Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Reaksi kimia merupakan suatu proses perubahan kimiawi yang akan
menghasilkan satu atau lebih produk. Umumnya, reaksi kimia melibatkan
pergerakan elektron dalam pembentukan dan pemutusan ikatan kimia. Reaksi kimia
umumnya terbagi atas dua yaitu reaksi asam-basa dan reaksi redoks. Ilmu yang
menyangkut kesetaraan massa antara zat yang terlibat dalam reaksi kimia disebut
dengan stoikiometri. Stoikiometri reaksi dalam larutan sama dengan stoikiometri
pada umumnya, yaitu bahwa perbandingan mol zat-zat yang terlibat dalam reaksi
sama dengan koefisien reaksinya.
Stoikiometri reaksi dalam proses analisa volumetri salah satu contohnya,
dimana data hasil titrasi dapat digunakan untuk menghitung konsentrasi suatu
senyawa yang terlibat dalam proses itu, yaitu dengan menggunakan titrasi
permanganometri. Titrasi permanganometri ini umumnya menggunakan kalium
permanganat sebagai titrannya. Bahan yang dianalisis dapat berupa logam dan besi.
Kebanyakan logam itu tersusun rapat, selama atom masih mempunyai
kecenderungan lemah terhadap kovalensinya, maka akan mempunyai karakter yang
lemah terhadap ikatannya dan memperoleh bilangan yang maksimal akibatnya logam
mempunyai kerapatan yang tinggi. Contohnya logam tembaga yang secara teoritis
Cu+ dan Cu2+ merupakan dua spesies yang dapat dihasilkan dari reaksi logam
tembaga dalam percobaan kali ini. Mengetahui harga potensial elektroda standar

untuk setiap spesiespun dapat diperkirakan spesies yang kemungkinan lebih tinggi
untuk terbentuk dalam reaksi dua spesies itu.
Garam besi (III) juga lebih stabil daripada garam besi (II), yang didalam
larutannya terdapat kation-kation Fe3+ berwarna kuning muda. Zat-zat pereduksi
mengubah ion besi (III) menjadi besi (II), begitu pula Ion besi (II) dapat mudah
dioksidasikan menjadi besi (III). Berdasarkan latar belakang ini maka akan dilakukan
percobaan dengan judul Stoikiometri Reaksi antara Logam Cu dengan Larutan
Garam Fe(III) secara Permanganometri.
1.2 Tujuan Percobaan
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mempelajari stoikiometri reaksi
antara logam Cu dengan larutan garam Fe(III) yang dianalisis secara
permanganometri serta mengetahui komposisi ion Cu yang dihasilkan.
1.3 Manfaat Percobaan
Manfaat dari percobaan ini adalah untuk mengetahui stoikiometri reaksi
antara logam Cu dengan larutan garam Fe(III) yang dianalisis secara
permanganometri serta mengetahui komposisi ion Cu yang dihasilkan.
1.4 Prinsip Percobaan
Prinsip dari percobaan ini adalah mempelajari stoikiometri reaksi antara
logam Cu dengan larutan garam Fe(III) yang dianalisis secara permanganometri serta
mengetahui komposisi ion Cu yang dihasilkan berdasarkan harga perbandingan
jumlah mol antara ion Fe(III) yang bereaksi dengan logam Cu yang terpakai.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stoikiometri
Ilmu kimia sebagian besar dibangun oleh konsep-konsep abstrak. Konsep
yang diperlukan dalam mempelajari kimia salah satunya adalah konsep stoikiometri
termasuk di dalamnya konsep persamaan reaksi, konsep ini merupakan jembatan
untuk mempelajari seluruh konsep kimia. Stoikiometri merupakan kajian tentang
hubungan-hubungan kuantitatif dalam reaksi kimia. Reaksi kimia adalah suatu proses
dimana zat-zat baru yaitu hasil reaksi, terbentuk dari beberapa zat aslinya yang
disebut pereaksi, biasanya suatu reaksi kimia disertai oleh kejadian-kejadian fisis,
seperti perubahan warna, pembentukan endapan, atau timbulnya gas. Materi ini
mencakup persamaan reaksi sederhana, penerapan hukum kekekalan massa pada
persamaan reaksi, hukum Gay Lussac, hukum Avogadro, dan perhitungan kimia.
Persamaan kimia (chemical equation) menggunakan lambang kimia untuk
menunjukkan apa yang terjadi saat reaksi berlangsung. Persamaan kimia harus setara
dan mengikuti hukum kekekalan massa. Jumlah atom tiap jenis unsur dalam reaktan
dan produk harus sama (Winarni dkk, 2013).
Aspek kuantitatif perubahan kimia, yakni stoikiometri reaksi kimia.
Stoikiometri yang menangani aspek kuantitatif reaksi kimia menjadi metodologi
dasar kimia. Hukum fundamental kimia, dari hukum kekekalan massa, hukum
perbandingan tetap sampai hukum reaksi gas semua didasarkan stoikiometri. Hukum-

