Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

Andrian Astoguno Bayu P.


030.10.029
Pembimbing:
dr. Mukhdiar Kasim Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CILEGON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 9 OKTOBER 2016 12 NOVEMBER 2016

BAB I
PENDAHULUAN
Kesadaran merupakan fungsi utama susunan saraf pusat. Untuk mempertahankan fungsi
kesadaran yang baik, perlu suatu interaksi yang konstan dan efektif antara hemisfer serebri
yang intak dan formasio retikularis di batang otak. Gangguan pada hemisfer serebri atau
formasio retikularis dapat menimbulkan gangguan kesadaran.
Bergantung pada beratnya kerusakan, gangguan kesadaran dapat berupa apati, delirium,
somnolen, sopor atau koma. Koma sebagai kegawatan maksimal fungsi susunan saraf pusat
memerlukan tindakan yang cepat dan tepat, sebab makin lama koma berlangsung makin parah
keadaan susunan saraf pusat sehingga kemungkinan makin kecil terjadinya penyembuhan
sempurna.
Gangguan kesadaran merupakan suatu proses kerusakan fungsi otak yang berat, yang
dapat membahayakan kehidupan.
Pada proses ini susunan saraf pusat terganggu fungsi utamanya mempertahankan
kesadaran. Gangguan kesadaran ini dapat disebabkan beraneka ragam penyebab baik primer
intrakranial ataupun ekstrakranial, yang mengakibatkan kerusakan struktural/metabolik di
tingkat korteks serebri, batang otak atau keduanya.
Pasien dalam keadaan penurunan kesadaran sedang atau berat dapat dikategorikan
sebagai stupor atau koma. Keadaan ini merupakan keadaan emergensi atau gawat darurat bila
terjadi akut. Banyak variasi penyebab baik itu keadaan metabolik atau suatu proses
intrakranial yang dapat mengakibatkan pasien dalam keadaan stupor atau koma ini. Adapun
manajemen pada pasien seperti ini haruslah berfokus untuk menstabilkan keadaan pasien,
menengakkan diagnosis, dan menatalaksana pasien berdasarkan penyebab dari penyakit
tersebut.
Penanggulangan koma sangat tergantung pada patologi dasarnya serta patofisiologi
gangguan kesadaran. Hal ini sangat sulit, apalagi jika riwayat penyakit dan perkembangan
gejala fisik sebelumnya tak jelas diketahui.

BAB II
PEMBAHASAN
DEFINISI
Tingkat aktivitas di dalam otak yang normal bervariasi secara konstan. Aktivitas pada saat terjaga
sangat berbeda dengan aktivitas ketika tertidur. Aktivitas otak ketika mengikuti ujian sangat berbeda
dengan aktivitas otak ketika bersantai di pantai.
Semua perbedaan tersebut merupakan keadaan yang normal dan otak bisa berubah dengan cepat
dari satu tingkat kesiagaan ke tingkat lainnya. Selama keadaan siaga yang abnormal (perubahan
tingkat kesadaran), otak tidak mampu berubah dan berfungsi sebagaimana mestinya. Salah satu bagian
otak yang terletak jauh di dalam batang otak berfungsi mengendalikan tingkat kesadaran dan secara
ritmis merangsang otak untuk terjaga dan siaga.
Dalam keadaan normal, rangsangan kesadaran menerima masukan visual dari mata, suara dari
telinga, sentuhan dari kulit dan masukan dari setiap organ sensorik lainnya untuk melengkapi tingkat
kesiagaan yang tepat. Jika sistem rangsangan atau hubungannya dengan bagian otak yang lain tidak
bekerja sebagaimana mestinya, maka sensasi tidak lagi mempengaruhi tingkat rangsangan dan
kesiagaan otak secara tepat. Jika hal ini terjadi, maka akan timbul gangguan kesadaran.
Gangguan kesadaran ini bisa berlangsung singkat atau lama dan bisa bersifat ringan atau sama
sekali tidak memberikan respon.
Tanda-tanda dan gejala koma umum meliputi :

Mata tertutup
Refleks batang otak tertekan, seperti pupil tidak menanggapi cahaya
Tidak ada tanggapan dari anggota badan, kecuali untuk gerakan reflex
Tidak ada respon terhadap rangsangan yang menyakitkan, kecuali untuk gerakan reflek
Pernapasan tidak teratur

Istilah-istilah yang masih tetap dipakai di klinik ialah komposmentis, somnolen, stupor atau
spoor, dan koma. Terminology ini bersifat kualitatif. Tetapi penurunan kesadaran ini juga dapat dinilai
secara kuantitatif untuk anak dengan menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale).

Komposmentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan dari panca indera
(aware atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar
maupun dari dalam (arousal atau waspada), atau dalam keadaan awas dan waspada.

