PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Vesicobullous disease (penyakit kulit berlepuh) ialah penyakit yang ditandai
dengan terdapatnya lepuh (vesikel maupun bula) pada kulit. Beberapa penyakit kulit pada
neonatus berupa vesikel, bula erosi, dan ulserasi. Etiologi penyebab dan distribusi lesi
bisa berbeda-beda. Pendekatan secara sistematis sangat penting untuk mengevaluasi
pengobatan yang tepat, membedakan faktor penyebab, dan risiko penularan.1,2
Terjadinya bula pada kulit dapat disebabkan karena autoimun maupun
nonautoimun. Penyakit bula autoimun pada anak sangat jarang dan insidensi kejadian
tidak diketahui. Pada penelitian yang dilakukan secara retrospektif di National Skin
Centre Singapura selama 1998-2012 ada 12 kasus anak yang mengalami autoimune
bullous disease, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2015 tidak di
temukan kasus autoimune bullous disease.1 Chronic bullous disease of childhood dan
dermatitis herpetiformis merupakan penyakit tersering pada penyakit bula anak. Bentuk
penyakit bula karena autoimun lainnya adalah pemphigus gestational, epidermolysis
bullosa acquisita, bullous systemic lupus erythematosa, pemfigoid sikatrikal, pemfigoid
bulosa, dan liken planus pemfigoid.1,3
Diagnosis yang tepat antara berbagai gangguan immunobulosa semakin penting,
karena beragamnya pilihan pengobatan yang tersedia saat ini. Tujuan pengobatan pada
semua penyakit autoimun adalah untuk penurunan pembentukan bula, penyembuhan lesi
yang ada, dan menentukan dosis minimal obat yang diperlukan untuk mengontrol proses
penyakit.1
Penyakit berlepuh juga bisa disebabkan karena iritasi, alergi, genetik, dan karena
obat. Penyakit bula nonautoimun yang sering terjadi pada anak adalah impetigo bulosa,
staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS), varisela, herpes zoster, dan inherited
epidermolysis bullosa.4 Impetigo bulosa paling sering dijumpai pada neonatus dan bayi,
90% kasus yang terjadi adalah pada anak di bawah 2 tahun. Di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya sendiri selama tahun 2015 ada 103 anak dengan penyakit vesikobulosa
nonautoimun dengan berbagai macam penyebab.
1
BAB II
PENYAKIT VESIKOBULOSA
2.1 Penyakit Vesikobulosa
Penyakit vesikobulosa adalah penyakit yang ditandai adanya gelembung cairan
di bawah kulit. Cairan yang encer dalam lepuh disebut serum. Jika lepuhan belum pecah,
serum dapat memberikan perlindungan alami bagi kulit di bawahnya. Lepuh kecil disebut
vesikel dan lepuh dengan diameter lebih dari setengah sentimeter disebut bula.
Beberapa penyebab lepuh antara lain:
1.
Autoimun
termasuk
bullous
disease
of
childhood
(CBDC),
dermatitis
Nonautoimun
Iritasi - Lepuh dapat disebabkan oleh faktor fisik yang mengiritasi kulit, seperti
gesekan (menggosok kulit), bahan kimia, dingin yang ekstrim atau panas.
Lepuh pada kaki dapat hasil dari sepatu yang terlalu ketat atau menggosok
kulit di satu wilayah tertentu (pressure). Lepuh juga dapat disebabkan oleh
dermatitis kontak, reaksi kulit untuk beberapa jenis iritasi kimia. Setiap jenis
luka bakar, bahkan sengatan matahari, juga dapat menyebabkan lepuh.
Alergi - dermatitis kontak alergi, dermatitis lain atau eksim.
Genetik - inherited epidermolysis bullosa
Infeksi - Infeksi yang menyebabkan bula termasuk impetigo bulosa, infeksi
pada kulit yang disebabkan oleh stafilokokus seperti staphylococcus scalded
skin syndrome, dan yang disebabkan oleh virus varisela zoster.
