Anda di halaman 1dari 46

REFERAT

SYOK

Pembimbing:
dr. Aris Sunaryo, Sp. An. M. Kes

Disusun Oleh:
SUSI SUSANTI
111170066

KEPANITRAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RSUD WALED CIREBON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2016

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Syok merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang terjadi bila
oxygen delivery ke mitokondria sel di seluruh tubuh manusia tidak mampu
memenuhi kebutuhan oxygen consumption. Sebagai respon terhadap pasokan
oksigen yang tidak cukup ini, metabolisme energi sel menjadi anaerobik. Keadaan
ini hanya dapat ditoleransi tubuh untuk waktu yang terbatas, selanjutnya dapat
timbul kerusakan irreversible pada organ vital.1
Pada tingkat multiseluler, tidak semua jaringan dan organ secara klinis
terganggu akibat kurangnya oksigen pada saat syok. Alfred Blalock membagi
jenis syok menjadi 4 antara lain syok hipovolemik, syok kardiogenik, syok septik,
syok neurogenik.2,3
Diseluruh dunia terdapat 6-20 juta kematian akibat syok tiap tahun,
meskipun penyebabnya berbeda tiap-tiap negara.4
Diagnosa adanya syok harus didasarkan pada data-data baik klinis maupun
laboratorium yang jelas, yang merupakan akibat dari kurangnya perfusi jaringan.
Syok bersifat progresif dan terus memburuk jika tidak segera ditangani. Syok
mempengaruhi kerja organ-organ vital dan penanganannya memerlukan
pemahaman tentang patofisiologi syok.5 Penatalaksanaan syok dilakukan seperti
pada penderita trauma umumnya yaitu primary survey ABCDE. Tatalaksana syok
bertujuan memperbaiki gangguan fisiologik dan menghilangkan faktor penyebab.4

1.2 Batasan masalah

Referat ini membahas definisi, patofisiologi, klasifikasi, diagnosis,


penatalaksanaan syok.

1.3 Tujuan penulisan


1.

Untuk memahami syok dan penatalaksanaannya lebih lanjut.


2. Untuk meningkatkan kemampuan dalam menulis tulisan ilmiah di dalam
bidang kedokteran khususnya bagian ilmu anestesi
3. Untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Anestesi Fakultas Kedokteran Unswagati Cirebon

1.4 Metode penulisan


Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan
mengacu kepada beberapa literatur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Syok merupakan keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan perfusi
darah ke jaringan, sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel. Kematian
karena syok terjadi bila keadaan ini menyebabkan gangguan nutrisi dan
metabolism sel. Terapi syok bertujuan memperbaiki gangguan fisiologik dan
menghilangkan faktor penyebab. Syok sirkulasi dianggap sebagai rangsang paling
hebat dari hipofisis adrenalin sehingga menimbulkan akibat fisiologi dan
metabolisme yang besar. Syok didefinisikan juga sebagai volume darah sirkulasi
tidak adekuat yang mengurangi perfusi, pertama pada jaringan nonvital (kulit,
jaringan ikat, tulang, otot) dan kemudian ke organ vital (otak, jantung, paru- paru,
dan ginjal). Syok atau renjatan merupakan suatu keadaan patofisiologis dinamik
yang mengakibatkan hipoksia jaringan dan sel.
2.2 Etiologi dan klasifikasi
Syok secara umum dapat diklasifikasikan menjadi

A. Syok hipovolemik, syok yang disebabkan karena tubuh :


kehilangan darah/syok hemoragik

Hemoragik eksternal : trauma, perdarahan gastrointestinal

Hemoragik internal : hematoma, hematotoraks

Kehilangan plasma : luka bakar


Kehilangan cairan dan elektrolit

Eksternal : muntah, diare, keringat yang berlebih

Internal : asites, obstruksi usus

B. Syok kardiogenik, kegagalan kerja jantung. Gangguan perfusi jaringan yang


disebabkan karena disfungsi jantung misalnya : aritmia, AMI (Infark Miokard
Akut).
C. Syok Distributif,

berkurangnya

tahanan

pembuluh

darah

perifer.

Diklasifikasikan menjadi :
Syok septik, terjadi karena penyebaran atau invasi kuman dan toksinnya
didalam tubuh yang berakibat vasodilatasi.
Syok anafilaktif, gangguan perfusi jaringan akibat adanya reaksi antigen
antibodi yang mengeluarkan histamine dengan akibat peningkatan
permeabilitas membran kapiler dan terjadi dilates arteriola sehingga
venous return menurun. Misalnya: reaksi tranfusi, sengatan serangga,
gigitan ular berbisa.
Syok neurogenik, terjadi gangguan perfusi jaringan yang disebabkn
karena disfungsi sistem saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi.
Misalnya : trauma pada tulang belakang, spinal syok.
3. Syok Obstruktif
Syok obstruktif adalah syok yang diakibatkan oleh gangguan
pengisian pada ventrikel kanan maupun kiri yang dalam keadaan berat bias
menyebabkan penurunan Cardiaac Output. Hal ini bias terjadi pada obstruksi
vena cava, emboli pulmonal, pneumotoraks, gangguan pada pericardium
(misalnya : tamponade jantung) ataupun berupa atrial myxoma..
5

2.3 Patofisiologi
Syok menunjukkan perfusi jaringan yang tidak adekuat. Hasil akhirnya berupa
lemahnya aliran darah yang merupakan petunjuk yang umum, walaupun ada
bermacam-macam penyebab. Syok dihasilkan oleh disfungsi empat system yang
terpisah namun saling berkaitan yaitu: jantung, volume darah, resistensi arteriol
(beban akhir), dan kapasitas vena. Jika salah satu faktor ini bermasalah dan faktor
lain tidak dapat melakukan kompensasi maka akan terjadi syok. Awalnya tekanan
darah arteri mungkin normal sebagai kompensasi peningkatan isi sekuncup dan
curah

jantung.

Jika

syok

berlanjut,

curah

jantung

menurun

dan

vasokontriksi perifer meningkat. Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3


fase yaitu:
1. Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga
timbul gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan
gangguan seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi
untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan otot skelet dan penurunan
aliran darah ke tempat yang kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk
menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan konservasi
air.Ventilasi meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di
daerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan frekuensi dan
kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan
respirasi untuk memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke ginjal
menurun,

tetapi

ginjal

mempunyai

cara

regulasi

sendiri

untuk

mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah menurun,


maka filtrasi glomeruler juga menurun.
2. Fase Dekompensasi
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi
kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung

tidak lagi mencukupi sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada
saat tekanan darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan
bertambah nyata, gangguan seluler, metabolisme, produk metabolisme
menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel. Dinding pembuluh darah
menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena,
venous return menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran
darah ke jaringan tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat
menyebabkan

trombosis

luas

(DIC

Disseminated

Intravascular

Coagulation). Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan


pusat vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan ini menambah hipoksia
jaringan.Hipoksia dan anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan
lainnya dari jaringan (histamin dan bridikinin) yang ikut memperburuk syok
(vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus
menimbulkan penurunan integritas mukosa usus pelepasan toksin dan invasi
bakteri usus ke sirkulasi. Invasi bakteri dan penurunan fungsi detoksifikasi
hepar memperburuk keadaan. Timbul sepsis, DIC bertambah nyata, integritas
system retikuloendotelial rusak, integritas mikrosirkulasi juga rusak. Hipoksia
jaringan juga menyebabkan perubahan metabolisme dari aerobik menjadi
anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik, terjadi peningkatan asam
laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.
3. Fase Irrevesibel/Refrakter
Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat
diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya irreversibilitas syok.
Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa darah yang
cukup, paru menjadi kaku, timbul edema interstisial, daya respirasi menurun,
dan akhirnya anoksia dan hiperkapnea.
A. Patogenesis dan Patofisiologi Syok Hipovolemik

Penyebab syok hipovolemik yang paling umum adalah perdarahan


mukosa saluran cerna dan trauma berat. Penyebab perdarahan terselubung
adalah antara lain trauma abdomen dengan ruptur aneurisma aorta, ruptur
limpa atau ileus obstruksi, dan peritonitis. Secara klinis syok hipovolemik
ditandai oleh volume cairan intravaskuler yang berkurang bersama-sama
penurunan tekanan vena sentral, hipotensi arterial, dan peningkatan tahanan
vaskular sistemik. Respon jantung yang umum adalah berupa takikardia,
Respon ini dapat minimal pada orang tua atau karena pengaruh obat-obatan.
Gejala yang ditimbulkan bergantung pada tingkat kegawatan syok.

