Anda di halaman 1dari 6

GAMBARAN PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID

(PARANOID SCHIZOPHRENIA)
Oleh :
Aisyah Mutia Aslam J210140004
A. DEFINISI
Skizofrenia paranoid ditandai terutama oleh adanya delusi
penganiayaan atau kemegahan dan halusinasi pendengaran yang
berkaitan dengan satu tema. individu sering tegang, curiga, dan
dijaga, dan mungkin argumentatif, bermusuhan, dan agresif.
Timbulnya gejala biasanya kemudian (mungkin di akhir 20-an atau
30-an), dan regresi kurang dari kemampuan mental, respons
emosional, dan perilaku terlihat daripada di subtipe lain skizofrenia.
kerusakan sosial mungkin minimal, dan ada beberapa bukti bahwa
prognosis, terutama yang berkaitan dengan fungsi dan kapasitas
kerja untuk hidup mandiri, menjanjikan (APA, 2000).
Skizofrenia paranoid ditandai dengan kecurigaan ekstrim lain
dan dengan delusi dan halusinasi yang bersifat persecutory atau
megah. individu sering tegang dan dijaga dan mungkin argumentatif,
bermusuhan, dan agresif.
Pilling (dalam Selvera 2013) menyatakan bahwa skizofrenia adalah suatu
kelompok gangguan psikosis yang dikarakterisasikan dengan adanya gangguan pikiran,
emosi dan tingkah laku, pikiran yang tidak terhubungkan, persepsi dan perhatian yang
keliru, hambatan dalam aktivitas motorik, emosi yang datar dan tidak sesuai, dan
kurangnya toleransi terhadap stress dalam hubungan interpersonal. Nevid (2005)
mengatakan bahwa skizofrenia tipe paranoid bercirikan fokus terhadap satu atau lebih
waham atau adanya halusinasi auditoris yang sering. Arif (2006) mengatakan bahwa ciri
utama skizofrenia paranoid adalah adanya waham yang mencolok atau halusinasi
auditorik, fungsi kognitif dan afek relative masih terjaga.
B. ETIOLOGI
FAKTOR PREDISPOSISI
1. Biologi
Skizoprenia paranoid disebabkan kelainan saraf pusat, yaitu pada
diensefalon/ perubahan-perubahan post mortem.
2. Psikologis
Menurut Carpenito (1998) klien dengan waham memproyeksikan perasaan
dasarnya dengan mencurigai. Dampak dari perubahannya salah satunya
adalah halusinasi dapat muncul dalam pikiran seseorang.karena secara nyata
mendengar, melihat fenomena itu.
3. Genetik

Hal ini dibuktikan dengan penelitian pada keluarga-keluarga yang menderita


skizofrenia.
Faktor predisposisi dari skizofrenia, pertama adalah faktor somatik atau
organobiologis. Yang termasuk diantaranya adalah Neroanatomi, Nerofisiologi,
nerokimia, tingkat kematangan dan perkembangan organic, factor pre dan perinatal.
Faktor yang kedua adalah psikoedukatif yaitu: interaksi ibu dan anak, peranan ayah,
persaingan antara saudara kandung, intelegensia, hubungan dalam keluarga, pekerjaan,
permainan, dan masyarakat, kehilangan yang menyebabkan kecemasan atau depresi,
konsep diri, keterampilan, bakat dan kreatifitas, pola adaptasi dan pembelaan sebagai
reaki terhadap bahaya, tingkat perkembangan emosi. Faktor ketiga sosiokultural
meliputi kestabilan keluarga, pola asuh anak, tingkat ekonomi, perumahan: perumahan
lawan pedesaan. (Yosep, 2007)
FAKTOR PRESIPITASI
Sedangkan stressor pencetus dapat berupa faktor biologis yang berhubungan
dengan respon neurobiologist maladaptif seperti gizi buruk, kurang tidur, irama
sirkadian tidak seimbang, keletihan, infeksi, obat system saraf pusat, kurang olahraga,
hambatan dalam mengakses pelayanan kesehatan. Faktor lingkungan juga dapat menjadi
pencetus penyakit ini yaitu lingkungan yang penuh kritik, kesukaran interpersonal,
gangguan hubungan interpersonal, isolasi social, tekanan pekerjaan, kemiskinan, dll.
Faktor sikap dan perilaku dapat menjadi pemicu juga seperti konsep diri rendah, kurang
rasa percaya diri, keterampilan social yang kurang, perilaku agresif, perilaku kekerasan,
dll. (Stuart, 2006)