hukum fundamental ini merupakan dasar teori atom, dan secara konsisten dijelaskan
dengan teori atom yang dikemukakan oleh Lavoisier (Takeuchi, 2006).
2.2 Logam Tembaga
Stokiometri senyawa kompleks [Cu(II)-2-feniletilamin] ditentukan melalui
metode variasi kontinu. Ion Cu2+ dengan konfigurasi elektron valensi 3d9 4s0
berinteraksi dengan ligan 2-feniletilamin, maka akan menghasilkan hibridisasi d2sp.
Tembaga (II) sebagai atom pusat akan mengikat dua gugus amino dan dua gugus
hidroksil melalui ikatan koordinasi terhadap atom pusat sehingga membentuk
struktur senyawa kompleks square planar.
NH2

Gambar 2.1 Struktur ligan 2-feniletilamin


Gugus amina dapat berikatan hidrogen dengan molekul air pada senyawa. Ikatan
kovalen koordinasi dan ikatan hidrogen pada senyawa kompleks dapat membentuk
interaksi antar lapisan. Dengan demikian, pembentukan senyawa kompleks [Cu(II)2-feniletilamin] diharapkan dapat meningkatkan interaksi sehingga diperoleh sifat
feromagnetik (Swastika dan Martak, 2012)
Tembaga (II) dengan ligan yang mengandung atom nitrogen dapat
membentuk kompleks dengan struktur yang bermacam-macam. Contoh struktur
koordinasi empat (planar segiempat) adalah kompleks tembaga (II) dengan ptoluensulfonamid-2-(2-fenil) piridin, struktur koordinasi enam (oktahedral) kompleks
tembaga (II) dengan 2-(p-metoksifenil)-9-(5-metilpiridin-2-il)-1-10-fenantrolin,

struktur koordinasi lima (piramid segiempat) adalah kompleks tembaga (II) dengan
benzolamid dan amoniak. Tembaga juga berfungsi sebagai metalloenzim pada tubuh
manusia, misalnya sistokrom C oksidase, polifenol oksidase, amino oksidase, yang
dibutuhkan untuk sistem enzim oksidatif (Rahardjo, 2003).
2.3 Garam Besi (III)
Among various important analytes, iron is the most abundant transition-metal ion.
Both Fe2+ and Fe3+ play important roles in various biological systems. Therefore,
detection of Fe2+ and Fe3+ is crucial in controlling its concentration levels in
biosphere and its direct impact on human health. The discrimination of Fe2+ from
Fe3+ is very important in order to understand the biological functions regulated by
iron, because their ferrous states are one of the important redox pairs in biological
systems. Therefore, developing sensors capable of determining both Fe2+ and Fe3+ is
very valuable and desirable (Wan dkk, 2016).
Besi adalah yang paling melimpah di antara berbagai analit penting ion logam
transisi. Kedua ion Fe2+ dan Fe3+ memainkan peran penting dalam berbagai sistem
biologis, oleh karena itu Fe2+ dan Fe3+ sangat penting dalam pengendaliannya.
Tingkat konsentrasi di biosfer tinggi sehingga berdampak langsung terhadap
kesehatan manusia. Pemilihan Fe2+ dan Fe3+ sangat penting untuk memahami fungsi
biologis yang diatur oleh zat besi, karena besi adalah salah satu pasangan redoks
yang penting dalam sistem biologis, sehingga perlu mengembangkan sensor yang
mampu menentukan Fe2+ dan Fe3+ yang sangat diinginkan (Wan dkk, 2016).
Iron (III) complexes which have been reported previously are prone to reduction
inside cells by glutathione which will increase the undesired chemical nuclease

