Anda di halaman 1dari 15

TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

1. Teori Behavioristik
Premis dasar teori belajar behavioristik menyatakan bahwa interaksi antara stimulus
respons dan penguatan terjadi dalam suatu proses belajar. Teori belajar behavioristik sangat
menekankan pada hasil belajar, yaitu perubahan tingkah laku yang dapat dilihat. Hasil belajar
diperoleh dari proses penguatan atas respons yang muncul terhadap stimulus yang bervariasi.
Salah satu teori belajar behavioristik adalah teori classical conditioning dari Pavlov yang
didasarkan pada reaksi sistem tak terkondisi dalam diri seseorng serta gerak refleks setelah
menerima stimulus. Menurut Pavlov, penguatan berperan penting dalam mengkondisikan
munculnya respons yang diharapkan. Jika penguatan tidak dimunculkan, dan stimulus hanya
ditampilkan sendiri, maka respons terkondisi akan menurun dan atau menghilang. Namun, suatu
saat respons tersebut dapat muncul kembali.
Sementara itu, connectionism dari Thorndike menyatakan bahwa belajar merupakan
proses coba-coba sebagai reaksi terhadap stimulus. Respons yang benar akan semakin diperkuat
melalui serangkaian proses coba-coba, sementara respons yang tidak benar akan menghilang.
Akibat menyenangkan dari suatu respons akan memperkuat kemungkinan munculnya respons.
Respons yang benar diperoleh dari proses yang berulang kali yang dapat terjadi hanya jika siswa
dalam keadaan siap.
Teori behaviorism dari Watson menyatakan bahwa stimulus dan respons yang menjadi
konsep dasar dalam teori perilaku haruslah berbentuk tingkah laku yang dapat diamati. Interaksi
stimulus dan respons merupakan proses pengkondisian yang akan terjadi berulang-ulang untuk
mencapai hasil yang cukup kompleks.
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari
sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek aspek mental. Dengan kata lain,
behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam
suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga
menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari
pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :
a. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukumhukum belajar, diantaranya:

Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka
hubungan Stimulus Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek
yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara StimulusRespons.

Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu
berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini

menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu.

Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin
bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.

b. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov


Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukumhukum belajar, diantaranya :

Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam
stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka
refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.

Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah
diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan
reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

c.

Operant Conditioning menurut B.F. Skinner


Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap
burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :

Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat,
maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.

Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses
conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun
bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah
sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant
conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh
reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan
kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai
pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.

d. Social Learning menurut Albert Bandura


Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori
belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan
penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata
refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai
hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar
belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral
terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga
masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang
individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.

Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar


behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan,
Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang
(the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak
serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan
dorongan.
2. Teori Belajar Kognitif
Menurut teori belajar kognitif pada dasarnya setiap orang dalam bertingkah laku dan
mengerjakan segala sesuatu senantiasa dipengaruhi oleh tingkat-tingkat perkembangan dan
pemahamannya atas dirinya sendiri. Setiap orang memiliki kepercayaan, ide-ide dan prinsip
yang dipilih untuk kepentingan dirinya.
Teori kognitif berasal dari teori kognitif dan teori psikologi. Aspek kognitif
mempersoalkan bagaimana seseorang memperoleh pemahaman mengenai dirinya dan
lingkungannya dan bagaimana ia berhubungan dengan lingkungan secara sadar. Sedangkan
aspek psikologis membahas masalah hubungan atau interaksi antara orang dan lingkungan
psikologisnya secara bersamaan. Psikologi kognitif menekankan pada penting proses internal
atau proses-proses mental.
Menurut teori belajar kognitif, belajar merupakan proses-proses internal yang tidak dapat
diamati secara langsung. Adapun tujuan teori ini adalah:
a.

Membentuk hubungan yang teruji, teramalkan dari tingkah laku orang-orang pada ruang
kehidupan mereka sendiri secara spesifik sesuai dengan situasi psikologisnya.

b.

