Anda di halaman 1dari 19

LIMFOMA

Definisi
Limfoma Non Hodgkin dan Hodgkin termasuk dalam penyakit kategori Limfoma Maligna.
Limfoma malignant merupakan terminologi yang digunakan untuk tumor-tumor pada sistem limfoid,
khususnya untuk limfosit dan sel-sel prekursor, baik sel-B, sel-T atau sel Null. Biasanya melibatkan
kelenjar limfe tapi dapat juga mengenai jaringan limfoid ekstranodal seperti tonsil, traktus
gastrointestinal dan limpa.
Sel ganas pada limfoma hodgkin berasal dari sel retikulum dengan gambaran histologis yang
dianggap khas adalah adanya sel Reed-Stemberg atau variasinya yang disebut sel hodgkin. Limfosit
yang merupakan bagian integral poliferasi sel pada penyakit ini diduga merupakan manifestasi reaksi
kekebalan seluler terhadap sel-sel ganas tadi.
Sedangkan Limfoma non hodgkin (LNH) pada dasarnya adalah keganasan sel limfosit yang
berada pada salah satu tingkat deferensiasinya dan berproliferasi secara banyak.
Limfoma non Hodgkin merupakan penyakit yang heterogen, tergantung dari gambaran klinik,
imunofenotiping dan respons terhadap terapi. Gambaran penyakit yang progresif lebih sering
didapatkan pada anak dibanding dewasa. Demikian pula gambaran histopatologik difus sering
didapatkan pada anak (90%) daripada gambaran noduler atau fotikuler pada dewasa. 1 Lebih dari
45.000 pasien didiagnosis sebagai limfoma non Hodgkin (LNH) setiap tahun di Amerika Serikat.
Limfoma non Hodgkin, khususnya limfoma susunan saraf pusat biasa ditemukan pada pasien dengan
keadaan defisiensi imun dan yang mendapat obat-obat imunosupresif, seperti pada pasien dengan
transplantasi ginjal dan jantung.1,

3, 6

Beberapa dari limfoma ini berkembang sangat lambat (dalam

beberapa tahun), sedangkan yang lainnya menyebar dengan cepat (dalam beberapa bulan). Penyakit
ini lebih sering terjadi dibandingkan dengan penyakit Hodgkin.
Untuk lebih baik dalam memahami limfoma ada baiknya kita mengulas kembali mengenai
sistem limfatik dan elemen yang berkontribusi terhadapnya.
Sistem Limfatik
Sistem limfatik adalah bagian dari sistem imun. Sistem limfatik terdiri dari:3, 4
1. Pembuluh limfe
Sistem limfatik memiliki jaringan terhadap pembuluh-pembuluh limfe. Pembuluhpembuluh limfe tersebut yang kemudian akan bercabang-cabang ke semua jaringan tubuh.
2. Limfe
Pembuluh-pembuluh limfe membawa cairan jernih yang disebut limfe. Limfe terdiri dari
sel-sel darah putih, khususnya limfosit seperti sel B dan sel T.
3. Nodus Limfatikus

Pembuluh-pembuluh limfe terhubung ke sebuah massa kecil dan bundar dari jaringan yang
disebut nodus limfatikus. Kumpulan dari nodus limfatikus ditemukan di leher, bawah ketiak, dada,
perut, dan lipat paha. Nodus limfatikus dipenuhi sel-sel darah putih. Nodus limfatikus menangkap
dan membuang bakteri atau zat-zat berbahaya lainnya yang berada di dalam limfe.
4. Bagian sistem limfe lainnya
Bagian sistem limfe lainnya terdiri dari tonsil, timus, dan limpa. Sistem limfatik juga
ditemukan di bagian lain dari tubuh yaitu pada lambung, kulit, dan usus halus.
Fisiologi dan peran sistim limfatik
Sistim limfatik adalah suatu bagian penting dari sistem kekebalan tubuh, membentengi tubuh
terhadap infeksi dan berbagai penyakit, termasuk kanker. Suatu cairan yang disebut getah bening
bersirkulasi melalui pembuluh limfatik, dan membawa limfosit (sel darah putih) mengelilingi tubuh.
Pembuluh limfatik melewati kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening berisi sejumlah besar
limfosit dan bertindak seperti penyaring, menangkap organisme yang menyebabkan infeksi seperti
bakteri dan virus.
Kelenjar getah bening cenderung bergerombol dalam suatu kelompok seperti pada
sekelompok besar di ketiak, di leher dan lipat paha. Ketika suatu bagian tubuh terinfeksi atau bengkak,
kelenjar getah bening terdekat sering membesar dan nyeri. Hal berikut ini terjadi, sebagai contoh, jika
seseorang dengan sakit leher mengalami pembengkakan kelenjar di leher, cairan limfatik dari
tenggorokan mengalir ke dalam kelenjar getah bening di leher, dimana organisme penyebab infeksi
dapat dihancurkan dan dicegah penyebarannya ke bagian tubuh lainnya.3,4
Peran dari sel T dan sel B
Ada dua jenis utama sel limfosit:

Sel T
Sel B

Seperti jenis sel darah lainnya, limfosit dibentuk dalam sumsum tulang. Kehidupannya
dimulai dari sel imatur yang disebut sel induk. Pada awal masa kanak-kanak, sebagian limfosit
bermigrasi ke timus, suatu organ di puncak dada, dimana mereka menjadi matur menjadi sel T. Sisanya
tetap tinggal di sumsum tulang dan menjadi matur disana sebagai sel B. Sel T dan sel B keduanya
berperan penting dalam mengenali dan menghancurkan organisme penyebab infeksi seperti bakteri dan
virus. Dalam keadaan normal, kebanyakan limfosit yang bersirkulasi dalam tubuh adalah sel T. Mereka
berperan untuk mengenali dan menghancurkan sel tubuh yang abnormal (sebagai contoh sel yang telah
diinfeksi oleh virus).3,4
Sel B mengenali sel dan materi asing (sebagai contoh, bakteri yang telah menginvasi tubuh).
Jika sel ini bertemu dengan protein asing (sebagai contoh, di permukaan bakteri), mereka

