PENDAHULUAN
Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya infiltrasi
seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler.1 Proses peradangan ini terjadi karena adanya
proses imunologis, atau karena suatu infeksi. Trauma lokal juga dapat mencetuskan proses
peradangan tersebut. Skleritis sering berasosiasi dengan suatu infeksi sistemik ada suatu penyakit
autoimun.
Skleritis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Insidensi di Amerika Serikat
diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi penduduk. Dari kasus skleritis yang ditemukan, sekitar
94 % merupakan skleritis anterior dan sisanya ialah skleritis posterior.11 Skleritis lebih sering
dijumpai pada wanita, pada umumnya sekitar umur 20-60 tahun. Hampir separuh dari kasus
skleritis terjadi secara bilateral.2
Adapun gejala-gejala umum yang biasa terjadi pada skleritis yaitu rasa nyeri berat yang
dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Rasa nyeri ini terkadang dapat membangunkan dari tidur
akibat sakitnya yang sering kambuh. Pergerakan bola mata dan penekanan pada bulbus okuli
juga dapat memperparah rasa nyeri tersebut. Rasa nyeri yang berat pada skleritis dapat dibedakan
dari rasa nyeri ringan yang terjadi pada episkleritis yang lebih sering dideskripsikan pasien
sebagai sensasi benda asing di dalam mata.3 Selain itu terdapat pula mata merah berair, fotofobia,
dan penurunan tajam penglihatan.
Terapi inisial untuk skleritis adalah dengan pemberian NSAIDs. Bisa diberikan
Indometasin 75 mg setiap hari atau Ibuprofen 600 mg setiap hari. Kebanyakan kasus
menunjukkan penurunan rasa sakit yang bermakna dengan pemberian NSAIDs ini. Apabila terapi
ini tidak menunjukkan respon yang baik selama 1-2 minggu, dapat diberikan Prednison oral 0,51,5 mg/kg/hari. Pada kasus yang berat terkadang diperlukan Metilprednisolon 1 gram intravena.
Apabila mikroorganisme penyebab telah teridentifikasi, maka sebaiknya diberikan antibiotik
spesifik.
Page 1
Pada referat ini akan dipaparkan sebuah tinjauan pustaka mengenai skleritis.
Pembahasannya akan meliputi anatomi dan fisiologi sklera, epidemiologi dan klasifikasi
skleritis, patogenesis, diagnosis, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan pada skleritis.
Page 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi dan Fisiologi Sklera
A.
ANATOMI SKLERA
Sklera yang juga dikenal sebagai bagian putih bola mata, merupakan kelanjutan dari
kornea. Sklera berwarna putih buram dan tidak tembus cahaya, kecuali di bagian depan bersifat
transparan yang disebut kornea. Sklera merupakan dinding bola mata yang paling keras dengan
jaringan pengikat yang tebal, yang tersusun oleh serat kolagen, jaringan fibrosa dan proteoglikan
dengan berbagai ukuran. Pada anak-anak, sklera lebih tipis dan menunjukkan sejumlah pigmen,
yang tampak sebagai warna biru. Sedangkan pada dewasa karena terdapatnya deposit lemak,
sklera tampak sebagai garis kuning.3
Gambar 1. Anatomi Mata
Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan berakhir pada kanalis
optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot ekstraokular disisipkan ke dalam sklera. Jaringan
sklera menerima rangsangan sensoris dari nervus siliaris posterior. Sklera merupakan organ tanpa
vaskularisasi, menerima rangsangan tersebut dari jaringan pembuluh darah yang berdekatan.
