Anda di halaman 1dari 3

MENEMUKAN KEUNIKAN SEKALIGUS KEUNGGULAN

Penulis: Hernowo

Saya ingin melanjutkan pembahasaan saya sebelum ini berkaitan dengan penghargaan terhadap
subjektivitas. Ada hal-hal menarik yang tiba-tiba berkembang sangat cepat di dalam diri saya.
Hal-hal yang menarik yang berkembang tersebut, utamanya, berkaitan dengan penilaian.
Penilaian yang saya maksud adalah penilaian tentang kinerja siswa di sekolah. Penilaian
biasanya ditunjukkan secara jelas dalam lembaran seperti rapor atau portofolio yang diolah
sedemikian rupa sehingga di situ terdapat angka-angka atau catatan-catatan penting. Penilaian
ini, kadang, diperlukan untuk mengukur apakah seorang anak didik sudah menguasai sesuatu
yang diajarkan kepadanya atau belum.
Penilaian memang penting. Penilaian dapat membawa seseorang untuk mengoreksi diri. Saya
tekankan pada soal mengoresksi diri. Ini dikarenakan, sudah umum diketahui bahwa penilaian
kadang memisahkan secara tegas pihak yang menilai dan dinilai. Repotnya, pihak yang menilai
cenderung tidak melihat dirinya lebih dahulu namun buru-buru melihat orang yang dinilai.
Akibatnya, proses penilaian seperti ini berlangsung satu arah. Yang menilai merasa tidak perlu
dinilai, sementara itu apabila terjadi kesalahan atau kegagalan maka yang salah atau gagal
adalah yang dinilai.
Nah, saya tidak ingin masuk ke dalam proses menlai yang seperti itu. Saya hanya ingin
membawa Anda untuk melihat manfaat penilaian dan apa yang bisa kita lakukan dengan proses
penilaian yang--katakanlah--adil? Adil adalah meletakkan sesuatu pada tempat yang pas atau
benar. Melakukan penilaian memang harus adil. Menurut saya, keadilan penilaian itu terletak di
dalam konteks berikut: apakah si penilai kemudian bukan melihat apa yang terjadi dengan yang
dinilai, melainkan lebih dahulu melihat diri yang menilai dan sistem yang melingkupinya ketika
proses kegiatan yang akan dinilai itu berlangsung.
Setiap anak didik yang sedang berada di sekolah adalah manusia-manusia yang sedang
melangsungkan kegiatan pemelajaran. Mereka belajar untuk memahami hal-hal baru. Dan
proses belajar tidak ada yang instan. Belajar perlu waktu. Belajar juga perlu umpan balik. Belajar
adalah sebuah proses kehidupan yang akan membawa seseorang terus membaik hari demi hari.
Memahami kegiatan belajar yang seperti ini, ingin saya tunjukkan di sini bahwa sesungguhnya
tidak ada anak didik yang melakukan kesalahan dalam proses belajar.
Benar, kadang ada anak didik yang sulit memahami suatu mata pelajaran. Atau ada anak didik
yang setelah dites berkaitan dengan apa yang dipahaminya ternyata tesnya menunjukkan hasil
yang kurang menggembirakan. Nah, semua hal yang tidak menunjukkan prestasi itu apakah
dapat disebut sebagai kekurangan, kelemahan, atau bahkan kesalahan pada anak didik? Saya
rasa tidak adil jika kita buru-buru menimpakan kesalahan kepada anak didik atas hasil tes yang
menggembirakan.
Saya ingin agar jika ada hasil tes yang kurang memuaskan, yang disingkirkan pertama kali dari
analisis lebih jauh adalah si anak didik. Bahkan, kadang, secara ekstrem saya ingin menunjukkan
kepada siapa saja bahwa anak didik tidak perlu diberitahu hasil tesnya. Anak didik harus terus
disemangati agar mau termotivasi untuk belajar dan belajar. Setelah anak didik disingkirkan, saya
mengajak siapa saja yang terlibat dengan penilaian lantas melakukan koreksi diri. Jadi,
anggaplah sistem yang dinilai itu sebenarnya ada berada di luar diri si anak didik yang dinilai.
Apabila anak didik disingkirkan dari analisis tentang hasil penilaian, saya kira anak didik akan
dapat memelihara semangatnya untuk terus meningkatkan diri atau berprestasi. Selama ini, saya
melihat bahwa penilaian cenderung untuk mematahkan semangat peningkatan diri anak didik
gara-gara anak didik sudah ketakutan atau merasa tidak mampu mengerjakan tes. Ini tentu
sebuah kekeliruan besar. Seharusnyalah jika toh anak didik tak menunjukkan prestasi dalam
sebuah tes, anak didik malah harus bertambah semangat untuk memperbaiki dirinya. Jadi,