Obat - Banyak obat, seperti asam nalidiksat dan furosemid, dapat menyebabkan
lepuh ringan. Lainnya, seperti doksisiklin, dapat meningkatkan risiko pajanan
sinar matahari dengan meningkatkan sensitivitas kulit terhadap sinar
matahari. Dalam kasus yang lebih berat, obat-obatan dapat memicu lebih
Gejala yang sering adalah pruritus atau bahkan vesikel dan papul, sebagian besar
terletak simetris pada lutut, siku, pantat, atau kulit kepala. Lesi petekie pada tangan dan
kaki sebagai tanda eksklusif DH jarang terjadi. Lesi kulit dari DH pada anak adalah
vesikel yang gatal, papula eritematosa, dan plak urtikaria. Vesikel yang utuh jarang
terlihat karena keadaaan yang sangat gatal, sehingga yang terlihat adalah lesi ekskoriasi
kecil. Jaringan parut jarang terjadi. Keterlibatan tubuh yang simetris sangat khas, pada
permukaan ekstensor tungkai, pantat, bahu, tengkuk, dan kulit kepala.6,8
tertentu
seperti
penisillamin,
nifedipin,
kaptopril,
enalapril,
obat
pangkal paha, telapak tangan, dan kaki. Beberapa pasien mungkin mengeluh gatal. Selain
itu, keterlibatan mukosa sering pada populasi anak. Diagnosis mirip dengan orang
dewasa, didasarkan pada klinis, histologis, dan fitur immunopatologi. Pemeriksaan
histologi menunjukan bula subepidermal dengan infiltrasi terutama eosinofil pada
dermal.1,3,11,12
Kriteria khusus untuk membantu pengenalan awal pemfigoid bulosa pada anakanak:1,11
1. Pasien 18 tahun atau kurang dengan penampilan klinis bula tegang pada kulit
eritematosa atau normal dengan atau tanpa keterlibatan membran mukosa dan
memiliki bula subepidermal dengan eosinofil.
2. Deposito Linear IgG atau C3 pada zona membran epidermis bawah dengan DIF,
atau IgG anti basement autoantibodi zona membran pada IIF.
Gambar 2.5 Bula tegang dan vesikel di area selangkangan, ekstremitas, wajah, badan,
telapak tangan, dan kaki.10
Keterlibatan membran mukosa lebih sering terjadi pada anak-anak, sedangkan
keterlibatan kulit telapak tangan dan kaki, lebih khas pada bayi berusia kurang dari 1
tahun. Penyakit anak-anak paling sering terjadi sebelum usia 8 tahun, dengan lebih dari
25% dari pasien muncul bula pertama dalam tahun pertama dari kehiduan Bayi. BP
cenderung memiliki bula di telapak tangan, telapak kaki, wajah, dan jarang daerah
genital. BP telah dilaporkan terkait dengan psoriasis, radiasi ultraviolet, dan terapi x-ray.
Hal ini juga terkait dengan obat-obatan tertentu, terutama furosemid dan nonsteroid.1
2.3 Penyakit Bula NonAutoimun
2.3.1 Impetigo Bulosa
Impetigo bulosa hampir selalu disebabkan oleh stafilokokus aureus. Pada
impetigo bulosa, bula mudah pecah. Bula dapat menjadi lebih besar dan dapat
berlangsung selama dua sampai tiga hari. Tanda patognomonik adalah "collarette" dari
bula yang pecah. Di Inggris (2007) kejadian impetigo pada anak sampai usia 4 tahun
sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun.12,14
Meskipun impetigo terutama di diagnosis dari klinis, akan lebih bermanfaat untuk
mendapatkan swab nanah dari lesi atau eksudat untuk mengkonfirmasi diagnosis. Uji
sensitifitas juga diperlukan untuk menentukan pilihan agen antibiotik untuk pengobatan.
