Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pers menjadi proses mediasi antara masyarakat dengan dunia. Pers diproses oleh
jurnalisme untuk punya daya persuasi. Jurnalisme memprosesnya melalui tata cara
mencari dan menyebarkan informasi. Jurnalisme selalu mengembangkan teknik
peliputan dan pendistribusian pesan sesuai dangan kultur masyarakat. Pada proses
pengembangannya, perancangan informasi mendorong kelahiran ffenomena bahasa
pers. Bahasa pers menjadi suatu alat. Bahasa, di dalam kehidupan jurnalistik tidak
lagi sekedar sarana pengantar pesan melainkan menjadi daya dorong lain. Dalam
perkembangannya mempengaruhi kegiatan pers sampai ke pengepingan realitas
peristiwa berita.
Tata nilai dan norma bahasa jurnalistik menjadi kelembagaan yang unik dan bila
dipolakan, menginduksi wacana masyarakat ketika menempatkan perspektif atas
realitas. Jurnalistik membuat media menjadi institusi bahasa. Joshua Meyrowitz
(dalam Littlejohn, 2002) mengilustrasikan metaphor-metafor media menancapkan
pengaruh di masyarakat. Lewat bahsa, media menjadi penerjemah kita dalam
mengonstruksi pengalaman social dan tanda-tanda akhir berbagai instruksi dan
arahan

social.

Oleh

karena

itu,

model-model

teori

komunikasi

massa

mengembangkan media content and structure. McLuhan dan Harold Adams Innis
(dalam Littllejohn, 2002) mengolah arahan struktur media yang menekankan
pengiriman komuniakasi dan upaya pengkodingan. Dengan bahasa lain, bahasa
jurnalistik diproses pers. Artikulasi industrialisme masyarakat ditaksir. Terus
diusahaklan

menjadi

alat

hubungan

social

(Bittner,

1986).

Sudah sejak beberapa lama timbul keluh kesah di sana-sini diantara para pemerhati
bahasa mengenai betapa semakin rusaknya pemakaian bahasa Indonesia dewasa ini.
Ditambah lagi posisi bahasa Indonesia adalah terbuka, dalam artian membari peluang

bahasa-bahasa lain terserap dalam bahasa ini. Sehingga hal ini menambah rusaknya
pemakaian bahasa Indonesia oleh masyarakat kita. Dari situlah timbullah suatu
pemikiran bahwa diperlukan pembinaan pemakaian bahasa. Hal ini merupakan suatu
tugas yang berat bagi para Pembina bahasa, yang di dalamnya termasuk para guru,
penulis, penyiar, wartawan, dll. Selain itu, pers juga mempunyai pengaruh yang besar
dalam proses ini.
Dapat kita ketahui bahwa masyarakat dewasa ini selalu haus akan in formasi apalagi
era globalisasi seperti ini, yang secara tidak langsung menuntut masyarakat untuik
selalu up date jika tidak mau tertinggal. Dan pers merupakan salah satu media yang
dapat memberikan pemenuhan kebutuhan tersebut. Sehingga tidak heran jika
perkembangan dunia pers pun selalu berkembang pesat. Melalui bahasa yang
disajikan dalam surat kabar sedikit banyak memberikan pengaruh dalam proses
pembinaan dan pengembangan pemakaian bahasa. Pers di sini lebih dimaksudkan
pada pekerjanya yaitu wartawan yang berkedudukan sebagai model pemakai bahasa
yang akan dicontoh atau ditiru oleh masyarakat pembacanya. Surat kabar didukung
oleh wartawan-wartawan yang memandang waktu itu serba berharga. Untuk
mengejar keaktualan berita tidak jarang wartawan bergerak cepat, menulis
karangannya dengan cepat pula. Dari situ timbullah kesalahan pemakaian bahasa
surat kabar. Hal inilah yang nantinya akan penulis bahas dalam makalah ini, yaitu
mengenai

peran

media

massa

dalam

pembelajaran

bahasa

Indonesia.

B. Perumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah tersebut, maka dapat ditemukan masalahmasalah yang akan dibahas dalam makalah ini:
1. Pengaruh apa yanbg diberikan pers (wartawan) dalam pembelajaran bahasa
Indonesia?

2. Kekeliruan apa sajakah yang terdapat pada pemakaian bahasa Indonesia?


3. Apa yang mempengaruhi ketidaksempurnaan dalam penggunaan bahasa jurnalistik
(bahasa pers) yang baik dan benar?
4. Hal-hal apa sajakah yang bisa dipertimbangkan untuk peningkatan kualitas
berbahasa jurnalistik yang baik dan benar?

C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka dapat dipaparkan mengenai tujuan
penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaruh apa yang diberikan pers (wartawan) dalam
pembelajaran

bahasa

Indonesia.

2. Untuk mengetahui kekeliruan apa sajakah yang terdapat pada pemakaian bahasa
Indonesia.
3. Untuk mengetahui beberapa hal yang mempengaruhi ketidaksempurnaan dalam
penggunaan bahasa jurnalistik (bahasa pers) yang baik dan benar.
4. Untuk mengetahui hal-hal yang bisa dipertimbangkan untuk peningkatan kualitas
berbahasa jurnalistik yang baik dan benar.

BAB II
LANDASAN TEORI
A.

Pengertian Bahasa

Bahasa merupakan sarana komunikasi manusia yang utama. Agar komunikasi dapat
berjalan dengan lancar, para pemakai bahasa harus menggunakan bahasa itu
sedemikian rupa sehingga diantara pemakai bahasa terdapat pengertian yang sama.
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian bahasa, berikut beberapa pendapat
tersebut :
a. Pengertian bahasa menurut Finocchiaro (1946:8)
Bahasa adalah sistem simbol vokal yang memungkinkan semua orang dalam suatu
kebudayaan tertentu, atau orang lain yang mempelajari sistem kebudayaan itu,
berkomunikasi

atau

berinteraksi.

b. Pengertian bahasa Kridalaksana dalam Kentjono (1982:2)


Bahasa dalam sistem lambang bunyi yang arbitrar yang dipergunakan oleh para
anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidantifikasi
diri.
c. Pengertian bahasa menurut Carrol (1961:10)
Bahasa adalah sistem bunyi atau urutan bunyi vokal yang terstruktur yangt
digunakan, atau dapat digunakan, dalam komunikasi interpersonal oleh sekelompok
manusia dan secara lengkap digunakan untuk mengungkapkan sesuatu, peristiwa, dan
proses yang terdapat di sekitar manusia.
Sedangkan dalam KBBI (2003:67), menyebutkan bahwa bahasa adalah sistem
lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat
untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri, percakapan (perkataan
yang baik, sopan santun).

B. Pengertian dan Fungsi Pers


Pers adalah lembaga sosial tau lembaga kemasyarakatan yang merupakan subsistem

dari sistem pemerintahan di negara dimana ia beroperasi bersama-sama dengan


subsistem

lainnya.

Pengertian pers dalam arti sempit adalah media massa cetak seperti surat kabar,
majalah, tabloid, dan sebagainya. Sedangkan dalam arti luas pers adalah media massa
cetak elektonik, antara lain radio siaran dan televisi siaran, sebagai madia yang
menyiarkan karya jurnalistik.
Fungsi Pers :
1. Fungsi menyiarkan informasi
2. Fungsi mendidik
3. Fungsi menghibur
4. Fungsi mempengaruhi

C. Bahasa dalam Dunia Pers


Bahasa yang digunakan oelh wartawan disebut bahsa pers atau bahasa jkurnalistik
sebagai salah satu ragam bahasa nasional (dalam hal ini adalah bahasa Indonesia).
Dilihat dari pokok pembicaraannya, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka,
2002) membagi ragam bahsa menjadi empat golongan yakni:
1) Ragam bahasa undang-undang
2) Ragam bahasa jurnalistik
3) Ragam bahasa inlmiah
4) Ragam bahasa sastra.
Bahasa pers memiliki sifat-sifat khas seperti singkat, padat, sederhana, jelas, lugas
dan menarik. Bahasa berita ialah bahasa komoditas yang memiliki nilai tukar
simbolik dan ekonomi. Nilai tukar simboliknya mengacu pada unsur-unsur komponen
isi berita seperti akurat, seimbang, obyektif, singkat dan jelas, aktual. Juga atributif,
verifikasi,

selektif

dan

tanggung

jawab.