activity. Iron (II) complexes thus pose a major advantage in this regard. The present
work stems from our interest to design nuclear targeting iron complexes as a new
class of photocytotoxic agents in visible light. The Fe(II) complexes we report here
are stable in dark and active only in the presence of light. The photocytotoxicity is
almost 10 times higher than their dark toxicity. There are only few reports on iron
(II) complexes modeling the biological activity of bleomycins (BLMs). High-spin
(S=2) iron (II) complexes having pentadentate polypyridyl ligands are known to
show cytotoxicity in dark giving (Basu dkk, 2012).
Besi (III) kompleks sangat berpengaruh terhadap penurunan glukosa dalam
sel, dan dari penurunan ini akan berdampak pada peningkatan aktivitas nuklease
yang tidak diinginkan dalam proses kimia . Besi (II) kompleks memiliki keuntungan
dalam hal ini. Banyak penelitian yang telah menargetkan kompleks besi sebagai
kelas baru agen foto sitotoksik dalam cahaya tampak. Fe(II) kompleks dalam
penelitian ini harus stabil dalam ruang gelap dan hanya aktif bila adanya cahaya.
Foto sitotoksik hampir 10 kali lebih tinggi dari toksisitas gelap besi ini. Penelitian
tentang besi (II) kompleks pemodelan aktivitas biologis (BLMs) ini hanya dilakukan
oleh sedikit peneliti. Tinggi spin besi (II) kompleks (S = 2) dimiliki ligan pentadentat
polypyridyl yang dikenal dapat menunjukkan sitotoksisitas dalam ruang gelap (Basu
dkk, 2012).
Besi terdapat dialam sebagai sulfidanya yaitu FeS atau Fe2S3, tetapi mineral
ini tidak dimanfaatkan sebagai bijih karena sisa-sisa kelumit belerang sulit
dihilangkan. Siderit, FeCO3 terdapat dalam berbagai macam tanah dan
mengakibatkan air tanah bersifat sadah. Garam ini dapat terlarut sebagai hidrogen

karbonat tetapi dalam udara terbuka larutan besi (II) hidrokarbonat teroksidasi
menjadi besi (III) oksida yang tidak larut dalam air (Sugiyarto dan Suyanti, 2010).

2.4 Titrasi Permanganometri


Permanganometri merupakan salah satu metode titrasi yang menggunakan
prinsip reaksi reduksi dan oksidasi. Metode ini merupakan suatu metode yang sering
digunakan karena permanganometri memiliki kelebihan antara lain permanganometri
merupakan oksidator kuat, tidak memerlukan indikator, mudah diperoleh dan
terjangkau. Titrasi dilakukan tanpa menggunakan indikator, karena ion permanganat
menghasilkan warna yang cukup jelas, artinya ion permanganat selain berperan
sebagai oksidator, ion permanganat juga bertindak sebagai indikator yang dapat
memberikan tanda kapan titrasi harus dihentikan. Kekurangan dari metode ini adalah
larutan ini tidak stabil dalam penyimpanan, jadi harus sering dilakukan pembakuan
(Putra dan Sugiarso, 2016).
Kalium permanganat secara luas digunakan sebagai larutan standar titrasi
permanganometri dan ia dapat bertindak sebagai indikatornya sendiri (autoindikator).
Kalium permanganat sebelum digunakan dalam proses permanganometri harus
distandarisasi terlebih dahulu. Menstandarisasi kalium permanganat dapat
dipergunakan zat reduktor seperti asam oksalat, natrium oksalat, kalium tetra oksalat,
dan lain-lain (Hamdani dkk, 2012).

BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Selasa, 25 Oktober 2016, Pukul 13.30
WITA. Bertempat di Laboratorium Jurusan Pendidikan Kimia, Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan, Universitas Halu Oleo, Kendari.
3.2 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini yaitu gelas beker 500 mL, gelas
beker 50 mL, gelas arloji, botol timbang, labu ukur 100 mL, pipet volume 25 mL,
buret 50 mL, Erlenmeyer 100 mL, filler, corong, botol semprot, dan penjepit kayu.
Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini yaitu serbuk tembaga,
larutan KMnO4 0,04 M, larutan H2SO4 2,5 M, larutan H2C2O4.2H2O, larutan Fe(III)
0,2 M, dan aquades
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Standarisasi Larutan KMnO4 0,04 M
1. Ditimbang 0,63 gram asam oksalat H2C2O4.2H2O dan dilarutkan dalam labu
ukur 100 mL, lalu diencerkan dengan aquades samapai tanda tera.
2. Diambil 5 mL larutan asam oksalat, ditempatkan dalam Erlenmeyer 100 mL,
ditambahkan 20 mL larutan H2SO4 2,5 M, lalu dititrasi dengan larutan
standar KMnO4 yang akan distandarisasi dari buret.
3. Diulangi titrasi sebanyak 2 kali dan dihitung molaritas rata-rata larutan
standar KMnO4.
3.2.2 Stoikiometri Reaksi Logam Cu dengan Garam Fe(III)
1. Ditimbang 0,2 gram serbuk logam tembaga dengan gelas beker 50 mL.

2. Disiapkan gelas beker 500 mL, diisi dengan 30 mL larutan Fe(III) 0,2 M dan
15 mL larutan H2SO4 2,5 M.
3. Dimasukkan dengan hati-hati gelas beker 50 mL beserta isinya kedalam
gelas beker yang telah berisi larutan Fe(III) 0,2 M dan larutan H2SO4 2,5 M
tersebut.
4. Ditutup gelas beker dengan gelas arloji, kemudian dididihkan hingga semua
tembaga larut sempurna, diaduk sesekali.
5. Setelah reaksi berhenti, diambil gelas beker 50 mL menggunakan penjepit
kayu.
6. Didinginkan larutan pada air dingin, kemudian dipindahkan kedalam labu
ukur 100 mL dan diencerkan sampai tanda tera.
7. Diambil sebanyak 25 mL larutan dengan pipet volume, dimasukkan ke
dalam Erlenmeyer 100 mL, kemudian logam Fe(II) yang ada dalam larutan
dititrasi dengan larutan standar KMnO4 0,04 M. Diulangi titrasi ini sebanyak
2 kali.
8. Dihitung konsentrasi Fe(II) yang dihasilkan dalam reaksi dan dihitung pula
perbandingan jumlah mol (r) dengan rumus:
r =

mmol Fe3+ yang bereaksi mmol Fe2+ hasil


=
mmol Cu yang bereaksi
mmol Cu awal

9. Dari hasil percobaan ditentukan reaksi mana yang banyak terjadi, reaksi (1)
atau (2). Dibandingkan hasil yang diperoleh dengan hasil menggunakan
harga potensial elektroda standar.
10. Dihitung pula perbandingan [Cu+]/[Cu2+] dengan rumus:
[Cu + ] 2-r
r=
=
[Cu 2+ ] r-1

10

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data Pengamatan
4.1.1 Standarisasi Larutan KMnO4 0,04 M
Hasil pengamatan dapat dilihat pada tabel 4.1
Tabel 4.1 Standarisasi Larutan KMnO4 0,04 M
Perlakuan
Pengamatan
0,63 gram H2C2O4.2H2O + aquades,
dilarutkan dalam labu takar sampai
tanda tera
5 mL H2C2O4. 2H2O + 20 mL H2SO4

Bening menjadi merah

11

2,5 M
Dititrasi dengan KMnO4 (duplo)

muda
V1 = 5,9 mL
V2 = 5,9 mL
= 5,9 mL
V

Uraian hasil pengamatan standarisasi larutan KMnO4 0,04 M pada tabel 4.1
diatas yaitu sebanyak 0,63 gram H2C2O4.2H2O ditambahkan aquades, dan dilarutkan
dalam labu takar sampai tanda tera dan dihomogenkan. Larutan yang telah dibuat
diambil sebanyak 5 mL dan ditambahkan dengan 20 mL H2SO4 2,5 M, hasilnya
warna larutan berubah dari bening menjadi merah muda. Larutan tersebut dititrasi
dengan KMnO4 secara duplo sampai titik akhir titrasi yang ditandai dengan
perubahan warna larutan dari ungu menjadi merah muda. Hasilnya diperoleh rata-rata
volume sebesar 5,9 mL.

