Anda di halaman 1dari 21

1

SKENARIO
Dokter Tuti seorang dokter perusahaan pemintalan benang selama 5
tahun, dalam 2 bulan terakhir angka absensi dari tenaga kerja
meningkat 10%. Peningkatan angka absensi disebabkan banyaknya
tenaga kerja yang sakit dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas
menjangkiti tenaga kerja yang telah bekerja selama 5 tahun ke atas
berjumlah 20 orang. 5 orang dari bagian gudang, 12 dari bagian
produksi dan 3 orang dari bagian penjaminan mutu. Sesak nafas
dirasakan di awal minggu shift kerja dan berkurang ketika tenaga
kerja libur. Semakin hari dirasakan semakin berat, sementara tenaga
kerja selama bekerja tidak menggunakan alat pelindung diri dengan
alasan kenyamanan. Kedua puluh orang tenaga kerja tersebut pada
pemeriksaan awal tidak ditemukan gangguan pernafasan maupun
riwayat asthma pada rekam medisnya.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada era industrialisasi saat ini, kegiatan sektor industri tidak
terlepas dengan penggunaan teknologi maju yang dapat berdampak
terhadap keselamatan dan kesehatan kerja terutama masalah penyakit

akibat kerja. Selain itu masih banyak perusahaan yang belum


melaksanakan ketentuan-ketentuan yang mengarah kepencegahan
penyakit akibat kerja, hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian,
waktu dan memerlukan biaya yang tinggi. Dari pihak pekerja sendiri
disamping pengertian dan pengetahuan masih terbatas, ada sebagian
dari mereka masih segan menggunakan alat pelindung atau mematuhi
aturan yang sebenarnya. Oleh karena itu masalah keselamatan dan
kesehatan kerja tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri tetapi harus
dilakukan secara terpadu yang melibatkan berbagai pihak baik
pemerintah,

perusahaan, tenaga kerja serta organisasi lainnya

(Perguruan Tinggi).
Pembangunan di Indonesia dewasa ini telah mencapai tahap
industrialisasi. Pembangunan Industrialisasi ini telah membawa
berbagai dampak positif, yaitu terbukanya lapangan pekerjaan,
membaiknya sarana transportasi dan komunikasi serta meningkatnya
taraf hidup masyarakat. Tetapi selain memberikan dampak positif,
pembangunan industrialisasi juga memberikan dampak negatif. Salah
satu dampak negatif yang ditimbulkan adalah pencemaran udara dalam
bentuk debu yang dihasilkan dari proses pengolahan industri tekstil.
Debu kapas tidak hanya dapat mencemari lingkungan umum, tetapi
juga mencemari lingkungan kerja sehingga para pekerja dapat terpapar
dan menimbulkan gangguan kesehatan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Valic dan Zuskin dapat
diketahui bahwa prevalensi tertinggi dari penyakit bysinosis adalah
pada unit pemintalan, tetapi tidak ada bukti beratnya penyakit akibat
pemaparan debu kapas dengan lamanya pemaparan (Yunus,1997).
Berdasarkan data International Labour Organization (ILO)
tahun 2013, 1 pekerja di dunia meninggal setiap 15 detik karena
kecelakaan kerja dan 160 pekerja mengalami sakit akibat kerja. Tahun

sebelumnya (2012) ILO mencatatat angka kematian dikarenakan


kecelakaan dan penyakit akibat kerja (PAK) sebanyak 2 juta kasus
setiap tahun.
Menurut protokol ILO tahun 2002 dalam Occupational Safety
and Health Convention, 1981 No. 155 menyatakan bahwa penyakit
akibat kerja (occupational disease) merupakan penyakit akibat paparan
exposure dari faktor-faktor resiko terhadap aktivitas kerja maupun di
tempat kerja. Sekitar 160 juta orang, dimana setiap 2 juta tenaga kerja
meninggal setiap tahunnya akibat penyakit akibat kerja dan penyakit
akibat