Oerkembangn bahasa jkurnalistik Indonesia dalam empat dekade terakhir ini cukup
pesat. Banyak istilah-istilah muncul, seperti dari yang awalnya menggunakan bahasa

asing kini sudah ada istilahnya yang baru dalam wujud Bahasa Indonesia. Menurut
sejarah perkembangannya, daftar kosakata Bahasa Indonesia diperkaya dengan tiga
cara:
1) Melalui peminjaman bahasa asing (banyak meminjam dari Bahasa Portugis,
Belanda, Cina dan Arab)
2) Melalui peminjaman bahasa dialek Betawi yang banyak mempengaruhi Bahasa
Indonesia
3) Melalui dari peminjaman bahasa pergaulan.
Dalam usaha memperkaya bahasa melalui peminjaman dari dialek dan bahasa
pergaulan ini, pers ikut berjasa dalam mempopulerkan bahasa tersebut yang akhirnya
menjadi bagian dari bahasa nasional.
Dalam sejarahnya, pers muncul sebagai salah satu institusi penginspirasi kesadaran
sebuah nation keindonesiaan telah turut mendorong masyarakat untuk menyatukan
diri ke dalam sebuah sistem politik yang solid berdasarkan konsep kebangsaan.
Realitas kolonial Hindia Belanda telah meletakkan pers Indonesia pada awal
embrionya menstimulasi rangkaian pergerakan Indonesia. Taufik Abdullah (1991)
dalam sebuah telaah pendek mencatat bagaimana penggunaan bahasa jurnalistik telah
ikut menumbuhkan kesadaran awal nasionalisme. Masyarakat diajak untuk mulai
melakukan dan meretas penciptaan kesadaran yang tertuju pada pembuatan jaringan
kultural atau politik dalam satuan komunitas kesatuan suku bangsa. Sebagaimana
bunyi salah satu Sumpah Pemuda 1928 Berbahasa Satu Bahasa Indonesia. Bahasa
telah dipergunakan pers Indonesia sebagai penyebaran kesadaran politis berbangsa
dan bernegara.
Pers secara fulgar berarti usaha percetakan dan penerbitan (KBBI, 2003:376).
Dewasa ini pers diartikan dengan media massa, dunia bersurat kabaran. Bahasa tulis
merupakan komponen utama dalam pers, karena memang informasi yang dikemas di
dalamnya merupakan bahasa tulis. Bahasa yang dipakai dalam surat kabar berbeda
dengan bahasa yang dipakai dalam buku kesusastraan yang memperhatikan unsur
keindahan di dalamnya. Keindahan tidak perlu di dalam bahasa wartawan yang di sini

berkedudukan sebagai pekerja pers. Bagi wartawan bahasa adalah pengantar berita.
Untuk melaksanakan pekerjaannya itu sudah cukup jika bahasanya sudah
mengandung berita yang akan disampaikan kepada para pembacanya. Bagi mereka
cepat dan tepat adalah pedoman soal bahasa (Drs. RB. Slametmuljana cs, Ragam
Bahasa Indonesia). Dapat disimpulkan bahwa bahasa wartawan itu praktis.

