GN Pendengaran Pada Bayi Dan Anak
GN Pendengaran Pada Bayi Dan Anak
Kata Pengantar...........................................................................................................................i
Daftar Isi....................................................................................................................................1
BAB I
Pendahuluan..............................................................................................................................2
BAB II
Gangguan Pendengaran Pada Bayi dan Anak...................................................................3
BAB III
Pemeriksaan Fungsi pendengaran pada Bayi dan Anak...................................................10
BAB IV
Kesimpulan..............................................................................................................................20
Daftar Pustaka..........................................................................................................................21
BAB I
PENDAHULUAN
Proses belajar mendengar bagi bayi dan anak sangat kompleks dan bervariasi karena
menyangkut aspek tumbuh kembang, perkembangan embriologi, anatomi, fisiologi, neurologi
dan audiologi. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak kadang-kadang disertai
keterbelakangan mental, gangguan emosional maupun afasia perkembangan. Gangguan
pendengaran pada masa bayi dan anak akan menyebabkan gangguan bicara, berbahasa,
kognitif, masalah social dan emotional sehingga pemeriksaan diharapkan dapat mendeteksi
gangguan pendengaran pada kelompok usia ini sedini mungkin. Umumnya seorang bayi atau
anak yang mengalami gangguan pendengaran, lebih dahulu diketahui keluarganya sebagai
pasien yang terlambat bicara (delayed speech).1
Di berbagai negara dilaporkan angka kejadian gangguan pendengaran yang bervariasi,
menurut
WHO ketulian derajat ringan sampai berat dimasyarakat mencapai 10% dan
diperkirakan 25-30% gangguan pendengaran sejak lahir tidak diketahui penyebabnya serta
kemungkinan factor genetik sebagai penyebab belum dapat disingkirkan. US Preventive
Service Task Force melaporkan bahwa prevalensi gangguan pendengaran neonates di
Neonatal Intensive Care Unit (NICU) 10-20 kali lebih besar dari prevalensi gangguan
pendengaran pada populasi neonates normal.1,2 Menurut data WHO tahun 2007, prevalensi
gangguan pendengaran bayi dan anak pada populasi penduduk Indonesia diperkirakan
sebesar 4,2%. Di inggris, berdasarkan penelitian terhadap anak yang lahir tahun 1995 sampai
2005 prevalensi gangguan pendengaran permanen pada anak meningkat sampai usia 9 tahun.
Insiden berkisar 1 dari 1000 kelahiran hidup sebanyak 50-90% didiagnosis mengalami
gangguan pendengaran.pnyebab gangguan pendengaran dapat berasl genetic maupun didapat.
untuk itu gangguan pendengara pada bayi dan anak perlu dideteksi sedini mungkin mengingat
pentingnya pentingnya peranan fungus pendengaran.1,2,3
BAB II
GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI DAN ANAK
2.1 Definisi
Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total untuk
mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga yang terjadi pada bayi dan anak.
Pembagian gangguan pendengaran berdasarkan tingkatan beratnya gangguan pendengaran,
yaitu mulai dari gangguan pendengaran ringan (20-30dB0, gangguan pendengaran sedang
(40-69dB) dan gangguan pendengaran berat (70-89 dB).1,4,7
Menurut WHO pengertian gangguan pendengaran dan ketulian dibedakan
berdasarkanketentuan sebagai berikut: Gangguan Pendengaran (hearing impaired) yaitu
berkurangnya kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya, pada salah satu atau
kedua kedua telinga, baik derajat ringan atau lebih berat dengan ambang pendengaran rata
lebih dari 26 dB pada frekuensi 500, 1000,2000, atau 4000 Hz. Sedangkan ketulian (deaf)
adalah hilangnya kemampuan mendengar pada salah satu atau kedua sisi telinga, merupakan
gangguan pendengaran sangat berat dengan ambang pendengaran rata-rata lebih dari 81dB