hubungan

kerja,

yang

bisa

menghabiskan

sekitar

US$5,000,000,000 (lima milyar dolar amerika). Sehingga, pendidikan


kedokteran umum saat ini ditujukan pada menghasilkan dokter umum
yang bekerja di garis depan (layanan kesehatan primer) maka perhatian
pada Kesehatan dan Keselamatan Kerja K3 sebagai langkah
pencegahan penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja merupakan
keharusan. Dengan demikian, seorang dokter yang berkecimpung di
masyarakat nantinya maka K3 ini tidak lepas dari perhatian dokter. Baik
itu berupa upaya kesehatan kerja di puskesmas, K3 rumah sakit dan
patient safety ataupun sebagai dokter perusahaan yang bertugas di
sebuah atau beberapa perusahaan maka K3 akan menjadi fokus
perhatian.
Mengingat bahwa akibat penyakit akibat kerja tersebut bisa
berakibat pada absensi perusahaan yang meningkat karena kesehatan
para tenaga kerja yang terganggu. Bagiamanapun juga status kehadiran
para tenaga kerja merupakan sebuah kriteria dalam meningkatkan nilai
kualitas performans dari sebuah perusahaan. Hal tersebut dikuatkan
oleh penelitian yang dilakukan oleh Nunung dan Yudho pada sebuah
perusahaan industri di Jakarta pada 30 karyawannya yang menunjukkan
bahwa jumlah absensi tenaga kerja antara 5 10% dalam periode 3
bulan dianggap sebagai rare absent employee (dalam bahasa Indonesia

jarang bolos)
Penyakit akibat kerja bukan dikarakteristikan semata oleh
penyakit itu sendiri, tetapi merupakan akibat dari penyakit dan paparan.
Sama halnya dengan istilah yang dimaksud oleh ILO Employment
Injury Benefits Recommendation, tahun 1964 NO. 121 paragraf 6 (1)
bahwa tenaga kerja pada kondisi tertentu, dalam hal ini yang terkena
paparan dari beberapa bahan/zat dalam kondisi berbahaya baik dalam
perdagangan dan pekerjaan yang disebut dengan penyakit akibat kerja.
Setiap ancaman terhadap keselamatan dan kesehatan kerja harus
dicegah. Karena ancaman seperti itu akan membawa kerugian baik
material, moril maupun waktu terutama terhadap kesejahteraan tenaga
kerja dan keluarganya. Lebih-lebih perlu disadari bahwa pencegahan
terhadap bahaya tersebut jauh lebih baik dari pada menunggu sampai
kecelakaan terjadi yang biasanya memerlukan biaya yang lebih besar
untuk penanganan dan pemberian kompensasinya. Maka, tujuan
diselenggarakannya kesehatan dan keselamatan kerja adalah agar
tercapainya tingkat kesehatan yang optimal dari tenaga kerja,
terciptanya lingkungan kerja yang nyaman dan aman bagi tenaga kerja
dan masyarakat di sekitar tempat kerja melalui upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif sehingga dapat tercapainya
produktifitas yang optimal.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana absensi pada perusahaan meningkat sebesar 10% ?
2. Bagaimana cara menanggulangi absentisme yang terjadi pada
perusahaan tersebut ?
C. Tujuan

1. Menurunkan absensi perusahaan yang meningkat 10% pada


karyawan yang masa kerjanya lebih dari 5 tahun
2. Mengetahui cara untuk menanggulangi penyakit paru akibat kerja

BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Analisis
Pembangunan industrialisasi di Indonesia membawa beberapa
dampak, baik positif maupun negatif. Salah satunya adalah industri
tekstil yang mempunyai dampak negatif antara lain dapat menyebabkan
pencemaran debu yang timbul pada proses pengolahan atas hasil
industri itu (kapas). Debu kapas dapat menyebabkan gangguan fungsi
paru salah satunya adalah penyakit bissinosis, yang tertera pada SK
Presiden NO. 22 tahun 1993.
Bisinosis adalah istilah yang menggambarkan perasaan tertekan

di dada karena paparan debu kapas, perasaan ini timbul terutama pada
hari pertama kembali bekerja setelah istirahat akhir minggu.
Patogenesis bisinosis belum jelas dan multifaktorial, salah satu teori
yaitu tentang mekanisme kemotaksis menerangkan bahwa serat kapas
yang terhirup akan difagosit oleh makrofag alveolus, ini akan
merangsang
pelepasan

timbulnya
mediator

eosinofil
inflamasi

dijaringan
sehingga

yang
dapat

menginduksi
menimbulkan

bronkokonstriksi saluran nafas.


Pemaparan debu kapas ke tenaga kerja dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain; lama kerja, kebiasaan menggunakan alat
pelindung diri (APD), ketersediaan APD, kadar debu dalam ruangan,
ventilasi dan ruang kerja serta pendidikan dari para tenaga kerja
mengenai akibat dari perkejaan yang dikerjakan di perusahaan
pemintalan kapas.
Menurut Sumamur efek debu kapas khususnya byssinosis akan
muncul pada lama kerja lebih dari 5 tahun, tetapi hal ini tergantung dari
dosis paparan dan sifat debu yang terhirup tiap harinya. Masa inkubasi
penyakit Byssinosis adalah 5 tahun yaitu pada pekerjaan Blowing dan
Carding. Dan bagi tenaga kerja dibagian lainnya (Spinning & Weaving)
lebih dari 5 tahun.
Dengan alasan inilah 20 tenaga kerja pada perusahaan
pemintalan benang tersebut sakit dengan keluhan sesak nafas. Para
tenaga kerja tersebut sudah bekerja pada perusahaan tersebut selama
lebih dari 5 tahun, yang pada kesehariannya tidak pernah menggunakan
alat pelindung diri, berupa masker sebagai suatu keharusan atau sebuah
kebijakan dari perusahaan dalam bekerja.
Setiap unit departemen memiliki tugas dan fungsi yang berbeda
dalam menjalankan kegiatannya. Kegiatan administrasi dilakukan pada
bagian kantor sedangkan kegiatan produksi dilakukan pada bagian

plant. Para pekerja baik di kantor maupun plant memiliki tingkat


paparan sumber stress yang berbeda. Berdasarkan hasil observasi dan
identifikasi bahaya di lapangan, perbedaan lokasi kerja membuat
paparan bahaya dan risiko lingkungan fisik yang diterima oleh para
pekerja pun berbedadi setiap lokasi pekerjaan terutama paparan bising
dan debu yang memiliki intensitas paparan cukup tinggi. Hal demikian
juga dialami oleh perusahaan pemintalan kapas tersebut bahwa 20
tenaga kerja yang sakit, diantaranya 12 orang dari bagian pabrik, 5
orang dari bagian gudang dan 3 orang dari bagian penjaminan mutu.
Lokasi produksi dari pemintalan kapas lebih beresiko terkena bissinosis
karena lebih sering terkena paparan debu kapas dengan intensitas yang
tinggi dibandingkan dengan bagian perusahaan lainnya.
Akibat dari faktor faktor pencetus tersebut inilah yang
menyebabkan terjangkitnya penyakit paru akibat kerja, yaitu bissinosis
pada 20 tenaga kerja di perusahaan pemintalan kapas tersebut. Dampak
dari masalah kesehatan tersebut mengakibatkan peningkatan absensi
perusahaan meningkat 10%.
Menurut klasifikasi yang diterapkan oleh Departemen Sumber
Daya Manusia (Human Resources Department) membagi frekuensi
absensi setiap bulannya ke dalam 3 kategori, yaitu :
1. Jika frekuensi absensi lebih dari 10 % dalam kurung waktu 3 bulan,
maka dinyatakan frequent absent employee sering bolos
2. Jika frekuensi absensi 5 - 10%, maka dinyatakan rare absent
employee jarang bolos
3. Jika frekuensi absensi kurang dari 5%, maka dinyatakan frequent
present employee rajin masuk
Dari panduan frekuensi absenteeism tersebut, dapat dinilai
bahwa perusahaan pemintalan benang mempunyai tenaga kerja yang
sering bolos akibat bissinosis.