C. PSIKOFISIOLOGI/PSIKONEUROLOGI
Seseorang yang dipengaruhi oleh factor predisposisi dan mendapat stressor
secara terus menerus kemudian copingnya maladaptive, dapat mengalami skizofrenia
paranoid. Pada individu dengan skizofrenia ditemukan bahwa area otak utama yang
terlibat dalam skizofrenia adalah sistem limbik, ganglia basalis, lobus frontalis. Pada
klien yang mengalami gangguan jiwa dengan gejala takut serta paranoid memiliki lesi
pada daerah Amigdala. Sistem mesolimbik berfungsi mengendalikan emosi. Pada
skizofrenia paranoid terjadi penurunan daerah amigdala, hipokampus dan girus

parahipokampus. Jika fungsi ini terganggu maka akan menimbulkan gejala skizofrenia
yaitu terjadi gangguan emosi, memori, sikap, kesadaran, proses stimulus. Kemudian
menyebabkan korteks prefrontal dan korteks limbic otak tidak berkembang dengan
sempurna. Biasanya ditemukan peningkatan volume otak yang menyebabkan
perubahannya anatomi otak yaitu pelebaran lateral ventrikel, atrofi korteks bagian
depan, dan atrofi otak kecil (Maslim, 2007) yang bisa menyebabkan disuse syndrome.
Hal tersebut menimbulkan fungsi yang abnormal dan neuro kimia yang menunjukkan
perubahan pada sistem neurotransmitter yaitu peningkatan dopaminergik.
Neurotransmitter yang berperan dalam patofisiologinya adalah DA, 5HT,
Glutamat, peptide, norepinefrin (Price, 2006). Peningkatan neurotransmitter
dopaminergic ini mungkin merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan dopamine,
terlalu banyaknya reseptor dopamine-2(D2), turunnya nilai ambang, atau hipersentivitas
reseptor dopamine, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Selain itu, terjadi juga
penurunan pada serotonin, norepinefrin, dan asam amio gamma-aminobutyric acid
(GABA) yang pada akhirnya juga mengakibatkan peningkatkan dopaminergik.
Ketidakseimbangan ini mungkin disebabkan oleh gen yaitu pengaruh lokasi kromosom
6 pada gen berkontribusi dan berhubungan dengan kromosom 4, 8, 15, dan 22 (Stuart &
Laraia, 2005) yang menyebabkan kerentanan terhadap skizofrenia.
Pada proses hiperreaktivitas system dopaminergik terjadi hiperdopaminergia
pada sistem mesolimbic(dalam lobus temporal) yang berkaitan dengan gejala positif,
dan hipodopaminergia pada sistem mesocortis dan nigrostriatal, dalam hal ini
bertanggungjawab terhadap gejala negatif dan gejala ekstrapiramidal. Reseptor
dopamine yang terlibat adalah reseptor dopamine-2(D2) yang akan dijumpai
peningkatan densitas reseptor D2 pada jaringan otak pasien skizoprenia. Peningkatan
aktivitas sistem dopaminergik pada sistem mesolimbik yang bertanggungjawab terhadap
gejala positif. Penigkatan dopamine terjadi pada sistem mesokortikal (frontal korteks)
yang berperan dalam mengatur kognisi, fungsi sosial, komunikasi, respons terhadap
stress. Sedangkan peningkatan aktivitas serotonergik akan menurunkan aktivitas
dopaminergik pada sistem mesocortis yang bertanggung-jawab terhadap gejala negatif
(Ikawati, 2009). Penurunan dopamine tersebut menyebabkan disosiasi antar lobus pada

oksipital dan parietal yang kemudian meningkatkan ambang dengar, sehingga pasien
mempresepsikan suara dalam pikiran seperti suara dari luar/ pendengaran.
D. PROSES KEPERAWATAN
No
1

Diagnosa
Risiko

NOC
1. Kecemasan dipertahankan pada

NIC
1. Menjaga rendahnya tingkat

menciderai diri

tingkat di mana klien merasa tidak

rangsangan di lingkungan klien

sendiri dan

perlu agresi.

(rendah pencahayaan, beberapa

orang lain b.d


halusinasi

2. Klien menunjukkan kepercayaan


dari orang lain di lingkungannya.
3. Klien mempertahankan orientasi
realitas.
bagi diri sendiri atau orang lain.