BAB III
PEMBAHASAN
1. Pengaruh Bahasa Wartawan terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa kebanggan bagi bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia
disahkan sebagai bahasa nasional pada Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
Bahasa ini telah menjadi perekat atas 726 bahasa daerah yang ada di nusantara.
Dalam hal ini, peran media massa ataupun pers sangatlah besar. Tanpa ikut sertanya
pers dalam penggunaan dan pertumbuhan bahasa itu barangkali Sumpah Pemuda
tidak akan pernah terjadi.
Pada dewasa ini, perkembangan pers sangat pesat seiring dengan meningkatnya
kebutuhan masyarakat akan informasi, hal tersebut menjadikan pers (surat kabar)
menjadi santapan rutin bagi masyarakat. Dari situ dapat disimpulkan bahwa
sebenarnya pers memiliki potensi besar dalam membantu proses pembelajaran bahasa
Indonesia. Pengguanaan bahasa Indonesia dalam surat kabar harusnya dapat
memberikan contoh penggunaan bahasa Indonesia yang baik kepada masyarakat.
Bahasa Indonesia yang benar tentulah menurut kaidah-kaidah sebagai tercantum di
dalam tata bahasa.
Namun pada dewasa ini hal-hal tersebut kurang disadari dan kurang mendapat
perhatian dari pihak pekerja pers sendiri, yang di sini adalah wartawan. Dalam
menjalankan tugasnya wartawan lebih fokus mengejar keaktualan beritanya dan
seringkali mengabaikan penggunaan bahasa yang sesuai kaidah yang telah
ditentukan. Sebagai contohnya, sering di sana-sini mereka harus merusak bahasa
dengan digunakannya kata-kata pancung, seperti dalam contoh berikut ini :
Suriah ajukan usul 5 pasal (seharusnya mengajukan).
Kesalahan yang lain yaitu berupa penghilangan atau pelepasan awalan-awalan medan ber-, dan pemendekan kata, penulisan kata depan yang tidak pada tempatnya, dll.
Bagaimanapun kebiasaan yang salah ini haryus dihindari, mengingat wartawan

menjadi salah saru model pemakai bahasa yang dicontoh oleh masyarakat.
Selain itu wartawan juga cenderung menggunakan pedoman bahasa yang praktis,
sebenarnya praktis asal betul cara penulisannya, tidaklah menjadi soal. Penulisan
bahasa yang dapat berisi itulah yang mudah dicerna oleh pembacanya. Namun
kepadatberisian haruslah disertai dengan pemakaian bahasa yang baik dan benar
supaya tidak membingungkan pembacanya. Perllu diingat bahwa menaati tata tertib
dan tata bahasa yang berlaku dewasa ini berarti ikut serta membina bahasa nasional.
Sudah tentu harus diaki bahwa wartawan Indonesia umumnya kini tidak begitu mahir
kecakapannya dalam jurnalistik. Harus diakui bahwa seharusnya ada daya analisis
yang kuat dalam berbahasa. Apabila seseorang yang diwawancarai mengguanakan
bahasa yang tidak efisien, wartawan seharusnya dapat menggiringnya agar
menggunakan bahasa yang lisan yang lebih efisien. Untuk itu wartawan dituntut
untuk lebih kritis dan lebih profesional dalam menjalankan tugasnya. Mengingat
bahwa wartawan juga merupakan model pemakain bahasa Indoneisayang baik bagi
pembaca. Di dalam periode pembinaan sekarang inilah seharusnya pers (dalam hal ini
wartawan) berusaha berbahasa dengan baik dan sudah seharusnya wartawan bekerja
sama dengan para pembina bahasa yang lain seperti penyiar, guru dan ahli bahasa
Indonesia. Kepada merekalah para pemakai bahasa Indonesia akan bercontoh
mengenai pemakaian bahasa Indonesia yangbaik dan benar. Kesalahan yang sering
mereka buat akan berakibat semakin parah dan cerobohnya pemakaian bahasa
Indonesia

dalam

masyarakat.

2. Kekeliruan yang terdapat pada Pemakaian Bahasa Indonesia.


Sugihasti (2003) memberikan beberapa contoh kekeliruan pemakaian bahasa
Indonesia dalam bahasa jurnalistik yaitu
1) Masih ditemui tulisan yang belum secara konsekuen menggunakan Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Kesalahan paling menonjol
dalam surat kabar adalah kesalahan ejaan.