memproduksi antibodi, yang kemudian melekat pada permukaan sel asing dan menyebabkan
perusakannya.3,7
Limfoma adalah suatu penyakit limfosit. Ia seperti kanker, dimana limfosit yang terserang
berhenti beregulasi secara normal. Dengan kata lain, limfosit dapat membelah secara abnormal atau
terlalu cepat, dan atau tidak mati dengan cara sebagaimana biasanya. Limfosit abnormal sering
terkumpul di kelenjar getah bening, sebagai akibatnya kelenjar getah bening ini akan membengkak.7
Karena limfosit bersirkulasi ke seluruh tubuh, limfoma (kumpulan limfosit abnormal) juga dapat
terbentuk di bagian tubuh lainnya selain di kelenjar getah bening. Limpa dan sumsum tulang adalah
tempat pembentukan limfoma di luar kelenjar getah bening yang sering, tetapi pada beberapa orang
limfoma terbentuk di perut, hati atau yang jarang sekali di otak. Bahkan, suatu limfoma dapat
terbentuk di mana saja. Seringkali lebih dari satu bagian tubuh terserang oleh penyakit ini.
Epidemiologi
Limfoma maligna ditemukan diseluruh bagian dunia pada semua suku bangsa dengan frekuensi
yang berbeda-beda. Insiden limfoma maligna diberbagai negara bervariasi antara 2-6 penderita per
100.000 penduduk.
Beberapa LNH mempunyai pola epidemiologi yang karakteristik. Limfoma burkitt
karakteristik terjadi pada anak-anak di Afrika Tengah walaupun beberapa kasus dalam jumlah yang
kecil dengan klinis yang berbeda-beda pernah dilaporkan di Amerika Serikat.
Limfoma abdominal yang memproduksi fragmen Heavy chain of immunoglobulin di daerah
laut tengah, sedangkan di daerah lain hampir tidak pernah ditemukan.
Limfoma merupakan penyakit keganasan yang sering ditemukan pada anak, hampir sepertiga
dari keganasan pada anak setelah leukemia dan keganasan susunan syaraf pusat. Angka kejadian
tertinggi pada umur 7-10 tahun dan jarang dijumpai pada usia di bawah 2 tahun. Laki-laki lebih sering
bila dibandingkan dengan perempuan dengan perbandingan 2,5:1. Angka kejadiannya setiap tahun
diperkirakan meningkat dan di AS 16,4 persejuta anak di bawah usia 14 tahun. Angka kejadian
limfoma malignum di Indonesia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.1
Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi yang digunakan pada limfoma malignant. Untuk limfoma
Hodgkin digunakan klasifikasi WHO, sedangkan untuk limfoma non Hodgkin terdapat beberapa
klasifikasi yaitu Rappaport, Lukes and Colins, Kiel, International Formulation dan WHO.
Klasifikasi WHO membagi limfoma non Hodgkin atas tipe sel-B dan sel-T. Di Amerika Serikat
yang terbanyak adalah Limfoma sel-B, sekitar 10% limfoma sel-T dan sedikit tipe sel-Null.

IWF
*Low Grade Lymphoma

Rappaport

Lukes & collins

- small lymphocyte

DLWD

SL

- Folliculer, small cleaved cell

NLPD

SC-FCC

- Folliculer, mixed small cleaved

NML

SC-FCC; Lg C-Fcc

-Folliculer, large cell

NH

Lg C; Lg NC-FCC

-Diffuse, small cleaved cell

DLPD

SC-FCC-D

-Diffuse, mixed (small and large cell)

DM

SC-D; Lg C-D

-Difuse, large cell


*High Grade

DH

LgC-Fcc-D; LgNC-Fcc-D

-Immunoblastik (large cell)

Lymphoblastic

Lb1 sarcoma

-Lymphoblastic

Burkit

Convulated T cell

- Folliculer, mixed small cleaved and


large cell
*Intermediate Grade Lymphoma

-Small non cleaved cell

SNC-FCC

Keterangan
DLWD = Diffuse Lymphocyte Well Differentiated
NLPD

= Noduler Lymphocytic poorly Differentiated

DLPD

= Diffuse Lymphocytic poorly Differentiated

DML

= Diffuse Mixed Lymphoma

DHL

= Diffuse Hitiocytic Lymphoma

DUL

= diffuse Undifferentiated lymphoma

NML

= Noduler mixed lymphoma

NH

= Noduler Histiocytic

NC

= Non cleaved

FCC

= Folliculer centre cell

Lbl

= Lymphoblastic

= Cleaved

= Small

Lg

= Large

= Diffuse

Gambaran Histologik
Anggapan pertama adalah bahwa status diferensiasi limfosit dapat dilihat dari ukuran dan
konfigurasi intinya, sel-sel limfoid yang kecil dan bulat dianggap sebagai sel-sel yang berdiferensiasi

baik, dan sel-sel limfoid kecil yang tidak beraturan bentuknya dianggap sebagai limfosit yang
berdiferensiasi buruk. Anggapan kedua adalah sel-sel limfoid besar dengan inti