Ketersediaan APD

Pendidikan

Kepatuhan
memakai APD

Pemakaian APD

Debu Kapas

Ventilasi

B. Pembahasan
1. Mengatasi peningkatan absensi pada perusahaan pemintalan
benang
Sesuai dengan definisi dari kesehatan dan keselamatan kerja
tujuan diselenggarakannya kesehatan dan keselamatan kerja adalah
agar tercapainya tingkat kesehatan yang optimal dari tenanga kerja,
terciptanya lingkungan kerja yang nyaman dan aman bagi tenanga
kerja dan masyarakat di sekitar tempat kerja melalui upaya
promotif, preventif, kuratif dan rehabilatatif sehingga dapat tercapai
produktifitas yang optimal, dalam hal ini dapat menurunkan angka
absensi tenaga kerja.
Untuk

melindungi

keselamatan

pekerja/buruh

guna

mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan


upaya keselamatan dan kesehatan kerja, maka perusahaan harus

mempersiapkan sarana dan prasarana sebagai upaya pencegahan


kecelakaan kerja dan program-program yang dapat mengurangi
angka kecelakaan kerja di perusahaan, dalam hal ini penyakit akibat
kerja.
Peningkatan absensi pada perusahaan ini menyebabkan
penurunan angka produksi yang disebabkan oleh tidak adanya
penerapan sistem manajemen kesehatan dan keselamatan dari
perusahaan ini. Selain dari sistem manajemen yang buruk,
didapatkan kelalaian dari tenaga kerja yang tidak menggunakan alat
pelindung diri dengan alasan ketidaknyamanan. Oleh karena itu,
para tenaga kerja pada perusahaan pemintalan benang diharuskan
untuk menggunakan alat pelindung diri, berupa masker guna
mencegah terjadinya sakit, sehingga dapat menurunkan angka
absenteeism di perusahaan tersebut.
2. Penanggulangan absenteeism
a. Terhadap penderita
Menurut OSHA atau Occupational Safety and Health
Administration, personal protective equipment atau alat
pelindung diri (APD) didefinisikan sebagai alat yang digunakan
untuk melindungi pekerja dari luka atau penyakit yang
diakibatkan oleh adanya kontak dengan bahaya (hazards) di
tempat kerja, baik yang bersifat kimia, biologis, radiasi, fisik,
elektrik, mekanik dan lainnya. Sehingga perusahaan harus
menerapkan

sebuah

sistem

manajemen

kesehatan

dan

keselamatan kerja yang baik bagi para tenaga kerja dengan


diberikan kebijakan untuk memakai masker pada saat bekerja,
menerapkan sistem turn of duty; dimana para tenaga kerja
melakukan roling kerja (setiap hari/minggu/bulan) di beberapa
bagian, baik bagian produksi, penjaminan mutu, gudang, dll
untuk mengurangi resiko terpaparnya debu kapas. Serta
melakukan pemeriksaan kesehatan berkala untuk menurunkan

10

angka kesakitan, baik penyakit akibat kerja maupun penyakit


akibat hubungan kerja.
Bagaimanapun, beberapa faktor di atas bukanlah
pencetus terjadinya penyakit akibat kerja, namun dibutuhkan
beberapa

penanggulangan

untuk

lebih

meningkatkan

produktifitas dalam sebuah perusahaan, baik dari segi tenaga


kerjanya maupun dalam sistem adminstrasi, yaitu :
1) Perlu lebih ditingkatkan lagi kualitas kerja

dalam

mengupayakan kesehatan dan keselamatan kerja yang sudah


ada.
2) Penataan ruangan harus lebih diperhatikan menjadi lebih
baik, supaya para karyawan lebih leluasa dalam melakukan
pekerjaannya.