2) Semakin merebaknya penggunaan akronim dan singkatan yang dinilai berlebihan.


3) Masih ada penghilangan imbuhan, bentuk awal atau prefiks.
4) Masih banyak digunakan ungkapan klise atau stereotipe dalam transisi berita
seperti kata-kata :
dalam

sementara itu, dapat ditambahkan bahkan, perlu diketahui


rangka,

selanjutnya

dan

lain-lain.

5) Masih didapati kata-kata mubazir seperti : adalah (kata kerja kopula), telah
(petunjuk masa lampau), untuk (sebagai terjemaf of dalam hubungan milik), bahwa
(sebagai kata sambung) dan bentuk jamak yang tidak perlu diulang.
A Chaedar Alwasih (2002) menilai adanua kesalahan pengguanaan bahasa jurnalistik
yang baik dan benar juga dipengaruhi oleh dimensi sosial politik dari media massa.
Menurutnya, ada bebera papraktik bahasa yang sengaja dimainkan oleh wartawan
dengan alasan teknis dan politis, seperti ekonomi, efimisme, iklan dan wacana opini.
1) Akronim yaitu makna yang kompleks dibahasakan dalam simbol yang singkat
sehingga terjadi pengaburan makna dan sulit dicerna khalayak. Misal Sekwilda =
Sekitar Wilayah Dada, Sekretaris Wilayah Daerah.
2) Efimisme yaitu ujaran enak bagi pendengaran namun tidak enak bagi penalaran,
seperti desa tertiggal = miskin, rawan pangan = kelaparan, tak sesuai rencana =
penyelewengan, dan lainnya. Juga kata-kata bernuansa wah seperti Jakarta
Convention

Center,

Shopping

Center.

3) Iklan, karena sebagai pertuturan yang bisa mengacaukan bahasa, menumbuhkan


sifat konsumtif, menghidupkan angan-angan. Mengapa? Karena iklan diedit untuk
tujuan tertentu, kaya dengan nuansa dan memikat perhatian, melibatkan pembaca
(pendengar), dan bukan rahasia dan diungkapkan dengan sederhana (O;Neill, 1986).
4) Wacana opini yaitu tajuk rencana, artikel (kolom opini) dan surat pmbaca.
Hal senada juga diakui oleh kalangan jurnalis sendiri seperti yang tertuang dalam 10
Pedoman Pemakaian Bahasa dalam Pers Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Pasal pertama (1) menyebut Wartawan hendaknya secara konsekuen melaksanakan

Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia Yang Dsempurnakan (EYD). Hal ini juga harus
diperhatikan oleh para korektor karena kesalahan paling menonjol dalam surat kabar
sekarang

ialah

kesalahan

ejaan.

3. Beberapa Hal yang Mempengaruhi Ketidaksempurnaan dalam Penggunaan Bahasa


Jurnalistik (Bahasa Pers) yang Baik dan Benar.
Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusmaraningrat (2006) menyebut setidaknya
ada beberapa hal yang mempengaruhinya, yaitu:
1) Menulis di bawah tekanan waktu. Kecepatan merupakan salah satu keharusan
dalam memproduksi karya jurnalistik, baik dalam hal cara menyampakain informasi
maupun dalam penulisan karena dikejar tenggat waktu (deadline). Penulis berita tidak
punya waktu dalam memoles tulisannya agar benar-benar sempurna. Karya jurnalistik
memang ditulis dengan tergesa-gesa. Journalism is story in a hurry, jurnalisme adalah
sejarah

yang

(ditulis)

tergesa-gesa.