vesikular dan

mempunyai banyak sitoplasma yang biasanya berwarna pucat dianggap berasal dari golongan monosit
makrofag (histiosit). 1,3,6
Klasifikasi histopatologik sangat komplek dan tumpang tindih dengan klasifikasi yang lain
misalnya klasifikasi imunologik, sitogenetik maupun molekuler sehingga masih membingungkan.
Limfoma non Hodgkin pada anak seringkali mempunyai gambaran yang difus dan
dimasukkan dalam 3 kategori gambaran histologik sebagai berikut:
1. Limfoblastik Burkitts (K) atau small non cleaved (WF)
2. Limfoblastik (WF) non Burkitts (K)
3. Imunoblastik dan sentroblastik (K) atau large cell (WF)
Dua kelompok yang pertama paling banyak ditemukan yaitu mencapai 70-90% dari kasus
yang terdiagnosis.
Imunofenotiping1
Dengan pemeriksaan ini akan lebih jauh dapat mengetahui tentang Limfoma Non Hodgkin,
khususnya dengan ditemukannya antibodi monoklonal yang dapat diidentifikasi adanya antigen
permukaan baik pada sel B maupun sel T juga pada tingkat pematangan sel. Antibodi tersebut
digolongkan dalam cluster differentiation (CD).
Dengan pemeriksaan tersebut di atas limfoma non Hodgkin pada anak dapat dikelompokkan ke dalam
3 kelompok:
1) Proliferasi sel B yang ditandai dengan adanya imunoglobulin monoklonal di permukaan sel.
2) Proliferasi sel T
3) Proliferasi non T-non B
Pembagian ini nampaknya hampir sama pada LLA.
Sitogenetik dan Biologi Molekuler1
Pemeriksaan sitogenetik dan biologi molekuler saat ini sangat berarti dalam membantu kita
mengetahui proses limfoma non Hodgkin lebih mendalam tetapi belum dapat dipergunakan untuk
tindakan terapi. Pada limfoma Burkitts sel tumor ditandai oleh adanya translokasi pada lengan
panjang kromosom 8, regio q 23-q 24 t (8;14) (q24;q32), beberapa versi lainnya t(2;8) (p12;p24) dan
t(8;2) (q24;q11).

Etiologi
Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak diketahui,
tetapi sering dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr yang ditemukan pada limfoma

Burkitt. Terdapat kaitan jelas antara limfoma Hodgkin dan infeksi virus Epstein Barr. Pada kelompok
terinfeksi HIV, insiden limfoma Hodgkin agak meningkat dibanding masyarakat umum, selain itu
manifestasi klinis limfoma Hodgkin yang terkait HIV sangat kompleks, sering kali terjadi pada
stadium lanjut penyakit, mengenai regio yang jarang ditemukan, seperti sumsum tulang, kulit,
meningen, dll.5,6
Infeksi virus dan regulasi abnormal imunitas berkaitan dengan timbulnya limfoma non
Hodgkin, bahkan kedua mekanisme tersebut saling berinteraksi. Virus RNA, HTLV-1 berkaitan dengan
leukemia sel T dewasa, virus imunodefisiensi humanus (HIV) yang menyebabkan AIDS, defek
imunitas yang diakibatkan berkaitan dengan timbulnya keganasan limfoma sel B yang tinggi, virus
hepatitis C (HCV) berkaitan dengan timbulnya limfoma sel B indolen. Gen dari virus DNA, virus
Epstein Barr (EBV) telah ditemukan terdapat di dalam genom sel limfoma Burkitt Afrika. Infeksi
kronis Helicobacter pylori berkaitan jelas dengan timbulnya limfoma lambung, terapi eliminasi H.
Pylori dapat menghasilkan remisi pada 1/3 lebih kasus limfoma lambung. Defek imunitas dan
menurunnya regulasi imunitas berkaitan dengan timbulnya limfoma non Hodgkin, termasuk AIDS,
reseptor cangkok organ, sindrom defek imunitas kronis, penyakit autoimun.5,6
Faktor resiko limfoma non Hodgkin
Terdapat beberapa faktor resiko yang diketahui berpengaruh pada LNH, walaupun demikian,
faktor-faktor resiko ini tidak diperhitungkan melebihi bagian kecil dari jumlah seluruh kasus limfoma
non Hodgkin. Pada kebanyakan pasien dengan limfoma non Hodgkin, tidak ada penyebab penyakit
yang dapat ditemukan. Lebih jauh lagi, banyak orang yang terpapar pada salah satu faktor resiko yang
diketahui tidak menderita limfoma non Hodgkin.3 Beberapa faktor resiko tersebut seperti infeksi,
imunosupresi,dan faktor lingkungan.
a. Infeksi sebagai faktor resiko limfoma non Hodgkin
Beberapa infeksi virus telah memperlihatkan adanya hubungan dengan peningkatan limfoma
non Hodgkin. Hal ini mungkin berhubungan dengan kemampuan virus dalam menginduksi stimulasi
antigen kronik dan disregulasi sitokin yang menyebabkan stimulasi, proliferasi, dan limfomagenesis
yang tidak terkontrol dari sel B dan sel T.3Beberapa virus tersebut antara lain:

Human immunodeficiency virus (HIV/AIDS)

Human T cell leukemia-lymphoma virus-1 (HTLV-1)

Epstein-Barr virus (EBV)

Gambar 3.5.1.1 Ilustrasi Virus3

Orang dengan HIV positif lebih mungkin mengidap limfoma non Hodgkin dari pada orang
lainnya. Munculnya limfoma non Hodgkin pada orang dengan HIV positif mengindikasikan bahwa
full-blown AIDS telah terjadi. 3
Meningkatnya risiko kemungkinan terjadi karena penekanan sistim kekebalan yang
disebabkan oleh infeksi HIV. AIDS-yang berhubungan dengan limfoma non Hodgkin memberikan
gambaran tidak seperti umumnya atau timbul disisi yang tidak umum dibandingkan dengan jenis
limfoma non Hodgkin. 3
Virus Epstein-Barr adalah virus yang umum, menyerang kebanyakan orang pada suatu waktu
tertentu dalam masa hidupnya, dan mengakibatkan infeksi singkat atau demam glandular. Akan tetapi,
dalam sejumlah kecil kasus ekstrim, ia dikaitkan dengan Limfoma Burkitt dan bentuk limfoma non
Hodgkin yang berhubungan dengan imunosupresi. 2,3
Human T-cell leukaemia-lymphoma virus-1 (HTLV-1), aslinya berasal dari Jepang dan
Karibia, juga suatu penyebab yang sangat jarang dari limfoma non Hodgkin, terdapat suatu jarak
antara infeksi virus dan timbulnya penyakit. 2,3
Infeksi bakterial lebih jarang dikaitkan dengan limfoma non Hodgkin dibandingkan dengan
infeksi virus. Akan tetapi, infeksi dengan Helicobacter pylori, yang dapat menyebabkan tukak lambung
dan menyerang lambung, dihubungkan dengan bentuk limfoma yang jarang yang dikenal sebagai
limfoma MALT, yang biasanya timbul di lambung. Antibiotik untuk mengeradikasi infeksi bakteri
sering menyembuhkan kondisi ini, jika diberikan cukup dini. 2,3
Gambar Ilustrasi Bakteri3