4.1.2

Stoikiometri Reaksi Logam Cu dengan Garam Fe(III)


Hasil pengamatan dapat dilihat pada tabel 4.2
Tabel 4.2 Stoikiometri Reaksi Logam Cu dengan Garam Fe(III)
Perlakuan
Pengamatan
0,2 gram serbuk Cu
30 mL larutan Fe3+ 0,2 M + 15 mL
Kuning menjadi keruh
H2SO4 2,5 M ke dalam gelas beker
500 mL
Dimasukkan gelas beker 50 mL yang
berisi Cu kedalam gelas beker 500

Cu tidak larut sempurna

12

mL yang berisi larutan, lalu


dididihkan
Larutan didinginkan
Dipindahakan ke dalam Erlenmeyer
100 mL
Dititrasi dengan KMnO4 0,04 M
(duplo)

Bening kecoklatan

V1 = 1,4 mL
V2 = 1,7 mL
= 1,55 mL
V

Uraian hasil pengamatan stoikiometri reaksi logam Cu dengan garam Fe(III)


pada tabel 4.2 diatas yaitu 30 mL larutan Fe(III) 0,2 M ditambahkan dengan 15 mL
H2SO4 2,5 M dalam gelas beker 500 mL, hasilnya warna larutan berubah dari kuning
menjadi keruh. Serbuk Cu sebanyak 0,2 gram dimasukkan ke gelas beker yang 50
mL. Gelas tersebut beserta isinya dimasukkan dalam gelas beker 500 mL berisi
larutan yang telah dibuat sebelumnya, lalu dididihkan. Serbuk Cu tersebut tidak larut
secara sempurna, namun saat didinginkan warna larutan berubah menjadi bening
kecoklatan. Larutan tersebut dititrasi dengan KMnO4 0,04 M secara duplo sampai
titik akhir titrasi yang ditandai dengan perubahan warna larutan menjadi merah
muda. Hasilnya diperoleh rata-rata volume sebesar 1,55 mL.
4.2 Reaksi yang Terjadi

4.3 Analisis data


4.3.1 Standarisasi KMnO4
Dik:

Berat H2C2O4. 2H2O

= 0,63 gram

Mr H2C2O4. 2H2O

= 126 gram/mol

13

Mol H2C2O4. 2H2O

= 0,005 mol

Volume H2C2O4. 2H2O

= 100 mL

Volume H2C2O4. 2H2O

= 5 mL (titrasi)

[H2C2O4. 2H2O]

Berat H2 C2 O4 .2 H2 O
Mr H2 C2 O4 .2 H 2 O

1000
Vol. H 2 C2 O 4 .2 H2 O
1000

x 100

Dit:

= 0,05 M
V 1 + V2
2

Volume KMnO4

[KMnO4]baku

= ......?

Peny: [KMnO4]baku

5,9 + 5,9
2

= 5,9 mL

[ H2

C2 O4 .2 H2 O] x Vol. H 2 C2 O 4 .2 H2 O ]
Vol. K MnO4
0,05 x 5

= 5,9
4.3.2

= 0,04 M

Stoikiometri reaksi logam Cu dengan garam Fe(III)


Dik:

Berat gelas beker 50 mL

= 26,4 gram

Berat gelas beker 50 mL + serbuk Cu

= 26,69 gram

Berat serbuk Cu

= 26,69 26,4
= 0,2 gram

Volume Fe (III) 0,2 M

= 30 mL

0,63
126

14

Volume H2SO4

= 15 mL

Hasil titrasi :
Volume Fe (III)

= 25 mL

Volume KmnO4

V 1 + V2
2

1,4 + 1,7
2

= 1,55 mL
Dit:

[Fe2+], perbandingan mol (r), reaksi yang dominan, perbandingan

[ Cu + ]
[ Cu 2+ ]

dengan Estd dan

Peny:

Reaksi:
Mol MnO4-

= Volume KMnO4 x [KMnO4]baku


= 0,00155 L x 0,04 M
= 0,000062 mol

Mol Fe2+

= 5 x mol MnO4- = 5 x 0,000062 mol = 0,00031 mol

[Fe2+]

mol Fe
Volume Fe2+

Mol Cu

Berat Cu
Mr Cu

0,2
63,5

2+

0,00031 mol
0,025 L

= 0,0124 M

= 0,003 mol

Perbandingan jumlah mol (r):