Antibiotik topikal sama efektifnya dengan antibiotik oral untuk mengobati impetigo
lokal.13,14
oleh perkembangan bula lembek dalam epidermis superfisial dan kemudian deskuamasi.
diagnosis terutama secara klinis.15
Gambar 2.7 Staphylococcus scalded skin syndrome pada bayi baru lahir.15
2.3.3 Pomfoliks
Eksim dan pomfoliks adalah bentuk eksim dari telapak tangan dan kaki di mana
cairan edema menumpuk untuk membentuk vesikel atau bula. Karena epidermis tebal
maka bula cenderung menjadi lebih besar dari pada di tempat lain. Pomfoliks dapat
terjadi pada semua usia, tetapi onset sebelum sepuluh tahun sangat jarang. Dalam
penelitian terbaru, semua pasien yang terkena pomfoliks idiopatik mempunyai riwayat
atopik. Di Italia utara, penyelidikan dari 104 subjek mengungkapkan riwayat pribadi atau
keluarga atopi pada 50% kasus. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya kasus pomfolik tercatat
sebanyak 15 kasus selama tahun 2015. Pomfoliks ditandai dengan pruritus dan tiba-tiba
vesikel yang mendalam yang jelas yang dapat membentuk bula besar terutama pada
telapak kaki. Kadang infeksi bakteri sekunder dapat terjadi dengan munculnya bintil dan
limfangitis menyebar ke lengan. Pomfoliks sering merupakan bentuk konstitusional
eksim, tapi kadang-kadang dapat disebabkan dermatitis atau proses reaktif karena infeksi
jamur pada kaki. Diagnosis pada dasarnya dapat ditegakan secara klinis.16
10
11
karena tekanan. Dari jumlah tersebut, 47,2% ditemukan pada ekstremitas bawah, dengan
tumit menjadi salah satu dari dua tempat dengan frekuensi tertinggi untuk tekanan.23
Hasil yang sama diperoleh di WoundsWest Wound prevalence survey (2007), di
mana semua pasien rawat inap di 85 pelayanan kesehatan masyarakat di Australia Barat
dinilai. Sebanyak 2.299 pasien dinilai, ditemukan bahwa 10,9% dari total populasi yang
disurvei memiliki keluhan bula karena tekanan. Dari jumlah tersebut, 38,6% berlokasi di
ekstremitas bawah.23
BAB III
TERAPI MEDIKAMENTOSA PENYAKIT VESIKOBULOSA
3.1 Penyakit Bula Autoimun
Tabel 3.1 Penatalaksanaan penyakit bula autoimun6
Penyakit Autoimun
Chronic bullous disease
Terapi Medikamentosa
of childhood (CBDC)
hemolitik)
Pemeriksaan darah per bulan diperlukan untuk
pemantauan pengobatan.
Kasus yang luas memerlukan pengobatan tambahan
dengan prednisolon oral 1 mg/kg/hari selama 1 sampai
Dermatitis herpetiformis
0,5-2 mg/kg/hari.
Jika pasien terus melakukan diet bebas gluten,
Kortikosteroid
topikal
untuk
olahraga,
kontak,
dan
mengkonsumsi
dan
Pemfigoid bulosa
sekunder.
Kortikosteroid dosis tinggi sering diperlukan untuk
mencapai kendali.
Prognosis pada anak-anak adalah baik, dengan durasi
penyakit sering terbatas 1 tahun atau kurang.6
Epidermolisis
Bulosa
Akuisita
14
Dosis Anak
Kurang dari 3 bulan: 30mg per kg/hari
Sefaleksin
Klindamisin
Dikloksasilin
Minosiclin
15
kulit. Antibiotik ini merupakan salah satu pilar utama pengobatan SSSS. Terdapat
resistensi pada beberapa antibiotic yaitu 5% untuk gentamisin, 7% untuk tetrasiklin, dan
2% untuk kloramfenikol, sedangkan tidak ada strain yang resisten terhadap metisilin,
sefalotin, sefaleksin, dan vankomisin.
Pada prakteknya, lepuh harus dibiarkan utuh karena membantu mengurangi
trauma lebih lanjut untuk kulit. Antibiotik topikal atau salep mata antiseptik juga
membantu untuk menangani konjungtivitis. Dalam kasus ini, pasien harus dikelola di
unit perawatan intensif anak dan pertimbangan perlu diberikan untuk manajemen nyeri,
regulasi temperatur, manajemen cairan (rehidrasi), dan perawatan kulit. Kortikosteroid
kontraindikasi karena akan memperparah penyakit. Antibiotik intravena terhadap
stafilokokus resisten penisilin dapat digunakan seperti metisilin dan flukloksasilin.