(Infeksi bakterial lebih jarang dikaitkan dengan limfoma non Hodgkin dibandingkan dengan infeksi
virus)5
b. Imunosupresi sebagai faktor risiko untuk limfoma non Hodgkin

Orang dengan imunosupresi, dimana sistim pertahanannya menurun, menghadapi peningkatan


risiko terserang limfoma non Hodgkin. Hal ini mungkin karena kontrol multiplikasi sel B tergantung
pada fungsi normal sel T. Jika fungsi sel T menjadi abnormal, seperti pada kasus orang dengan
imunosupresi, sel B dapat berlipat ganda melalui suatu cara yang tidak terkontrol, meningkatkan
peluang untuk terserang penyakit ini. 2,3
Salah satu sebab utama imunosupresi adalah obat yang diberikan untuk mencegah penolakan
dari organ yang ditransplantasikan atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang mendapatkan
transplantasi organ mempunyai peningkatan risiko menderita limfoma non Hodgkin. 2,3
Patogenesis
Pada sebuah penelitian Lukes mengeluarkan isi kelenjar getah bening regional beberapa hari
setelah vaksinasi cacar. Temyata folikel-folikel dalam kelenjar getah bening regional akan membesar.
Di samping itu jumlah sel besar ("blast - like" cells) dalam centrum germinativum akan amat
meningkat hingga sebagian dari folikel-folikel ini penuh berisi sel-sel limfoblast yang besar tadi. Juga
dalam daerah paracortex akan ditemukan. kenaikan jumlah sel-sel yang bentuknya menyerupai
limfoblast tadi. Berdasarkan data di atas Lukes membuat suatu teori mengenai urutan transformasi
limfosit bila ada rangsangan antigen . Bila ada rangsangan antigen makal limfosit-limfosit B dalam
kelenjar getah bening akan bertransformasi menjadi sel yang intinya melekuk ( "cleaved cells"). Sel
"cleaved" yang kecil ini kemudian akan membesar dan memiliki sejumlah sitoplasma yang berwarna
biru. Lukes menamakannya "large cleaved cells " dan menganggap kejadian ini sebagai stadium ke-2
dari proses transformasi limfosit B. Pada stadium ke-3 lekukan pada inti sel tadi akan meng hilang,
inti sel berubah menjadi bulat dan tampak adanya anak inti. Sel yang dinamakannya "small non
cleaved cells' ini mempunyai sitoplasma lebih besar dari sel pada stadium 2 "Small non-cleaved cells"
ini akan membesar lagi hingg; diameternya mencapai 4-5 kali semula. Sel yang dinamakan "large noncleaved cells " ini mempunyai inti yang jelas dan sitoplasma yang besar serta berwarna biru tua.
Stadium 1 sampai dengan 4 ini terjadi dalam centrun germinativum sel folikel. Sel-sel pada stadium 1
s/d 3 tak banyak mengalami mitosi sedangkan sel-sel "large non-cleaved " aktif bermitosis. Sel "large
non-cleaved" ini kemudian akan keluar dai folikel dan masuk ke dalam daerah paracortex. Di sini sel
tersebut akan bertransformasi menjadi sel yang mempunyai sitoplasma besar, biru tua dan beranak inti
besar biasanya hanya sebuah. Sel yang tersebut terakhir ini dinamakan imunoblast. Imunoblast
kemudian akan berubah menjadi "plasmablast" yang selanjutnya berubah menjadi sel plasma. Sel
plasmalah yang kemudian membuat imunoglobulin (antibodi).
Apabila ada antigen masuk ke dalam tubuh kita maka limfosit T juga akan bertransformasi
menjadi imunoblast. Secara morfologik amat sukar untuk membedakan imunoblast T dan imunoblast
B. Perbedaan antara proses transformasi pada limfosit T dan B adalah bahwa, pada limfosit T proses
ini tidak melampaui ke-4 stadium diatas, serta imunoblast T tidak bertransformasi lebih lanjut menjadi