pada frekuensi 500, 1000,2000 atau 4000 Hz.8,9
2.2 Klasifikasi gangguan Pendengaran
Metode klasifikasi gangguan pendengaran adalah dibedakan dari sisi onset, sisi
genetika, progresifitas penyakit.5,9
1. Jenis gangguan : tipe konduktif, sensorineural, campuran.
2. Waktu berlangsung : menetap, sementara, memberat.
3. Derajat gangguan pendengaran : rigan, sedang, berat, sangat berat.
4. Onset gangguan pendengaran : congenital, periode prelingual, atau postlingual, lanjut usia
(presbiakusis)
5. Faktor penyebab : ototoksis, akibat bising (GPAB).
a. Gangguan pendengaran/tuli konduktif (Conductive Hearing Loss)
Menunjukkan adanya masalah di telinga luar atau tengah yang menyebabkan tidak
terhantarnya bunyi dengan tepat ke telinga dalam. Penyebab tersering gangguan pendengaran
konduktif pada anak adalah otitis media dan disfungsi tuba eustachius yang disebabkan oleh
otitis media sekretori.kedua kelainan tersebut jarang menyebabkan kelainan gangguan
pendengaran melebihi 40dB.Dalam beberapa kejadian, gangguan pendengaran jenis ini
3
biasanya bersifat sementara. Pengobatan atau bedah, alat bantu dengar maupun implan
telinga tengah dapat membantu mengatasi gangguan pendengaran jenis ini tergantung pada
penyebab khusus masalah pendengaran tersebut.5,11
b. Gangguan Pendengaran Sensorineural (Sensori Neural Hearing Loss).
Tuli sensorineural atau disebut juga tuli perseptif (tuli saraf) merupakan jenis
gangguan pendengaran yang disebabkan oleh hilangnya atau rusaknya sel saraf (sel rambut)
di dalam koklea atau rumah siput, kerusakan atau malfungsi koklea serta kerusakan batang
otak sehingga bunyi tidak dapat diproses sebagaimana mestinya. Gangguan pendengaran
jenis ini biasanya bersifat permanen.bila kerusakan terbatas pada sel rambut di koklea, maka
sel ganglion dapat bertahan atau mngalami degenerasi transneural. Bila sel ganglion rusak,
maka n. VIII akan mengalami degenerasi wallerian. Penyebab utama gangguan pendengaran
ini adalah disebabkan genetik atau infeksi sedangkan penyebab yang lain seperti pemakaian
obat jarang terjadi. Untuk gangguan pendengaran ringan hingga berat dapat diatasi dengan
alat bantu dengar atau implan telinga tengah. Sedangkan, untuk gangguan pendengaran berat
atau parah sering di atasi dengan implan koklea 12,13
c. Gangguan Pendengaran/tuli campuran (Mixed Hearing loss)
Gangguan pendengaran campuran merupakan campuran gangguan pendengaran
sensorineural dan konduktif. Pada tuli campur dapat merupakan satu penyakit, misalnya
radang telinga tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang
berlainan, misalnya tumor n.VII yang merupak tuli sensorineural dengan radang telinga
tengah yang merupakan tuli konduktif. 11,13
2.3 Etiologi Gangguan Pendengaran pada Bayi/Anak
Penyebab gangguan pendengaran pada anak biasanya dibedakan menjadi 3
berdasarkan saat terjadinya gangguan pendengaran yaitu :1,14
1. Pada saat kehamilan atau dalam kandungan (PRENATAL)
-
Genetik herediter
Yaitu yang berkatin dengan faktor genetik
Non genetik
Yaitu yang tidak berkaitan dengan keturunan seperti Infeksi pada kehamilan
terutama pada awal kehamilan/trimester pertama (Toxoplasmosis, Rubella,
Cytomegalovirus, Herpes, Sifilis), kekurangan zat gizi misalnya defisiensi jodium,
kelainan struktur anatomi serta pengaruh obat-obatan yang dikonsumsi selama
kehamilan yang berpotensi menggangu proses pembentukan organ dan merusak
sel-sel rambut koklea seperti salisilat, kina, neomycin, streptomisin, gentamisin,
thalidomide, barbiturate dll. Selain itu malformasi struktur anatomi telinga seperti
atresia liang telinga dan aplasia koklea juga akan menyebabkan ketulian.1,5,15
rendah
(<
2500
gr),
lahir
tidak
menangis
(asfiksia),
lahir
kuning
otak),
otitis
media
(radang
telinga
tengah)
dan
Trauma
kepala.
Meningitis Bakterialis
7.
8.
Asfisia berat
9.
10. Menggunakan alat bantu pernafasan / ventilasi mekanik lebih dari 5 hari (ICU)
2.4 Faktor resiko terjadinya gangguan pendengaran pada bayi/anak11
1. Riwayat keluarga ditemukan ketulian
2. Infeksi intrauterin
3. Abnormalitas pada kraniofasial
4. Hiperbilirubinemia yang memerlukan tranfusi tukar
5. Penggunaan obat ototoksik aminoglikosida lebih dari 5 hari atau
penggunaan antibiotik tersebut dengan obat golongan loop diuretic
6. Meningitis bakteri
7. Apgar skor < 4 pada saat menit pertama setelah dilahirkan, atau
apgar skor < 6 pada menit kelima.