Pleksus koroidalis terdapat di bawah sklera dan pleksus episkleral di atasnya. Episklera
mempunyai dua cabang, yang pertama pada permukaan dimana pembuluh darah tersusun
melingkar, dan yang satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat pembuluh darah yang melekat
pada sklera.3
Page 3
Sklera membentuk 5/6 bagian dari pembungkus jaringan pengikat pada bola mata
posterior. Sklera kemudian dilanjutkan oleh duramater dan kornea, untuk menentukan bentuk
bola mata, penahan terhadap tekanan dari luar dan menyediakan kebutuhan bagi penempatan
otot-otot ekstra okular. Sklera ditembus oleh banyak saraf dan pembuluh darah yang melewati
foramen skleralis posterior. Pada cakram optikus, 2/3 bagian sklera berlanjut menjadi sarung
dural, sedangkan 1/3 lainnya berlanjut dengan beberapa jaringan koroidalis yang membentuk
suatu penampang yakni lamina kribrosa yang melewati nervus optikus yang keluar melalui serat
optikus atau fasikulus. Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm pada kutub posterior hingga
0,3 mm pada penyisipan muskulus rektus atau akuator.3,4
Gambar 2. Sklera
Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan merupakan tempat
meletaknya kornea pada sklera.
Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu keluar nervus
optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang terdiri dari sejumlah membran
seperti saringan yang tersusun transversal melintas foramen sklerasis posterior. Serabut
saraf optikus lewat lubang ini untuk menuju ke otak.
Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan berkas-berkas
jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai tebal 10-16 m dan lebar 100140 m, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan endotelium. Struktur histologis sklera sangat
mirip dengan struktur kornea.
B.
FISIOLOGI
Page 4
II. Skleritis
2.1. Definisi Skleritis
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh
destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis.1
2.2. Epidemiologi
Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat insidensi kejadian
diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien yang ditemukan, didapatkan 94%
adalah skleritis anterior, sedangkan 6%nya adalah skleritis posterior. Di Indonesia belum ada
penelitian mengenai penyakit ini. Penyakit ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset
perlahan atau mendadak, dan dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan. 2 Peningkatan
insiden skleritis tidak bergantung pada geografi maupun ras. Wanita lebih banyak terkena
daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden skleritis terutama terjadi antara 11-87 tahun,
dengan usia rata-rata 52 tahun.2
2.3. Etiologi Skleritis7,8
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skleritis murni diperantarai oleh proses imunologi yakni
terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan tipe III (kompleks imun) dan
disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus, mungkin terjadi invasi mikroba langsung,
dan pada sejumlah kasus proses imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-proses
lokal, misalnya bedah katarak dan operasi pterigium.1
Page 5
2. 4. Patofisiologi Skleritis
Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar 50 persen kasus)
berhubungan dengan penyakit sistemik. Penyakit tersering yang menyebabkan skleritis antara
lain adalah rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis, systemic lupus erythematosus,
polyarteritis nodosa, Wegener's granulomatosis, herpes zoster virus, gout dan sifilis.7
Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah gejala utama
dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan regulasi autoimun pada pasien
yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi penyebab terjadinya skleritis. Faktor pencetus
dapat berupa organisme menular, bahan endogen, atau trauma. Proses peradangan dapat
disebabkan oleh kompleks imun yang mengakibatkan kerusakan vaskular (hipersensitivitas tipe
III) ataupun respon granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).9,10
Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari antibody IgG
dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi lokal (reaksi Arthus) dan reaksi
sistemik. Reaksi lokal dapat diperagakan dengan menginjeksi secara subkutan larutan antigen
kepada penjamu yang memiliki titer IgG yang signifikan. Karena FcgammaRIII adalah reseptor
dengan daya ikat rendah dan juga karena ambang batas aktivasi melalui reseptor ini lebih tinggi
Page 6
dari pada untuk reseptor IgE, reaksi hipersensitivitas lebih lama dibandingkan dengan tipe I,
secara umum memakan waktu maksimal 4 8 jam dan bersifat lebih menyeluruh. Reaksi
sistemik terjadi dengan adanya antigen dalam sirkulasi yang mengakibatkan pembentukan
kompleks antigen antibodi yang dapat larut dalam sirkulasi. Patologi utama dikarenakan
deposisi kompleks yang ditingkatkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan
oleh pengaktivasian dari sel mast melalui FcgammaRIII. Kompleks imun yang terdeposisi
menyebabkan netrofil mengeluarkan isi granul dan membuat kerusakan pada endotelium dan
membran basement sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada bermacam macam
lokasi seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering dari hipersensitivitas tipe III adalah
komplikasi post infeksi seperti arthritis dan glomerulonefritis.11
Hipersensitivitas tipe IV adalah satu satunya reaksi hipersensitivitas yang disebabkan
oleh sel T spesifik antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut juga hipersensitivitas tipe lambat.