sel plasma. Sedangkan pada limfosit B, rangsangan antigen menyebabkan transformasi sel yang
akhirnya menghasilkan sel-sel plasma. Sel plasma inilah yang membentuk antibodi ("reaksi immunitas
humoral").
Penerapan pemeriksaan imunologik pada kelenjar-kelenjar getah bening menunjukkan bahwa
sel besar yang terdapat pada centrum germinativum adalah limfosit B semata-mata. Di samping itu
limfosit-limfosit B dari centrum germinativum mempunyai kekhususan yakni memiliki reseptor yang
kuat terhadap komplemen, di samping memiliki imunoglobulin pada permukaan sel (surface
immunoglobulin). Sel plasma yang merupakan produk akhir dari limfosit B tidak lagi memiliki
imunoglobulin pada permukaan selnya. Sel-sel ini juga tidak memiliki reseptor terhadap komplemen,
namun sebaliknya ia memiliki imunoglobulin intraseluler (intracytoplasmic immunoglobulin). Di
antara kedua stadium ini terdapat stadium pro-sel plasma yang hanya memiliki imunoglobulin pada
permukaan sel tanpa memiliki reseptor pada komplemen. Di antarastadium pro-sel plasma dan limfosit
(B) dari centrum germinativum ada lagi suatu stadium dengan sifat imunologik tertentu pula. Sebelum
limfosit B menjadi limfosit centrum germinativum, ia harus melalui beberapa stadium, antara lain
stadium pro-limfosit B (pre-B limphocyte) dan sebagainya. Semua stadium ini telah diketahui sifatsifat imunologiknya.
Para ahli hematologi di pusat-pusat penelitian ' yang besar, kemudian melakukan pemeriksaan
sitologik (cleaved cells, dsb) dan imunologik (ada tidaknya imunoglobulin pada permukaan selnya,
dsb) dari sel kanker kelenjar getah bening. Salah seorang yang mempunyai pengalaman cukup banyak
adalah Habeshaw dari Inggris yang telah melakukan pemeriksaan yang cermat pada 157 penderita
kanker kelenjar getah bening jenis non-Hodgkin. Dari penelitiannya Habeshaw melihat bahwa sel-sel
(limfoma malignum ini ternyata pada umumnya dapat dibagi dalam 3 golongan besar : Golongan yang
sel-selnya mempunyai sifat morfologik maupun imunologik dari salah satu atau beberapa stadium sel
centrum germinativum (small cleaved, large cleaved, dan sebagainya) Golongan yang sel-selnya
mempunyai sifat morfologik maupun imunologik dari salah satu atau beberapa stadium "post
follicular" (immunoblast, proplasma cells, plasma cells, memory B cells). Golongan yang sel-selnya
mempunyai sifat morfologik maupun imunologik dari salah satu atau beberapa stadium "pre-follicular"
(pre-B limphocyte, dsb).
Pemeriksaan semacam di atas juga menunjukkan bahwa semua sel kanker limfoma malignum
yang berasal dari limfosit B selalu mempunyai sifat monoklonal. Maksudnya, ada limfoma malignum
yang terdiri dari limfosit B pembentuk imunoglobulin M-kappa, ada yang terdiri dari limfosit B
pembentuk imunoglobulin M-lamda, G-kappa, G-lamda dan seterusnya. ara peneliti lain kemudian
dapat menunjukkan bahwa frekuensi limfoma malignum pada penderita-penderita pe-nyakit
imunologik jauh lebih tinggi dari pada mereka yang tidak menderita penyakit ini, bahkan ada yang
cenderung untuk mengatakan bahwa sebagian besar penderita-penderita penyakit Syorgen akan

berubah menjadi penderita limfoma malignum. Kelainan kromosom (terutama kromosom 14) yang
didapat pada penyakit defisiensi imunologik ternyata juga ditemukan pada sel-sel limfoma malignum.
Data-data di atas menyebabkan sebagian besar peneliti beranggapan bahwa penyakit limfoma
malignum (non Hodgkin) sebenarnya hanyalah suatu reaksi imunologik yang abnormal semata-mata.
Jauh sebelum adanya hasil-hasil penelitian di atas sebenarnya Salmon dan Saligman (1974) telah
mengajukan hipotesa di atas. Hasil penelitian lebih lanjut ternyata banyak menyokong hipotesa kedua
ahli ini. Salmon dan Saligman berpendapat bahwa penyakit limfoma malignum ini diaklbatkan oleh
suatu "oncogenic event" terhadap sekelompok limfosit B yang bereaksi terhadap suatu antigen asing.
Onkogenik event ini menyebabkan terjadinya hambatan transformation pada salah satu stadium
transformasi sel limfosit B. Karena stimulasi antigen ini tetap ada, sedangkan limfosit-limfosit B tadi
tak dapat membentuk antibodi yang diperlukan karena transformasinya terhenti sebelum menjadi sel
plasma: reaksi imunologik ini akan terus menerus berlangsung. Akibatnya terjadilah penimbunan selsel limfosit B pada salah satu (atau beberapa) stadium transformasinya. Karena proliferasi sel ini
disebabkan stimulasi suatu antigen "tertentu" maka limfosit B yang bertransformasi hanya limfosit B
yang "bersangkutan" pula. Oleh karena itu pada penyakit limfoma malignum selalu didapat sel B yang
monoklonal (immunoglobulin M-kappa, M-lamda, G-kappa dst.)
Manifestasi Klinis
Limfoma non Hodgkin indolen kadang-kadang dikenal sebagai limfoma non Hodgkin tumbuh
lambat atau level rendah. Sesuai dengan namanya, limfoma non Hodgkin indolen tumbuh sangat
lambat. Secara tipikal ia pada awalnya tidak menimbulkan gejala, dan mereka sering tetap tidak
terdeteksi untuk beberapa saat. Tentunya, mereka sering ditemukan secara kebetulan, seperti ketika
pasien mengunjungi dokter untuk sebab lainnya. Dalam hal ini, dokter mungkin menemukan
pembesaran kelenjar getah bening pada pemeriksaan fisik rutin. Kadangkala, suatu pemeriksaan,
seperti pemeriksaan darah, atau suatu sinar-X, dada, mungkin menunjukkan sesuatu yang abnormal,
kemudian diperiksa lebih lanjut dan ditemukan terjadi akibat limfoma non Hodgkin. Akan tetapi,
beberapa pasien limfoma non Hodgkin indolen berobat ke dokter karena gejalanya.3
Gejala yang paling sering adalah pembesaran kelenjar getah bening, yang kelihatan sebagai
benjolan, biasanya di leher, ketiak dan lipat paha. Pada saat diagnosis pasien juga mungkin mempunyai
gejala lain dari limfoma non Hodgkin. Limfoma non Hodgkin indolen tumbuh lambat dan sering tanpa
menyebabkan stadium banyak diantaranya sudah dalam stadium lanjut saat pertama terdiagnosis.3
Limfoma non Hodgkin mempunyai gambaran klinis oleh massa abdominal dan intrathorakal
(massa mediastinum) yang sering kali disertai dengan adanya efusi pleura. Pada anak yang lebih besar
massa mediastinal ini seringkali (25-35%) ditemukan khususnya pada limfoma limfoblastik sel T.
Gejala yang menonjol adalah nyeri, disfagia, sesak napas, pembengkakan daerah leher, muka, dan
sekitar leher akibat adanya obstruksi vena cava superior. Pembengkakan kelenjar limfe (limfadenopati)

