PENDAHULUAN
I.
PENDAHULUAN
BAB II
SINDROMA NEFROTIK
A. Definisi
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis yang
ditandai dengan proteinuria masif ( 3 3,5 g/hari atau rasio protein kreatinin pada urin
sewaktu > 300-350 mg/mmol), hipoalbuminemia (<25 g /l), hiperkolesterolemia(total
kolesterol > 10 mmol/L), dan manifestasi klinis edema periferal.
B. Etiologi
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat
infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau
toksin, dan akibat penyakit sistemik.
Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering.
Dalam kelompok GN primer, GN lesi minimal (GNLM), glomerulosklerosis fokal
segmental (GSFS), GN membranosa ( GNMN), dan GN membranoproliferatif (GNMP)
merupakan kelainan histopatologik yang sering ditemukan.
Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya pada GN pasca infeksi
streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat antiinflammasi nonsteroid atau preoparat emas organik, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada lupus
eritomatosus sistemik dan diabetes mellitus.
C. Evaluasi Klinik
Berdaasarkan pemikiran bahwa penyebab SN sangat luas maka anamnesis dan oemeriksaan
fisik serta pemeriksaan urin, termasuk pemeriksaan sedimen, perlu dilakukan dengan cermat.
Pemeriksaan kadar albumin dalam serum, kolesterol, dan trigliserida juga membantu
penilaian terhadap SN. Anamnesis penggunaan obat, kemungkinan berbagai infeksi dan
riwayat penyakit sistemik perlu diperhatikan. Pemeriksaan serologik dan biopsi ginajl sering
diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan penyebab GN
sekunder. Pemeriksaan serologik sering tidak banyak memberikan informasi dan biayanya
mahal. Karena itu, sebaiknya pemeriksaan serologik hanya dilakukan berdasarkan indikasi
yang kuat.
D. PATOFISIOLOGI
a. Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat
kerusakan glomerulus ( kebocoran glomerulus) yang ditentukan oleh besarnya molekul dan
muatan listrik, dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular).
Proteinuria sebagian berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) dahn hanya
sebagaian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular). Perubahan integritas
membrane basalis glomerulus menyebabkan peingkatan permeabilitas glomerulus terhadap
perotein plasma dan protein utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin
b. Hipoalbuminemia
Hipoalbumin disebabka oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan
katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat ( namun tidak
memadai untuk mengganti kehilagan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal menurun
Peningkatan permeabilitas glomerulus menyebabkan albuminuria dan hipoalbumineia.
Sebagai akibatnya hipoalbuminemia menurunkan tekanan onkotik plasma koloid,
meyebabkan peningkatan filtrasi transkapiler cairan keluar tubuh dan menigkatkan edema.
c. Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teroi underfill
menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser
dari intravaskuler ke jaringan interstisiel dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan
onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan
kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan
memperbaiki
volume
intravaskuler
tertapi
juga
akan
mengeksaserbasi
terjadinya
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi
natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema.
Penurunan laju fitrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium
dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien SN. Faktor
seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis
lesi glomerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan
mekanisme mana yang lebih berperan.
E. Komplikasi padsa SN
1. Hiperlipidemia
Kolesterol serum, VLDL (very low density lipoprotein), LDL (low density
lipoprotein), trigliserida meningkat sedangkan HDL (high density lipoprotein) dapat
meningkat, normal atau meningkat.Hal ini disebabkan sintesis hipotprotein lipid disintesis
oleh penurunan katabolisme di perifer.Peningkatan albumin serum dan penurunan tekanan
onkotik.
2. Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C, dan
plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya factor V, VII, VIII, X, trombosit,
fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya
factor zymogen.
3. Gangguan Fungsi Ginjal
Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui berbagai
mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering menyebabkan timbulnya
nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut
adalah terjadinya edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal.
Proteinuria
merupakan
faktor
risiko
penentu
terhadap
progresifitas
SN.
F. Pengobatan
Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap
penyakit dasar dan pengobatan non spesifik untuk mengurangi proteinuria,
mengontrol edema, dan mengobati komplikasi.Diuretik disertai diet rendah gara, dan
tirah baring dapat membantu mengontrol edema. Furosemide oral dapat diberikan dan
bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid,metazalon, dan atau asetazolamid.
Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi risiko
komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0,8-1,0 g/kgBB/hari dapat
mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konversi angiotensin (ACE
inhibitor) dan antagonis reseptor angiotensin II (ARB) dapat menurunka tekanan
darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam menurunkan proteinuria.
Obat penurun lemak golongan statis seperti simvastatin, paravastatin, dan
lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserida dan meningkatkan
kolesterol HDL.
BAB III
LAPORAN KASUS
A.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn M. H
Umur
: 23 Tahun
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Alamat
: Pangawarang
Status
: Belum Menikah
Agama
: Islam
No. Reg
: 43 52 13
Tanggal MRS
: 04 - 05 2016 (RSUD Syekh Yusuf Kab. Gowa)
B.
ANAMNESIS
Tipe Anamnesis
: Autoanamnesis dan Alloanamnesis
1. Keluhan Utama
: Bengkak
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk rumah sakit khusus daerah Syekh Yusuf dengan keluhan bengkak
yang dialami (memberat) sejak 8 hari yang lalu, bengkak pada mata dialami saat
pagi hari, dan pada siang hari bengkak mulai turun ke perut hingga ke tungkai
kaki. Disertai dengan nyeri perut di seluruh area perut, dirasakan saat bengkak
mulai turun ke perut. Demam (-), Sakit Kepala (-), Mual (-), Muntah (-).
BAB : seperti biasa
BAK : lancar, urin berwarna kuning, tidak ada riwayat urin berwarna merah
Nafus makan dan selera minum baik.
3. Riwayat Penyakit Terdahulu:
Sindroma Nefrotik, pasien mengalami bengkak pertama kali 3 tahun yang lalu,
bengkak dirasakan pertama kali di daerah mata, sejak itu bengkak berulang
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada riwayat
5. Riwayat Pengobatan
:
Riwayat pengobatan Furosemide dan Spinorolacton
C.
PEMERIKSAAN FISIK
1. Kesan umum:
Sakit sedang
Status gizi (tidak dilakukan pemeriksaan) BB:33 kg
Compos mentis
2. Status vital :
Tekanan darah
Nadi
Suhu
Pernapasan
3. Status General
a. Kepala :
Bentuk kepala
Rambut
Wajah
: 110/60 mmHg
: 90 kali /menit, reguler.
: 36,7C per axila
: 20 kali /menit
: Normocephal, simetris
: Hitam, pendek, lurus, sukar dicabut
: Pucat (-), tidak tampak moon face, tidak tampak luka
isokor kiri-kanan
Bibir
: Kering, Tidak tampak sianosis
Lidah
: Tidak kotor
b. Leher :
Regio colli anterior :
Inspeksi
: Simetris, Tidak tampak massa tumor
Palpasi
: Tidak teraba massa tumor, pembesaran kelenjar (-), nyeri
tekan tidak ada
DVS
: Normal (- 4)
Regio colli posterior :
Inspeksi
: Tidak tampak massa tumor
Palpasi
: Tidak teraba massa tumor, pembesaran kelenjar (-), nyeri
tekan tidak ada
c. Kulit :
Hiperpigmentasi (-), Ikterik (-), Petekhie (-), Sianosis (-), Pucat (-).
d. Toraks :
Paru
Inspeksi :
Dinding toraks simetris kanan kiri, pernapasan tipe torako-abdominal,
retraksi (-)
Palpasi :
Tidak terdapat benjolan, edema, repitasi, dan nyeri tekan.