8. Memerlukan penggunaan ventilasi mekanik lebih dari 5 hari.
9. Berat lahir < 1500 gram
10. Manifestasi dari suatu sindroma yang melibatkan ketulian.
Meskipun faktor risiko yang telah disebutkan merupakan suatu indikasi untuk dilakukan
pemeriksaan untuk menentukan adanya suatu gangguan pendengaran, akan tetapi dilapangan
ditemukan bahwa 50% neonatus dengan gangguan pendengaran tidak mempunyai faktor
risiko. Oleh karena itu direkomendasikan suatu pemeriksaan gangguan pendengaran pada
seluruh neonatus setelah lahir atau setidaknya usia tiga bulan.1,15
6
2. Obat ototoksik
Obat-obatan yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran adalah: Golongan
antibiotika: Erythromycin, Gentamicin, Streptomycin, Netilmicin, Amikacin,
Neomycin (pada pemakaian tetes telinga), Kanamycin, Etiomycin, Vancomycin,
golongan diuretika: furosemide.1,3,9
Kadar bilirubin indirek ditentukan juga oleh beberapa faktor seperti: kecepatan
produksi bilirubin, kadar albumin, dan obat-obatan (sulfonamid, diuretikum, salisilat).
(Huang et all, 2004)17
3. Trauma
Fraktur tulang temporal, pendarahan pada telinga tengah atau koklea, dislokasi
osikular, trauma suara.,1,9
4. Neoplasma
Tumor yang sering terjadi seperti
- Bilateral acoustic neurinoma (neurofibromato),
- Cerebellopontine tumor, tumor pada telinga tengah (contoh: rhabdomyosarcoma,
glomus tumor. (Mishra MJ et all 2009)
2.6 Gejala Gangguan Pendengaran
Beberapa hal berikut dapat dipergunakan sebagai acuan untuk mengetahui apakah
terdapat gangguan pendengaraan pada bayi/anak:5
Untuk bayi berusia kurang dari 12 bulan :
1. Tidak terkejut bila mendengar suara keras
2. Mulai usia 3 bulan bayi belum dapat mengenali suara orang tuanya
3. Sekitar usia 6 bulan bayi belum dapat mencari asal/ lokasi bunyi berasal, dengan cara
menolehkan kepala atau mata ke arah sumber bunyi
4. Pada usia 12 bulan bayi belum mahir meniru suara di sekitarnya dan memproduksi
beberapa kata.
Setelah usia 12 bulan gejala-gejala gangguan pendengaran dapat dikenali dengan
1. Kemampuan wicara terbatas atau tidak ada sama sekali
2. Perhatian kurang ( inattentive)
3. Sulit mempelajari sesuatu
4. Seringkali meminta suara diperkeras (misalnya volume TV)
5. Tidak memberi respons terhadap ucapan dengan kekerasan yang normal
6. Salah memberikan jawaban
8
Kemampuan bicara
Beum dapat mengoceh (babbling) atau
18 bulan
meniru bunyi
Tidak dapat menyebutkan 1 kata yang
24 bulan
30 bulan
mempunyai arti
Perbendaharaan kata kurang dari 10 kata
Belum dapat merangkai 2 kata
BAB III
10
1.
2. Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran yang menetap sejak masa anak-anak.
3. Keadaan yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang diketahui mempunyai
hubungan dengan gangguan pendengaran sensorineural atau konduktif.
4. Infeksi postnatal yang menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural
termasuk meningitis bakterialis.
5. Infeksi intrauterin seperti Toksoplasma, Rubella, Virus Cytomegalo, Herpes, dan Sifilis.
6. Adanya faktor risiko tertentu pada masa neonatus, terutama hiperbilirubinemia
yang memerlukan transfusi tukar, hipertensi pulmoral yang membutuhkan ventilator serta
kondisi lainnya yang memerlukan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO).
7. Sindroma tertentu yang berhubungan dengan gangguan pendengaran yang
progresif seperti Usher syndrome, neurofibromatosis, osteopetrosis.
8. Adanya kelainan neurodegeneratif seperti Hunter syndome, dan kelainan
neuropati sensomotorik misalnya Friederich's ataxia, Charrot-Marie Tooth Syndrome.