2+

r =

mol Fe
mol Cu

0,00031
0,003

jadi, reaksi yang dominan adalah Cu + Fe3+

= 0,1033
Fe2+ + Cu+ (reaksi 1)

15

Perbandingan

[ Cu+ ]
[ Cu2+ ]

2-r
r-1

2 0,1033
0,1033-1

1,8967
-0,8967

= -2,1152

Perbandingan dengan Estd:


Cu

Cu+ + e

E = 0,52 V

Fe3+ + e

Fe2+

E = 0,77 V

Cu + Fe3+
Cu

Cu+ + Fe2+
Cu2+ + 2e

2Fe3+ + 2e
Cu + 2Fe3+

Fe2+

Esel = 0,25 V

(reaksi 1)

E = -0,34 V
E = 0,77 V

Cu+ + 2Fe2+ Esel = 0,43 V

(reaksi 2)

4.4 Pembahasan
Rekasi kimia terjadi karena adanya perubahan struktur, komposisi, dan energi
dari suatu zat yang bercampur atau bereaksi antara satu sama lain baik itu dalam
skala molekular maupun dalam skala atomik. Dalam suatu rekasi kimia sering kali
melibatkan perhitungan stoikiometri. Percobaan kali ini mengenai stoikiometri reaksi
antara logam Cu dengan larutan garam Fe(III) dengan menganalisis hasil reaksi
secara permanganometri. Stoikiometri membahas tentang hubungan massa
antarunsur dalam suatu senyawa (stoikiometri senyawa) dan antarzat dalam suatu
reaksi (stoikiometri reaksi).
Percobaan ini terdapat dua tahapan yaitu standarisasi larutan KMnO4, dan
stoikiometri reaksi logam Cu dengan larutan garam Fe(III). Percobaan awal adalah
dilakukannya standardisasi larutan KMnO4 dengan asam oksalat, standarisasi
diperlukan karena KMnO4 yang kemungkinan berada dalam campuran dengan

16

senyawa tingkat oksidasi Mn lainnya seperti MnO2, Mn2O3 masih berada dalam
larutan sehingga tingkat kemurniannya kurang. Kristal asam oksalat sebagai bahan
dalam pembuatan larutan standar KMnO4 yang telah diketahui secara tepat
konsentrasinya akan membantu dalam mengetahui konsentrasi KMnO4.
Larutan KMnO4 diperlakukan sebagai titran dan yang sebagai titratnya adalah
larutan asam oksalat yang telah diencerkan yang akan ditambahkan dengan asam
sulfat 2,5 M. Penambahan asam sulfat dilakukan untuk membuat larutan berada
dalam suasana asam sehingga reaksi antara KMnO4 dan asam oksalat berlangsung
seperti yang dikehendaki yaitu MnO4- tereduksi menjadi Mn2+. Titik akhir titrasi
dengan menggunakan KMnO4 atau melalui titrasi permanganometri akan ditandai
dengan timbulnya warna yang sebelumnya berwarna bening menjadi merah muda yang
disebabkan oleh kelebihan permanganat (gambar 4.1), sehingga dapat diperoleh
konsentrasi baku dari KMnO4 adalah 0,04 M.

Gambar 4.1 Standarisasi Larutan KMnO4 0,04 M sebanyak duplo


Percobaan kedua adalah stoikiometri reaksi logam Cu dengan larutan garam
Fe(III). Pada percobaan ini digunakan analisa berupa analisa kualitatif dan analisa
kuantitatif. Analisa kualitatif ini berdasarkan pada pengamatan panca indera,
misalnya bau, warna, dan suhu. Sehingga analisa kualitatif yang terjadi pada