Penggunaan manajemen cairan intravena pada kasus asupan oral yang berkurang
karena
lesi perioral.15
Tabel 3.5 Manajemen staphylococcus scalded skin syndrome (SSSS)16
3.4 Pomfoliks
Untuk penanganan pomfoliks akut, rendam dua kali sehari dalam larutan kalium
permanganat diencerkan 1:10.000. Setelah merendam dan mengeringkan kulit dapat
digunaka steroid topikal poten atau superpotent. Pengobatan pomfoliks berhubungan
dengan atopik, melibatkan pengobatan simtomatik termasuk kortikosteroid topikal sedang
atau poten, salep zink oksida, dan antihistamin oral.17
3.5 Varisela dan Herpes Zoster
Pada percobaan random terkontrol pengobatan dengan asiklovir anak-anak 212 tahun, pengobatan dini (dalam waktu 24 jam dari munculnya ruam) dengan asiklovir
oral (20mg/kg empat kali sehari selama 5 hari) mengurangi jumlah maksimum lesi,
penghentian pembentukan lesi baru, durasi ruam, demam, dan gejala konstitusional jika
16
dibandingkan dengan plasebo. Pengobatan dimulai lebih dari 24 jam setelah onset ruam
tidak efektif.
Tabel 3.6 Terapi varisela pada anak22
BAB IV
18
TERAPI NONMEDIKAMENTOSA
Pada
penyakit
vesikobulosa
selain
terapi
medikamentosa,
terapi
Respons segera setelah terjadi trauma berupa pembekuan darah untuk mencegah
kehilangan darah.
19
Terbentuk kolagen baru yang mengubah bentuk luka serta peningkatan kekuatan
jaringan (tensile strength).
Terbentuk jaringan parut (scar tissue) 50-80% sama kuatnya dengan jaringan
sebelumnya.
Pengurangan bertahap aktivitas seluler and vaskulerisasi jaringan yang mengalami
perbaikan.
Reepitelisasi terjadi pada hari ke-5 berlangsung hingga beberapa minggu,
umumnya 28 hari pada lesi yang letaknya superfisial (sebatas epidermis) dan tidak
terdapat jaringan nekrotik. 26
4.2 Perawatan Bula secara Umum
Penyakit vesikobulosa adalah masalah umum baik di dalam dan di luar rumah
sakit, dan merupakan penyakit kedua yang paling sering akibat tekanan/pressure selama
perawatan pasien. Tekanan/pressure adalah penyebab utama dari berlepuh.23 Bula karena
tekanan diakui di seluruh dunia sebagai salah satu dari lima penyebab paling umum,
didefinisikan sebagai setiap lesi yang disebabkan oleh tekanan terus menerus yang
menghasilkan kerusakan pada jaringan di bawahnya.
Terdapat pendapat yang bervariasi antara klinisi kesehatan tentang manajemen
yang tepat lepuh pada kaki. Kurangnya bukti dalam hal ini menyebabkan perbedaan
pendapat dan ketegangan antar klinisi kesehatan dan menunjukkan bahwa penyelidikan
lebih lanjut diperlukan untuk mengembangkan pedoman praktek klinis terbaik.
Pengelolaan lepuh karena tekanan secara khusus disebutkan dalam The Queensland
Governments Pressure Ulcer Prevention and Management Resource Guidelines of 2004.
Pada pedoman tersebut di jelaskan penanganan lepuh pada kaki karena tekanan, yaitu:23
Bula dengan cairan haemoserous yang minimal, tidak ada eritema atau infeksi
- Tutup dan lindungi bula
- rawat dan bersihkan setiap hari selama 1- 2 minggu
Bula tegang, cairan haemoserous moderat, tidak ada eritema atau infeksi
- Jika bula nyeri, cairan bula dapat di drainase dengan jarum steril.
- Jika atap bula sudah terlepas maka bula harus di debridement
Pedoman lain yang bisa dilakukan yaitu fokus pada
manajemen luka secara umum, yaitu:22
20
21
1. Menentukan luas permukaan tubuh yang terkena, dan jenis keterlibatan kulit
(lecet utuh, erosi, luka kronis). Tanda-tanda infeksi lokal seperti kemerahan, nyeri
lokal, bau, dan eksudat.