B. Patogenesis dan Patofisiologi Syok Kardiogenik


Patofisiologi yang mendasari syok kardiogenik adalah depresi
kontraktilitas miokard yang mengakibatkan lingkaran setan penurunan curah
jantung, tekanan darah rendah,insufisiensi koroner, dan selanjutnya terjadi

penurunan kontraktilitas dan curah jantung. Syok kardiogenik ditandai dengan


gangguan fungsi ventrikel kiri, yang mengakibatkan gangguan berat pada
pefusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan. Yang khas pada syok
kardiogenik oleh infark miokardium akut adalah hilangnya 40% atau lebih
jaringan otot pada ventrikel kiri. Selain dari kehilangan masif jaringan otot
ventrikel kiri juga ditemukan daerah-daerah nekrosis fokal diseluruh ventrikel.
Nekrosis fokal diduga merupakan kibat dari ketidak seimbangan yang terusmenerus antara kebutuhan dan suplai oksigen miokardium. Pembuluh koroner
yang terserang juga tidak mampu meningkatkan alira darah secara memadai
sebagai respon terhadap peningkatan beban kerja dan kebutuhan oksigen
jantung oleh aktivitas respon kompensatorik seperti perangsangan simpatik.
Sebagai akibat dari proses infark, kontraktilitas ventrikel kiri dan kinerjanya
menjadi sangat terganggu.
Ventrikel kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu
menyediakan curah jantung yang memadai untuk mempertahankan perfusi
jaringan. Maka dimulailah siklus berulang. Siklus dimulai dengan terjadinya
infark yang berlanjut dengan gangguan fungsi miokardium. Gangguan fungsi
miokardium yang berat akan menyebabkan menurunnya curah jantung dan
hipotensi arteria. Akibatnya terjadinya asidosis metabolik dan menurunnya
perfusi koroner, yang lebih lanjut mengganggu fungsi ventrikel dan
menyebabkan terjadinya aritmia.

C. Patogenesis Syok Distributif


1. Syok Septik
Pada umumnya penyebab syok septik adalah infeksi kuman gram
negatif yang berada dalam darah/endotoksin. Jamur dan jenis bakteri juga
dapat menjadi penyebab septicemia. Syok septik sering diikuti dengan
hipovolemia dan hipotensi. Hal ini dapat disebabkan karena penimbunan
cairan disirkulasi mikro, pembentukan pintasan

arteriovenus dan

penurunan tahanan vaskuler sistemik, kebocoran kapiler menyeluruh,


depresi fungsi miokardium. Beberapa faktor predisposisi syok septic
adalah trauma, diabetes, leukemia, granulositopenia berat, penyakit
saluran kemih, terapi kortikosteroid jangka panjang, imunosupresan atau

10

radiasi. Syok septik sering terjadi pada bayi baru lahir, usia di atas 50
tahun, dan penderita gangguan sistem kekebalan.
2. Patogenesis Syok Neurogenik
Syok neurogenik disebut juga syok spinal merupakan bentuk dari
syok distributif. Syok neurogenik terjadi akibat kegagalan pusat
vasomotor karena hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di
seluruh tubuh sehingga terjadi hipotensi dan penimbunan darah pada
pembuluh darah pada capacitance vessels. Hasil dari perubahan resistensi
pembuluh darah sistemik ini diakibatkan oleh cidera pada sistem saraf
(seperti : trauma kepala, cedera spinal atau anestesi umum yang dalam).
Syok neurogenik juga disebut sinkop.
Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang
mengakibatkan terjadinya vasodilatasi menyeluruh di daerah splangnikus
sehingga aliran darah ke otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya
disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut, atau nyeri
hebat. Pasien merasa pusing dan biasanya jatuh pingsan. Setelah pasien
dibaringkan, umumnya keadaan berubah menjadi baik kembali secara
spontan. Trauma kepala yang terisolasi tidak akan menyebabkan syok.
Adanya syok pada trauma kepala harus dicari penyebab yang lain. Trauma
pada medulla spinalis akan menyebabkan hipotensi akibat hilangnya tonus
simpatis. Gambaran klasik dari syok neurogenik adalah hipotensi tanpa
takikardi atau vasokonstriksi perifer.
3. Patogenesis Syok Neurogenik
Coomb dan Gell (1963), anafilaksis dikelompokkan dalam
hipersensitivitas tipe 1 atau Immediate type reaction. Mekanisme
anafilaksis melalui beberapa fase :
Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan
IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit

11

dan basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran napas
atau saluran makan ditangkap oleh makrofag. Makrofag segera
mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan
mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B
berproliferasi

menjadi

sel

plasma

(Plasmosit).

Sel

plasma

memproduksi Immunoglobulin E (IgE) spesifik untuk antigen tersebut.


IgE ini kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit)
dan basofil.
Fase Aktivasi, yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan
antigen yang sama. Mastosit dan Basofil melepaskan isinya yang
berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada
kesempatan lain masuk allergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen
yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu terjadinya
reaksi segera pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin,
serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula
yang

disebut

preformed

mediators.

Ikatan

antigen-antibodi

merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan


menghasilkan Leukotrien (LT) dan Prostaglandin (PG) yang terjadi
beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut Newly formed
mediators.
Fase Efektor, yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil
dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin
memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas
kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan
bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet Activating
Factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas
vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik

12

menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan


menyebabkan bronkokonstriksi, demikian juga dengan leukotrien.
D. Patofisiologi Syok Obstruktif
Syok obstruktif terjadi akibat aliran darah dari ventrikel mengalami
hambatan secara mekanik, diakibatkan oleh gangguan pengisian pada
ventrikel kanan maupun kiri yang dalam keadaan berat bisa menyebabkan
penurunan Cardiaac Output. Hal ini biasa terjadi pada obstruksi vena cava,
emboli pulmonal, pneumotoraks, gangguan pada pericardium (misalnya :
tamponade jantung) ataupun berupa atrial myxoma. Gejalanya sulit
dibedakan dengan syok kardiogenik, namun dari riwayat penyakit pasien,
syok ini bisa didiagnosa