2) Kemasabodohan dan kecerobohan, yakni kemalasan berpikir, mencari dan


menempatkan kata atau istilah secara baik dan benar. Kondisi ini menimbulkan sikap
masa bodoh yang berakibat pada kecerobohan. Tidak ada penyegaran dalam produksi
pesan berita.
3) Tidak mau mengikuti petunjuk, yakni petunjuk dalam menggunakan bahasa tertulis
adalah tata bahasa, kamus, dan pedoman Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) serta 10
Pedoman Pemakaian Bahasa dalam Pers.
4) Ikut-ikutan, yakni mengikuti istilah yang sedang menjadi tren terutama diucapkan
oleh tokoh terkenal tertentu. Ikut-ikutan tidak dilarang tetapi jika dilakukan terlalu
sering, maka pesona-nya menjadi lenyap dan tidak menarik.
5) Merusak arti, yakni tidak tepat memilih kata untuk kalimat yang dibuat. Misal kata
meninju diganti dengan kata memukul.
6) Belum optimalnya wawasan pekerja pers (khususnya wartawan, redaktur, editora)
dalam mengikuti dan memahami penggunaan bahasa jurnalistik yang baik dan benar.

Termasuk di dalamnya ini adalah kosakata berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
7) Kebutuhan institusi pers bersangkutan. Biasanya media massa akan cepat
mengambil kata populer di masyarakat lalu mengadaptasi kata-kata itu untuk
membuat

sebuah

berita

menarik.

8) Penyesuaian dengan gaya media massa bersangkutan. Selain sebagai kekhasan diri,
gaya antarmedia massa yang berlainan juga terkait faktor kompetisi bisnis.
Lippman (dalam Septiaman Santana K, 2005) menguraikan kerentanan kesalahan
pemberitaan itu (termasuk dalam teknis pembahasan) disebabkan metafor bahasabahasa berita kerap kena sensor, bersifat buyektif, dihalangi kekerasan fisik,
menghadapi rintangan sosial, tidak diperdulikan, dipakai dengan kemiskinan bahasa,
mengalami

gangguan

dan

ketidaksabaran.

4. Beberapa Hal yang Bisa Dipertimbangkan Untuk Peningkatan Kualitas Berbahasa


Jurnalistik yang Baik dan Benar.
1) Penyesuaian gaya bahasa khas institusi pers sesuai dengan aturan yang berlaku.
Artinya institusi penerbitan pers dituntut beradaptasi atas tata baku aturan kebahasaan
yang berlaku. Namun, institusi pers harus tetap diberi ruang terbuka dalam
mengejawantahkan kekhasan penggunaan bahasa persnya tanpa harus menabrak
aturan

yang

disepakati.

2) Perlunya pembinaan kontinu dan dinamis bagi pekerja pers terutama pihak yang
langsung bersentuhan dengan pemproduksian berita, seperti wartawan, redaktur dan
editor. Semakin mereka menguasai pengguanaan bahasa pers yang baik dan benar,
maka semakin kecil pula tingkat kekeliruan perihal kebahasaan hasil karya jurnalistik
yang diproduksi.
3) Perlunya pengkajian secara kontinu pengguanaan bahasa jurnalistik yang baik dan
benar sesuai dengan arus perkembangan zaman, terutama oleh konstitusi yang
berkompeten seperti Depkominfo, Dewan Pers Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
dan lainnya. Era terus bergulir den ragam situasi kondisi terus berkembang. Sehingga

diperlukan penyesuaian yang proporsional pula.


4) Perlunya pertisipasi aktif dari masyarakat dalam memberikan masukan konstruktif
bagi pengembangan dan pengguanaan bahasa jurnalistik yang baik dan benar. UU RI
No 40/1999 (Pasal 17) menyebutkan masyarakat dapat berperan serta memantau dan
melaporkan analisis kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan pers. Masyarakat
juga bisa menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga
dan meningkatkan kualitas pers nasional. UU RI No 32/2002 tentang Penyiaran
(Pasal 52) menyebutkan masyaraat dapat mengajukan keberatan terhadap program
dan atau isi siaran yang merugikan. Dunia pers dan masyarakat harus saling sinergis
untuk bisa menghasilkan karya pers yang berkualitas.
5) Perlunya penegakan aturan yang jelas dan tegas atas pelanggaran yang dilakukan
oleh institusi pers. Penegakan aturan ini diterapkan oleh internal institusi pers
maupun institusi berwenang lain. Tentunya sanksi yang diberiakn sesuai dengan
tingkatan pelanggaran yang dilakukan (proporsional), khususnya penegakan aturan
untuk

kasus-kasus

6) Dan lain-lain.