Hipersensitivitas tipe lambat terjadi saat sel jaringan dendritik telah mengangkat antigen lalu
memprosesnya dan menunjukkan pecahan peptida yang sesuai berikatan dengan MHC kelas II,
kemudian mengalami kontak dengan sel TH1 yang berada dalam jaringan. Aktivasi dari sel T
tersebut, membuatnya memproduksi sitokin seperti kemokin untuk makrofag, sel T lainnya, dan
juga kepada netrofil. Konsekuensi dari hal ini adalah adanya infiltrasi seluler yang mana sel
mononuklear (sel T dan makrofag) cenderung mendominasi. Reaksi maksimal memakan waktu
48 72 jam. Contoh klasik dari hipersensitivitas tipe lambat adalah tuberkulosis. Contoh yang
paling sering adalah hipersensitivitas kontak yang diakibatkan dari pemaparan seorang individu
dengan garam metal atau bahan kimia reaktif.11
Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi sel T dan
makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis. Inflamasi dari sklera bisa
berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan menyebabkan penipisan pada sklera dan
perforasi dari bola mata.12
Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan penyakit imun sistemik
dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi pada penyakit auto imun secara umum
merupakan faktor predisposisi dari skleritis. Proses inflamasi bisa disebabkan oleh kompleks
imun yang berhubungan dengan kerusakan vaskular (reaksi hipersensitivitas tipe III dan respon
kronik granulomatous (reaksi hipersensitivitas tipe IV). Interaksi tersebut adalah bagian dari
sistem imun aktif dimana dapat menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi kompleks imun
Page 7
pada pembuluh di episklera dan sklera yang menyebabkan perforasi kapiler dan venula post
kapiler dan respon imun sel perantara.7
Adanya autoantibodi dan mediator inflamasi pada serum pasien dengan skleritis
membuktikan adanya keterlibatan sistem imun. Antibodi antipospolipid dan meningkatnya TNF
pada serum penderita skleritis pernah dilaporkan. Studi terkini melaporkan bahwa untuk pertama
kalinya muncul antibodi spesifik sklera dalam serum pasien dengan tipe skleritis non infeksius. 10
Tabel 1. Non sklera spesifik autoantibodi
Page 8
Kemunculan spesifik autoantibodi pada kornea, iris, kristalin, dan beberapa protein dari
segmen posterior seperti antigen-S dan rodopsin pernah dilaporkan, khususnya pada kejadian
uveitis idiopatik. Meskipun tidak ada literatur yang melaporkan autoantibodi pada idiopatic
skleritis. Akhir-akhir ini diperlihatkan autoantibodi secara langsung melawan dua polipeptida
yang muncul pada ekstraksi jaringan sklera ini berhubungan dan memunculkan kemungkinan
adanya proses autoimun organ spesifik.10
Sama seperti pada infiltrat radang pada rheumatoid artritis, terjadinya skleritis
memperlihatkan adanya proses infiltrat seluler oleh makrofag dan limfosit T CD-4, yang mana
biasanya tidak ditemukan pada sklera normal.10
Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera, yaitu deposisi
kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler (peradangan mikroangiopati).
Tidak seperti episkleritis, peradangan pada skleritis dapat menyebar pada bagian anterior atau
bagian posterior mata.