di sebelah atas diafragma meliputi leher, supraklavikula atau aksiler, tetapi jarang sekali
retroperitoneal. Adanya pembesaran kelenjar limpa dan hati menunjukkan adanya keterlibatan sumsum
tulang dan seringkali pasien menunjukkan gejala-gejala leukemia limfoblastik akut, jarang sekali
melibatkan gejala susunan saraf pusat, kadang-kadang disertai pembesaran testis.1,2,3
Limfoma limfoblastik merupakan bentuk yang berkembang secara progresif, dengan gejala yang
timbul dalam waktu singkat kurang dari satu bulan. Gambaran laboratorium biasanya masih dalam
batas normal, dengan kadar LDH dan asam urat yang meningkat sebagai akibat adanya tumor lisis
maupun adanya nekrosis jaringan.1
Gejala awal yang dapat dikenali adalah pembesaran kelenjar getah bening di suatu tempat
(misalnya leher atau selangkangan) atau di seluruh tubuh. Kelenjar membesar secara perlahan dan
biasanya tidak menyebabkan nyeri. Kadang pembesaran kelenjar getah bening di tonsil (amandel)
menyebabkan gangguan menelan. Pembesaran kelenjar getah bening jauh di dalam dada atau perut
bisa menekan berbagai organ dan menyebabkan: 1,2,3

gangguan pernapasan
berkurangnya nafsu makan
sembelit berat
nyeri perut
pembengkakan tungkai.
Jika limfoma menyebar ke dalam darah bisa terjadi leukemia. Limfoma dan leukemia memiliki
banyak kemiripan. Limfoma non-Hodgkin lebih mungkin menyebar ke sumsum tulang, saluran
pencernaan dan kulit. Pada anak-anak, gejala awalnya adalah masuknya sel-sel limfoma ke dalam
sumsum tulang, darah, kulit, usus, otak dan tulang belakang; bukan pembesaran kelenjar getah bening.
Masuknya sel limfoma ini menyebabkan anemia, ruam kulit dan gejala neurologis (misalnya
kelemahan dan sensasi yang abnormal). Biasanya yang membesar adalah kelenjar getah bening di
dalam, yang menyebabkan:
pengumpulan cairan di sekitar paru-paru sehingga timbul sesak napas
penekanan usus sehingga terjadi penurunan nafsu makan atau muntah
penyumbatan kelenjar getah bening sehingga terjadi penumpukan cairan.

Rangkuman Berbagai Gejala1,2,3


Gejala

Penyebab

Kemungkinan timbulnya
gejala

Gangguan pernapasan

Pembesaran kelenjar getah bening di

Pembengkakan wajah
Hilang nafsu makan

dada

Sembelit berat
Nyeri perut atau perut kembung
Pembengkakan tungkai

Pembesaran kelenjar getah bening di


perut
Penyumbatan pembuluh getah bening
di selangkangan atau perut

20-30%

30-40%

10%

Penurunan berat badan


Diare
Malabsorbsi
Pengumpulan cairan di sekitar
paru-paru
(efusi pleura)
Daerah kehitaman dan menebal di
kulit yang terasa gatal
Penurunan berat badan
Demam

Penyebaran limfoma ke usus halus

Penyumbatan pembuluh getah bening


di dalam dada

10%>

20-30%

Penyebaran limfoma ke kulit

10-20%

Penyebaran limfoma ke seluruh tubuh

50-60%

Keringat di malam hari


Perdarahan ke dalam saluran
pencernaan
Penghancuran sel darah merah oleh
limpa yang membesar & terlalu aktif
Anemia
(berkurangnya jumlah sel darah
merah)

Penghancuran sel darah merah oleh


antibodi abnormal (anemia hemolitik)

30%, pada akhirnya bisa

Penghancuran sumsum tulang karena

mencapai 100%

penyebaran limfoma
Ketidakmampuan sumsum tulang
untuk menghasilkan sejumlah sel
darah merah karena obat atau terapi
penyinaran

Penyebaran ke sumsum tulang dan


Mudah terinfeksi oleh bakteri

kelenjar getah bening, menyebabkan


berkurangnya pembentukan antibodi

20-30%

Stadium / staging Klinis Limfoma Maligna


Untuk menentukan stadium penyakit atau menentukan luasnya penyebaran penyakit dipakai
staging menurut simposium penyakit Hodgkin di Ann Arbor yaitu Rye staging yang disempurnakan
oleh kelompok dari Stanford University yang ditetapkan pada simposium tersebut.
Stadium klinik dari limfoma maligna menurut Ann Arbor
Stadiu
m
I
II

III

IV

Kelenjar organ yang terserang


I
IE

Tumor terbats pada kelenjar getah bening di satu regio


Bila mengenai satu organ ekstralimfatik/ektranodal

II

Tumor mengenai dua kelenjar getah bening di satu sisi diafragma

IIE

Satu organ ekstra limfatik disertai kelenjar getah bening di dua sisi diafragma

IIS

Limpa disertai kelenjar getah bening di satu diafragma

IIES

Keduanya

III

Tumor mengenai kelenjar getah bening di dua sisi diafragma

IIIE

Satu organ ekstralimfatik disertai kelenjar getah bening di dua sisi diafragma

IIIS

Limpa disertai kelenjar getah bening di dua sisi diafragma

IIIE

Keduanya

S
IV

Penyebaran luas pada kelenjar getah bening dan organ ekstralimfatik

Masing-masing stadium masih dibagi lagi menjadi dua subklasifikasi A dan B


A. Bila tanpa keluhan
B. Bila terdapat keluhan sistemik sebagi berikut:

Panas badan yang tidak jelas sebabnya, kumat-kumatan dengan suhu diatas 38oC

Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam kurun waktu 6 bulan

Keringat malam dan gatal-gatal


Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis Limfoma maligna diperlukan berbagai macam pemeriksaan,
disamping untuk memastikan penyakitnya juga untuk menentukan jenis histopatologinya maupun
staging penderita