17

percobaan ini yaitu saat mengamati perubahan warna pada proses pemanasan dan
titrasi, sedangkan analisa kuantitatif berdasarkan pada perhitungan volume rata-rata
kalium permanganat, mol tembaga, mol kalium permanganat, perbandingan jumlah
mol, dan perbandingan tembaga. Tembaga yang dilarutkan dengan H2SO4 akan
membentuk dua kemungkinan reaksi yaitu mengion menjadi tembaga monovalen Cu+
dan mengion menjadi tembaga bivalen Cu2+, sedangkan Fe(III) dari garamnya, akan
mengion dan menjadi Fe(II), dengan kata lain terjadi reaksi redoks pada logam Cu
dan garam Fe(III), dimana logam Cu mengalami oksidasi dari Cu menjadi Cu2+ dan
Fe3+ tereduksi menjadi Fe2+.
Waktu yang diperlukan dalam bereaksi akan berlangsung lama dan perlakuan
seperti pemanasan dan penambahan asam sulfat tadi diperlukan agar reaksi dapat
berlangsung. Larutan sebelum direaksikan berwarna kuning yang merupakan
karakteristik dari larutan Fe(III), setelah penambahan asam sulfat warna larutan
berubah menjadi keruh. Penambahan asam sulfat ini dilakukan untuk membuat
larutan berada dalam suasana asam sehingga reaksi berlangsung seperti yang
dikehendaki dan saat logam Cu dididihkan dengan larutan tersebut, terlihat bahwa
terjadi reaksi antara larutan garam Fe(III) dengan logam Cu, namun logam
tembaganya hanya larut sebagian dengan kata lain tidak larut secara sempurna, hal
ini terjadi karena adanya kesalahan pada suhu yang digunakan saat pemanasan.
Larutan yang telah dipanaskan kemudian didinginkan dengan air dan ditandai dengan
perubahan warna menjadi bening kecoklatan. Larutan garam Fe(II) dalam Cu,
diencerkan dan diambil sebanyak 25 mL untuk dilakukan titrasi dengan
menggunakan larutan KMnO4 yang telah distandarisasi sebelumnya, titik akhir titrasi

18

dengan menggunakan KMnO4 ditandai dengan timbulnya warna coklat tua pada
larutan (gambar 4.2).

Gambar 4.2 Titrasi Fe(II) dalam Cu dengan KMnO4 baku sebanyak duplo
Titrasi ini dilakukan untuk menentukan mol Cu awal dan mol Fe(II) hasil,
sehingga dengan mengetahui mol Cu awal dan Fe(II) hasil dapat ditentukan nilai
perbandingannya. Nilai konsentrasi Fe(II) yang diperoleh sebesar 0,0124 M, dari
hasil ini dapat di cari nilai perbandingan antara mol Fe(II) dengan mol Cu, nilai r
yang diperoleh yaitu sebesar 0,1033. Nilai rasio berkisar antara 1 sampai 2, apabila
nilai rasionya adalah 1 maka reaksi yang terjadi hanya reaksi (1) dan jika nilai
rasionya adalah 2 maka reaksi yang terjadi hanya reaksi (2), karena nilai rasionya
hampir 1 maka reaksinya terjadi pada reaksi 1. Nilai rasio ini juga dapat
menunjukkan nilai perbandingan [Cu+/Cu2+] dengan hasil -2,1152.

19

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa untuk
menentukan komposisi ion tembaga yang dihasilkan maka setelah logam Cu
direaksikan dengan larutan garam Fe(III), dilakukan titrasi dengan menggunakan
larutan KMnO4 0,04 M. Nilai konsentrasi Fe(II) yang diperoleh sebesar 0,0124 M ,
sehingga dapat di cari nilai untuk perbandingan mol Cu awal dan mol Fe(II) yang
dihasilkan dapat dihitung melalui reaksinya secara stoikiometri dengan nilai r yang
diperoleh yaitu sebesar 0,1033 . Melalui nilai tersebut, maka dapat pula diperoleh
nilai perbandingan [Cu+/Cu2+] dengan hasil -2,1152.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan yaitu bila perlu adanya analisis lanjutan mengenai
percobaan ini misalnya mengganti bahan larutan garam atau logamnya namun
dengan metode yang sama yaitu permanganometri.

