kedua adalah dimensi time-series, yaitu kebijakan makroprudensial ditujukan
untuk menekan risiko terjadinya prosiklikalitas yang berlebihan dalam sistem keuangan.3[3]
Dalam konteks ini, kebijakan makroprudensial harus didisain sedemikian sehingga mampu
menghilangkan atau paling tidak memitigasi prosiklikalitas. Prinsipnya adalah bagaimana
mendorong institusi keuangan untuk mempersiapkan bantalan (buffer) yang cukup di saat
perekonomian sedang baik, yaitu ketika ketidakseimbangan dalam sistem keuangan umumnya
terjadi, dan bagaimana menggunakan bantalan tersebut ketika perekonomian sedang memburuk.
Tujuan dari kebijakan makroprudensial yang bersifat countercyclical tersebut akan
bersinergi dengan tujuan kebijakan moneter dalam mengurangi fluktuasi perekonomian.
Kebijakan makroprudensial untuk memperketat persyaratan modal dan likuiditas di saat
perekonomian sedang melaju kencang (periode upswing) akan mendorong bank untuk
mengurangi pertumbuhan kredit sehingga menjaga daya tahan bank ke depan di saat
perekonomian memburuk. Dalam kondisi demikian, upaya menjaga daya tahan sistem perbankan
akan secara simultan mendukung tujuan kebijakan moneter untuk menstabilkan suplai kredit.
Di saat krisis, ketika perekonomian dan harga aset anjlok, regulasi prudensial yang hanya
berorientasi pada kesehatan individual bank akan mendorong bank memperketat pemberian
kredit melalui kenaikan PPAP dan persyaratan modal yang lebih ketat. Ketika perekonomian
melemah, kualitas debitur memburuk sehingga mengharuskan bank menyediakan tambahan
modal. Karena menambah modal dalam jangka pendek tidak mudah, maka bank akan
menurunkan penyaluran kredit untuk memenuhi ketentuan rasio modal. Dampaknya adalah
perekonomian semakin mengalami kontraksi, risiko gagal bayar semakin meningkat dan modal
3

bank semakin memburuk. Disinilah peran kebijakan makroprudensial yang akan menjamin aliran
kredit dapat berlangsung secara kontinyu dengan mendorong bank mempersiapkan modal dan
likuiditas di saat perekonomian sedang baik dan menurunkan persyaratan modal di saat krisis
dan resesi sehingga tidak menghambat bank dalam penyaluran kredit.
2. Operasionalisasi Kebijakan Makroprudensial
Secara operasional, sejumlah kajian telah dilakukan untuk mendisain kebijakan
makroprudensial yang bersifat countercyclical.4[4]
Dalam konteks regulasi persyaratan modal, instrumen regulasi modal yang bersifat
countercyclical adalah tambahan modal atau surcharge diatas modal minimum yang disyaratkan
oleh regulasi makroprudensial. Capital surcharge tersebut harus bersifat dinamis (time-varying
capital surcharge), bervariasi secara countercyclical; meningkat ketika perekonomian sedang
naik untuk mengerem pertumbuhan neraca bank dan turun ketika periode sedang melemah untuk
memberikan insentif kepada bank untuk tetap menyalurkan kredit. Capital surcharge juga dapat
dikenakan secara bervariasi sesuai dengan risiko sektoral, seperti sektor properti.
Hal yang krusial dalam regulasi ini adalah menentukan kapan tambahan modal
diberlakukan. Salah satu pendekatan adalah dengan menggunakan sejumlah indikator yang dapat
menggambarkan siklus kredit, seperti pertumbuhan kredit, spread suku bunga kredit, survei
kredit, pertumbuhan kredit ke sektor tertentu seperti perumahan, harga rumah, dan leverage
sektor korporasi. Indiaktor-indikator ini dapat diagregasi menjadi sebuah indikator komposit.
Arus modal asing juga bersifat prosiklikal.5[5] Arus modal masuk ke suatu negara terjadi
ketika investor asing mempunyai ekspektasi akan membaiknya perekonomian domestik yang
biasanya dibarengi oleh interest diferensial yang positif dan ekspektasi apresiasi dari mata uang
domestik. Arus modal masuk ini apabila diintermediasikan ke sektor riil menimbulkan credit
boom yang mendorong perekonomian tumbuh lebih cepat. Sebaliknya, ketika terjadi ekspektasi
terhadap perekonomian domestik memburuk terjadi arus modal keluar sehingga memperburuk
perekonomian domestik.
Langkah countercylical seperti akumulasi cadangan devisa pada saat arus masuk yang
dapat dimanfaatkan sebagai self-insurance manakala terjadi arus balik. Namun langkah ini
4
5

menyebabkan peningkatan likuiditas perekonomian sehingga memerlukan biaya sterilisasi yang