Stadium klinis
Pemeriksaan-pemeriksaan yang diperlukan untuk menentukan stadium klinik adalah:
1. Anamnesa mengenai keluhan pembesaran kelenjar dan keluhan sistemik berupa demam,
penurunan berat badan, keringat malam dan gatal-gatal. Penderita tanpa keluhan masuk dalam
subklasifikasi A, sedangkan bila disertai keluhan sistemik masuk dalam subklasifikasi B dari
Ann Arbor.
2. Pemeriksaan fisik dengan mencari adanya pembesaran kelenjar getah bening diseluruh tubuh,
cincin waldeyer, pembesaran organ ekstra limfatik yang sering terjadi pada limfoma non
hodgkin
3. Biopsi kelenjar getah bening untuk menentukan apakah penderita LH atau LNH.
4. Pemeriksaan radiologi meliputi foto dada PA/ lateral, tomografi mediastinum, limfografi kedua
tungkai bawah.
5. Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap, tes faal hati termasuk alkali
fosfatase dan elektroforese protein, tes faal ginjal termasuk urin lengkap, BUN, serum
kreatinin, asam urat dan elektrolit namun semuanya pemeriksaan ini tidak spesifik
Stadium Patologi
Untuk menentukan stadium patologi diperlukan pemeriksaan antara lain
1. Pemeriksaan aspirasi biopsi sum-sum tulang daerah kristailiaka dengan jarum jamshidi
2. Pemeriksaan laparaskopi dengan indikasi pada staging klinis IB, IIB, IIIA dan IIIB
3. Pemeriksaan laparatomi dengan indikasi pada staging klinik I-II (A dan B) dan IIIA
4. Pemeriksaan cairan effusi secara sitomorfologi.
Disamping pemeriksaan tersebut di atas guna penentuan stadium klinis dan patologi masih
terdapat banyak pemeriksaan yang hanya dilakukan pada pusat kedokteran tertentu dalam rangka
penelitian lanjutan untuk penderita limfoma.
Pemeriksaan yang dimaksud adalah:
a. Pemeriksaan Whole body scintigram dengan Galium-67 dan selenium 75
b. Whole body computed tomography

c. Ultrasonografi hati dan abdomen


d. Berbagai pemeriksaan immunologi guna menentukan status imunologi penderita
e. Penentuan serum ion, total iron capacity, ceruloplasmin, zinc, hepatoglobin, fibrinogen,
hydroxyprolin dalam urin, leucocyte alkali phospatase, hitung limfosit absolut, antibodi pada
virus epstein barr serta HLA
Guna menilai apakah limpa atau hati terserang terdapat kriteria sebagai berikut
Limpa

: terdapat pembesaran limpa yang ditopang dengan pemeriksaan radiologik atau terdapat
filling defek pada pemeriksaan sidikan dengan isotop. Penderita dengan limpa yang
membesar 50% tidak terdapat kelainan histologik sedangkan penderita tanpa pembesaran
limpa 50% terdapat kelainan histologik.

Hati

: pembesaran hati disertai dengan peningkatan alkali fosfatase dan dua tes faal hati yang lain
abnormal atau pemeriksaan sidikan hati dengan isotop abnormal disertai suatu kelainan
faal hati.

Diagnosis Banding
Limfoma Hodgkin
Penyakit Hodgkin adalah suatu jenis keganasan sistem kelenjar getah bening dengan gambaran
histologis yang khas. Ciri histologis yang dianggap khas adalah adanya sel Reed-Sternberg atau
variannya yang disebut sel Hodgkin dan gambaran selular getah bening yang khas.8, 9
Gejala utama adalah pembesaran kelenjar yang paling sering dan mudah dideteksi adalah
pembesaran kelenjar di daerah leher. Pada jenis-jenis tipe ganas (prognosis jelek) dan pada penyakit
yang sudah dalam stadium lanjut sering disertai gejala-gejala sistemik yaitu: panas yang tidak jelas
sebabnya, berkeringat malam dan penurunan berat badan sebesar 10% selama 6 bulan. Kadang-kadang
kelenjar terasa nyeri kalau penderita minum alkohol. Hampir semua sistem dapat diserang penyakit ini,
seperti traktus gastrointestinal, traktus respiratorius, sistem saraf, sistem darah, dan lain-lain.
Limfadenitis Tuberkulosa
Merupakan salah satu sebab pembesaran kelenjar limfe yang paling sering ditemukan.
Biasanya mengenai kelenjar limfe leher, berasal dari mulut dan tenggorok (tonsil). Pembesaran
kelenjar-kelenjar limfe bronchus disebabkan oleh tuberkulosis paru-paru, sedangkan pembesaran
kelenjar limfe mesenterium disebabkan oleh tuberkulosis usus. Apabila kelenjar ileocecal terkena pada
anak-anak sering timbul gejala-gejala appendicitis acuta, yaitu nyeri tekan pada perut kanan bawah,
ketegangan otot-otot perut, demam, muntah-muntah dan lekositosis ringan. Mula-mula kelenjar-

kelenjar keras dan tidak saling melekat, tetapi kemudian karena terdapat periadenitis, terjadi
perlekatan-perlekatan.10
Penatalaksanaan
Limfoma non Hodgkin khususnya limfoma limfoblastik sel T seringkali disertai dengan
berbagai komplikasi, untuk itu dibutuhkan pengelolaan secepatnya. Sebelum pengobatan dengan
kemoterapi harus diperhatikan terlebih dahulu problem jalan napas, pembuluh darah dan gangguan
metabolik yang ada.1
Pemberian alopurinol, hidrasi yang cukup, dan alkalinisasi urin perlu segera diberikan pada
pasien dengan tumor yang cukup luas untuk mencegah terjadinya nefropati akibat lisis tumor yang
seringkali terjadi pada limfoma limfoblastik sel T.1 Terapi yang dilakukan biasanya melalui pendekatan
multidisiplin.Terapi yang dapat dilakukan adalah:2,3
1. Derajat Keganasan Rendah (DKR)/indolen:
Pada prinsipnya simptomatik:
a. Kemoterapi: obat tunggal atau ganda (per oral), jika dianggap perlu : COP
(Cyclophosphamide, Oncovin, dan Prednisone)
b. Radioterapi : LNH sangat radiosensitif. Radioterapi ini dapat dilakukan untuk lokal dan
paliatif.
c. Radioterapi : Low Dose TOI + Involved Field Radiotherapy
2. Derajat Keganasan Menengah (DKM) / agresif limfoma:
Stadium I : Kemoterapi (CHOP/CHVMP/BU) + radioterapi CHOP (Cyclophosphamide,