Somnolen atau drowsiness atau clouding of cinsiousness, berarti mengantuk, mata tampak
cenderung menutup, masih dapat dibangunkan dengan perintah, masih dapat menjawab
pertanyaan walaupun sedikit bingung, tampak gelisah dan orientasi terhadap sekitar

menurun.
Stupor atau sopor lebih rendah daripada somnolen. Mata tertutup, dengan rangsang nyeri
atau suara keras baru membuka mata atau bersuara satu-dua kata. Motorik hanya berupa
gerakan mengelak tehadap rangsang nyeri.

Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah. Dengan rangsang apapun
tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata, bicara, maupun reaksi
motorik.

ETIOLOGI
a. Menurut kausa

1. Diffuse Brain Dysfunction

a. Neuronal damage caused by deprivation of oxygen, glucose, or metabolic


cofactor
b. Hypoxia with an intact CBF, severe pulmonary disease, anemia
c. Decreased CBF (e.g., postcardiac arrest, cardiogenic and hypovolemic shock)
d. Cellular toxins: carbon monoxide, cyanide, hydrogen sulfide
e. Hypoglycemia
f. Thiamine deficiency (Wernicke-Korsakoff syndrome)
2. Endogenous CNS toxins
a. Hyperammonemia (hepatic coma, postureterosigmoidostomy, prune belly
syndrome)
b. Uremia
c. CO2 narcosis
d. Hyperglycemia
3. Exogenous CNS toxins
a. Alcohols: ethanol, isopropyl alcohol
b. Acid poisons (methanol, ethylene glycol, salicylates)
c. Sedatives and narcotics
d. Anticonvulsants
e. Psychotropics
f. Isoniazid
g. Heavy metals
4. Endocrine disorders
a. Myxedema coma, thyrotoxicosis
b. Addisons disease, Cushings disease, pheochromocytoma
5. Abnormalities of ionic environment of CNS
a. Hyponatremia, hypernatremia
b. Hypocalcemia, hypercalcemia

c. Hypomagnesemia, hypermagnesemia
d. Hypophosphatemia
e. Acidosis, alkalosis
6. Environmental disorders and disordered temperature regulation
a. Hypothermia
b. Heat stroke
c. Neuroleptic malignant syndrome
d. Malignant hyperthermia
7. Intracranial hypertension
a. Hypertensive encephalopathy
b. Pseudotumor Cerebri
8. CNS inflammation or infiltration
a. Meningitis
b. Encephalitis
c. Encephalopathy
d. Cerebral vasculitis
e. Subarachnoid hemorrhage
f. Carcinoid meningitis
g. Traumatic axonal shear injury

9. Primary neuronal or glial disorders


a. Creutzfeldt-Jakob disease
b. Marchiafava-Bignami disease
c. Adrenoleukodystrophy
d. Gliomatosis cerebri

e. Progressive multifocal leukoencephalopathy


10. Seizures and postictal state
11. Focal Lesions of the CNS
a. Supratentorial lesions
i. Hemorrhage (traumatic and nontraumatic)
1. Intracerebral
2. Epidural
3. Subdural
ii. Pituitary apoplexy
iii. Infarction
1. Thrombotic arterial occlusion
2. Embolic arterial occlusion
3. Venous occlusion
iv. Tumors
v. Abscess
b. Subtentorial lesions
i. Compressive
1. Cerebellar hemorrhage
2. Posterior fossa subdural or extradural hemorrhage
3. Cerebellar infarct
4. Cerebellar tumor
5. Cerebellar abscess
6. Basilar aneurysm
ii. Destructive
1. Pontine hemorrhage
2. Brainstem infarct

3. Basilar migraine
4. Brainstem demyelination

b. Menurut mekanisme gangguan serta letak lesi


a. Gangguan kesadaran pada lesi supratentorial
b. Gangguan kesadaran pada lesi infratentorial
c. Gangguan difus (gangguan metabolik)
Untuk memudahkan mengingat dan menelusuri kemungkinan-kemungkinan penyebab koma,
model berikut ini dapat dipergunakan di klinik : SEMENITE.
S : Sirkulasi (stroke, penyakit jantung)
E : Ensefalitis (dengan tetap mempertimbangkan adanya infeksi sistemik atau sepsis
yang mungkin melatarbelakanginya atau muncul secara bersamaan)
M : Metabolik (hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, dan koma hepatikum)
E : Elektrolit (diare dan muntah)
N : Neoplasma (tumor otak baik primer ataupun metastasis)
I

: Intoksikasi (berbagai macam obat atau bahan kimia)

T :Trauma (terutama trauma kapitis : kontusio, komosio, perdarahan epidural,


perdarahan subdural, dan dapat pula trauma andomen dan dada)
E : Epilepsi (pasca serangan grand mal atau pada status epileptikus)

PATOFISIOLOGI
Gangguan kesadaran dapat dibagi dua :
1.Gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran.
2.Gangguan isi (kualitas, awareness, alertness) kesadaran.
Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi korteks serebri

termasuk

ingatan, berbahasa dan kepintaran (kualitas), dengan ascending reticular activating system
(ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari pertengahan bagian atas pons. ARAS menerima
serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-jaras sensoris dan melalui thalamic relay nuclei
dipancarkan secara difus ke kedua korteks serebri. ARAS bertindak sebagai suatu off-on
switch, untuk menjaga korteks serebri tetap sadar (awake). Maka apapun yang dapat
mengganggu interaksi ini, apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan
mengakibatkan menurunnya kesadaran.