20

DAFTAR PUSTAKA
Basu, U., Imran K., Debasis K., Sounik S., Paturu K., Akhil R. C, 2012. Nuclear
Targeting Terpyridine Iron(II) Complexes for Cellular Imaging and
Remarkable Photocytotoxicity. Journal of Inorganic Biochemistry. 116.
doi.org/10.1016/j.jinorgbio.
Hamdani, S., Siti U. H., Windari S., Romauli S, 2010. Modul Praktikum Kimia
Analisis. Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia. Bandung
Putra, F. A dan Djarot S. R, 2016. Perbandingan Metode Analisis Permanganometri
dan Serimetri dalam Penentuan Kadar Besi(II). Jurnal Sains dan Seni ITS.
5(1).
Rahardjo, S. B, 2003. Sintesis dan Karakterisasi Kompleks Tembaga (II) dengan
1,4,8-Tris(2-Hydroxyethyl)-11-Methyl-1,4,8,11-Tetraazacyclotetradecane.
Indonesian Journal of Chemistry. 3(2).
Sugiyarto, K. H dan Retno D. S, 2010. Kimia Anorganik Logam. Graha Ilmu.
Yogyakarta.
Swastika, L. N dan Fahimah M, 2012. Sintesis dan Sifat Magnetik Kompleks Ion
Logam Cu (II) dengan Ligan 2-Feniletilamin. Jurnal Sains Dan Seni Pomits
1(1)
Takeuchi, Y. 2006. Buku Teks Pengantar Kimia. Iwanami Shoten. Tokyo.
Wan, C., Ya-Ju C., Chih-Yu C., Yi-Wun S., Ching-Han H., An-Tai W. A New
Multifunctional Schiff Base as a Fluorescence Sensor for Fe2+ and F- Ions, and
a Colorimetric Sensor for Fe3+. Journal of Luminescence. 178.
doi.org/10.1016/j.jlumin.
Winarni, S., Ade I., dan Fitriani, 2013. Kesalahan Konsep Materi Stoikiometri yang
Dialami Siswa SMA. Jurnal Ilmiah Didaktika. 14(1). ISSN 1411 612

LAPORAN PRAKTIKUM

21

KIMIA ANORGANIK
PERCOBAAN IV
STOIKIOMETRI REAKSI ANTARA LOGAM Cu DENGAN
LARUTAN GARAM Fe(III) SECARA PERMANGANOMETRI

OLEH :
NAMA
: DINA ASTAGINA
STAMBUK
: A1C414059
KELOMPOK
: IV A
ASISTEN PEMBIMBING : ARIF RAHMAN H, S.Pd

LABORATORIUM JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016

HALAMAN PENGESAHAN

22

Laporan ini telah dikonsultasikan dan disetujui oleh asisten pembimbing


praktikum Kimia Anorganik pada Percobaan IV tentang Stoikiometri Reaksi antara
Logam Cu dengan Larutan Garam Fe3+ secara Permanganometri, pada tanggal 25
Oktober 2016, pukul 13.00-selesai, di Laboratorium Jurusan Pendidikan Kimia,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Halu Oleo.

Kendari,

Oktober 2016

Menyetujui
Asisten Pembimbing

Arif Rahman H, S.Pd

Lampiran Prosedur Kerja


1. Standarisasi larutan 0,02 M KmnO4

23

Asam oksalat
-

Ditimbang 0,63 gram


Dilarutkan dalam labu takar 100 mL,

lalu diencerkan sampai tanda tera


Larutan asam oksalat
-

Diambil 5 mL
Dimasukkan dalam Erlenmeyer 100 mL
Ditambahkan 20 mL H2SO4 2,5 M
Dititrasi dengan KMnO4
Dilakukan sebanyak 2 kali
Dihitung konsentrasi larutan KMnO4

[KMnO4] baku = 0,04 M

2. Stoikiometri reaksi logam Cu dengan garam Fe(III)


0,2 gram serbuk tembaga
-

Dimasukkan dalam gelas kimia


50 mL

Tembaga dalam gelas


kimia 50 mL

24

Dimasukkan ke dalam gelas kimia 500


mL yang berisi 30 mL larutan Fe3+ dan

15 mL asam sulfat 2,5 M


Ditutup dengan gelas arloji
Dipanaskan

Larutan
-

Didinginkan
Dimasukkan dalam labu ukur 100 mL
Diencerkan sampai tanda tera
Diambil sebanyak 25 mL

25 mL larutan tembaga

[Fe 2+] = 0,0472 M

Dititrasi degan larutan KMnO4 0,04 M


Diulangi titrasi sampai 2 kali
Dihitung [Fe2+] yang dihasilkan dalam reaksi
Dihitung perbandingan mol Cu awal dan mol

Fe2+ yang dihasilkan


Dihitung perbandingan [Cu+]/[Cu2+]

r = 0,393

Cu+]/[Cu2+] = -2,647

Anda mungkin juga menyukai