Hydroxydouhomycin, Oncovin, Prednisone)


Stadium II IV : kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi berperan untuk tujuan paliasi.
3. Derajat Keganasan Tinggi (DKT)
DKT Limfoblastik (LNH-Limfoblastik)

Selalu diberikan pengobatan seperti Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)


Re-evaluasi hasil pengobatan dilakukan pada:
a.
Setelah siklus kemoterapi keempat
b.
Setelah siklus pengobatan lengkap
Pasien dengan limfoma non Hodgkin agresif dapat didiagnosis pada stadium dini (stadium I
atau II). Ini disebabkan karena mereka umumnya menyadari pertumbuhan yang cepat dari kelenjar
getah bening yang terkena dan karenanya mengunjungi dokter dan cepat dirujuk untuk pengobatan
oleh dokter spesialis.5
Pengobatan yang biasa diberikan untuk pasien dengan limfoma non Hodgkin agresif stadium
dini adalah beberapa jadwal kemoterapi, kombinasi, dengan lebih dari satu obat kemoterapi yang
diberikan, biasanya bersama dengan steroid, seperti prednisolon (contohnya, CHOP). Di kebanyakan
negara, diberikan antibodi monoklonal rituximab dalam kombinasi dengan kemoterapi CHOP sebagai

terapi standar. Antibodi monoklonal meningkatkan efektivitas pengobatan bermakna, tanpa


meningkatkan efek samping.2,3,6
Radioterapi terkadang diberikan setelah kemoterapi. Jarang kedua pengobatan diberikan pada
saat yang sama. Radioterapi ditujukan secara spesifik terhadap kelenjar getah bening yang terkena.
Pengobatan stadium dini (stadium I dan II) limfoma non Hodgkin agresif dapat mencapai kesembuhan
atau remisi pada sekitar 80% pasien. Beberapa pasien tidak memberikan respon terhadap terapi
standar. Pada pasien-pasien ini, dan pada mereka yang mengalami kekambuhan, diperlukan
pengobatan lebih lanjut. 2,3,6
Pasien yang didiagnosis dengan limfoma non Hodgkin agresif pada stadium lanjut (stadium III
atau IV) diberi kemoterapi kombinasi dengan ataupun tanpa antibodi monoklonal. Meski demikian,
kemoterapi kadang-kadang diberikan lebih lama daripada pada penyakit stadium awal dan mungkin
juga diberikan radioterapi. Secara keseluruhan, antara 40% dan 70% pasien dengan limfoma non
Hodgkin agresif dapat disembuhkan dengan pengobatan pertama. 2,3,6
Prognosis
Prognosis dari penderita limfoma sangat ditentukan dari:
a. Stadium dari penyakitnya dan tipe histologinya
b. Usia penderita. Pada usia diatas 60 tahun mempunyai prognosis yang kurang baik
c. Besarnya tumor. Pada penderita dengan ukuran tumor yang besar (ukuran diameter lebih dari
10cm) terutama kalau terletak di mediastenum mempunyai prognosis yang kurang baik.
d. Pada penderita yang terserang extra nodal yang multipel terutama apabila mengenai sum-sum
tulang dan hati mempunyai prognosis yang kurang baik.
e. Pada penderita yang progesif selama mendapat pengobatan atau relaps dalam waktu kurang
dari satu tahun setelah mendapat kemoterapi yang intensif mempunyai prognosis yang kurang
baik
Dugaan Sebab Kematian Penderita Limfoma
1. Infeksi bakteri dan jamur yang mungkin disebabkan oleh karena:
a. Defisiensi anti bodi dari sistem imunitas seluler
b. Neutropeni oleh karena efek samping pengobatan sitostatika ataupun oleh karena infiltrasi
limfoma ke sum-sum tulang
c. Kerusakan jaringan akibat infiltrasi limfoma
d. Infeksi ini biasanya berjalan berat dan berahkir dengan sepsis

2.

Multiple organ failure seperti paru-paru, ginjal, gastrointestinal dan meningen


Daftar Pustaka
1. Sudarmanto M, Sumantri AG. Limfoma Maligna. Dalam: Buku Ajar Hematologi Onkologi.
IDAI. Ed-3. Jakarta: 2012. h. 248-54.
2. Hudson MM. Limfoma Non Hodgkin. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak Nelson. 15th ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012.h. 1780-83.
3. Ballentine JR. Non Hodgkin Lymphoma. Jan 20, 2012 (Cited August 17th, 2015). Available at
http://emedicine.medscape.com/article/203399-overview
4. Alarcone P. Hodgkin Lymphoma.Oct 11,2011 (Cited August 17th,2015). Available at
http://emedicine.medscape.com/article/987101-overview#a0101
5. Hudson MM. Penyakit Hodgkin. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak Nelson. 15th ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.2012.h. 1777-83.
6. Gillchrist G. Lymphoma. Dalam: Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed. Wisconsin: Elsevier.
2007.h. 1701-6.
7. Stoppler MC. Hodgkin Lymphoma. May 1st2011 (Cited August 17th,2012) . Available at
(http://www.medicinenet.com/Hodgkins disease/article.htm)
8. Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta:Balai Penerbit FKUI, 1990.
9. Abdulmuthalib. Pedoman diagnosa dan terapi di bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
10. Staf Pengajar Bagian Patologik Anatomik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta,
1996. dr. Sutrisno Himawan, Kumpulan Kuliah Patologi, Jakarta, 1996.

Anda mungkin juga menyukai