Bengkel

kerja

utama

industri

jika

memungkinkan dipindahkan ke tempat yang khusus


disediakan untuk kegiatan industri, setidaknya diusahakan
pembagian tempat pengolahan khusus yang bersekat dan
masing-masing disendirikan sehingga ruang gerak menjadi
luas.
3) Untuk menghindari sakit akibat kerja pekerja perlu
melakukan olahraga yang teratur, dan setidaknya banyak
bergerak dari pekerjaan yang biasa dilakukan, contoh
apabila biasanya duduk sesekali berdiri dan berjalan agar
gerakan dan posisi kerja para karyawan menjadi lebih
bervariasi dan tidak monotonis.
4) Sebaiknya untuk pembuangan atau penimbunan sementara
limbah disediakan lahan kosong tersendiri, atau setidaknya
menempatkannya dalam karung, bak, atau lubang khusus
sehingga tidak terjadi pencemaran lingkungan dan dari segi
tata ruang pun menjadi lebih luas dan enak untuk
dipandang.
5) Perusahaan (dalam hal ini industri kecil) yang belum
mendapat tempat di organisasi Pukesmas maka hendaknya

11

dimasukkan secara struktural kedalam organisasi tersebut.


Sehingga industri ini akan lebih terayomi dalam hal
pelayanan

kesehatannya

yang

paripurna

(promotif,

preventif, kuratif, dan rehabilitatif), yang dalam hal ini


ditekankan pada ruang lingkup kedokteran industrinya.
Misalnya petugas kesehatan mengunjungi tempat-tempat
industri secara rutin guna menilai kesehatan kerja di
perusahaan-perusahaan rumah tangga.

b. Pencegahan
Kesehatan dan keselamatan kerja adalah salah satu
disiplin ilmu dalam kesehatan masyarakat yang mengkhususkan
diri pada sebagian kecil masyarakat yaitu tenaga kerja. Dalam
kesehatan dan keselamatan kerja ada tiga istilah yang harus
dimengerti yaitu higiene perusahaan, kesehatan kerja dan
keselamatan kerja, yang dulu dikenal dengan nama hiperkes,
namun dalam perkembangannya karena higiene merupakan
salah satu ilmu kesehatan maka hiperkes kini dikenal dengan K3
(Kesehatan dan Keselamatan kerja).
Menurut Danggur Konradus (2006) mengatakan bahwa
pelaksanaan

program

keselamatan

dan

kesehatan

kerja

merupakan salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat


kerja yang aman, bebas dari kecelakaan kerja (zero accident)
dan tidak terjadi gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga,
masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Kesehatan kerja merupakan spesialisasi dalam Ilmu
Kesehatan/Kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan agar
para pekerja atau masyarakat pekerja memperoleh derajat

12

kesehatan setingi-tingginya, baik fisik, mental, maupun sosial,


dengan usaha-usaha preventif dan kuratif terhadap penyakitpenyakit/gangguan-gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh
faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja, serta terhadap
penyakit-penyakit umum (Sumakmur, 1981).
Pada perusahaan pemintalan benang dapat dilakukan
upaya-upaya dalam mencegah bissinosis, yaitu :
1) Pemeliharaan rumah tangga yang baik di perusahaan tekstil
sehingga debu kapas sangat sedikit di udara.
2) Pembersihan mesin carding sebaiknya dengan pompa
hampa udara.
3) Membersihkan lantai dengan sapu tidak baik.
4) Ventilasi umum dengan sistim hisap.
5) Pemeriksaan kesehatan pekerja sebelum bekerja dan
pemeriksaan kesehatan secara berkala.
6) Rotasi pekerja yang telah terpapar debu kapas ke tempat
yang tidak berbahaya.