2.4 Diagnosis
A. Syok hipovolemia
1. Anamnesis

13

Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik,


riwayat penyakit penting untuk menentukan penyebab yang mungkin dan
untuk penanganan lansung. Syok hipovolemik akibat kehilangan darah
dari luar biasanya nyata dan mudah didiagnosis. Perdarahan dalam
kemungkinan tidak nyata, seperti pasien hanya mengeluhkan kelemahan,
letargi, atau perubahan status mental
Gejala-gejala syok seperti kelemahan, penglihatan kabur, dan
kebingungan, sebaiknya dinilai pada semua pasien. Pada pasien trauma,
menentukan mekanisme cedera dan beberapa informasi lain akan
memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu (misalnya, cedera akibat
tertumbuk kemudi kendaraan, gangguan kompartemen pada pengemudi
akibat kecelakaan kendaraan bermotor). Jika sadar, pasien mungkin dapat
menunjukkan lokasi nyeri.Tanda vital, sebelum dibawa ke unit gawat
darurat sebaiknya dicatat. Nyeri dada, perut, atau punggung mungkin
menunjukkan gangguan pada pembuluh darah.Tanda klasik pada
aneurisma arteri torakalis adalah nyeri yang menjalar ke punggung.
Aneurisma aorta abdominalis biasanya menyebabkan nyeri perut, nyeri
punggung, atau nyeri panggul.
Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, mengumpulan
keterangan tentang hematemesis, melena, riwayat minum alkohol,
penggunaan obat anti-inflamasi non steroid yang lama, dan koagulopati
(iatrogenik atau selainnya) adalah sangat penting.
a) Kronologi muntah dan hematemesis harus ditentukan.
b) Pada pasien dengan hematemesis setelah episode berulang muntah
yang hebat kemungkinan mengalami Sindrom Boerhaave atau
Mallory-Weiss tear, sedangkan pasien dengan riwayat hematemesis
sejak sejak awal kemungkinan mengalami ulkus peptik atau varises
esophagus.
Jika

suatu

penyebab

ginekologik

dipertimbangkan,

perlu

dikumpukan informasi mengenai hal berikut: periode terakhir menstruasi,

14

faktor risiko kehamilan ektopik, perdarahan pervaginam (termasuk jumlah


dan durasinya), produk konsepsi pada saluran vagina, dan nyeri. Semua
wanita usia subur sebaiknya menjalani tes kehamilan, untuk meyakinkan
apakah

mereka

hamil.

Tes

kehamilan

negatif

bermakna

untuk

menyingkirkan diagnosis kehamilan ektopik.


2. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis seharusnya selalu dimulai dengan penanganan jalan
napas, pernapasan, dan sirkulasi. Ketiganya dievaluasi dan distabilkan
secara bersamaan, sistem sirkulasi harus dievaluasi untuk tanda-tanda dan
gejala-gejala syok. Jangan hanya berpatokan pada tekanan darah sistolik
sebagai indikator utama syok; hal ini menyebabkan diagnosis lambat.
Mekanisme kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik
secara signifikan hingga pasien kehilangan 30% dari volume darah.
Sebaiknya nadi, frekuensi pernapasan, dan perfusi kulit lebih diperhatikan.
Juga, pasien yang mengkonsumsi beta bloker mungkin tidak mengalami
takikardi, tanpa memperhatikan derajat syoknya.10
Klasifikasi perdarahan telah ditetapkan, berdasarkan persentase
volume darah yang hilang. Namun, perbedaan antara klasifikasi tersebut
pada pasien hipovolemik sering tidak nyata. Penanganan sebaiknya agresif
dan langsung lebih berkaitan pada respon terapi dibandingkan klasifikasi
awal.10
Tabel. 2.1 Perkiraan kehilangan cairan dan darah berdasarkan presentasi
penderita.8

15

Pada pasien dengan trauma, perdarahan biasanya dicurigai sebagai


penyebab dari syok. Namun, hal ini harus dibedakan dengan penyebab
syok yang lain. Diantaranya tamponade jantung (bunyi jantung melemah,
distensi vena leher), tension pneumothorax (deviasi trakea, suara napas
melemah unilateral), dan trauma medulla spinalis (kulit hangat, jarang
takikardi, dan defisit neurologis).8
Ada empat daerah perdarahan yang mengancam jiwa meliputi: dada,
perut, paha, dan bagian luar tubuh.7,8
a) Dada sebaiknya diauskultasi untuk mendengar bunyi pernapasan yang
melemah, karena perdarahan yang mengancam hidup dapat berasal
dari miokard, pembuluh darah, atau laserasi paru.
b) Abdomen seharusnya diperiksa untuk menemukan jika ada nyeri atau
distensi, yang menunjukkan cedera intraabdominal.
c) Kedua paha harus diperiksa jika terjadi deformitas atau pembesaran
(tanda-tanda fraktur femur dan perdarahan dalam paha).

16

d) Seluruh tubuh pasien seharusnya diperiksa untuk melihat jika ada


perdarahan luar.
Pada pasien tanpa trauma, sebagian besar perdarahan berasal dari
abdomen. Abdomen harus diperiksa untuk mengetahui adanya nyeri,
distensi, atau bruit. Mencari bukti adanya aneurisma aorta, ulkus
peptikum, atau kongesti hepar. Juga periksa tanda-tanda memar atau
perdarahan.7
Pada pasien hamil, dilakukan pemeriksaan dengan speculum steril.
Meskipun, pada perdarahan trimester ketiga, pemeriksaan harus dilakukan
sebagai double set-up di ruang operasi. Periksa abdomen, uterus,atau
adneksa.7
Penyebab-penyebab syok hemoragik adalah trauma, pembuluh
darah, gastrointestinal, atau berhubungan dengan kehamilan.11
a) Penyebab trauma dapat terjadi oleh karena trauma tembus atau trauma
benda tumpul. Trauma yang sering menyebabkan syok hemoragik
adalah sebagai berikut: laserasi dan ruptur miokard, laserasi pembuluh
darah besar, dan perlukaan organ padat abdomen, fraktur pelvis dan
femur, dan laserasi pada tengkorak.
b) Kelainan pada pembuluh darah yang mengakibatkan banyak
kehilangan darah antara lain aneurisma, diseksi, dan malformasi arterivena.
c) Kelainan pada gastrointestinal yang dapat menyebabkan syok
hemoragik antara lain: perdarahan varises oesofagus, perdarahan ulkus
peptikum, Mallory-Weiss tears, dan fistula aortointestinal.
d) Kelainan yang berhubungan dengan kehamilan, yaitu kehamilan
ektopik terganggu, plasenta previa, dan solutio plasenta. Syok
hipovolemik

akibat

kehamilan

ektopik

umum

terjadi.

Syok

hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada pasien dengan tes


kehamilan negatif jarang terjadi, tetapi pernah dilaporkan.
3. Pemeriksaan Laboratorium

17

Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisis dlakukan, langkah diagnosis


selanjutnya tergantung pada penyebab yang mungkin pada hipovolemik,
dan stabilitas dari kondisi pasien itu sendiri.
Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara
lain:8,10
a) Hemoglobin dan hematokrit
Pada fase awal renjatan syok karena perdarahan kadar Hb dan
hematokrit masih tidak berubah, kadar Hb dan hematokrit akan
menurun sesudah perdarahan berlangsung lama, karena proses
autotransfusi. Hal ini tergantung dari kecepatan hilangnya darah yang
terjadi. Pada syok karena kehilangan plasma atau cairan tubuh seperti
pada dengue fever atau diare dengan dehidrasi akatn terjadi
haemokonsentrasi.
b) Urin
Produksi urin akan menurun, lebih gelap dan pekat. Berat jenis
urin menigkat >1,020. Sering didapat adanya proteinuria
c) Pemeriksaan analisa gas darah
pH, PaO2, PaCO2 dan HCO3 darah menurun. Bila proses
berlangsung terus maka proses kompensasi tidak mampu lagi dan akan
mulai tampak tanda-tanda kegagalan dengan makin menurunnya pH
dan PaO2 dan meningkatnya PaCO2 dan HCO3. Terdapat perbedaan
yang jelas antara PO2 dan PCO2 arterial dan vena.
d) Pemeriksaan elektrolit serum
Pada renjatan sering kali didapat adanya

gangguan

keseimbangan elektrolit seperti hiponatremi, hiperkalemia, dan


hipokalsemia terutama pada penderita dengan asidosis
e) Pemeriksaan fungsi ginjal pemeriksaan BUN (Blood urea nitrogen)
dan serum kreatinin penting pada renjatan terutama bila ada tandatanda gagal ginjal
f) Pemeriksaan faal hemostasis
g) Pemeriksaan yang lain untuk menentukan penyebab penyakit primer
h) Pemeriksaan Radiologi
Pasien dengan hipotensi dan/atau kondisi tidak stabil harus
pertama kali diresusitasi secara adekuat. Penanganan ini lebih utama