Membantu guru untuk memahami orang lain, terutama muridnya, dan membantu dirinya
sendiri.

c.

Mengkonstruksi prinsip-prinsip ilmiah yang dapat diterapkan dalam kelas dan untuk
menghasilkan prosedur yang memungkinkan belajar menjadi produktif.

d.

Teori belajar kognitif menjelaskan bagaimana seseorang mencapai pemahaman atas diri dan
lingkungannya lalu menafsirkan bahwa diri dan lingkungannya merupakan faktor yang saling
berkaitan.
Insight adalah pemahaman dasar yang dapat diaplikasikan pada beberapa situasi yang sama
atau hampir sama. Dapat juga dikatakan insight adalah pemahaman terhadap suatu situasi secara
mendalam. Insight terjadi dengan malihat kasus-kasus/kejadian yang terpisah, kemudian
manggeneralisasikannya sehingga timbul pemahaman.
Perbedaan pandangan teori kognitif dan teori conditioning stimulus-respons adalah sebagai
berikut.

a.

Teori kognitif menekankan pada fungsi-fungsi psikologis, sedangkan teori behaviorisme pada
segi fisiknya saja.

b. Teori kognitif berfokus pada situasi saat ini, sedangkan teori behaviorisme pada sejarah masa
lalu.

c.

Dalam proses kognitif terjadi interaksi antara manusia dengan lingkungannya secara simultan
dan saling membutuhkan.
Prinsip-prinsip dasar teori belajar kognitif dapat dirumuskan sebagai berikut.

a.

Belajar merupakan peristiwa mental yang berhubungan dengan berpikir, perhatian, persepsi,
pemecahan masalah, dan kesadaran.

b.

Sehubungan dengan pembelajaran, teori belajar perilaku dan kognitif pada akhirnya sepakat
bahwa guru harus memperhatikan perilaku siswa yang tampak, seperti penyelesaian tugas
rumah, hasil tes, disamping itu juga harus memperhatikan faktor manusia dan lingkungan
psikologisnya.

c.

Ahli kognitif percaya bahwa kemampuan berpikir setiap orang tidak sama dan tidak tetap dari
waktu ke waktu.
Model teori belajar kognitif yang banyak diterapkan dalam dunia pendidikan adalah model
belajar penemuan dari Brunner, model belajar bermakna dari Ausebel, model pemrosesan
informasi dan model peristiwa pembelajaran dari Rober Gagne, dan model perkembangan
intelektual dari Jean Piaget.
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran
konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan
untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan
individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu :
(1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational.
Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan
akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah the process by
which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing
the evidence of their senses to make it fit dan akomodasi adalah the difference made to ones
mind or concepts by the process of assimilation
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk
melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya
dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan
kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan
menemukan

berbagai

hal

dari

lingkungan.

Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :


1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik.
Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.

3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi
dengan teman-temanya.
3. Teori Belajar Konstruktivisme
Constructivism merupakan teori dari Piaget. Menurut cara pandang teori ini bahwa
belajar adalah proses untuk membangun pengetahuan melalui pengalaman nyata dari lapangan.
Artinya siswa akan cepat memiliki pengetahuan jika pengetahuan itu dibangun atas dasar realitas
yang ada di dalam masyarakat.
Konsekuensinya pembelajaran harus mampu memberikan pengalaman nyata bagi siswa.
Sehingga model pembelajarannya dilakukan secara natural. Penekanan teori ini bukan pada
membangun kualitas kognitif, tetapi lebih pada proses untuk menemukan teori yang dibangun
dari realitas lapangan.
a.

Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme


Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar

konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori
perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan
dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari
lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan
ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor
anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159)
menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi
adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi
tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain
adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan
baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno,
1996: 7).
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada
seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan,
perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan
ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa
pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda
berdasarkan kematangan intelektual anak.

Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme,


Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai
berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2)
belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan
sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran
bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum
bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun
dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata
yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga
pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis
(Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang
berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau
lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan
intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental.
Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahaptahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan
mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut
didefinisikan

sebagai

suatu

cluster

dari

operasi

mental

(pengurutan,

pengekalan,

pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya


tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh
keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara
pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang
dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan
lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh
dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung
(1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal
dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi,
1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme
adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk
menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa
sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi
oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar

kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik
diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru
hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif
untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
b.

Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme


Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme,
pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya,
bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan
kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botolbotol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam
teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara
gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan
dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama
dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat
diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi
bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara
aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui
lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan
lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang
lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu
dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar
konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan
pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide
yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3)
strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling
bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20)
mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1)
memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri,
(2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi
lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru,
(4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5)

mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu
kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam
mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang
telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk
mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
4. Teori Belajar Humanistik
Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan
memanusiakan manusia. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih menekankan
bagaimana memahami persoalan manusia dari berbagai dimensi yang dimiliki, baik dimensi
kognitif, afektif dan psikomotorik.
Teori belajar ini lebih banyakberbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk
membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang
paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam bentuknya
yang paling ideal daripada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti
yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya.
Teori humanistik berpendapat bahwa teori belajar apapun, sarana prasarana apapun dapat
dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai kesempurnaan
hidup bagi manusia dengan indikasi (a) kemampuan aktualisasi diri, (b) kualitas pemahaman diri
serta (c) kemampuan merealisasikan diri dalam kehidupan yang nyata.
Berdasarkan asumsi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa teori humanistic bersifat
sangat eklektik. Tidak dapat disangkal lagi bahwa setiap pendirian atau pendekatan belajar
tertentu, akan ada kebaikan dan ada pula kelemahannya. Dalam arti ini eklektisisme bukanlah
suatu sistem dengan membiarkan unsure-unsur tersebut dalam keadaan sebagaimana adanya.
Teori humanistik akan memanfaatkan teori-teori apapun asal tujuannya tercapai, yaitu
memanusiakan manusia.
Jadi teori belajar itu ada bermacam-macam. Diantaranya seperti yang telah dijelaskan
diatas. Masing-masing dari teori tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan. Tetapi semua teori
tersebut tentunya juga memiliki manfaat bila diterapkan dalam pembelajaran.
Tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Akan berhasil jika sipelajar telah
memahami lingkungan dan dirinya sendiri. Teori ini berusaha memahami perilaku belajar dari
sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pendang pengamatannya.
Tujuan utama para pendidik ialah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya,
yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia
yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka. Para
ahli humanistik melihat adanya dua bagian pada proses belajar, ialah:
a.

Proses pemerolehan informasi baru,

b. Personalisasi informasi ini pada individu


Tokoh-tokohnya:
1. Arthur Combs (1912 - 1399)
Bersama dengan Donald Snygg (1904 - 1967) mereka mencurahkan banyak perhatian
pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan.
Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu, guru tidak bisa mamaksakan materi yang tidak
disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah
bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada
alasan penting merek harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sesungguhnya tak lain hanyalah
dari ketidakmauan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan
baginya.
Untuk itu, guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia
persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha
mengubah kenyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang
dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi
bahwa siswa mau belajar apabila materi pembelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana
mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu, dengan kata lain individunya
yang memberikan arti kepada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana
membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan
menghubungkannya dengan kehidupannya.
Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti dua lingkaran
(besar dan kecil) yang bertitik pusat satu. Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri
dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Main jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi
diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit
hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.
2. Abraham Maslow
Teori Maslow didasarkan atas asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal:
a.

Suatu usaha yang positif untuk berkembang.

b. Kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.


Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam uapay untuk memenuhi
kebutuhan yang bersifat hirarkis, seperti terdapat pada gambar berikut.
Pada diri masing-masing, orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut
untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa
yang sudah ia miliki dan sebagainya tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk
lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah
kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri
(self).

Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hierarki. Bila


seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia
dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan rasa
aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi
yang penting yang harus diperhatikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia
mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar tidak mungkin berkembang kalau kebutuhan
dasar si siswa belum terpenuhi.
3. Carl Rogers
Rogers membedakan dua tipe belajar yaitu:
1. Kognitif (kebermaknaan)
2. Experiential (pengalaman atau signifikansi)
Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti
mempelajari mesin dengan tujuan untuk memperbaki mobil. Experiential Learning menunjuk
pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar. Experiential Learning
mencakup : keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan
adanya efek yang membekas pada siswa.
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru
memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
1. Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar
tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
2. Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya.
Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian
yang bermakna bagi siswa.
3. Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian
yang bermakna bagi siswa.
4. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
Dalam bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar
humanistik yang penting diantaranya ialah:
a. Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
b. Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi
dengan maksud-maksud sendiri.
c.

Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap
mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.

d. Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan
apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
e. Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara
yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
f. Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.

g. Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung jawab
terhadap proses belajar itu.
h. Belajar atas inisiati sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun
intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
i.

Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika
siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengeritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain
merupakan cara kedua yang penting.

j.

Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai
proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke
dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakup konsep mengajar guru yang fasilitatif
yang dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai
kemampuan, para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung yaitu empati, penghargaan
dan umpan balik positf. Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah:

1. Merespon perasaan siswa


2. Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
3. Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
4. Menghargai siswa
5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
6. Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk memantapkan kebutuhan segera dari
siswa)
7. Tersenyum pada siswa.
Aplikasi teori Humanistik terhadap Pembelajaran Siswa
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran
yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik
adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran
mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada
siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa berperan sebagai pelaku utama (stundent center) yang memaknai proses
pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan
potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun
proses yang umumnya dilalui adalah:
1. Merumuskan tujuan belajar yang jelas.
2. Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat: jelas, jujur dan
positif.
3. Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri.
4. Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri.

5. Siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan
apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan.
6. Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara
normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala resiko perbuatan atau
proses belajarnya.
7. Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
8. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa
Kelebihan Teori Belejar Humanistik
1. Teori ini cocok untuk diterapkan dalam materi pembelajaran yang bersifat pembentukan
kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.
2. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam
belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
3. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan
mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain
atau melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang berlaku.
Kekurangan Teori Belajar Humanistik
1. Siswa yang tidak mau memahami potensi dirinya akan ketinggalan dalam proses belajar.
2. Siswa yang tidak aktif dan malas belajar akan merugikan diri sendiri dalam proses belajar.
5. Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang
sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari
pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi,
untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam
pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisikondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan
untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi
eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses
pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi;
(2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7)
perlakuan dan (8) umpan balik.
6. Teori Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai bentuk atau
konfigurasi. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan
dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada
tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :

1. Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa
setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang.
Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan
figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi
kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
2. Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun
ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
3. Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan
dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
4. Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada
dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk
tertentu.
5. Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya
bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang
baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
6. Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola
obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
1. Perilaku Molar hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku
Molecular. Perilaku Molecular adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau
keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku Molar adalah perilaku dalam keterkaitan
dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah
beberapa perilaku Molar. Perilaku Molar lebih mempunyai makna dibanding dengan
perilaku Molecular.
2. Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan
geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang
sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak.
Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan
behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan
hutan yang lebat (lingkungan geografis).
3. Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian
peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya,
adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan

sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti
gunung atau binatang tertentu.
4. Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses
yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan
suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang
diterima.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
1. Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam
perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan
tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau
peristiwa.
2. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang
terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas
makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat
penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan
pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya
memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
3. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku
bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan
dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta
didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya
menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam
memahami tujuannya.
4. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan
lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya
memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
5. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran
tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan
melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk
kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat.
Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam
pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi).
Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok
dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam

memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat
membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang
diajarkannya.

Anda mungkin juga menyukai