Vokal fremitus sama kiri kanan
Perkusi :
Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi
:
Bunyi pernapasan vesikuler normal, Rhonki -/-, Wheezing -/Jantung
Inspeksi :
Iktus cordis tidak tampak
Palpasi :
Iktus cordis tidak teraba
Perkusi :
Pekak, batas kanan jantung ICS IV pada linea parasternalis dekstra, batas
kiri jantung ICS V linea midklavikularis sinistra, batas jantung atas ICS II
f. Punggung :
Tampak dalam batas normal
Tidak terlihat kelainan bentuk tulang belakang
g. Genitalia :
Tidak ada kelainan
Tampak dalam batas normal
h. Ekstremitas :
Ekstremitas superior kanan dan kiri :
Inspeksi
: Deformitas (-), Warna kulit sama dengan sekitarnya,
tidak tampak jejas edema tidak ada, hematom tidak ada
Palpasi
: Nyeri tekan sendi (-), tidak ada krepitasi
ROM
: Dalam batas normal
Sensibilitas
: Dalam batas normal
CRT
: kurang dari 2 detik
Ekstremitas inferior kanan dan kiri :
Inspeksi
: Deformitas (-), Warna kulit sama dengan sekitarnya,
tidak tampak jejas, edema pada kedua ekstremitas inferior, hematom tidak
ada
Palpasi
batas normal
Sensibilitas
CRT
D.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, akan di lakukan pemeriksaan
penunjang untuk menunjang diagnosis masuk dan diagnosis kerja nantinya, yaitu
berupa:
1. Darah Rutin
2. Fungsi Ginjal
3. Urin Rutin
4. GDS
5. Faal Homeostasis
6. HbsAG
E.
DIAGNOSIS KERJA
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien
mengalami :
Diagnosis Masuk : Sindroma Nefrotik
Diagnosis Kerja : Sindroma Nefrotik
Diagnosis Banding : - Malnutrisi Terutama Protein
Congestive Heart Failure
F.
FOLLOW UP PASIEN
Tanggal / TTV
4/5/2016
TD: 110/60
N : 90x/menit
P : 20x/menit
S : 36,7C
Perjalanan Penyakit
Instruksi Dokter
S : Pasien masuk rumah sakit khusus daerah - IVFD
Ringer
-
Laktat 28 tpm
Prednison
3x2
tab
Ranitidin 2x1 tab
Spironolacton
100 mg 1 x 1
Periksa
Darah
Kimia
GDS,PT, APTT
Darah,
(-),
mual
(-),
muntah
IVFD
Laktat 28 tpm
Prednison
3x2
tab
Ranitidin 2x1 tab
Spironolacton
(-),
Ringer
100 mg 1 x 1
GDS 72 mg/dL
Urin Rutin :
SG : 1,005
PH: 7
LEU : 100/ul (++)
NIT : neg
PRO : 500 mg/dl (++++)
GLU : norm
KET : 5 mg/dl
UBG :norm
BIL : neg
ERY : 150/ul (++++)
HbsAg : (-)
6/5/2016
TD : 110/80
N : 80x/menit
P : 18x/menit
S : 36.7C
A:
Sindroma Nefrotik
S : Demam (-), Sakit Kepala (-), Nyeri
perut
(-),
mual
(-),
muntah
IVFD
Laktat 28 tpm
Prednison
3x2
tab
Ranitidin 2x1 tab
AFF Infus
Prednison
tab
Ranitidin 2x1 tab
Boleh
pulang
(-),
Ringer
BAK : lancar
O:
Ekstremitas inf : Pitting Edema
A:
Sindroma Nefrotik
7/5/2016
TD : 120/70
N : 88x/menit
P : 18x/menit
S : 36.6C
(-),
mual
(-),
muntah
(-),
dan
kontrol
3x2
di
BAK : lancar
Poli Interna
G.
DIAGNOSIS
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien
didapatkan WBC 7.900 (Normal), RBC 4.73 juta (Normal), HGB 13.8 g/dL
(Normal), HCT 38.3 % (Normal), PLT 229.000 (Normal), SGOT 19 U/L, SGPT
8 U/L, Ureum 21 mg/dL, Kreatinin 0.7 mg/dL,GDS 72 mg/dL, Urin Rutin :SG
: 1,005, PH: 7, LEU : 100/ul (++), NIT : neg, PRO : 500 mg/dl (++++), GLU
: norm, KET : 5 mg/dl, UBG :normal, BIL : neg, ERY : 150/ul (++++) dan
HbsAG (-)
Adapun terapi pada saat pasien masuk yang diberikan adalah IVFD RL 28 tpm, IVFD
Ringer Laktat 28 tpm,,Prednison 3x2 tab, Ranitidin 2x1 tab, Spironolacton
100 mg 1 x 1 dan pada hari kedua, saat di lakukan pemeriksaan , bengkak
pada kedua ekstremitas sudah berkurang, pemberian spironolacton
dihentikan.