2. Usia pasien. Pada bayi memerlukan kontrol lebih banyak dari lingkungan mereka
untuk mencegah trauma. Pasien yang lebih tua cenderung memiliki luka yang
lebih kronis dan mudah terinfeksi dan adanya resistensi terhadap antibiotik.
3. Menilai dan mengelola status gizi. Penyembuhan luka dapat melambat pada orang
dengan malnutrisi. Asupan rendah protein atau defisiensi dapat mencegah
produksi jaringan granulasi yang berkontribusi untuk penyembuhan.
4. Memantau dan menjaga kadar hemoglobin di atas 80 g/L. Hemoglobin kurang
dari 100g/L menyebabkan gangguan penyembuhan luka pada pasien dengan ulkus
vena sebagai akibat dari menurunnya oksigenasi jaringan. Kadar hemoglobin
rendah pada pasien dengan penyakit vesikobulosa adalah salah satu faktor yang
dapat berkontribusi pada melambatnya penyembuhan. Transfusi darah harus
dipertimbangkan untuk kasus-kasus di mana kadar hemoglobin di bawah 80 g/L.
5. Penilaian dan manajemen nyeri. Nyeri adalah gejala yang paling umum dialami
oleh pasien dengan bula. Oral sukrosa 24% berguna sebagai short-acting
analgesik yang efektif untuk anak kurang dari 2 tahun. Untuk anak-anak dan
orang dewasa, minophen acetat atau morfin diberikan 30 menit sebelum prosedur.
Ketamin adalah obat alternatif lain yang juga dapat digunakan untuk mengurangi
nyeri.
6. Kontrol gatal. Gatal adalah gejala yang umum pada pasien dengan keluhan bula,
yang memengaruhi kualitas hidup. Diperlakukan antihistamin sedatif untuk
mengatasi keluhan gatal, jika gatal pada siang hari memerlukan antihistamin
nonsedasi (cetirizin, loratadin).
7. Mengenali tanda-tanda depresi. Depresi dan kecemasan juga sering menyertai
pasien dengan keluhan bula yang kronik.
8. Memberikan penjelasan dan dukungan kepada pasien/orang tua untuk
meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan. Kepercayaan, komunikasi, dan
dialog terbuka memungkinkan pasien dan pengasuh mereka untuk memahami
22
bahwa setiap orang yang dilibatkan memiliki kontribusi yang berarti dalam proses
pengambilan keputusan.
9. Menilai lokasi luka dan karakteristik. Langkah pertama adalah membuat perkiraan
luas permukaan tubuh yang terlibat dan jenis luka (lecet, erosi, eksudatif, dan luka
noneksudatif).
10. Membersihkan
luka
dengan
cairan
solusio.
Standar
perawatan
untuk
(Crystacide,
DermaUK, Stotfold UK) ditoleransi dengan baik dan efektif bila diterapkan secara
langsung pada luka. Antibiotik topikal/antimikroba (misalnya, polimiksin Bgramisidin, asam fusidat, mupirosin) harus digunakan hanya untuk jangka waktu
yang singkat dan diganti setiap 2 sampai 6 minggu untuk mencegah resistensi.
Pilihan lainnya termasuk perban yang mengandung perak, madu, yodium, dan
poliheksametilen biguanid. Silver memiliki aktivitas antimikroba spektrum luas
dan harus terionisasi untuk menimbulkan efek maksimum.
12. Pilih topikal terapi yang sesuai untuk kebutuhan pasien, luas dan lokasi luka,
frekuensi penggunaan, biaya, dan ketersediaan. Penyembuhan luka membutuhkan
keseimbangan kelembaban permukaan kulit. Hal ini dicapai dengan menggunakan
dressing dengan oklusi, semi oklusi, hydrating, dan karakteristik hemostatik,
tergantung pada karakteristik luka dan drainase.
13. Mengembangkan dan menilai kembali rencana perawatan.
4.3 Modern Dressing
Pemilihan dressing yang tepat juga penting dalam mempercepat proses
penyembuhan luka, di mana prinsip dasar bahwa luka dengan lingkungan yang lembab
akan terjadi penyembuhan lebih cepat dibandingkan luka yang kering. Metode perawatan
23
luka yang berkembang saat ini adalah menggunakan prinsip moisture balance, yang
disebutkan
lebih
efektif
dibandingkan
metode
konvensional.