Karena ARAS terletak sebagian di atas tentorium serebeli dan sebagian lagi di bawahnya,
maka ada tiga mekanisme patofisiologi timbulnya koma :
1. Lesi supratentorial,
2. Lesi subtentorial,
3. Proses metabolik.

Koma supratentorial
1) Lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer serebri, sedang batang otak tetap
normal. Ini disebabkan proses metabolik.
2) Lesi struktural supratentorial (hemisfer). Adanya massa yang mengambil tempat di
dalam cranium (hemisfer serebri) beserta edema sekitarnya misalnya tumor otak, abses
dan hematom mengakibatkan dorongan dan pergeseran struktur di sekitarnya;
terjadilah :
1. Hemiasi girus singuli,
2. Hemiasi transtentorial sentral,
3. Herniasi unkus.
1.Herniasi girus singuli
Hemiasi girus singuli di bawah falx serebri ke arah kontralateral menyebabkan tekanan
pada pembuluh darah serta jaringan otak, mengakibatkan iskemi dan edema.
2.Herniasi transtentorial/sentral

Hemiasi transtentorial atau sentral adalah basil akhir dari proses desak ruang rostrokaudal
dari kedua hemisfer serebri dan nukli basalis; secara berurutan mereka menekan
diensefalon, mesensefalon, pons dan medula oblongata melalui celah tentorium.
3)Herniasi unkus atau tentorial herniation
Hemiasi unkus terjadi bila lesi menempati sisi lateral fossa kranii media atau lobus
temporalis; lobus temporalis mendesak unkus dan girus hipokampus ke arah garis tengah
dan ke atas tepi bebas tentorium; akhirnya menekan n.Ifi.di mesensefalon ipsilateral,
kemudian bagian lateral mesensefalon dan seluruh mesensefalon.

Koma infratentorial
Ada dua macam lesi infratentorial yang menyebabkan koma.
1) Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS atau/serta merusak
pembuluh darah yang mendarahinya dengan akibat iskemi, perdarahan dan nekrosis.
Misalnya pads stroke, tumor, cedera kepala dan sebagainya.
2) Proses di luar batang otak yang menekan ARAS.
a. Langsung menekan pons.
b. Hemiasi ke atas dari serebelum dan mesensefalon melaluicelah tentorium dan
menekan tegmentum mesensefalon.
c. Herniasi ke bawah dari serebelum melalui foramen magnumdan menekan medula
oblongata. Dapat disebabkan oleh tumor serebelum, perdarahan serebelum dan
sebagainya.
Koma metabolik
Proses metabolik melibatkan batang otak dan kedua hemisfer serebri. Koma disebabkan
kegagalan difus dari metabolisme sel saraf.
1) Ensefalopati metabolik primer.
Penyakitdegenerasi serebri yang menyebabkan terganggunya metabolisme sel saraf
dan glia. Misalnya penyakit Alzheimer.
2) Ensefalopati metabolik sekunder.

Koma terjadi bila penyakit ekstraserebral melibatkan metabolisme otak, yang


mengakibatkan kekurangan nutrisi, gangguan keseimbangan elektrolit ataupun
keracunan.
Pada koma metabolik ini biasanya ditandai gangguan sistim motorik simetris dan tetap
utuhnya refleks pupil (kecuali pasien mempergunakan glutethimide atau atropin), juga
utuhnya gerakan-gerakan ekstraokuler (kecuali pasien mempergunakan barbiturat).
PEMBAGIAN DERAJAT KESADARAN
Koma bukan penyakit melainkan hanya sebuah gejala, carmin dari proses kerusakan otak
berat yang setiap saat berubah-ubah; oleh karena itu diperlukan pengamatan serial dari waktu
ke waktu. Koma adalah suatu keadaan tidak ada respons dengan rangsangan nyeri kuatpun.
Agar penilaian derajat kesadaran dapat lebih objektif, dilakukan penilaian PCS dan infant face
scale. Pada PCS ini, dinilai kemampuan pasien untuk memperlihatkan tiga tes fungsi saraf,
yaitu : Respons membuka mata, Respons motorik dan Respons verbal. Pada infant face scale
diperiksa respons buka mata, respon motorik dan respons muka.