Pada hari ketiga, keluhan minimal dari pasien dan bengkak pada kedua
ekstremitas
inferior
juga
makin
berkurang
sehingga
terapi
tetap
dilanjutkan.
Pada hari keempat, bengkak pada ekstremitas inferior sudah tidak ada
dan tidak ada keluhan dari pasien , sehingga pasien dapat KRS dan
disarankan untuk kontrol di Poli Interna seminggu kemudian. Terapi pasien
saat pulang yaitu Prednison 3x2 tab dan Ranitidin 2x1 tab.
I.
PEMBAHASAN
Pasien masuk dengan keluhan bengkak, sehingga banyak kecurigaan diagnosis yang
dapat dipikirkan sebagai penyebabnya dan salah satunya adalah Sindroma Nefrotik.
Pada pasien ini dilakukan diagnosis Sindroma Nefrotik berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Untuk mendiagnosis Sindroma Nefrotik
sebenarnya dapat digunakan pemeriksaan serologik dan biopsy ginjal. Namun dikarenakan
keterbatasan fasilitas yang dimilik oleh Rumah Sakit, dan juga pemeriksaan serologik sendiri
sering tidak banyak memberikan informasi, biayanya mahal dan dilakukan berdasarkan
indikasi yang kuat, oleh karena itu diagnosis Sindroma Nefrotik ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis didapatkan gejala bengkak (edema) yang dialami pertama pada
bagian mata saat bangun tidur dan dikarenakan mengikuti gaya gravitasi, edema perioribital
akan menyusut atau berkurang dan berpindah ke tempat yang lebih rendah, contohnya
tungkai kaki, seperti keluhan pada pasien ini. Sindroma Nefrotik sendiri merupakan penyakit
yang kronis dan berulang, seperti pada pasien ini, bahwa bengkak terjadi pertama kali pada 3
tahun yang lalu yaitu 2013 dan terus berulang setelahnya.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan pitting edema pada kedua ekstremitas inferior.
Edema bersifat pitting sebagai akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke jaringan
interstisiel yang dalam waktu singkat akan kembali kedudukan semula.
Pada.pemeriksaan penunjang, hasil Darah Rutin menujukkan tidak adanya suatu
infeksi sehingga GN sekunder infeksi kemungkinan dapat disingkirkan, Hasil dari GDS,
Fungsi Ginjal semua dalam batas normal. Namun pada pemeriksaan Urinalisis, diapatkan
kadar protein dalam urin yang sangat tinggi yaitu, 500 mg/dl (++++) dan kadar eritrosit
dalam urin, 150 ul (++++). Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, dan pada proses
awal atau SN ringan, tidak diperlukan keseluruhan kriteria seperti hipoalbuminemia,
hiperkolesterolemia untuk mendiagnosis pasien ini dengan Sindroma Nefrotik.
Untuk terapi yang diberikan pada pasien ini yaitu berupa diuretik Spironolacton ,
terapi ini diberikan untuk membantu mengontrol edema dan juga untuk menghindari
terjadinya gagal ginjal akut atau gangguan elektrolit. Selain itu pada pasien ini juga diberikan
Prednison. Pengobatan dengan kortikosteroid sendiri masih kontroversial pada manajemen
Sindroma Nefrotik pada orang dewasa. Tidak terbukti efektif, namun direkomendasikan pada
beberapa orang yang tidak respon pada pengobatan konservatif. Satu studi menemukan
bahwa kortikosteroid membantuk dalam menangani proteinuria dan meningkatkan fungsi
renal pada orang dengan gejala kelainan minimal, namun tidak dengan orang yang mengidap
membranous nefropathy atau proliferative glomerulonephritis.
DAFTAR PUSTAKA
Syndrome
Treatment
and
Management.
http://emedicine.medscape.com/article/244631-treatment
5. Setiyohadi,Bambang. 2009. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid 1 Edisi V.999-1002