Perawatan
luka
menggunakan prinsip moisture balance ini dikenal sebagai metode modern dressing.26
Selama ini, ada anggapan bahwa suatu luka akan cepat sembuh jika luka tersebut
telah mengering, namun faktanya lingkungan luka yang kelembapannya seimbang
memfasilitasi pertumbuhan sel dan proliferasi kolagen dalam matriks nonseluler yang
sehat. Pada luka akut, moisture balance memfasilitasi aksi faktor pertumbuhan,
cytokines, dan chemokines yang mempercepat pertumbuhan sel dan menstabilkan matriks
jaringan luka, jadi luka harus dijaga kelembapannya. Lingkungan yang terlalu lembap
dapat menyebabkan maserasi tepi luka, sedangkan kondisi kurang lembap menyebabkan
kematian sel, tidak terjadi perpindahan epitel, dan jaringan matriks.26
Perawatan luka modern harus tetap memperhatikan tiga tahap, yakni mencuci
luka, membuang jaringan mati, dan memilih balutan. Mencuci luka bertujuan
menurunkan jumlah bakteri dan membersihkan sisa balutan lama, debridement jaringan
nekrotik atau membuang jaringan dan sel mati dari permukaan luka. Perawatan luka
konvensional harus sering mengganti kain kasa pembalut luka, sedangkan perawatan luka
modern miliki prinsip menjaga kelembapan luka dengan menggunakan bahan seperti
hidrogel, kalsium alginat, hidrokoloid, film dressing, dan foam/absorbant dressing.27
Hidrokoloid yang mampu melindungi dari kontaminasi air dan bakteri, dapat
digunakan
untuk
balutan
primer
dan
sekunder.
Balutan
ini
berfungsi
mempertahankan luka dalam suasana lembap, melindungi luka dari trauma dan
menghindarkan luka dari risiko infeksi, mampu menyerap eksudat tetapi minimal,
sebagai dressing primer atau sekunder, support autolysis untuk mengangkat jaringan
24
nekrotik atau slough. Indikasi pada luka berwarna kemerahan dengan epitelisasi,
eksudat minimal.
Film Dressing adalah jenis balutan yang lebih sering digunakan sebagai secondary
dressing dan untuk luka-luka superfisial dan noneksudatif atau untuk luka
pascaoperasi. Terbuat dari polyurethane yang disertai perekat adhesif, tidak
menyerap eksudat.
yang banyak eksudatnya dipilih bahan balutan yang menyerap cairan seperti foam,
sedangkan pada luka yang sudah mulai tumbuh granulasi, diberi gel untuk membuat
suasana lembap yang akan membantu mempercepat penyembuhan luka.27
Tabel 4.1 Pemilihan dressing atau topikal terapi sesuai lokasi/indikasi24
25
27
28
BAB V
KESIMPULAN
Penyakit vesikobulosa adalah penyakit yang ditandai adanya gelembung cairan di
bawah kulit. Cairan yang encer dalam lepuh disebut serum. Lepuh kecil disebut vesikel
dan lepuh lebih dari setengah sentimeter disebut bula. Penyebab penyakit vesikobulosa
bisa karena autoimun (chronic bullous disease of childhood, dermatitis herpetiformis,
pemfigus
dan
pemfigoid
bulosa)
dan
nonautoumun
(infeksi,
iritasi,
alergi,
Penanganan
29
Daftar Pustaka
1. Sansaricq F, Stein SL, Petronic-Rosic V. Autoimmune bullous diseases in childhood.
Clinics in Dermatology 2012;30:11427.
2. Tarang G , Anupam V. Incidence of vesicobullous and erosive disorders of neonates.
J Dermatol Case Rep 2011;5(4):58-63.
3. Kong YL, Lim YL, Chandran NS. Retrospective study on autoimmune blistering
disease in paediatric patients. Pediatric Dermatology 2015;32:684552.