yang

menyangkut

moralitas

berbahasa.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pers mempunyai peran yang sangat besar dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Dewasa ini, pers mempunyai peranan yang sangat signifikandalam bahas Indonesia,
karena pers tidak lepas dari pemakaian bahasa pada umumnya . akan tetapi dalam
dunia pers juga terdapat beberapa kesalahan yang sangat merugikan dalam
pembelajaran

bahasa

Indonesia

yang

baik

dan

benar.

Dalam dunia pers banyak terdapat pengaruh baik dari bahasa asing maupun bahasa
daerah. Hal tersebut sebenarnya bukan sepenuhnya kesalahan dunia pers di Indonesia.
Akan tetapi lebih baik bila hal itu dapat diminimalisasikan.
Diharapkan dengan meminimalisasikan kesalahan, peran pers dalam bahas Indonesia
terutama dalam pembelajaran bahasa Indonesia akan semakin besar dan dapat terarah
sebagaimana yang diinginkan dan dicita-citakan.

B. Saran
Pers sebaiknya tidak menelan mentah-mentah dalam mengambil berita. Hal ini agar
kutipan

langsung

dapat

berubah

menjadi

kutipan

tidak

langsung,

untuk

meminimalisasikan penggunaan kata-kata yang tidak sesuai dengan EYD.


Sebisa mungkin dunia pers menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa asing
dan daerah, atau bila tidak sebaiknya mencari padanan kata dalam bahasa Indonesia.
Editor sebaiknya bekerja lebih profesional lagi agar kata dan kalimat dalam bahasa
pers tidak lagi ada kontaminasi dan maksa rancu.
Lepas dari kekurangan yang ada dalam transformasi kebahasaan jurnalistik
kebahasaan jurnalistik yang berkembang, eksistensi pers Indonesia adalah sebuah
realitas sekaligus potensi yang sangat potensial dalam ikut serta mencerdaskan

kehidupan bangsa. Terlebih saat ini adalah era globalisasi. Futurolog Marshal
McLuhan mengkosmologikan era global ibarat global village, kampung global.
Media membuat jutaan orang bisa melihat dunia secara langsung, serentak dan
secara massif. Karena jika kita kurang/tidak memberikan ruang yang cukup untuk
mengakses informasi, maka kita akan tetap ketinggalan kereta peradaban.
Kekurangan yang ada jangan dihakimi sebagai malapetaka zaman, melainkan
hendaknya dapat dilihat secara arif bijaksana sebagai bagian proses diri menuju
kondisi lebih baik. Dunia beserta isinya tiada yang sempurna dan tidak akan bisa
sempurna. Namun, ikhtiar menuju penyempurnaan karya bukanlah hal mustahil bisa
dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim.

2007.

Karakteristik

Siaran

Pers.

http://romeltea.wordpress.com/2007/08/25/pr_writing/.(Diakses 6 Desember 2007).


I.G.N.Oka. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Depdikbud.
Kunardi Hardjoprawiro. 2005. Pembinaan Pemakaian Bahasa Indonesia. Surakarta:
UNS Press.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemem Pendidikan dan
Kebudayaan. 1989. Politik Bahasa Nasional. Jakarta : PN Balai Pustaka.
Sri Herwindya Baskara Wijaya. 2007. Mengrling Bahasa Jurnalistik Media Massa.
SOLOPOS, Edisi 5 November 2007.
Yakub Nasucha. 2003. Perpaduan Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Kajian
Linguistik dan Sastra, vol. 15, No. 29, 2003.

Anda mungkin juga menyukai