Tingkat kesadaran didapat dari hasil penjumlahan ketiga basil tes tersebut (Tabel 1).
Kecuali pada keadaan mata tertutup karena bengkak, endotracheal/tracheostomi. Pada respons
motorik yang, dipakai lengan yang baik/tidak parese. Kesadaran terbaik 15 SKG dan terburuk
3 SKG. Koma disetarafkan dengan 8 SKG. Obtundation (somnolen) 13 SKG.

PEMERIKSAAN PASIEN KOMA


Tujuan pemeriksaan pasien koma adalah untuk menentukan letak proses patologi, apakah di
hemisfer, batang otak atau dikeduanya, dan penyebabnya.
Anamnesis sangat penting tapi jarang bisa didapat.
Penyebab koma seringkali dapat ditentukan melalui anamnesis perjalanan penyakit
melalui keluarga, teman, personel ambulan, atau orang lain yang terakhir kontak dengan
pasien dengan menanyakan :
1.

Kejadian terakhir

2.

Trauma

3.

Riwayat medis pasien

4.

Riwayat psikiatrik

5.

Obat-obatatan

6.

Penyalah gunaan obat-obatan atau alkohol

Pemeriksaan fisik
Dengan atau tanpa anamnesis, petunjuk penyebab koma dapat juga ditegakkan melalui
pemeriksaan fisik :
a. Tanda vital : hipertensi yang berat dapat disebabkan oleh lesi intrakranial dengan
peningkatan TIK atau ensefalopati karena hipertensi.
b. Kulit : tanda eksternal dari trauma, neddle track, rash, cherry redness ( keracunan
CO), atau kuning
c. Nafas : alkohol, aseton, atau fetor hepaticus dapat menjadi petunjuk
d. Kepala : tanda fraktur, hematoma, dan laserasi
e. THT : otorea atau rhinorea CSF, hemotimpanum terjadi karena robeknya
duramater pada fraktur tengkorak, tanda gigitan pada lidah menandakan serangan
kejang.
f. Leher (jangan manipulasi bila ada kecurigaan fraktur dari cervival spine) :
kekakuan disebabkan oleh meningitis atau perdarahan subarakhnoid.
g. Pemeriksaan neurologis : untuk menentukan dalamnya koma dan lokalisasi dari
penyebab koma.
Pemeriksaan saraf
1. Observasi, posisi tidur : alamiah atau posisi tertentu.
Menguap, menelan, berarti batang otak masih utuh. Mata terbuka dan rahang
tergantung (mulut terbuka) berarti gangguan kesadaran berat.
2. Derajat kesadaran ditentukan dengan SKG.
3. Pola pemafasan.

a. Cheyne-Stokes dan central hyperventilation dapat dilihat pada gangguan


metabolik dan lesi struktural di beraneka ragam tempat di otak dan tidak dapat
menunjukkan tingkat anatomi lesi yang menyebabkan koma.

b.
c.
d.
e.

Ataxia dan gasping paling sering dilihat pada lesi pontomeduler.


Apneustic breathing : kerusakan pons
Cluster breathing : kerusakan pons dan cerebelar
Depressed, pola pernafasan tidak efektif, dangkal dan lambat disebabkan oleh lesi
medula oblongata, atau diakibatkan obat-obatan.

4. Posisi kepala dan mata. Pada


lesi hemisfer, kepala dan kedua
mata melirik ke arah lesi dan
menjauh dari hemiparesis, lesi di
pons kebalikannya. Pada Iesi di
talamus

dan

mesensefalon

bagian atas, kedua mata melirik


ke arah hidung.
5. Funduskopi.
Papil edema menandakan peninggian tekanan intrakranial. Perdarahan subhyaloid,
biasanya menandakan rupture aneurisma atau malformasi arteriovena.
6. Pupil.
Diperhatikan besar, bentuk dan refleks cahaya direk dan indirek.
a) Midposition (3--5 mm) dan refleks cahaya negatif -- kerusakan mesensefalon
(pusat refleks pupil di mesensefalon).
b) Refleks pupil normal, refleks kornea dan gerakan bola mata tidak ada -- koma
metabolik dan obat-obatan seperti barbiturat.
c) Dilatasi pupil unilateral dan refleks cahaya negatif menandakan penekanan n.I1I
oleh hernia unkus lobus temporalis serebri. Kedua pupil dilatasi dan refleks
cahaya negatif bisa juga oleh anoksi, keracunan atropin dan glutethimide.
d) Pupil kecil dan refleks cahaya positif disebabkan kerusakan pons seperti infark
atau perdarahan. Opiat dan pilokarpin juga menyebabkan pinpoint pupil dan
refleks cahaya positif. Bila dengan rangsang nyeri pads kuduk pupil berdilatasi,
berarti bagian bawah batang otak masih utuh.