18

daripada pemeriksaan radiologi dan menjadi intervensi segera dan


membawa pasien cepat ke ruang operasi.
Langkah diagnosis pasien dengan trauma, dan tanda serta
gejala hipovolemia langsung dapat ditemukan kehilangan darah pada
sumber perdarahan. Pasien trauma dengan syok hipovolemik
membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi di unit gawat darurat jika
dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis. Jika dicurigai terjadi
perdarahan gastrointestinal, sebaiknya dipasang selang nasogastrik,
dan gastric lavage harus dilakukan. Foto polos dada posisi tegak
dilakukan jika dicurigai ulkus perforasi atau Sindrom Boerhaave.
Endoskopi dapat dilakukan (biasanya setelah pasien tertangani) untuk
selanjutnya mencari sumber perdarahan.
Jika dicurigai terjadi diseksi dada karena mekanisme dan
penemuan dari foto polos dada awal, dapat dilakukan transesofageal
echocardiography, aortografi, atau CT-scan dada.
Jika dicurigai terjadi cedera abdomen, dapat dilakukan
pemeriksaan FAST (Focused Abdominal Sonography for Trauma)
yang bisa dilakukan pada pasien yang stabil atau tidak stabil. CT-Scan
umumnya dilakukan pada pasien yang stabil. Jika dicurigai fraktur
tulang panjang, harus dilakukan pemeriksaan radiologi
Tes kehamilan sebaiknya dilakukan pada semua pasien
perempuan usia subur. Jika pasien hamil dan sementara mengalami
syok, konsultasi bedah dan ultrasonografi pelvis harus segera
dilakukan pada pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas tersebut.
Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik sering terjadi. Syok
hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada pasien dengan hasil tes
kehamilan negatif jarang, namun pernah dilaporkan.
4. Differensial diagnosis
a Solusio plasenta Kehamilan ektopik
b Aneurisma abdominal Perdarahan post partum
c Aneurisma thoracis Trauma pada kehamilan
d Fraktur femur Syok hemoragik
e Fraktur pelvis Syok hipovolemik
19

f
g

Gastritis dan ulkus peptikum Toksik


Plasenta previa

B. Syok kardiogenik
1. Anamnesis
Syok kardiogenik dapat didiagnosa dengan mengetahui adanya
tanda-tanda syok dan dijumpai adanya penyakit jantung, seperti infark
miokard yang luas, gangguan irama jantung, rasa nyeri daerah torak, atau
adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan katub atau sekat
jantung.
2. Pemeriksaan Fisik
Syok kardiogenik ditandai dengan tekanan sistolik rendah (kurang dari
90 mmHg), diikuti menurunnya aliran darah ke organ vital :
a. Produksi urin kurang dari 20 ml/jam
b.
Gangguan mental, gelisah, sopourus
c. Akral dingin
d.
Aritmia yang serius, berkurangnya aliran darah
e.

koroner,

meningkatnya laktat kardial.


Meningkatnya adrenalin, glukosa, free fatty acid cortisol, rennin,
angiotensin plasma serta menurunnya kadar insulin plasma.
Pada keadaan lanjut akan diikuti hipoksemia primer ataupun

sekunder,

terjadi

karena

ketidakseimbangan

ventilasi-perfusi,

hipovolemia, dan asidosis metabolik. Hipovolemia merupakan komplikasi


yang sering terjadi pada syok kardiogenik, disebabkan oleh meningkatnya
redistribusi cairan dari intravaskular ke interstitiel, stres akut, ataupun
penggunaan diuretika.
Kriteria hemodiamik syok kardiogenik adalah hipotensi terus
menerus (tekanan darah sistolik < 90 mmHg lebih dari 90 menit) dan
bekurangnya cardiac index (<2,2/menit per m2) dan meningginya tekanan
kapiler paru (>15 mmHg).
a
Diagnosis dapat juga ditegakkan sebagai berikut
b Tensi turun : sistolik < 90 mmHg atau menurun lebih dari 30-60
mmHg dari semula, sedangkan tekanan nadi < 30 mmHg.

20

3.

c
d

Curah jantung, indeks jantung < 2,1 liter/menit/m2.


Tekanan di atrium kanan (tekanan vena sentral) biasanya tidak turun,

normal, rendah sampai meninggi.


Tekanan diatrium kiri (tekanan kapiler baji paru) rendah sampai

f
g

meninggi.
Resistensi sistemis.
Asidosis.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang segera dilakukan : \
a
b

Serum elektrolit, fungsi ginjal dan fungsi hepar.


Jumlah sel darah merah, leukosit (infeksi),

c
d

(koagulopati)
Enzim Jantung (Creatinine Kinase, troponin, myoglobin, LDH)
Analisa gas darah arteri, dapat menggambarkan keseimbangan
asam-basa

dan

kadar

oksigen.

Defisit

trombosit

basa

penting,

menggambarkan kejadian dan derajat renjatan, harus dipantau


e

terus selama resusitasi.


Pemeriksaan serial kadar laktat, menggambarkan hipoperfusi

dan prognosis.
Pemeriksaan yang

harus

direncanakan

adalah

EKG,

ekokardiografi. foto polos dada.


C. Syok Distributif
Syok anafilaktik
1. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan zat penyebab anafilaksis (injeksi, minum
obat, disengat hewan, makan sesuatu atau setelah test kulit ), timbul
biduran mendadak, gatal dikulit, suara parau sesak ,sekarnafas, lemas,
pusing, mual,muntah sakit perut setelah terpapar sesuatu.

2. Pemeriksaan fisik
21

Keadaan umum : baik sampai buruk

Kesadaran: composmentis sampai koma

Tensi : hipotensi,

Nadi :takikardi,

Kepala dan leher : sianosis, dispneu, konjungtivitis, lakrimasi,


edema periorbita, perioral, rinitis

Thorax aritmia sampai arrest pulmo bronkospasme, stridor, rhonki


dan wheezing, abdomen : nyeri tekan, bising usus meningkat

Ekstremitas : urtikaria, edema.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Tambahan Hematologi :
Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah sel darah putih yang
banyak atau sedikit, dan jumlah faktor pembekuan yang menurun.
Jika terjadi gagal ginjal, kadar hasil buangan metabolik (seperti urea
nitrogen) dalam darah akan meningkat. Hitung sel meningkat
hemokonsentrasi, trombositopenia eosinofilia naik/ normal / turun.
Biakan darah dibuat untuk menentukan bakteri penyebab infeksi.
b. Analisa gas darah menunjukkan adanya asidosis dan rendahnya
konsentrasi oksigen.
c. X foto : Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus
plug,
22

d. EKG : Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia atau


menunjukkan ketidakteraturan irama jantung, menunjukkan suplai
darah yang tidak memadai ke otot jantung.