Isolasi sosial

kebisingan yang rendah).


2. Amati perilaku klien sering (setiap
15 menit).

4. Klien tidak menyebabkan kerugian

orang, dekorasi sederhana, tingkat

3. Jauhkan semua benda-benda


berbahaya dari lingkungan klien

1. Mampu menyesuaikan terhadap 1. Fasilitasi dukungan kepada pasien


emosi sebagai respon terhadap

oleh

keluarga

teman

dan

keadaan tertentu
komunitas
2. Mengendalikan keparahan respon 2. Dorong melakukan aktivitas sosial
emosi,

sosial

atau

eksistensi

terhadap isolasi
3. Meningkatkan hubungan

yang

dan komunitas
3. Fasilitasi
pasien
berpartisipasi

dalam

untuk
diskusi

efektif dalam perilaku pribadi


dengan group kecil
4. Mengungkapkan
penurunan 4. Kurangi stigma isolasi dengan
perasaan
diasingkan

atau

pengalaman

menghormati martabat pasien

Koping

1. Klien dapat memberitahukan

individu tidak
efektif

situasi yang sebenarnya dan

1. Mendorong beberapa staf bekerja


dengan klien agar berkembang

menahan diri terhadap lingkungan


2. Klien dapat menyadari dan

dalam tahap hubungan yang baik.


2. Menghindari kontak fisik. Klien

mengklarifikasi kemungkinan

yang mencurigakan mungkin

salah menafsirkan dari kebiasaan


dan cara bicara klien.
3. Klien memakan makanan dari
perawat atau ahli gizi dan

merasa terancam apabila disentuh.


3. Jujur dan menepati janji. Jujur dan
mempercayai hubungan dengan
pasien.

meminum obat tanpa adanya


keciurigaan.
4

Gangguan
interaksi sosial
b.d konsep diri

1. Klien berinteraksi dengan orang lain 1. Tetap dengan klien selama interaksi
dengan cara yang sesuai sosial
2. Klien memulai interaksi antara diri
dan orang lain.
3. Klien menggunakan kontak mata,
respon wajah, dan perilaku
nonverbal lainnya dalam interaksi
dengan orang lain.
4. Klien tidak menarik diri dari kontak
fisik

Gangguan

1.

Klien

Komunikasi

dengan

Verbal

mampu

awal dengan orang lain. Kehadiran


individu dipercaya memberikan rasa
aman.
2. Gunakan bahasa yang sederhana
untuk menjelaskan kepada klien
yang perilaku yang dapat diterima
dan mana yang tidak.
3. Jelaskan kepada klien lain arti dari
beberapa gerakan nonverbal klien
dan sinyal. Orang lain mungkin
lebih menerima keperbedaan klien
jika mereka memiliki pemahaman
yang lebih baik dari tingkah
lakunya.

berkomunikasi 1. Menjaga konsistensi staf tugas dari

cara yang dipahami oleh orang


lain.
2. Klien yang kongruen dengan
verbalizations.
3. Klien mampu mengenali bahwa

waktu ke waktu, untuk


memfasilitasi kepercayaan dan
kemampuan untuk memahami
tindakan dan komunikasi klien.
2. Dengan cara yang tidak

berpikir

tidak

teratur

dan

mengancam, menjelaskan kepada

komunikasi verbal gangguan terjadi

klien bagaimana nya perilaku dan

pada saat meningkatnya kecemasan


dan

campur

tangan

menghentikan proses.

verbalizations dipandang oleh dan

untuk
mungkin mengasingkan orang lain.

E. DAFTAR PUSTAKA
Townsend C.Marry . 2009. Psychiatric Mental Health Nursing. America : Davis
Company.
Townsend C.Marry. 2011. Nursing Diagnosen in Pshyciatric Nurisng . America : Davis
Company.
Yusuf, Ahmad. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika.
Arif. I.S. 2006. Skizofrenia Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Bandung : PT.
Refika Aditama.
Hawari, D. 2014. Skizofrenia. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Nevid 2005. Psikologi Abnormal (Edisi kelima). Jilid 2. Jakarta : Erlangga.
Selvera,N,R. 2013. Teknik asosiasi bebas dan psikoedukasi untuk mengenali gejala
penderita skizofrenia paranoid. Procedia studi kasus dan intervensi psikologi.
Volume 1 (1), 01-06.

Anda mungkin juga menyukai