7. Gerakan bola mata.


Khas untuk lesi batang otak.
a. Gerakan bola mata spontan.
1. Pada koma metabolik, kedua mata bergerak spontan dan lambat dari satu
sisi ke sisi lainnya. Ini berarti batang otak masih utuh.

2.
3.
4.
5.

Retractory nystagmus-- ciri kerusakan tegmentum mesensefalon.


Convergence nystagmus -- ciri kerusakan mesensefalon.
Ocular bobbing -- ciri kerusakan caudal pontin.
Nystagmoid jerking of a single eye -- ciri kerusakan midpontine-lower

pontine.
6. Seesaw nystagmus-- ciri lesi di regio ventrikel III dan bukan di batang otak.
Gejala tersebut dapat menunjukkan lokasi lesi structural penyebab koma.

b. Gerakan bola mata refleks.


Tes-tes yang lazim dilakukan :
1. Dolls head maneuver (refleks okulosefalik).
Bila refleks ini tidak normal, berarti ada lesi struktural ditingkat
mesensefalon-pons.

Obat-obat

ototoksik

atau

barbiturate

dapat

menghalangi refleks ini.


2. Tes kalori (refleks okulovestibular).
Bila kedua mata melirik ke arah telinga yang diirigasi air dingin, berarti
batang otak masih utuh; bila kedua mata tidak bergerak/tidak simetris
berarti kerusakan struktural mesensefalon-pons. Obat-obat ototoksik dapat
menghalangi refleks ini.

c. Gerakan bola mata saat istirahat.


i. Deviasi gaze menjauhi sisi yang hemiparesis menandakan suatu lesi
hemisper kontralateral dari sisi yang hemiparesis
ii. Deviasi gaze ke arah sisi yang hemiparesis menunjukkan :
1. lesi di pons kontralateral hemiparesis
2. lesi di thalamus kontralateral dari hemiparesis
3. aktivitas kejang pada hemisfer kontralateral dari hemiparesis
iii. Deviasi mata kearah bawah menandakan suatu lesi di tectum dari
midbrain, disertai dengan gangguan reaktifitas pupil dan nistagmus
refrakter dikenal sebagai sindroma parinoud

iv. Slow roving eye movement yang dapat konjugasi atau diskonjugae tidak
menunjukkan lokalisasi lesi yang berarti, berhubungan dengan disfungsi
hemisfer bilateral dan aktifnya refleks okulosefalik
v. Occular bobbing, yaitu terdapat reaksi cepat dari pergerakan bola mata ke
arah bawah yang kembali ke posisi semula dengan lambat menunjukkan
kerusakan bilateral dari pusat gaze horisontal pada pons.
vi. Saccadic eye movement tidak terlihat pada pasien koma dan menunjukkan
suatu psikogenik unresponsive.
8. Refleks muntah : dapat dilakukan dengan memanipulasi endotrakheal tube.
9. Refleks kornea : menandakan intaknya batang otak setinggi CN 5( aferen) dan CN 7
(eferen)
10. Respons motoris.
a) Spontan.
1. Kejang, kejang fokal mempunyai arti lokasi dari proses patologi struktural.
Kejang umum tidak mempunyai arti lokasi. Kejang multifokal berarti koma
disebabkan proses metabolik.
2. Myoclonic jerk dan asterixis (flapping tremor) berartiensefalopati metabolik.
b) Gerakan-gerakan refleks.
Ditimbulkan dengan rangsang nyeri (penekanan supraorbita).
1. Gerakan dekortikasi -- fleksi dan aduksi lengan dan ekstensi tungkai. Bisa
simetris, bisa tidak. Ini artinya lesi hemisfer difus atau persis di batas
dengan mesensefalon. (nilai 3 pada respons motorik SKG).
2. Gerakan deserebrasi -- ekstensi, aduksi dan rotasi interns lengan dan
ekstensi tungkai. (nilai 2 pada respons motorik SKG).
11. Respon sensoris : respons asimetris dari stimulasi menandakan suatu lateralisasi
defisit sensoris.
12. Refleks :
a. Refleks tendon dalam : bila asimetris menunjukkan lateralisasi defisit motoris
yang disebabkan lesi struktural
b. Refleks plantar : respon bilateral Babinskis menunjukkan coma akibat
struktural atau metabolik.

KEADAAN-KEADAAN PSEUDOCOMA
1. Psychogenic unresponsiveness.
Pasien kelihatannya tidak ada reaksi, tapi pads pemeriksaan saraf tidak dijumpai
kelainan.
2. The locked-in syndrome.
Lesi di basis pons akibat infark batang otak yang memutus jaras kortikobulbar dan
kortikospinal, tapi jaras yang mengatur kedip mata dan gerakan bola mata vertikal, juga
ARAS tetap utuh. Pasien sanggup berkomunikasi dengan kedipan mata(awake dan alert).
3. Persistent vegetative state.
Koma akibat hipoksifiskemi/lesi struktural, setelah 24 minggu kembali wakeful tapi
tidak aware. Membuka mata spontan. EEG kembali normal, batang otak dan otonom
berfungsi normal. Keadaan ini dapat menetap bertahun-tahun.