4. Diferensial Diagnosis
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik, seperti :
a. Reaksi vasovagal
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat
suntikan. Pasien tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi
dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal
nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya
turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah
seperti anafilaktik
b. Infark miokard akut
Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri
dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa
sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas.
Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.
c. Reaksi hipoglikemik
Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh

pemakaian

obat

antidiabetes atau sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat,


sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun tetapi
tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada
reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas.
d. Reaksi histeris
Pada reaksi histeris tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal
napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan
meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai
pada reaksi anafilaksis.
e. Carsinoid syndrome
Pada sindrom ini

dijumpai

gejala-gejala

seperti

muka

kemerahan, nyeri kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma.

23

f. Chinese restaurant syndrome


Dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan
muntah

pada

beberapa

menit

setelah

mengkonsumsi

MSG

(monosodium glutamat) lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5gr
bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut
nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi
makanan tanpa MSG.
g. Asma bronchial
Gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak,
dan suara napas yang berbunyi ngik-ngik. Dan biasanya timbul karena
faktor pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih
sering terjadi pada pagi hari.
h. Rinitis alergika
Penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu
hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan
karena faktor pencetus, mis. debu, terutama di udara dingin.dan
hampir semua kasus asma diawali dengan RA.
Syok neurogenik
1. Anamnesis
Hampir sama dengan syok pada umumnya tetapi pada syok
neurogenik dari anamnesis biasanya terdapat cedera pada sistem saraf
(seperti: trauma kepala, cidera spinal, atau anestesi umum yang dalam).
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik terdapat tanda tekanan darah turun, nadi
tidak bertambah cepat, bahkan dapat lebih lambat (bradikardi) kadang
disertai dengan adanya defisit neurologis berupa quadriplegia atau
paraplegia.
3. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:
a. Darah (Hb, Ht, leukosit, golongan darah), kadar elektrolit, kadar
ureum, kreatinin, glukosa darah.
b. Analisa gas darah
c. EKG
4. Diferensial Diagnosis

24

a. Semua jenis syok.


b. Sinkop (pingsan)
c. Hipoglikemia

Syok sepsis
1.
Anamnesis
Pada anamnesis sering didapatkan riwayat demam tinggi yang
berkepanjangan, sering berkeringat dan menggigil, menilai faktor
resiko menderita penyakit menahun, mengkonsumsi antibiotik
jangka panjang, pernah mendapatkan tindakan medis/pemebedahan
2.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan demam tinggi, akral
dingin, tekanan darah turun < 80 mmHg dan disertai penurunan
3.

kesadaran.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah sel darah putih yang
banyak atau sedikit, dan jumlah faktor pembekuan yang menurun. Jika
terjadi gagal ginjal, kadar hasil buangan metabolik (seperti urea nitrogen)
dalam darah akan meningkat. Analisa gas darah menunjukkan adanya
asidosis dan rendahnya konsentrasi oksigen. Pemeriksaan EKG jantung
menunjukkan ketidakteraturan irama jantung, menunjukkan suplai darah
yang tidak memadai ke otot jantung. Biakan darah dibuat untuk
menentukan bakteri penyebab infeksi.

4.
-

Diferensial Diagnosis
Semua penyakit infeksi

D. Syok Obstruktif
Syok Obstruktif : gejalanya sulit dibedakan dengan syok kardiogenik,
namun dari riwayat penyakit pasien, syok ini bisa didiagnosa. Riwayat
penyakit Tamponade jantung, Pneumotorak; dan Emboli paru.

25

Manifestasi Klinis tamponade jantung :

Tanda : Dispnea, Trias Beck (Hipotensi, distensi vena, suara jantung


menjauh), CVP>15

Peningkatan tekanan vena jugularis

Takikardi, takipnea

Pulsus paradoksus > 10 mm Hg

Gesekan perikard

Bunyi jantung melemah

Kusmaull sign : peningkatan distensi dan tekanan vena secara


paradoksal selama inspirasi

Ewart sign : atau Pins sign, diobservasi pada pasien dengan efusi
perikardial luas. Didapatkan area redup, suara bronkial dan
bronchophony di bawah sudut skapula kiri.

Gelisah, cemas, dispnea

Nyeri dada : menjalar ke leher, bahu, punggung, atau abdomen,


memburuk jika bernapas dalam

Kulit pucat, dingin, sianosis


Gejala yang muncul bergantung kecepatan akumulasi cairan

perikardium. Bila terjadi secara lambat dapat memberi kesempatan


mekanisme kompensasi seperti takikardi, peningkatan resistensi vascular
perifer dan peningkatan volume intravaskular. Bila cepat, maka dalam
beberapa menit bisa fatal (Mansjoer, dkk. 2000: 298).
Manifestasi emboli paru :

dyspnoea tiba-tiba dan ada pada 90% kasus


b. nyeri dada pleuritik
c. haemoptisis

26

d. pingsan
e. tachikardia > 100/menit
f. tachipnoe > 20/menit
Diagnosis\
Diagnosis emboli paru ditegakkan berdasarkan gejala dan faktor
pendukungnya. Pemeriksaan untuk menilai fungsi paru-paru:

Gas darah arteri


Oksimetri denyut nadi.

Pemeriksaan untuk menentukan lokasi dan luasnya emboli:

Rontgen dada
Skening ventilasi/perfusi paru
Angiogram paru.

Pemeriksaan untuk trombosis vena dalam (sebagai penyebab tersering):

USG Doppler pada aliran darah anggota gerak


Venografi tungkai
Pletsimografi tungkai.

2.5 Tatalaksana dan komplikasi


A. Syok hipovolemia
Keadaan syok hipovolemia biasanya terjadi berbarengan dengan
kecelakaan sehingga diperlukan tatalaksana prehospital untuk mencegah
timbulnya komplikasi, transfer pasien ke rumah sakit harus cepat, tatalaksana
awal di tempat kejadian harus segera dikerjakan. Pada perdarahan eksternal
yang jelas, dapat dilakukan penekanan langsung untuk mencegah kehilangan
darah yang lebih banyak lagi. Prinsip pengelolaan dasar adalah menghentikan
perdarahan dan mengganti kehilangan volume.
1.

Penatalaksanaan awal
a. Pemeriksaan jasmani

27

Meliputi penilaian ABCDE, serta respon penderita terhadap


terapi, yakni melalui tanda-tanda vital, produksi urin dan tingkat
kesadaran.
1. Airway dan Breathing
Tujuan: menjamin airway yang paten dengan cukupnya
pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen
untuk mempertahankan saturasi >95%. Pada pasien cedera servikal
perlu dilakukan imobilisasi. Pada pasien dengan syok hipovolemik
memberikan ventilasi tekanan positif dapat mengakibatkan
terjadinya penurunan aliran balik vena, cardiac output, dan
memperburuk syok. Untuk memfasilitasi ventilasi maka dapat
diberikan oksigen yang sifat alirannya high flow. Dapat diberikan
dengan menggunakan non rebreathing mask sebanyak 10-12
L/menit.
2. Sirkulasi
a) Kontrol pendarahan dengan:
-

Mengendalikan pendarahan

Memperoleh akses intravena yang cukup

Menilai perfusi jaringan

b) Pengendalian pendarahan:
- Dari luka luar tekanan langsung pada tempat
-

pendarahan (balut tekan).


Pendarahan patah tulang pelvis dan ekstremitas bawah

PASG (Pneumatic Anti Shock Garment).


Pendarahan internal operasi
Posisi pasien juga dapat mempengaruhi sirkulasi. Pada
pasien dengan hipotensi dengan menaikkan kakinya lebih
tinggi dari kepala dan badannya akan meningkatkan venous
return. Pada pasien hipotensi yang hamil dengan cara
memiringkan posisinya ke sebelah kiri juga meningkatkan
aliran darah balik ke jantung.