Faktor lain seperti trauma lokal juga dapat mencetuskan terjadinya skleritis akibat dari
operasi mata. Proses operasi mengawali terjadinya paparan antigen ke dalam mata dibawah
proses lingkungan yang meradang yang dapat mencetuskan tersensitisasinya kedua imunitas
humoral dan seluler.10
2. 5. Klasifikasi Skleritis
Skeleritis dapat di klasifikasikan menjadi skleritis anterior dan skleritis posterior:13,14
1. Skleritis Anterior
Page 9
95% penyebab skleritis adalah skleritis anterior. Insidensi skleritis anterior sebesar 40%
dan skleritis anterior nodular terjadi sekitar 45% setiap tahunnya. Skleritis nekrotik terjadi sekitar
14% yang biasanya berbahaya. Bentuk spesifik dari skleritis biasanya tidak dihubungkan dengan
penyebab penyakit khusus, walaupun penyebab klinis dan prognosis diperkirakan berasal dari
suatu inflamasi. Berbagai varian skleritis anterior kebanyakan jinak dimana tipe nodular lebih
nyeri. Tipe nekrotik lebih bahaya dan sulit diobati.
1. Difus. Bentuk ini dihubungkan dengan artritis rematoid, herpes zoster oftalmikus dan
gout. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada seluruh permukaan sklera.
Merupakan skleritis yang paling umum terjadi.
Page 10
Gambar 5. a) Nodular Anterior Scleritis. b) Penipisan dari sklera setelah resolusi dari nodul
3.
Necrotizing. Bentuk ini lebih berat dan dihubungkan sebagai komplikasi sistemik atau
komplikasi okular pada sebagian pasien. 40% menunjukkan penurunan visus. 29% pasien
dengan skleritis nekrotik meninggal dalam 5 tahun. Skleritis nekrotik yang diakibatkan
operasi biasanya dapat terjadi setelah operasi katarak, trabekulektomi, dan operasi retina.
Muncul sebagai akibat dari imflamasi pada fokal area akibat insisi sklera atau limbus.11
Bentuk skleritis nekrotik terbagi 2 yaitu:
Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans). Biasa terjadi pada pasien yang sudah
lama menderita rheumatoid arthritis. Diakibatkan oleh pembentukan nodul
rematoid dan absennya gejala. Juga dikenal sebagai skleromalasia perforans.
2. Skleritis Posterior
Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan skleritis anterior.
Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan penurunan kemampuan melihat. Dari
pemeriksaan objektif didapatkan adanya perubahan fundus, adanya perlengketan massa eksudat
di sebagian retina, perlengketan cincin koroid, massa di retina, udem nervus optikus dan udem
Page 11
makular. Inflamasi skleritis posterior yang lanjut dapat menyebabkan ruang okuli anterior
dangkal, proptosis, pergerakan ekstra ocular yang terbatas dan retraksi kelopak mata bawah.
Terdapat perataan dari bagian posterior bola mata, penebalan lapisan posterior mata (koroid dan
sklera), dan edema retrobulbar. Pada skleritis posterior dapat dijumpai penglepasan retina
eksudatif, edema makular, dan papiledema.3
Gambar 7. Skleritis
Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya penyakit sistemik,
trauma, obat-obatan atau prosedur pembedahan dapat menyebabkan skleritis seperti.2
1. Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat
2. Penyakit infeksi. Ciri-cirinya adanya nodul abses dan nekrosis, memburuk dengan terapi
kortikosteroid, dan merespon dengan terapi antibiotik sesuai kultur. Proses kembalinya
ketajaman visus biasanya baik pada beberapa kasus.
3. Penyakit miscellanous ( atopi,gout, trauma kimia, rosasea)
4. Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata
5. Obat-obatan seperti pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid dan
ibandronate.
6. Post pembedahan pada mata
7. Riwayat penyakit dahulu seperti ulserasi gaster, diabetes, penyaki hati,
8. penyakit ginjal, hipertensi dimana mempengaruhi pengobatan selanjutnya.
9. Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang berlangsung dan responnya
terhadap pengobatan.
Page 13
Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan pemeriksaan tajam
penglihatan.11
o Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun.
o
Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru paru dapat dilakukan apabila
dicurigai adanya penyakit sistemik.