13

BAB III
RENCANA PROGRAM
A. Dasar Hukum
Kesehatan dan keselamatan kerja saat ini merupakan fokus
perhatian

pemerintah sejak dikeluarkannya UU no. 1/1970 yang

merupakan cikal bakal semua peraturan berkaitan dengan Kesehatan


dan Keselamatan Kerja (K3).
Banyak peraturan dan undang-undang yang berkaitan dengan
K3 yang telah dikeluarkan oleh pemerintah; dimana dalam UU
no.1/1970 pasal 1 menjelaskan bahwa tempat kerja ialah tiap ruangan
atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana
tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk
keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumbersumber bahaya sebagaimana diperinci dalam pasal 2 yang menegaskan
ruang lingkup bahwa yang diatur oleh undang-undang ini ialah
keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di darat, di dalam
tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara, yang berada
dalam wilayah kekuasaan hokum Republik Indonesia. Dan berdasarkan
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Pasal 86 Ayat 1 dan 2 yang
menyatakan Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas: keselamatan dan kesehatan kerja; moral dan

14

kesusilaan; dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat


manusia serta nilai-nilai agama.
Perusahaan pemintalan benang tersebut mengalami masalah
yaitu peningkatan absensi sebesar 10%, dikarenakan oleh penyakit
akibat kerja yang, khususnya bissinosis, maka para tenaga kerja
diharuskan untuk menggunakan APD, yang diatur dalam perundangundangan yang mengatur mengenai (APD), antara lain :
1) Undang-undang No. 01 Tahun 1970 tentang Keselamatan
Kerja
a) Pasal 3 ayat 1 sub (f)
Dengan peraturan perundang-undangan diatur kewajiban atau
hak tenaga kerja untuk memakai alat pelindung diri yang
diwajibkan.
b) Pasal 9 ayat 1 sub (b)
Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap
tenaga kerja baru tentang: semua pengaman dan alat-alat
perlindungan yang diharuskan dalam tempat kerja.
c) Pasal 12 sub (c)
Dengan peraturan perundang-undangan diatur kewajiban dan
hak tenaga kerja untuk memakai alat perlindungan diri yang
diwajibkan.
d) Pasal 12 sub (e)
Dengan peraturan perundang-undangan diatur kewajiban dan
atau hak tenaga kerja untuk menyatakan keberatan kerja pada
pekerjaan dimana syarat Kesehatan dan Keselamatan Kerja
serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan
olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh
pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggung
jawabkan
e) Pasal 13

15

Barang siapa akan memasuki sesuatu tempat kerja, diwajibkan


menaati semua petunjuk kesehatan kerja dan memakai alat-alat
perlindungan diri yang diwajibkan.
f) Pasal 14 sub (c)
Menyediakan secara cuma-cuma semua alat pelindung diri
yang diwajibkan pada tenaga kerja berada di bawah
pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang
memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjukpetunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas
atau ahli-ahli keselamatan kerja.
2) Permenakertrans No. PER-01/MEN/1981 tentang Kewajiban
Melaporkan Penyakit Akibat Kerja :
a) Pasal 4 ayat 3
Kewajiban pengurus menyediakan secara cuma-cuma Alat
Pelindung Diri yang diwajibkan penggunaannya bagi tenaga
kerja yang berada dibawah pimpinannya untuk pencegahan
penyakit akibat kerja.
b) Pasal 5 ayat 2
Tenaga kerja harus memakai alat-alat pelindung diri yang
diwajibkan untuk pencegahan penyakit akibat kerja.
B. Kebijakan Perusahaan
Menurut Dainur, kesehatan kerja adalah upaya perusahaan untuk
mempersiapkan, memelihara serta tindakan lainnya dalam rangka
pengadaan serta penggunaan tenaga kerja dengan kesehatan baik fisik,
mental maupun sosial yang maksimal, sehingga dapat berproduksi
secara

maksimal

pula

(Dainur,1992).