bagaimana agar penilaian dapat membangkitkan semangat untuk terus memperbaiki dari anak
didik meski hasil penilaian kurang menggembirakan anak didik? Inilah titik persoalannya.
Nah, ketika saya menyebut sistem yang melingkupi proses belajar anak didik, maka sistem
tersebut bernama guru yang mengajar si anak didik, lingkungan sekolahnya, dan bahkan juga
lingkungan rumah serta lingkungan yang lebih luas dari rumah dan sekolah berikut segala isinya.
Proses belajar di sekolah tidak berdiri sendiri. Ia terkait dengan sistem yang melingkupi sekolah
tersebut. Jadi, saya rasa, tidak adil jika kegagalan sebuah proses pendidikan--dengan melihat
hasil tes yang kurang menggembirakan--ditimpakan pada ketidakmampuan anak didik belajar.
Ada kemungkinan faktor anak didik memang ikut terlibat. Namun, sebelum menyasar ke sana,
kegagalan itu perlu dirujukkan dengan sistem yang melingkupi proses belajar anak didik.
Itu hal pertama yang ingin saya sampaikan.
Hal kedua berkaitan dengan cara menilai. Berpijak pada konsep kecerdasan majemuk temuan
Howard Gardner, saya setuju jika di dalam diri setiap anak itu tentu sudah ada salah satu jenis
kecerdasan yang menonjol. Apabila para guru dan pengelola sekolah dapat menemukan satu
saja jenis kecerdasan yang menonjol, ada kemungkinan besar potensi-didik anak dapat dilejitkan.
Apa pun materi pelajaran yang akan diberikan kepada si anak, jika dapat menggunakan media
penyampai yang cocok dengan jenis kecerdasan yang menonjol, tentulah si anak akan dapat
memahami apa yang disampaikan guru secara cepat dan menyenangkan.
Apabila cara ini dirasakan sulit, bisa ditempuh cara kedua. Cara kedua ini bisa ditempuh guru
tanpa si guru mengadakan evaluasi tentang potensi kecerdasan yang menonjol yang ada di
dalam diri setiap anak. Seorang guru hanya perlu memahami karakter sembilan kecerdasan yang
telah ditemukan oleh Gardner dan kemudian mencari media penyampai yang cocok dengan
kesembilan karakter kecerdasan majemuk. Dalam bahasa lain, sebuah pemelajaran yang
dilangsungkan dengan menggunakan kesembilan kecerdasan adalah kegiatan belajar-mengajar
yang melayani setiap karakter unik anak didik.
Cara kedua ini sebenarnya sama dengan cara pertama, hanya proses menemukan atau dalam
menggunakan cara itulah yang berbeda. Cara pertama menggunakan pendeteksian lebih dahulu,
sedangkan cara kedua langsung masuk menggunakan sembilan macam jenis kecerdasan.
Menurut Gardner, sembilan jenis potensi kecerdasan inilah yang memang digunakan setiap anak
untuk mengakses materi pelajaran atau informasi yang ingin mereka ketahui. Jadi, jika seorang
anak dapat merasa cocok dengan cara yang ditempuh oleh seorang guru dalam menyampaikan
sebuah materi pelajaran, maka anak itu dapat dikatakan menempuh proses pemelajaran secara
alamiah.
Nah, dalam konteks teori di atas, saya ingin menunjukkan di sini bahwa setiap anak itu memang
cerdas. Dengan kata lain, tidak ada anak yang bodoh atau lemah apabila dia tak mengalami
cacat otak secara fisik. Semua anak memiliki cara-cara tersendiri untuk melejitkan potensi
dirinya. Jadi, berkaitan dengan penilaian, alangkah akan adilnya sistem penilaian itu jika sebuah
kegagalan tidak ditimpakan kepada si anak, melainkan dicari sebab-sebabnya kenapa si anak
gagal dalam sebuah tes. Ada kemungkinan si anak memang tidak cocok dengan media
penyampai atau lingkungannya tidak kondusif untuk mendukungnya dalam belajar secara baik
dan benar.
Berkaitan dengan penilaian, saya ingin tegaskan di sini bahwa sebuah penilaian harus
menunjukkan bahwa semua hal yang ditunjukkan oleh si anak didik adalah benar dan tidak ada
yang gagal. Semua hebat. Semua membanggakan. Dan semua telah berhasil dalam melewati
perjalanan mencari sesuatu yang baru yang penuh tantangan. Semua layak dihargai. Semua
layak diberi hadiah. Dan semua layak bangga dan merayakan keberhasilan yang telah mereka
capai.
Setelah semua hal itu diungkapkan secara bersemangat dan bergairah, tiba gilirannya si penilai

melakukan "penilaian". Apa yang dinilai? Yang dinilai adalah keunikan yang ada di dalam diri
setiap anak. Keunikan bagi saya adalah keunggulan. Setiap anak didik itu unik. Jika kita
memahami pernyataan ini dan setuju dengannya, berarti setiap anak pasti dapat menunjukkan
keunggulannya. Nah, inilah yang "dinilai", yang ditampakkan, dan yang dibicarakan atau
dianalisis lebih lanjut.
"Penilaian" yang menemukan keunikan sekaligus keunggulan yang ada di dalam diri setiap anak
ini, sebaiknya memang bukan hanya berkaitan dengan tes tertulis. Keunikan dan keunggulan ini
hanya bisa ditemukan secara akurat jika setiap anak didik diminta untuk membuat sebuah karyacipta. Gardner memang menyarankan agar kecerdasan tidak dievaluasi dari tes-tes berkaitan
dengan pemecahan masalah secara tertulis. Gardner menyarankan agar kecerdasan itu juga
ditunjukkan lewat sebuah penciptaan.
Semoga tulisan ini memberikan paradigma-baru dalam menilai.[]

Anda mungkin juga menyukai