Pemeriksaan Sklera10
o Pemeriksaan Daylight
Sklera tampak difus, merah kebiru biruan dan setelah beberapa peradangan,
akan terlihat daerah penipisan sklera dan menimbulkan uvea gelap.
Area berwarna hitam, abu abu, atau coklat yang dikelilingi oleh peradangan
aktif menandakan proses nekrosis. Apabila proses berlanjut, maka area tersebut
akan menjadi avaskular dan menghasilkan sequestrum berwarna putih di tengah,
dan di kelilingi oleh lingkaran berwarna hitam atau coklat gelap.
o
Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan menandai jaringan
episklera superfisial, tidak sampai bagian dalam dari jaringan episklera.
o Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi dan proptosis.
o Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis posterior. Skleritis
posterior dapat menimbulkan amelanotik koroidal.
o
c.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis. Beberapa
2.7.
Diagnosa Banding
Page 15
a.
Episkleritis
Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara konjungtiva
dan permukaan sklera.4 Episkleritis dapat merupakan suatu reaksi toksik, alergik, bagian dari
infeksi, serta dapat juga terjadi secara spontan dan idiopatik. Episkleritis umumnya
mengenai satu mata, terutama pada wanita usia pertengahan dengan riwayat penyakit
reumatik. Episkleritis sering tampak seperti skleritis. Namun, pada episkleritis proses
peradangan dan eritema hanya terjadi pada episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan
konjungtiva. Episkleritis mempunyai onset yang lebih akut dan gejala yang lebih ringan
dibandingkan dengan skleritis. Selain itu episkleritis tidak menimbulkan turunnya tajam
penglihatan.
Gambar 8. Episkleritis
Keluhan pasien episkleritis berupa mata kering, rasa nyeri ringan, dan rasa mengganjal.
Terdapat pula konjungtiva yang kemotik. Bentuk radang pada episkleritis mempunyai gambaran
benjolan setempat dengan batas tegas dan warna merah ungu di bawah konjungtiva. Bila
benjolan ini ditekan dengan kapas atau ditekan pada kelopak di atas benjolan, maka akan timbul
rasa sakit yang dapat menjalar ke sekitar mata. Terlihat mata merah satu sektor yang disebabkan
melebarnya pembuluh darah di bawah konjungtiva. Pembuluh darah episklera ini dapat mengecil
bila diberi fenilefrin 2,5% topikal. Sedangkan pada skleritis, melebarnya pembuluh darah sklera
tidak dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal.
Page 16
Gambar 9. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil dengan pemberian
fenilefrin 2,5% topikal.
Gambar 10. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan pemberian fenilefrin
2,5% topikal.
Tabel 3. Perbandingan episkleritis dengan skleritis
Page 17
2. 8. Penatalaksanaan
Pengobatan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik. Pasien yang
terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan pengobatan yang spesifik juga. 10
Penatalaksanaan skleritis dibagi menjadi pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius,
pengobatan pada skleritis yang infeksius, serta konsultasi kepada bagian terkait apabila dicurigai
ada penyakit sistemik yang menyertai.
1. Pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius. NSAIDs, kortikosteroid, atau obat
imunomodulator dapat digunakan. Pengobatan secara topikal saja tidak mencukupi.
Page 18
Pengobatan tergantung pada keparahan skleritis, respon pengobatan, efek samping, dan
penyakit penyerta lainnya.
o Diffuse scleritis atau nodular scleritis
Jika NSAIDs tidak efektif, gunakan kortikosteroid oral. Jika terjadi remisi,
dipertahankan menggunakan NSAIDs.
Jika masih gagal, dapat diberikan obat obatan imunomodulator seperti infliximab
atau adalimumab yang diharapkan dapat efektif.
o Necrotizing scleritis
Injeksi steroid periokular tidak boleh dilakukan karena dapat memperparah proses
nekrosis yang terjadi.
2. Pengobatan untuk skleritis yang infeksius. Pengobatan sistemik dengan atau tanpa
antimikrobial topikal dapat digunakan. Sementara kortikosteroid dan imunosupresif tidak
boleh digunakan.