4. Imaligy EU. Impetigo vesikobulosa pada bayi. CDK-227 2015;42:4.
5. Patsatsi A . Chronic bullous disease or linear iga dermatosis of childhood revisited.
J Genet Syndr Gene Ther 2013;4:6.
6. Lara-Corrales I, Pope E. Autoimmune blistering diseases in children. Semin Cutan
Med Surg 2010;29:85-91.
7. Kristina, Anette. Linear iga bullous dermatosis: a retrospective study of 23 patients in
denmark. Acta Derm Venereol 2015;95:46671.
8. Heinlin J, Knoppke B, Kohl, Landthaler M, Karrer S. Dermatitis herpetiformis
presenting as digital petechiae. Pediatric Dermatology 2012;29;2:20912.
9. Gonul M, Keseroglu HO. Pediatric pemphigus. Clin Pediatr Dermatol 2016;1:1.
10. Chou CS. Hsu CL, Lee ML. Childhood bullous pemphigoid: A case report and
literature review. Clin Exp Dermatol Res 2013;10:1-4.
11. Reis-Filho M, Silva T, Aguirre LH, Reis CMS, Bullous pemphigoid in a 3-monthold infant: case report and literature review of this dermatosis in childhood. An Bras
Dermatol 2013;88(6):961-5.
12. Motswaledi . Impetigo in children a clinical guide and treatment options. S Afr Fam
Pract 2011; 53:44-46.
13. Oakley A. Management of impetigo. New Zealand Dermatological Society.19.9-11.
14. Adams HH, Banvard C, Juckett G. Impetigo: Diagnosis and Treatment. Am Fam
Physician. 2014;90(4):229-235.
15. Kouakou K, Dainguy ME, Kassi K. Staphylococcal scalded skin syndrome in
neonate. Case Reports in Dermatological Medicine 2015:2015;1-4.
16. Handler MZ, Schwartz RA. Staphylococcal scalded skin syndrome: diagnosis and
30
management
in
children
and
adults.
Eur
Acad
Dermatol
Venereol
2014;28(11):1418-23.
17. Carlo M. Gelmetti. Pompholyx. Harpers Textbook of Pediatric Dermatology 3rd ed.
Coleman WP editor. Hoboken NJ. 2011.391-5.
18. Mishra AK,Yadav P, Mishra A. A systemic review on staphylococcal scalded skin
syndrome (SSSS): a rare and critical disease of neonates. The Open Microbiology
Journal 2016;10:150-9.
19. Kenneth E S, Michael NO. Varicella and herpes zoster. Fitzpatricks dermatology in
general medicine. 8th ed. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell
DJ, Wolff WK, editor. New York: McGraw-Hill; 2012.2383-400.
20. Zhao CY, Chiang YZ, Murrell F. Neonatal autoimmune blistering disease: a
systematic review. Pediatr Dermatol 2016;33:367-74.
21. Wen SY, Liu WL. Epidemiology of pediatric herpes zoster after varicella infection: a
population-based study. Pediatrics 2015;135:3.
22. Kempf W, Meylan P, Gerber S, Aebi C, Agosti R, Buchner S, et al. Swiss
recommendations for the management of varicella zoster virus infections. Swiss Med
Wkly 2007;137:239251.
23. Michailidis L, May K, Wraight P. Blister management guidelines: collecting the
evidence. Wound Practice and Research 2013;21:1.
24. Pope E,Corrales IL, Mellerio J, Martinez A, Schultz G, Burrell R, et al. A consensus
approach to wound care in epidermolysis bullosa. J Am Acad Dermatol 2012; 67:5.
25. NHS highland wound management guidelines and formulary. NHSH Senior
Management Team 2014:6-21.
26. Broussard KC, Powers JG, Wound dressings: selecting the most appropriate type.
Am J Clin Dermatol 2013;14:44959.
31
27. Kartika RW. Perawatan luka kronis dengan modern dressing. CDK 2015;42:7.
28. Masuelli L, Tumino G, Turriziani M, Modesti A, Bei R. Topical use of sucralfate in
epithelial wound healing: clinical evidence and molecular mechanisms of action.
Recent Patents on Inflammation & Allergy Drug Discovery 2010;4:1.
32