Ciri-ciri diagnostik

Koma metabolik :
- Refleks pupil dan gerakan bola mata baik.
- Pernafasan depressed atau Cheyne-Stokes.
- Anggota gerak hipotonus/refleks simetris.

Hemiasi :
- Hemiparesis dan papil edema.
- Bertahap hilangnya fungsi n.I1I atau ada ciri-ciri kerusakan batang otak.

Lesi (lokal) batang otak :


- Gangguan pergerakan bola mata dan tetraplegia sejak permulaan.

Pemeriksaan Penunjang
Karena pentingnya penentuan diagnosis yang cepat pada etiologi pasien dengan koma
karena dapat mengancam nyawa, maka pemeriksaan penunjang harus segera dilakukan dalam
membantu penegakkan diagnosis, yaitu antara lain :
1. CT atau MRI scan Kepala : pemberian kontras diberikan apabila kita curigai terdapat
tumor atau abses. Dan mintakan print out dari bone window pada kejadian trauma kepala
2. Punksi Lumbal : dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis,
encephalitis, atau perdarahan subarachnoid bila diagnosis tidak dapat ditegakkan melalui CT
atau MRI kepala.
3. EEG : bisa saja diperlukan pada kasus serangan epileptik tanpa status kejang, keadaan
post ictal, koma metabolik bila diagnosis tidak ditegakkan melalui pemeriksaan CT dan LP.

Keadaa pseudokoma harus kita curigai bila semua pemeriksaan diagnostik telah kita
lakukan dan masih tidak dapat menegakkan diagnosis penyebab dari koma tersebut.
Diantaranya yaitu :
1. Koma psikogenik
2. Locked in syndrome : kerusakan pons bilateral
3. Mutism akinetik : kerusakan pada frontal dan thalamus

PENGELOLAAN PASIEN KOMA


1. Penanganan emergensi dekompresi pada lesi desak ruang (space occupying lesions /
SOL ) dapat menyelamatkan nyawa pasien.
2. Bila terjadi suatu peningkatan TIK, berikut adalah penanganan pertamanya :
a. Elevasi kepala
b. Intubasi dan hiperventilasi
c. Sedasi jika terjadi agitasi yang berat ( midazolam 1 2 mg iv )
d. Diuresis osmotik dengan manitol 20% 1 g/kg BB iv
e. Dexametason 10 mg iv tiap 6 jam pada kasus edema serebri oleh tumor atau
abses setelah terapi ini monitor ICP harus dipasang.
3. Kasus encephalitis yang dicurigai oleh infeksi virus herpes dapat diberikan acyclovir
10 mg/kg iv tiap 8 jam
4. Kasus meningitis lakukan terapi secara empiris. Lindungi pasien dengan ceftriaxon
2x1 g iv dan ampicillin 4x1 g iv sambil menunggu hasil kultur
Terapi Umum
1. Proteksi jalan nafas : adekuat oksigenasi dan ventilasi
2. Hidrasi intravena : gunakan normal saline pada pasien dengan edema serebri atau
peningkatan TIK
3. Nutrisi : lakukan pemberian asupan nutrisi via enteral dengan nasoduodenal tube,
hindari penggunaan naso gastrik tube karena adanya ancaman aspirasi dan refluks
4. Kulit : hindari dekubitus dengan miring kanan dan kiri tiap 1 hingga 2 jam, dan
gunakan matras yang dapat dikembangkan dengan angin dan pelindung tumit

5. Mata : hindari abrasi kornea dengan penggunaan lubrikan atau tutup mata dengan
plester
6. Perawatan bowel : hindari konstipasi dengan pelunak feses (docusate sodium 100 mg
3x1 ) dan pemberian ranitidin 50 mg iv tiap 8 jam untuk menghindari stress ulcer
akibat pemberian steroid dan intubasi
7. Perawatan bladder : indwelling cateter urin dan intermiten kateter tiap 6 jam
8. Mobilitas joint : latihan pasif ROM untuk menghindari kontraktur
9. Profilaksis deep vein trombosis (DVT) : pemberian 5000 iu sc tiap 12 jam,
penggunaan stoking kompresi pneumatik, atau kedua-duanya