3. Konsultasi. Dapat dilakukan kepada ahli penyakit dalam untuk penyakit penyerta, dan
konsultasi dengan spesialis hematologi atau onkologi untuk pengawasan terapi
imunosupresif.
Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi sklera atau
kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi kerusakan hebat akibat invasi
langsung mikroba, atau pada granulomatosis Wegener atau poliarteritis nodosa yang disertai
Page 19
penyulit perforasi kornea. Penipisan sklera pada skleritis yang semata-mata akibat peradangan
jarang menimbulkan perforasi kecuali apabila juga terdapat galukoma atau terjadi trauma
langsung terutama pada usaha mengambil sediaan biopsi. Pada penipisan kornea atau telah
terjadi perforasi dapat dilakukan donor sklera, fascia lata, periostioum, atau material lainnya
dapat digunakan. Lamellar patch graft dapat digunakan pada ulkus kornea yang berat atau
keratolisis.7,11,12
Tandur sklera pernah digunakan sebagai tindakan profilaktik dalam terapi skleritis, tetapi
tandur semacam itu tidak jarang mencair kecuali apabila juga disertai pemberian kemoterapi.11
Tabel 4. Penatalaksanaan skleritis
Page 20
Page 21
2.9.
Komplikasi
Penyulit sleritis adalah keratitis, uveitis, glaukoma, granuloma subretina, ablasio retina
Page 22
disertai oleh penurunan penglihatan akibat edema makula. Dapat terjadi glaukoma sudut terbuka
dan tertutup. Juga dapat terjadi glaukoma akibat steroid.1,8
Skleritis biasanya disertai dengan peradangan di daerah sekitarnya seperti uveitis atau
keratitis sklerotikan. Pada skleritis akibat terjadinya nekrosis sklera atau skleromalasia maka
dapat terjadi perforasi pada sklera. Penyulit pada kornea dapat dalam bentuk keratitis
sklerotikan, dimana terjadi kekeruhan kornea akibat peradangan sklera terdekat. Bentuk keratitis
sklerotikan adalah segitiga yang terletak dekat skleritis yang sedang meradang. Hal ini terjadi
akibat gangguan susunan serat kolagen stroma. Pada keadaan ini tidak pernah terjadi
neovaskularisasi ke dalam stroma kornea. Proses penyembuhan kornea yaitu berupa menjadi
jernihnya kornea yang dimulai dari bagian sentral. Sering bagian sentral kornea tidak terlihat
pada keratitis sklerotikan.3,8
2.10. Prognosis
Prognosis
skleritis
tergantung
pada
penyakit
penyebabnya.
Skleritis
pada
spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana termasuk tipe
skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata. Skleritis pada penyakit Wagener
adalah penyakit berat yang dapat menyebabkan buta permanen dimana termasuk tipe skleritis
nekrotik dengan komplikasi pada mata. Skleritis pada rematoid artritis atau polikondritis adalah
tipe skleritis difus, nodular atau nekrotik dengan atau tanpa komplikasi pada mata. Skleritis pada
penyakit sistemik selalu lebih jinak daripada skleritis dengan penyakit infeksi atau autoimun.
Pada kasus skleritis idiopatik dapat ringan, durasi yang pendek, dan lebih respon terhadap tetes
mata steroid. Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe yang paling destruktif dan skleritis dengan
penipisan sklera yang luas atau yang telah mengalami perforasi mempunyai prognosis yang lebih
buruk.
Page 23
BAB III
PENUTUP
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh
destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis.
Skleritis disebabkan oleh berbagai macam penyakit baik penyakit autoimun ataupun penyakit
sistemik, infeksi, trauma dan idiopatik. Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi episkleritis,
skleritis anterior dan skleritis posterior. Gejala-gejala pada skleritis dapat meliputi rasa nyeri,
mata berair, fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman penglihatan. Terapi skleritis meliputi
terapi medikamentosa dan pembedahan. Komplikasi berupa keratitis, uveitis, galukoma,
granuloma subretina, ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Prognosis
skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya.
Page 24