28

3. Disability : pemeriksaan neurologi


Menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata dan respon
pupil, fungsi motorik dan sensorik. Manfaat: menilai perfusi otak,
mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan
pemulihan.
4. Exposure : pemeriksaan lengkap
Pemeriksaan lengkap terhadap cedera lain yang mengancam
jiwa serta pencegahan terjadi hipotermi pada penderita.
5. Dilatasi Lambung: dekompresi
Dilatasi lambung pada penderita trauma, terutama anak-anak
mengakibatkan terjadinya hipotensi dan disritmia jantung yang
tidak dapat diterangkan. Distensi lambung menyebabkan terapi
syok menjadi sulit. Pada penderita yang tidak sadar, distensi
lambung menyebabkan resiko aspirasi isi lambung. Dekompresi
dilakukan dengan memasukkan selang melalui mulut atau hidung
dan memasangnya pada penyedot untuk mengeluarkan isi
lambung.
6. Pemasangan kateter urin
Memudahkan penilaian adanya hematuria dan evaluasi perfusi
ginjal dengan memantau produksi urin.
Kontraindikasi: darah pada uretra, prostat letak tinggi, mudah
bergerak.
7. Akses pembuluh darah
Harus segera didapatkan akses ke pembuluh darah. Paling baik
dengan 2 kateter intravena ukuran besar, sebelum dipertimbangkan
jalur vena sentral. Kateter yang digunakan adalah kateter pendek
dan kaliber besar agar dapat memasukkan cairan dalam jumlah
besar. Tempat terbaik jalur intravena orang dewasa adalah lengan
bawah. Bila tidak memungkinkan digunakan akses pembuluh
sentral atau melakukan venaseksi. Pada anak-anak < 6 tahun,
teknik penempatan jarum intraosseus harus dicoba sebelum
29

menggunakan jalur vena sentral. Selain itu, teknik intraoseus juga


dapat dilakukan pada pasien dewasa dengan hipotensi. Jika kateter
vena

telah

terpasang,

diambil

darah

untuk

crossmatch,

pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan toksikologi, serta tes


kehamilan pada wanita subur serta analisis gas darah arteri.
b. Terapi Awal Cairan.
Larutan elektrolit isotonik digunakan sebagai terapi cairan
awal. Jenis cairan ini mengisi intravaskuler dalam waktu singkat dan
juga menstabilkan volume vaskuler dengan mengganti volume darah
yang hilang berikutnya ke dalam ruang intersisial dan intraseluler.
Larutan Ringer Laktat adalah cairan pilihan pertama sedangkan NaCl
fisologis adalah pilihan kedua. Jumlah cairan yang diberikan adalah
berdasarkan hukum 3 untuk 1, yaitu memerlukan sebanyak 300 ml
larutan elektrolit untuk 100 ml darah yang hilang. Sebagai contoh,
pasien dewasa dengan berat badan 70 kg dengan derajat perdarahan III
membutuhkan jumlah cairan sebanyak 4.410 cairan kristaloid. Hal ini
didapat dari perhitungan [(BB x % darah untuk masing-masing usia x
% perdarahan) x 3], yaitu [70 x 7% x 30% x 3]. 13 Jumlah darah pada
dewasa adalah sekitar 7% dari berat badan, anak-anak sekitar 8-9%
dari berat badan. Bayi sekitar 9-10% dari berat badan. Pemberian
cairan ini tidak bersifat mutlak, sehingga perlu dinilai respon penderita
untuk mencegah kelebihan atau kekurangan cairan. Bila sewaktu
resusitasi, jumlah cairan yang diperlukan melebihi perkiraan, maka
diperlukan penilaian ulang yang teliti dan perlu mencari cedera yang
belum diketahui atau penyebab syok yang lain.
Singkatnya untuk bolus cairan inisial dapat diberikan 1-2 L
cairan kristaloid, pada pasien anak diberikan 20 cc/kg BB
1. Evaluasi Resusitasi Cairan dan Perfusi Organ
a) Umum
Pulihnya tekanan darah menjadi normal, tekanan nadi
dan denyut nadi merupakan tanda positif yang menandakan
30

bahwa perfusi sedang kembali ke keadaan normal, tetapi tidak


memberi informasi tentang perfusi organ.
b) Produksi urin
Jumlah produksi urin merupakan indikator penting
untuk perfusi ginjal. Penggantian volume yang memadai
menghasilkan pengeluaran urin sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada
orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada anak-anak dan 2
ml/kgBB/jam pada bayi. Jika jumlahnya kurang atau makin
turunnya produksi dengan berat jenis yang naik menandakan
resusitasi yang tidak cukup.
c) Keseimbangan Asam-Basa
Penderita syok hipovolemik dini akan mengalami
alkalosis pernafasan karena takipneu. Alkalosis respiratorik
disusul dengan asidosis metabolik ringan dalam tahap syok
dini tidak perlu diterapi. Asidosis metabolik yang berat dapat
terjadi pada syok yang terlalu lama atau berat. Asidosis yang
persisten pada penderita syok yang normothermic harus diobati
dengan cairan darah dan dipertimbangkan intervensi operasi
untuk mengendalikan pendarahan. Defisit basa yang diperoleh
dari analisa gas darah arteri dapat memperkirakan beratnya
defisit perfusi yang akut.
2. Respon Terhadap Resusitasi Cairan Awal
Respon penderita terhadap resusitasi awal merupakan kunci
untuk menentukan terapi berikutnya. Pola respon yang potensial
tersebut, dibagi dalam 3 kelompok:
a) Respon cepat
Penderita cepat memberi respon ketika bolus cairan
awal dan tetap hemodinamis normal kalau bolus cairan awal
selesai dan cairan kemudian diperlambat sampai kecepatan
maintenance.
b) Respon sementara (transient)
Sebagian besar penderita akan berespon terhadap
pemberian

cairan,
31

namun

bila

tetesan

diperlambat

hemodinamik menurun kembali karena kehilangan darah yang


masih berlangsunya.
c) Respon minimal atau tanpa respon
Walaupun sudah diberikan cairan dan darah cukup,
tetap tanpa respon, perlu operasi segera.
Perbedaan masing-masingnya tampak pada tabel berikut.

Tabel 2.2 .Respon Terhadap Pemberian Cairan Awal


Respon Cepat
Respon Sementara
Tanpa Respon
Kembali
ke Perbaikan sementara Tetap abnormal

Tanda vital

normal

tek. Darah dan nadi


kemudian

kembali

turun
(10- Sedang-masih

Dugaan

Minimal

Kehilangan darah
Kebutuhan

20%)
Sedikit

(20-40%)
Banyak

Banyak

kristaloid
Kebutuhan darah
Persiapan darah

Sedikit
Type specific &

Sedang-banyak
Type specific

Banyak
Emergency

Sangat mungkin
Perlu

Hampir pasti
Perlu

Operasi
Kehadiran

crossmatch
Mungkin
dini Perlu

ada Berat (>40%)

ahli bedah
Keberhasilan manajemen syok hemoragik atau lebih khusus lagi
resusitasi cairan bisa dinilai dari parameter-parameter berikut:

Capilary refill time < 2 detik

MAP 65-70 mmHg

O2 sat >95%

Urine output >0.5 ml/kg/jam (dewasa) ; > 1 ml/kg/jam (anak)