tidak murah untuk penyerapannya. Kebijakan yang memberikan disinsentif bagi arus modal yang
berjangka pendek, seperti Tobin-type tax, kewajiban hedging, dan persyaratan minimum-tinggal
atas arus modal adalah langkah-langkah yang dapat diterapkan untuk memperpanjang jangka
waktu arus modal masuk.6[6]
3. Pengalaman dalam Implementasi Makroprudensial
Penerapan makroprudensial sebenarnya sudah dilakukan di sejumlah negara termasuk di
Asia. Namun, implementasi regulasi makroprudensial lebih banyak dilakukan secara diskresi dan
belum menjadi built in Stabilizer. Instrumen yang paling banyak digunakan adalah
penyesuaian loan-to-value (LTV) ratio dan persyaratan modal, terutama bobot risiko dari CAR.
Dalam banyak kasus, penyesuaian-penyesuaian juga dilakukan bersamaan dengan instrumen
yang ditujukan untuk pengendalian moneter, seperti giro wajib minimum dan pembatasan
pinjaman pada sektor-sektor tertentu.
Di Indonesia, instrumen yang sering digunakan adalah mengubah bobot risiko dari suatu
jenis kredit, terutama untuk mespon terjadinya credit crunch paska krisis. Sebagai contoh, pada
tahun 2006, Bank Indonesia mengeluarkan sejumlah regulasi relaksasi bagi perbankan untuk
mendorong penyaluran kredit setelah terjadi mini-crisis di akhir 2005. Di antara relaksasi
regulasi tersebut adalah penyesuaian penurunan bobot risiko ATMR untuk kredit usaha kecil
(KUK) menjadi 85%, kredit pemilikan rumah (KPR) 40%, dan kredit pegawai/atau pensiunan
50%. Pada tahun 2009, paska krisis 2008, Bank Indonesia juga kembali menurunkan bobot risiko
aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) untuk Kredit UMKM yang dijamin lembaga
penjaminan/asuransi kredit berstatus BUMN dengan persyaratan tertentu dari 50% menjadi 20%
dan KUMKM yang dijamin bukan BUMN dari 85% menjadi sesuai rating lembaga penjamin
tersebut.
Regulasi makroprudensial lain yang diterapkan antara lain adalah penyesuaian GWM
yang dikaitkan dengan LDR. Seperti halnya perubahan bobot risiko, penyesuaian GWM ini
dilakukan untuk mendorong penyaluran kredit. Sementara itu, untuk merespon peningkatan
kredit yang tumbuh tinggi, biasanya Bank Indonesia hanya mengeluarkan moral suation.
4. Kerangka Pengambilan Keputusan

Dalam implementasi kebijakan makroprudensial, salah satu isu yang penting adalah
apakah implementasinya akan menggunakan sebuah rule atau diskresi. Seperti halnya dalam
kebijakan moneter, selalu ada trade-off antara menggunakan rule vs diskresi. Rule memberikan
kepastian kepada pelaku pasar dan kredibilitas kepada BI. Namun, rule yang terlalu kaku
menutup fleksibilitas bagi BI untuk merespon perubahanperubahan struktural maupun
ketidakpastian yang sering terjadi dalam pasar keuangan.
Sebaliknya, diskresi memberikan ruang gerak bagi BI untuk melihat dampak dari
makroprudensial terhadap sistem keuangan dan perekonomian dan melakukan penyesuianpenyesuaian terhadap pendekatan yang digunakan dan melakukan judgment terhadap kebijakan
yang akan diambil ke depan. Diskresi tentu saja menimbulkan ketidakpastian akan kebijakan ke
depan yang diambil oleh BI. Ketidakpastian ini akan mendorong para pelaku pasar untuk
cenderung ekstra hati-hati dengan menjaga tingkat likuiditas atau rasio modal melebihi dari yang
diperlukan. Sebagai akibatnya, bank menjadi kurang efisien dan membebankan biaya modal
tersebut kepada nasabah, menjadikan biaya kredit dalam perekonomian lebih mahal. Diskresi
juga dapat mendorong terjadinya forbearence, terutama ketika dihadapkan suatu keputusan yang
sulit atau tidak populer yang harus diambil. Apalagi, ketika keputusan diskresi tersebut
mempunyai implikasi hukum terhadap bank sentral.
Mengingat adanya kelebihan dan kelemahan, baik dari rule maupun diskresi, model
pengambilan keputusan diskresi terbatas7[7] (constrained discretion) sebagaimana halnya
Inflation Targeting Framework (ITF) dapat menjadi alternatif terbaik. Dalam sistem ini, BI tetap
harus mempunyai sebuah kerangka pengambilan keputusan yang jelas dengan sebuah rule yang
ditentukan di awal. Rule yang diumumkan kepada publik ini menjadi patokan bank sentral dalam
melakukan reaksi kebijakan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam perekonomian,
misalnya dalam bentuk persyaratan menambah modal atau menurunkan modal.
Namun demikian, untuk menghindari kekakuan dari sistem ini, regulator tetap
mempunyai opsi untuk secara diskresi menyimpang dari rule tersebut, misalnya, karena adanya
shock di dalam perekonomian yang tidak dapat direspon dengan menggunakan rule yang telah
ditentukan sebelumnya. Hal ini dapat dianalogikan dengan Taylor rule dalam kerangka ITF.
Ketika tekanan inflasi diidentifikasi bersumber dari sisi suplai yang diperkirakan tidak
memberikan dampak lanjutan kepada ekspektasi inflasi, bank sentral tidak harus merespon
7