9. Trauma kapitis
10. Otitis media yang berulang atau menetap disertai efusi telinga tengah minimal 3 bulan.
Bayi yang mempunyai salah satu faktor risiko tersebut mempunyai kemungkinan
mengalami gangguan pendengaran 10,2 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi yang
tidak memiliki faktor risiko. Bila terdapat 3 buah faktor risiko kecenderungan menderita
gangguan pendengaran diperkirakan 63 kali lebih besar dibandingkan bayi yang tidak
mempunyai faktor risiko tersebut. Pada bayi baru lahir yang dirawat di ruangan intensif
(ICU) risiko untuk mengalami gangguan pendengaran 10 kali lipat dibandingkan dengan
bayi normal.1,2,6
Namun indikator risiko gangguan pendengaran tersebut hanya dapat mendeteksi
sekitar 50% gangguan pendengaran karena banyaknya bayi yang mengalami gangguan
pendengaran tanpa memiliki faktor risiko yang dimaksud. Berdasarkan pertimbangan
tersebut maka saat ini upaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi
ditetapkan melalui program Newborn Hearing Screening (NHS). 6,8
Upaya deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi ditetapkan melalui program
Newborn Hearing Screening (NHS). Dikenal 2 macam program NHS, yaitu: 1
11
Play Audiometry
beralih menjadi
respon conditioned.
Pemeriksaan
13
melakukan pemeriksaan ini adalah liang telinga harus bersih dan tidak ada
kelainan pada telinga tengah.
Penggunaan BOA dan VRA (Visual Reinforcement Audiometry) pada bayi
dan anak mempunyai keterbatasan untuk menentukan ambang batas pendengaran
yang sahih.21,22
c. Play Audiometry
Pemeriksaan Play Audiometry (conditioned play audiometry) meliputi teknik
melatih anak untuk mendengar stimulus bunyi disertai pengamatan respon
motorik spesifik dalam suatu aktivitas permainan. Misalnya sebelum pemeriksaan
anak dilatih (conditioned) untuk memasukan benda tertentu ke dalam kotak segera
setelah mendengar bunyi. Stimulus biasanya diberikan melalui headphone.
Dengan mengatur frekuensi dan menentukan intensitas stimulus bunyi terkecil
yang dapat menimbulkan respon dapat ditentukan ambang pendengaran pada
frekuensi tertentu (spesifik).1,21
2. Pemeriksaan Obyektif dilakukan dengan alat tes elektrofisiologik yaitu
a.
Timpanometri
Brainstem Evoked Reponses Audiometry (BERA)
Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) atau istilah lain Auditory
Brainstem Response (ABR) adalah pemeriksaan elektrofisiologik yang objektif,
non invasif, untuk menilai integritas sistem auditorik termasuk batang otak,
terhadap bunyi yang kita dengar, sehingga kita dapat mengetahui ambang
pendengaran maupun letak lesi pada sistem auditorik tersebut. BERA merupakan
cara pengukuran evoked potential (aktifitas listrik yang dihasilkan n.VIII, pusatpusat neural dan traktus didalam batang otak) sebagai respon terhadap stimulus
auditorik. BERA dapat dipakai untuk memeriksa bayi, anak, dewasa dan
penderita yang koma. Pemeriksaan BERA sebaiknya dilakukan pada ruang kedap
suara. Pada bayi diperlukan sedatif untuk mencegah internal noise. Bila
digunakan BERA otomatis, karena waktunya singkat dapat dilakukan tanpa
sedatif.21
14
Tes BERA dapat menilai fungsi pendengaran bayi atau anak yang tidak
kooperatif. Yang tidak dapat diperiksa dengan cara konvensional. Berbeda
dengan audiometry, alat ini bisa digunakan pada pasien yang kooperatif maupun
non-kooperatif seperti pada anak baru lahir, anak kecil, pasien yang sedang
mengalami koma maupun stroke, tidak membutuhkan jawaban atau respons dari
pasien seperti pada audiometry karena pasien harus menekan tombol jika
mendengar stimulus suara. Alat ini juga tidak membutuhkan ruangan kedap suara
khusus.13,25
Berbagai kondisi yang dianjurkan untuk pemeriksaan BERA antara lain : bayi
baru lahir untuk mengantisipasi gangguan perkembangan bicara/bahasa
Prinsip Pemeriksaan
15
16
17
18
19
BAB IV
KESIMPULAN
Proses mendengar bagi bayi dan anak sangat kompleks dan bervariasi karena menyangkut
aspek tumbuh kembang, perkembangan embriologi, anatomi, fisiologi, neurologi dan
audiologi. Sehingga jika terjadi gangguan pada pendengaran akan menyebabkan gangguan
bicara, berbahasa, kognitif, masalah social dan emosional. Kesehatan Indera pendengaran
merupakan syarat penting bagi upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia karena
sebagian besar infomasi diserap mulalui proses mendengar yang baik bagi anak. Oleh karena
itu gangguan pendengaran pada anak perlu dideteksi seawal mungkin mengingat pentingnya
peranan fungsi pendengaran terutama dalam proses perkembangan bicara. Saat ini sudah
banyak metode untuk menilai fungsi pendengaran anak baik secara subyektif maupun
obyektif. Gangguan pendengaran sendiri adalah ketidakmampuan secara parsial atau total
untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga yang terjadi pada bayi dan anak
yang bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor mulai dari masa perinatal,prenatal maupun
post natal.