Hal yang perlu Dipikirkan


Dalam menangani pasien dalam keadaan stupor dan koma untuk pertama kali ada beberapa
pertanyaan dalam benak kita sebagai pertimbangan yaitu :
1. Bagaimana tanda vital dari pasien tersebut ?
2. Apakah jalan napas baik ?
Pasien stupor dan koma beresiko tinggi untuk terjadinya aspirasi, yang disebabkan
karena hilangnya refleks batuk dan muntah, hipoksia, yang terjadi karena hilangnya
kemampuan bernafas. Pemasangan endotracheal tube (ETT) dengan intubasi
merupakan cara yang paling efektif untuk menjaga jalan nafas baik dan oksigenasi
yang adekuat.
Bila pasien dalam keadaan koma yang dalam atau adanya tanda gangguan respirasi
lebih baik kita memanggil dokter Anestesi untuk melakukan intubasi. Pada pasien
stupor dengan pernafasan yang normal dapat kita berikan 100 % oksigen dengan
face mask sampai hipoksemia tidak kita temukan.
3. Apakah ada riwayat trauma, pemakaian obat-obatan, atau terpapar oleh toksin ?

Lakukan deskripsi pasien dengan cepat mengenai riwayat penyakit sekarang dan
dahulu baik medis maupun neurologis.

4. Adakah orang yang dapat ditanyakan tentang keadaan pasien sebelumnya ?


Orang tua, kerabat, teman, personil ambulance, atau orang lain yang terakhir kali
kontak dan mengetahui keadaan pasien sebaiknya kita suruh tunggu untuk
menanyakan keadaan pasien sebelum kejadian.
Setelah keadaan umum pasien kita dapat langkah selanjutnya adalah memberikan terapi
emergensi dan melakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan, antara lain :
1. Konsultasi ke anestesiologis bila diperlukan intubasi atau lakukan intubasi bila
telah mendapat pelatihan dari Advance Trauma Life Support (ATLS) ataupun
Advance Cardiac Life Support (ACLS).
2. Pasang jalur intrravena (iv line)
3. Lakukan pemeriksaan kadar gula sewaktu dengan glucose stick. Hal ini harus
dilakukan secepatnya, karena hipoglikemia merupakan kasus yang dapat
ditangani secara cepat sebagai penyebab stupor atau koma yang dapat disertai
keadaan lain seperti sepsis, henti jantung, atau trauma)
4. Lakukan pemeriksaan darah antara lain :

Kimia darah ( glukosa darah sewaktu, elektrolit, BUN/ureum,


kreatinin)

Hitung darah lengkap

Analisa gas darah

Kalsium dan magnesium

Protrombin time (PT)/ partial thromboplastin time (PTT)


5. Bila etiologi dari koma tidak jelas lakukan pemeriksaan skrining toksikologi, tes
fungsi tiroid, fungsi hepar, kortisol serum, dan kadar ammonia.
6. Lakukan pemasangan folley catheter
7. Lakukan pemeriksaan urinalisa, elektrokardiogram (EKG) dan rontgen thoraks.

8. Berikan terapi emergensi. Hal ini dapat diberikan dilapangan atau bila etiologi
dari penyebab koma tidak jelas. Diantaranya :
Thiamin 100 mg iv ( dimana pemberian tiamin dapat mengembalikan pasien
dari koma yang disebakan karena defisiensi thiamin akut (Wernicke
ensefalopati). Harus diberikan sebelum pemberian dekstrose karena
hiperglikemi dapat menyebabkan konsumsi thiamin yang berlebihan dan
memperburuk keadaan pasien.
50 % dekstrose 50 ml (1 ampul) iv
Naloxone (Narcan) 0.4 0.8 mg iv, pada keadaan koma yang disebabkan
intoksikasi opiat. Dosis dapat diberikan sampai 10 mg.
Flumazenil (Romazicon) 0.2 1.0 mg iv, diberikan pada pasien yang koma
dicurigai karena intoksikasi benzodiazepin. Dosis dapat diberikan hingga 3
mg dan jangan diberikan bila telah terjadi kejang pada pasien, karena
flumazenil ini dapat menimbulkan kejang.
Perawatan lanjutan (nursing care) :
1.
2.
3.
4.

Mempertahankan fungsi sistim kardiovaskular adekuat.


Mempertahankan fungsi sistim pernafasan adekuat.
Posisi dan kulit, ubah posisi tiap 1-2 jam.
Makanan dimulai dengan makanan IV, kemudian bila situasi telah stabil atau

koma 2-3 hari, baru dimulai tube feeding.


5. Perawatan bowel, mencegah diare; sering memeriksa rektum.
6. Perawatan kandung kemih, three-way catheter dipasang menetap, suing diirigasi,
clamp buka tiap 3-4 jam.

Penanggulangan edema serebri dan peninggian tekanan intrakranial


Sejumlah proses (trauma, perdarahan, infark, tumor dan sebagainya) akan mengakibatkan
edema serebri yang meninggikan tekanan intrakranial dan menyebabkan herniasi jaringan
otak. Dalam banyak hal, bertambah buruknya keadaan disebabkan edema serebri dan edema
ini kemungkinan besar adalah reversibel.
Pengobatan edema serebri merupakan tindakan penyelamatan hidup, sampai dicapainya
pengobatan yang mengoreksi proses patologi spesifik.