Sedangkan

definisi

lain

menyatakan bahwa kesehatan kerja merupakan aplikasi kesehatan


masyarakat di dalam suatu tempat (perusahaan, pabrik, kantor, dan
sebagainya) dan menjadi pasien dari kesehatan kerja ialah masyarakat
pekerja dengan masyarakat di sekitar perusahaan tersebut. Apabila
didalam kesehatan masyarakat ciri pokoknya adalah upaya preventif
(pencegahan penyakit) dan promotif (peningkatan kesehatan), maka

16

dalam kesehatan kerja, kedua hal tersebut menjadi ciri pokok


(Notoatmojo, 1997).
Selain paya-upaya pencegahan dalam keselamatan kerja dengan
menggunakan APD, adapun upaya lain untuk mencegah bahaya bagi
kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, yaitu :
1. Elimination,

merupakan

upaya

menghilangkan

bahaya

dari

sumbernya.
2. Reduction, mengupayakan agar tingkat bahaya bisa dikurangi.
3. Engineering control, artinya bahaya diisolasi agar tidak kontak
dengan pekerja.
4. Administrative control, artinya bahaya dikendalikan dengan
menerapkan

instruksi

kerja

atau

penjadualan

kerja

untuk

mengurangi paparan terhadap bahaya.


5. Personal protective equipment, artinya pekerja dilindungi dari
bahaya dengan menggunakan alat pelindung diri.
C. Jaminan Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Adapun pelaksanaan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan di
Indonesia; sebagai jaminan kesehatan bagi para tenaga kerja yang
mendapat penyakit akibat kerja, secara umum meliputi penyelengaraan
program-program

Jamsostek,

Taspen,

Askes,

dan

Asabri.

Penyelengaraan program Jamsostek didasarkan pada UU No 3 Tahun


1992, program Taspen didasarkan pada PP No 25 Tahun 1981, program
Askes didasarkan pada PP No 69 Tahun 1991, program Asabri
didasarkan pada PP No 67 Tahun 1991, sedangkan program Pensiun
didasarkan pada UU No 6 Tahun 1966. Penyelenggaraan jaminan sosial
di Indonesia berbasis kepesertaan, yang dapat dibedakan atas
kepesertaan pekerja sektor swasta, pegawai negeri sipil (PNS), dan
anggota TNI/Polri.

D. Rencana Program

17

No Kegiata

Sasaran

Target

Vol.

Rincian

Lokasi

Tenag

kegiata

pelaksanaan

pelaksanaan

n
1.

Penyulu Para
han

100%

1 hari

pekerja dari
di pabrik Jml
sasaran

Jadwal Kebutuha

n
pelaksana

pelaks
Pemberian

Ruang

ana
Dokte

materi

pertemuan

(penggunaa

pabrik

an
1 tahun 2x
-

Lcd
Laptop
Alat

peraga
APD

n APD
dalam
dunia kerja)

2.