32

Shock index = HR/SBP

CVP 8 to12 mm Hg

ScvO2 > 70%

(normal 0.5-0.7)

c. Transfusi Darah
Tujuan utama transfusi darah adalah memperbaiki kemampuan
mengangkut oksigen dari volume darah. Pemberian darah juga
tergantung respon penderita terhadap pemberian cairan.
1. Pemberian darah packed cell vs darah biasa
Tujuan utama transfusi darah: memperbaiki kemampuan
mengangkut oksigen dari volume darah. Dapat diberikan darah
biasa maupun packed cell.
Pemberian cairan adekuat dapat memperbaiki cardiac output
tetapi tidak memperbaiki oksigensi sebab tidak ada penambahan
jumlah dari media transport oksigen yaitu hemoglobin. Pada
keadaan tersebut perlu dilakukan tranfusi. Beberapa indikasi
pemberian tranfusi PRC adalah:
- Jumlah perdarahan diperkirakan >30% dari volume total atau
-

perdarahan derajat III


Pasien hipotensi yang tidak berespon terhadap 2 L kristaloid
Memperbaiki delivery oksigen
Pasien kritis dengan kadar hemoglobin 6-8 gr/dl.
Fresh frozen plasma diberikan apabila terjadi kehilangan

darah lebih dari 20-25% atau terdapat koagulopati dan dianjurkan


pada pasien yang telah mendapat 5-10 unit PRC. Tranfusi platelet
diberikan apada keadaan trombositopenia (trombosit <20.00050.000/mm) dan perdarahan yang terus berlangsung. Berikut
indikasi dan unit pemberian:

33

Tabel 2.3. Indikasi dan unit pemberian tranfusi produk darah

2. Darah crossmatch, jenis spesifik dan tipe O


-

Lebih baik darah yang sepenuhnya crossmatched.

Darah tipe spesifik dipilih untuk penderita yang responnya


sementara atau singkat.

Jika darah tipe spesifik tidak ada, maka packed cell tipe O
dianjurkan untuk penderita dengan pendarahan exsanguinating.

3. Pemanasan cairan plasma dan kristaloid


Hipotermia harus dihindari dan dikoreksi bila penderita saat
tiba di RS dalam keadaan hipotermi. Untuk mencegah hipotermi
pada

penderita

yang

menerima

volume

kristaloid

adalah

menghangatkan cairannya sampai 39C sebelum digunakan.


4. Autotransfusi
Pengumpulan darah keluar untuk autotransfusi sebaiknya
dipertimbangkan untuk penderita dengan hemothoraks berat.
5. Koagulopati

34

Koagulopati jarang ditemukan pada jam pertama. Penyebab


koagulopati:
- Transfusi masif akan menghasilkan dilusi platelet dan
faktor-faktor pembekuan
-

Hipotermi menyebabkan gangguan agregasi platelet dan


clotting cascade.

d. Pemberian Kalsium
Kalsium tambahan dan berlebihan dapat berbahaya.

Komplikasi paling umum pada syok hemoragik adalah penggantian


volume yang tidak adekuat.
1.

Pendarahan yang berlanjut

35

Pendarahan yang tidak terlihat adalah penyebab paling umum dari


respon buruk penderita terhadap cairan, dan termasuk kategori respon
sementara.
2.

Kebanyakan cairan (overload) dan pemantauan CVP (central


venous pressure)
Setelah penilaian penderita dan pengelolaan awal, resiko kebanyakan
cairan diperkecil dengan memantau respon penderita terhadap resusitasi,
salah satunya dengan CVP. CVP merupakan pedoman standar untuk

3.

menilai kemampuan sisi kanan jantung untuk menerima beban cairan.


Menilai masalah lain
Jika penderita tidak memberi respon terhadap terapi, maka perlu
dipertimbangkan adanya tamponade jantung, penumothoraks tekanan,
masalah ventilator, kehilangan cairan yang tidak diketahui, distensi akut
lambung, infark miokard, asidosis diabetikum, hipoadrenalisme dan syok
neurogenik. Beberapa medikasi lain yang diperlukan adalah pemberian
antibiotik dan antasida atau H2 blocker. Pasien syok perdarahan memiliki
resiko terjadinya sepsis akibat iskemi pada sistem saluran cerna.
Pemberian antasida atau H2 blocker bertujuan untuk mengurangi stress
ulcer.

4.
5.

Sekuele neurologis
Kematian

B. Syok kardiogenik
Prehospital care: bertujuan untuk meminimalisir iskemik dan syok
yang sedang terjadi. Pasien dipasang akses intravena, oksigen high flow, dan
monitor jantung/ EKG. Dengan EKG dapat segera dideteksi terjadinya ST
elevasi yang terjadi pada infark miokard. Obat-obatan inortropik sebaiknya
dipersiapkan. Bila perlu, dapat dilakukan pemberian ventilasi tekanan positif
dan intubasi. Pemasangan CPAP (Continuous positive airway pressure) atau
BIPAP (bilevel positive airway pressure) dapat dipertimbangkan.
Berikut adalah algoritme sindroma koroner akut. Gambar 2.7

36

Berdasarkan penelitian yang terdahulu, terapi pilihan untuk syok tipe


ini adalah percutaneus coronary intervention (PCI) atau bypass arteri koroner.
Dengan terapi ini maka angka kematian dapat turun dalam 1 tahun pertama.
PCI terbaik dilakukan saat onset dengan kejadian infark sekitar 90 menit
sampai 12 jam pertama. Jika fasilitas seperti ini tidak ada, maka terapi dengan
trombolitik dapat dipertimbangkan. Beberapa penelitian menunjukkan
pemberian trombolitik pada tekanan darah yang rendah tidak dapat
mengakibatkan lisis thrombus di pembuluh darah. Tatalaksana dimulai:
1.

manajemen ABC. Pada pasien yang sangat sesak dapat


dipertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanik.

37

2.

Pemberian

vasopresor

intravena

baik

untuk

meningkatkan inortropik dan memaksimalkan perfusi ke miokardium


yang iskemik. Yang perlu diperhatikan, pemberian vasopresor itu sendiri
dapat berakibat peningkatan denyut jantung yang pada akhirnya akan
memperluas infark yang telah terjadi. Sehingga penggunaan vasopresor di
sini harus digunakan secara hati-hati. Beberapa vasopresor yang dapat
diberikan seperti:
- Dopamin, dengan dosis tinggi mengakibatkan peningkatan konsumsi
-

oksigen miokard, dosis yang digunakan 5-10 mcg/kg/min


Dobutamin selain memiliki sifat inortropik tetapi juga memiliki efek

vasodilatasi sehingga dapat mengurangi preload dan afterload


Norepinefrin per infus dapat diberikan pada syok kardiogenik yang
refrakter, obat ini dapat mengakibatkan peningkatan afterload, dosis
yang dapat digunakan 0.5 mcg/kg/min
Preparat nitrat atau morfin digunakan untuk analgetik, tetapi perlu

diingat bahwa keduanya dapat mengakibatkan hipotensi sehingga jangan


sampai memperparah keadaan syok pasien dengan pemberian preparat ini.
Alat yang dapat membantu pasien dalam syok kardiogenik secara mekanis
yakni intraaortic balloon pump (IABP) bermanfaat terutama pada syok
kardiogenik yang sudah tidak dapat ditangani dengan obat-obatan.
Antiagregasi trombosit seperti aspirin tersedia dalam 81 mg, 325
mg, 500 mg, dapat menurunkan mortalitas akibat infark miokard.
Vasodilator yang juga dapat digunakan adalah nitrogliserin IV yang
bekerja dengan merelaksasikan otot polos pembuluh darah sehingga
menurunkan resistensi perifer.
C. Syok Distributif
Syok neurogenik
Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian
vasoaktif seperti fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler

38

dengan penyempitan sfingter prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong


keluar darah yang berkumpul ditempat tersebut.
1. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi
Trendelenburg).
2. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan
menggunakan masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi
yang berat, penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat
dianjurkan. Langkah ini untuk menghindari pemasangan endotracheal
yang darurat jika terjadi distres respirasi yang berulang. Ventilator
mekanik juga dapat menolong menstabilkan hemodinamik dengan
menurunkan penggunaan oksigen dari otot-otot respirasi
3. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi
cairan. Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya
diberikan per infus secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan
yang cermat terhadap tekanan darah, akral, turgor kulit, dan urin output
untuk menilai respon terhadap terapi.
4. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obatobat vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada
perdarahan seperti ruptur lien) :
- Dopamin
Merupakan obat pilihan

pertama.