1. Hindari cairan hipotonik.


2. Hiperventilasi.
3. Mannitol 20% dosis 1.0 gr/kg IV dihabiskan dalam waktu 10-30 menit. Diulang
12 jam kemudian. Pemberian lebih dua kali kurang efektif. Efek antiedema
serebrinya segera dan berakhir setelah beberapa jam.
4. Steroid, dexamethason dosis 10-100 mg IV dan kemudian 4 mg IV tiap 6 jam.
Efek antiedema serebrinya dimulai dalam 4-6 jam dan maksimal pada 24 jam.

Prognosis
Prognosis pasien tergantung dari penyebab utama penyakit dibanding dari dalamnya
suatu koma. Koma yang disebabkan karena metabolik dan intoksikasi obat lebih baik
prognosisnya dibanding koma yang disebabkan oleh kelainan struktur intrakranial.
Kemungkinan penyembuhan dari koma yang dalam selama lebih dari beberapa jam sulit
diramalkan.
Jika penyebabnya adalah cedera kepala, bisa terjadi penyembuhan, bahkan jika koma
berlangsung selama beberapa minggu (tetapi tidak lebih dari 3 bulan). Penyembuhan total
setelah mengalami koma selama 1 bulan karena jantung berhenti atau karena kekurangan
oksigen, jarang terjadi.
Kadang setelah mengalami cedera kepala, kekurangan oksigen atau kerusakan otak yang
berat, penderita bisa masuk ke dalam status vegetatif.
Pola tidur dan terjaga relatif normal, penderita bisa bernafas dan menelan secara spontan
dan bahkan bisa memberikan reaksi yang mengejutkan terhadap suara keras. Tetapi penderita
kehilangan seluruh kemampuan berfikir dan perilaku sadarnya, baik untuk sementara waktu
maupun selamanya. Sebagian besar penderita memiliki refleks abnormal yang khas, seperti
kekakuan atau sentakan pada lengan dan tungkainya.
Status locked-in adalah suatu keadaan yang jarang terjadi, dimana penderita sadar dan
mampu berfikir tetapi mengalami kelumpuhan hebat, sehingga hanya bisa berkomunikasi
dengan cara membuka atau menutup matanya.
Hal ini bisa terjadi bersamaan dengan kelumpuhan saraf tepi yang berat atau dengan
stroke akut. Kehilangan kesadaran yang paling berat adalah kematian otak. Pada keadaan ini
secara permanen otak telah kehilangan seluruh fungsi vitalnya, termasuk kesadaran dan

kemampuan mempertahankan pernafasan. Tanpa bantuan respirator dan obat-obatan,


penderita akan segera meninggal.
Secara hukum seseorang dikatakan meninggal jika otaknya telah berhenti berfungsi,
meskipun jantungnya masih berdenyut. Dokter dapat menyatakan kematian otak dalam waktu
12 jam setelah berusaha memperbaiki semua kelainan medis, tetapi otak masih tidak
memberikan respon, mata tidak bereaksi terhadap cahaya dan penderita tanpa bantuan
respirator penderita tidak bernafas. EEG (elektroensefalogram) tidak menunjukkan adanya
fungsi otak. Penderita kematian otak yang mendapatkan bantuan respirator bisa memiliki
beberapa refleks jika medula spinalisnya masih berfungsi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Harsono, dkk : Buku Ajar neurologi Klinis, Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, 2005
2. Cermin Dunia Kedokteran. Koma. Tersedia :

http://www.kalbe.co.id/files

/cdk/files/26_Koma.pdf /26_Koma.html (diakses tanggal 7 Januari 2013)


3. Cermin
Dunia
Kedokteran.
Gangguan
Kesadaran.
Tersedia
http://www.kalbe.co.id/files

/cdk/files/05_Gangguan

Kesadaran.pdf

Gangguan Kesadaran.html (diakses tanggal 7 Januari 2013)


4. Google.
Manajemen
pasien
stupor
dan
koma.

:
/05

Tersedia

http://74.125.153.132/search?
q=cache:3XWqPKbpMRkJ:images.omynenny.multiply.multiplycontent.com/
attachment/0/SGZRtQoKCrsAACSgbA1/MANAJEMEN%2520PASIEN
%2520STUPOR%2520DAN%2520KOMA.doc%3Fnmid
%3D92637390+coma+diagnosis+etiologi&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id
(diakses tanggal 9 Januari 2013)

5. Behrman RE, dkk . Koma. Nelson textbook of pediatrics. 17th edition: WB Saunders
Co. 2004: 916-919.
6. Buku kuliah : Ilmu Kesehatan Anak : Jilid 2 : Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2002 :
593-598

Anda mungkin juga menyukai