Pengawa Kader
san

100%

1 hari

Evaluasi

Ruang

Dokte

Tiap

kesehata dari
jml
n
sasaran
perusaha

penyerapan

pertemuan

bulan

materi

pabrik

an

kader

terhadap
kesehatan
perusahaan

Lcd
- La

op

18

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari pembahasan masalah yang telah dibahas diambil beberapa
kesimpulan, yaitu :
1. Meningkatkan penerapan sistem manajemen kesehatan dan
keselamatan kerja yang baik dan benar untuk optimalisasi kesehatan
tenaga kerja sehingga dapat menurunkan absensi perusahaan
2. Pencengahan dengan menggunakan APD (alat pelindung diri)
seperti: memakai safety glasses, ear plung, ear muff, respirator dan
lain-lain.
3. Pencegahan yang lain dapat di lakukan dengan pemeliharaan rumah
tangga yang baik di perusahaan tekstil sehingga debu kapas sangat
sedikit di udara, pembersihan mesin carding sebaiknya dengan
pompa hampa udara, membersihkan lantai dengan sapu tidak baik,
ventilasi umum dengan sistim hisap, pemeriksaan kesehatan pekerja
sebelum bekerja dan pemeriksaan kesehatan secara berkala, rotasi
pekerja yang telah terpapar debu kapas ke tempat yang tidak
berbahaya.
B. Saran
1. Memutuskan jenis alat pelindung diri yang harus kita gunakan,
lakukan terlebih dahulu hazard identification (identifikasi bahaya).
2. Tinjau ulang setiap aspek dari pekerjaan, agar potensi bahaya bisa
kita identifikasi.
3. Perlu penegakan disiplin karyawan terhadap pemakaian alat
pelindung diri terutama masker dan sumbat telinga.
4. Perlu adanya penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan bidang
kesehatan dan keselamatan kerja, dan keterampilan para pekerja.
Dari saran-saran tersebut diharapkan dapat menurunkan angka
absensi yang terjadi di perusahaan tersebut, sehingga produktifitas
produksi dapat ditingkatkan.

19

DAFTAR PUSTAKA
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Materi Pokok Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Masyarakat, 2014, Mitra Media Kreasindo, Sidoarjo, Jatim, pp.
148-153.
Direktorat

Kependudukan

Kesejahteraan

Sosial,

Dan

Pemberdayaan

Perempuan BAPPENAS, 2003. Desain Sistem Perlindungan Sosial


Terpadu.
International Labour Office (ILO), 2010. List of Occupational Diseases
(revised 2010); Occupational Safety and Health, Ed. 74, ILO, Geneva, p.7
Isa Ansori, Hubungan Antara Paparan Debu Kapas Dengan Jumlah Sel
Eosinofil Darah dan Perubahan Faal Paru pada Pekerja Pabrik
Pemintalan Kapas, Universitas Airlangga, pp.1-2.

20

Jamsos.com

Indonesia,

2015.

Manfaat

Program

http://www.jamsosindonesia.com/prasjsn/jamsostek/manfaat,

Jamsostek,
12

Maret

2015, 10:00 WIB.


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014. 1 Orang Pekerja di Dunia
Meninggal Setiap 15 Detik Karena Kecelakaan Kerja, Jakarta 28 Oktober
2014.
Mauliku, E. Novie, Hubungan Antara Lama Kerja dan Pemakaian Alat
Pelindung Diri (Masker) dengan Kapasitas Vital Paksa Paru Tenaga Kerja
pada Unit Spinning PT. Vonex Indonesia, Jurnal Kesehatan Kartika,
LPPM, pp. 70-72.
Setiowati, S. D., 2010. Penerapan Penggunaan Alat Pelindung Diri Terhadap
Tenaga Kerja di PT. Bayer Indonesia Bayer Corpscience, Program
Diploma III Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta, pp.31-33.
Taufik Ismail, Hubungan Antara Lama Kerja dan Pemakaian Alat Pelindung
Diri (Masker) dengan Kapasitas Vital Paksa Paru Tenaga Kerja pada
Unit

Weaving

PT.

Inti

Corpora

Semarang,

Skripsi-2001.

http://www.fkm.undip.ac.id/data/index.php?action=4&idx=1449
Qomariyah N. and Sucahyo G., 2014. Employees Attendance Patterns
Prediction using Classification Algorithm;Case Study: A Private Company
in Indonesia, Vol. 1, IJCCIE, pp. 68-69.
World Health Organization, 1999. International Statistical Classification of
Diseases and Related Health Problems (ICD-10), Protection of the Human
Environment Occupational and Environmental Health Series, Geneva.

21

Anda mungkin juga menyukai