Pada

dosis

>

10

mcg/kg/menit, berefek serupa dengan norepinefrin. Jarang terjadi


-

takikardi.
Norepinefrin
Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan
darah. Monitor terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang rendah
jika norepinefrin gagal dalam menaikkan tekanan darah secara
adekuat. Pada pemberian subkutan, diserap tidak sempurna jadi
sebaiknya diberikan per infus. Obat ini merupakan obat yang terbaik
karena pengaruh vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh
terhadap jantung (palpitasi). Pemberian obat ini dihentikan bila
tekanan darah sudah normal kembali. Awasi pemberian obat ini pada
wanita hamil, karena dapat menimbulkan kontraksi otot-otot uterus.
39

Epinefrin
Pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna
dan dimetabolisme cepat dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer
sama kuat dengan pengaruhnya terhadap jantung Sebelum pemberian
obat ini harus diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami syok
hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi

perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok neurogenik


Dobutamin
Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh
menurunnya cardiac output. Dobutamin dapat menurunkan tekanan
darah melalui vasodilatasi perifer.
Resistensi
Obat

Dosis

Cardiac

Tekanan

Pembuluh

Output

Darah

Darah
Sistemik

Dopamin
Norepinefri
n
Epinefrin
Fenilefrin
Dobutamin

2,5-20
mcg/kg/menit
0,05-2
mcg/kg/menit
0,05-2
mcg/kg/menit
2-10
mcg/kg/menit
2,5-10
mcg/kg/menit

++

++

++

++

++

++

+/-

Syok septik
Pada SIRS (systemic inflammation response syndrome) dan sepsis, bila
terjadi syok ini karena toksin atau mediator penyebab vasodilatasi. Prinsip
utama semua syok tetap ABC. Pengobatan berupa resusitasi cairan segera dan
setelah kondisi cairan terkoreksi, dapat diberikan vasopressor untuk mencapai
MAP optimal. Perfusi jaringan dan oksigenasi sel tidak akan optimal kecuali

40

bila ada perbaikan preload. Dapat dipakai dopamin, norepinephrine dan


vasopressin. Untuk menurunkan suhu tubuh yang hiperpireksia dapat
diberikan antipiretik. Pengobatan lainnya bersifat simtomatik. Pengobatan
kausal dari sepsis.

Pemilihan antibiotik untuk sepsis biasanya secara empiris dapat


digunakan: vankomisin, ceftazidim, cefepime, ticarcilin, pipercilin, imipenem,
meropenem, cefotaxim, klindamisin, metronidazol.
D. Syok anafilaktik
Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab
penderita berada pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok
anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emerjensi dan alat bantu
resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini diperlukan
karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian
atau cacat organ tubuh menetap.

41

Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau


zat kimia, baik peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu
dilakukan, adalah:
1. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih
tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam
usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
2. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
a

Airway 'penilaian jalan napas'. Jalan napas harus dijaga tetap bebas,
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar,
posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang
menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik
mandibula ke depan, dan buka mulut.

Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak


ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke
hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.
Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain
ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan
oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera
ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi,
atau trakeotomi.

Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.
karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan

hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi


jantung paru.
3. Segera berikan adrenalin 0.3--0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita
dewasa atau 0.01 mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular.
Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik.

42

Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2--4


ug/menit.
4. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang
memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5--6 mg/kgBB intravena
dosis awal yang diteruskan 0.4--0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
5. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau
deksametason 5--10 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk
mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel.
6. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena
untuk

koreksi

hipovolemia

akibat

kehilangan

cairan

ke

ruang

ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik.


Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung
serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan
kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas
keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas
atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid,
maka diperlukan jumlah 3--4 kali dari perkiraan kekurangan volume
plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat
kehilangan cairan 20--40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan
larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan
kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan
koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin.
7. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok
anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam
perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di
tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas
yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi
waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi
dari jantung.

43

8. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan,


tetapi harus diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam.
Sedangkan penderita yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2--3
kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi.
Komplikasi syok anafilaktik: Pada syok anafilaktik, bisa terjadi
bronkospasme yang menurunkan ventilasi
2.6 Prognosis
Prognosis syok hipovolemik tergantung derajat kehilangan cairan. Bila
keadaan klinis pasien dengan syok anafilaktik masih ringan dan penanganan cepat
dilakukan maka hasilnya akan memuaskan. Prognosis pada syok neurogenik
tergantung penyebab syok tersebut. Sedangkan pada syok sepsis baik apabila
penatalaksaan hemodinamik cepat dan segera mengetahui bakteri/virus penyebab
infeksi

44

BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan
1. Syok merupakan keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan perfusi
darah ke jaringan, sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel.
2. Klasifikasi syok : syok hipovolemik, syok kardiogenik, syok obstruktif dan
syok distributive . Gejala/Tanda

pucat (pallor )

hipotensi (tekanan sistol < 90 mmHg)

terkadang tekanan darah tak terdeteksi

takikardi (frekuensi jantung > 100x/menit)

takipneu (nafas cepat)

berkeringat,

Akral dingin

Oliguria

3. Penatalaksanaan syok :

Bantuan hidup dasar

Terapi cairan

3.2 Saran
a. Melakukan penilaian dan penanganan syok pada pasien secara cepat dan tepat.
b. Mencegah terjadinya komplikasi lanjut.

45

DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidayat, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005. 11924.
2. Udeani J. Shock, Hemorrhagic. 2008 [cited November 26th 2011].
http://emedicine.medscape.com/article/432650-overview
3. Krausz. Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal of
Emergency Surgery. 2006. 1-14
4. American College of Surgeons Committe On Trauma. Advanced Trauma Life
Support Untuk Dokter. 1997. 89-115
5. Anderson SP, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit jilid 1, edisi 4.1995. Jakarta: EGC.
6. Japardi,

Iskandar.

2002.

Manifestasi

Neurologik

Shock

Sepsis.

http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi20.pdf
7. Bartholomeusz L, Shock, dalam buku: Safe Anaesthesia, 1996; 408-413
8. Kolecki P, author. Hypovolemic shock [monograph on the Internet].
Washington:Medscape reference; 2010 [cited 2011 Nov 29]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/760145-treatment
9. Rifki. Syok dan penanggulangannya. FKUA. Padang.2009
10. Krausz. Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal of
Emergency Surgery. 2006. 1-14
11. Bozeman P W. Shock, Hemorrhagic. 2007 [cited Mei 10th 2011].
12. Brandler ES, editor. Cardiogenic shock in emergency medicine [monograph
on the Internet]. Washington:Medscape reference; 2010 [cited 2011 Nov 29].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/759992-treatment
13. Lenneman A, Ooi HH, editors. Cardiogenic shock. [monograph on the
Internet]. Washington:Medscape reference; 2010 [cited 2011 Nov 29].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/152191-treatment
14. Suryono B. Diagnosis dan pengelolaan syok pada dewasa. [Clinical updates

emergency case]. FK UGM: RSUP dr. Sadjito, 2008

46

Anda mungkin juga menyukai