kenaikan inflasi di atas target sebagaimana telah ditentukan dalam Taylor rule. Namun demikian,
pengecualian ini harus digunakan dalam situasi yang sangat jarang dan perlu dikomunikasikan
secara jelas kepada pelaku pasar untuk menghindari masalah kredibilitas dari rule yang telah
diumumkan serta agar mereka memahami mengapa regulor melakukan pengecualian tersebut.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam isu rule vs diskresi ini adalah sistem hukum
yang berlaku. Ketika sistem hukum masih lemah, seperti di Indonesia, dimana diskresi seringkali
dipermasalahkan di depan hukum, maka akan lebih aman bagi regulator untuk menutup atau
meminimalkan ruang diskresi.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN/REKOMENDASI
Krisis ekonomi global telah memberikan pelajaran berharga bagi otoritas moneter bahwa
menjaga inflasi yang rendah tidaklah cukup untuk mencapai tujuan stabilitas makroekonomi.
Beberapa krisis yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan bahwa
ketidakstabilan makroekonomi lebih banyak bersumber dari sektor sistem keuangan. Sektor
keuangan secara inheren menciptakan prosiklikalitas yang berlebihan sehingga menyebabkan
ketidakstabilan makroekonomi. Paper ini menunjukkan tingginya prosiklikalitas dari sistem
keuangan di Indonesia, yang diperngaruhi antara lain ketergantungan sistem keuangan pada bank
sebagai sumber dana, semakin dominannya bank asing, dan mobilitas modal yang bersifat
prosiklikal.
Kebijakan moneter yang memiliki tujuan utama menjaga stabilitas harga perlu bersinergi
dengan kebijakan makroprudensial yang berorientasi pada menjaga stabilitas sistem keuangan
secara keseluruhan. Lebih spesifik, kebijakan moneter berpotensi mendukung stabilitas sistem
keuangan melalui kemampuannya mempengaruhi kondisi keuangan dan perilaku di pasar
keuangan dalam mengambil risiko. Transmisi kebijakan moneter melalui balance sheet, bank
lending, bank capital channel, serta risk-taking channel menjustifikasi peran kebijakan moneter
untuk melakukan respon apabila terjadi potensi instabilitas yang disebabkan oleh sektor
keuangan. Di sisi lain, kebijakan makroprudensial yang didisain untuk mitigasi prosiklikalitas
dalam perekonomian dapat mendukung kebijakan moneter dalam mengendalikan fluktuasi
output dan inflasi.
Beberapa agenda reformasi keuangan yang lebih jangka panjang perlu dilakukan untuk
mengurangi prosiklikalitas sistem keuangan di Indonesia. Pertama, pengembangan sistem
keuangan yang lebih terdiversifikasi dengan mengembangkan pasar keuangan non-bank, seperti

surat utang korporasi, perlu terus didorong agar perusahaan tidak tergantung pada bank. Kedua,
peran bank asing yang perlu didefinisikan secara jelas. Ketiga, supervisi perbankan juga harus
bersifat countercyclical dengan melakukan pemeriksanaan yang lebih intensif tatkala
pertumbuhan kredit tumbuh sangat tinggi seiring dengan periode ekspansi perekonomian. Lebih
dari itu, yang lebih urgen adalah mengatur bank secara individual (mikro) di satu sisi dan bahwa
kebijakan moneter tidak tingkat terutama di manajemen puncak dalam mengubah mind-set
tentangnya keterkaitan mikro-makro sangatlah diperlukan. Secara internal, integrasi kebijakan
makroprudensial dan kebijakan moneter mengharuskan adanya koordinasi yang sering antara
sayap kebijakan moneter dan sayap stabilitas sistem keuangan. Oleh sebab itu, di tingkat
Direktorat maupun di tingkat Komite Kebijakan (KEM/FEP), interaksi antara kedua sayap
tersebut perlu dilakukan secara reguler.
Terakhir, komunikasi kebijakan dalam paradigma terintegrasinya kebijakan moneter dan
stabilitas sistem keuangan menjadi lebih krusial. Respon kebijakan moneter terhadap
berkembangnya ketidakseimbangan di sektor keuangan melalui kenaikan suku bunga sulit untuk
diterima secara politik. Oleh sebab itu, komunikasi yang persuasif kepada masyarakat tentang
outlook yang lebih berjangka panjang dan pentingnya menjaga stabilitas makro dan finansial
dalam jangka panjang sangat diperlukan. Komunikasi ini semakin penting karena interaksi antara
sektor keuangan dan sektor riil yang semakin kompleks dalam perekonomian yang semakin
terintegrasi secara global semakin mengharuskan komunikasi yang intensif dengan pelaku pasar.

Anda mungkin juga menyukai