20
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. Suwento R, Zizlavsky S, Hendarmin H. Gangguan Pendengaran Pada Bayi dan Anak. Dalam:
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta:FKUI;2007.h.3142.
2. Suwento R. Diagnosis Dini Ketulian pada bayi dan anak. Kursus Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran (KPPIK) FKUI. Evidence Based Medicine in Daily Practice. Jakarta,
Februari 2005.
3. Joint Commite on infant Hearing. Years 2007 Position Statement: Priciple and Guidelines for
Early Hearing Detection and Intervention Programs. Pediatrics 2007; 120 (4): 527 30.
4. Mason JA, Herman KR. Universal Infant Hearing Screening by Automated Brainstem
Response Measurement. Pediatrics 2001; 101 (2): 221 8.
5. Thompson DC, Mc Philips H, Davis RL, Lieu TL, Homer CJ, Helfand M. Universal
Newborn Hearing Screaning. JAMA 2001 ; 286:2000-10.
6. Runjan L, Amir I, Suwento R. Skrining gangguan pendengaran pada neonates resiko tinggi.
Sari Pediatri 2005 Maret;6 (4):149-54.
7. Suwento R. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak. Dalam seminar sehari
penatalaksanaan gangguan pendengaran dan ketulian ; Semarang 2007 Februari h. 1-12
8. Adams GL. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak. Dalam : Adam GL, Boeis LR,
Highler PA. BOEIS, Buku Ajar Penyakit THT, Edisi 6. Alih Bahasa : Wijaya C. BOEIS
fundamental of otolaryngology. Jakarta : Penerbit EGC; 1997. 446
9. World Health Organization, situation review and update on deafness, hearing loss and
intervention programs : proposed plans of action for prevention and alleviation of hearing
impairment in countries of the south-east asia region. 2007.
10. Fortnum H M, Summerfield A Q, Marshall DH, Davis AC, Bamford JM. Prevalence of
permanent childhood hearing impairment in the United Kingdom and Implication for
21
22. Rapin I. Hearing impairment. Dalam: Swaiman K.F, Ashwal S, penyunting. Pediatric
Neurology Principles and Practice. Edisi ke-3. New York: Mosby Inc;1999.h.77- 95.
23. Zang Z, Wilkinson AR, Jiang ZD. Distorsion product otoacustic emission at 6 months in
term infants after perinatal hypoxia ischaemi or with a low apgar score. Eur J Pediatrr
2008;167:575-578
24. Lasky RE, William AL. The development of the auditory system from conception to term.
Neo review 2005;6(3):141-52
25. Gifford KA, Holmes MG, Bernstein HH. Hearing loss in children. Pediatrics in
review.2009;30:207-16
26. Deka RC, Sarin D. Congenital TORCH infection and hearing loss. Dalam : Deka D,
penyunting. Congenital intrauterine TORCH Infecion. Edisi ke 1. New Delhi: Jaypee
brothers, 2004.h.112-20
27. Zamani A, Daneshjou K, Ameni A, Takand J. Estimating the incidence of neonatal hearing
loss in high risk neonates. Acta Medica Iranica 2004;42 (3):176-80
28. Abiratno SF. Auditory brainstem response (ABR) prinsip dasar, teknik pemeriksaandan
penggunaanya dalam klinik. Dalam :abiratno SF, penyunting.2003
23