Anda di halaman 1dari 14

Learning objectives

1. Farmakokinetik dari kortikosteroid


2. Mengapa dokter menyarankan pemeriksaan profil lipid, analisis elektrolit, status hormon dan
3.
4.
5.
6.
7.
8.

urinalisis pada skenario?


Sebutkan obat hipertensi yang cocok untuk skenario!
Fisiologi hormon adrenal
Kontraindikasi dari kortikosteroid
Grade hipertensi dan pengertian hipertensi esensial
Jelaskan sindrom nefrotik!
Masa subur pada siklus menstruasi wanita (perhitungannya)

Jawaban
1. Farmakokinetik : kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup baik.
untuk mencapai kadar tinggi dengan cepat dalam cairan tubuh, ester kortisol dan derivat
sintetiknya diberikan secara IV. untuk mendapatkan efek yang lama diberikan secara IM.
glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial. pada
keadaan normal 90% kortisol terikat pada 2 jenis protein plasma yaitu globulin pengikat
kortikosteroid dan albumin. biotrasnformasi steroid terjadi di dalam dan diluar hati.
metabolitnya merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah. setelah penyuntikan IV
steroid radioaktif sebagian besar dalam waktu 72 jam diekskresi dalam urin, sedangkan di
feses dan empedu hampir tidak ada. diperkirakan paling sedikit 70% kortisol yang diekskresi
mengalami metabolisme dihepar. masa paruh eliminasi kortisol sekitar 1,5 jam.
Sumber : Gunawan, SG. 2012. Farmakologi dan Terapi. Badan Penerbit FKUI : Jakarta
2. Pemeriksaan pada skenario yaitu:
a. Tes profil lipid adalah tes yang mengukur kadar zat lemak yang disebut lipid dalam
darah. Tes ini biasanya dilakukan sebagai satu paket tes yang disebut profil lipid atau
panel lipid, yang mencakup kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida.
Kolesterol Total. Ini adalah jumlah total kandungan kolesterol darah. Kolesterol
dibutuhkan tubuh untuk mempertahankan kesehatan sel-sel tetapi level yang
terlalu tinggi akan meningkatkan risiko sakit jantung. Idealnya total kolesterol
harus <200 mg/dL atau <5.2 mmol/L. Kedua ukuran tersebut setara, hanya
dinyatakan dalam satuan yang berbeda. Di Indonesia umumnya menggunakan
satuan mg/dL. Faktor genetik juga berperan sebagai penentu kadar kolesterol,

selain dari makanan yang dimakan.


Low-density lipoprotein (LDL) alias

kolesterol jahat. Terlalu banyak LDL

dalam darah menyebabkan akumulasi endapan lemak (plak) dalam arteri (proses
aterosklerosis), sehingga aliran darah menyempit. Plak ini kadang-kadang bisa
pecah dan menimbulkan masalah besar untuk jantung dan pembuluh darah. LDL

ini adalah target utama dari berbagai obat penurun kolesterol. Target yang ingin
kita capai :
<70 mg/dL untuk individu yang sudah memiliki penyakit kardiovaskular atau
pasien yang berisiko sangat tinggi untuk terkena (misalnya : sindrom metabolik)
100 mg/dL untuk pasien risiko tinggi (misalnya : pasien dengan beberapa faktor
risiko sekaligus)
<130 mg/dL untuk individu yang berisiko rendah terkena PJK

High-density lipoprotein (HDL) seringkali disebut kolesterol baik karena


membantu membawa pergi LDL dari aliran darah untuk disimpan sebagai cadangan
di dalam sel, menjaga pembuluh darah tetap terbuka dan lancar. Idealnya level HDL
harus diatas 40 mg/dL. Trigliserida (TG). Trigliserida adalah tipe lemak lain
dalam darah.Level TG yang tinggi umumnya menunjukkan bahwa anda makan lebih
banyak kalori daripada kalori yang dibakar untuk aktivitas, karena itu level TG
biasanya tinggi pada pasien yang gemuk atau pasien diabetes. Makanan tinggi
karbohidrat (gula sederhana) atau alkohol dapat menaikkan TG secara bermakna.
Idealnya level trigliserida haruslah <150 mg/dL (1.7 mmol/L). American Heart
Association (AHA) merekomendasikan bahwa level TG untuk kesehatan jantung

optimal adalah 100 mg/dL (1.1 mmol/L)


b. Pemeriksaan elektrolit adalah pemeriksaan untuk memantau kesetimbangan cairan di
dalam tubuh. Air/ cairan elektrolit ini berperan penting dalam fungsi kerja saraf dan
otot. Keabnormalan K dalam serum atau plasma darah dapat mengindikasikan adanya
gangguan kesehatan tubuh. Biasanya pemeriksaan ini dilakukan bersamaan dengan
pemeriksaan elektrolit darah yang lain seperti natrium (Na), klorida (Cl), kalsium
(Ca), dan magnesium (Mg). Tujuan Mendiagnosa dan mengukur manajemen ginjal,
endokrin, asam-basa, keseimbangan air, dan kondisi lainnya.
c. Fungsi pemeriksaan hormonal tersebut adalah agar dokter dapat mendiagnosa
kemungkinan gangguan hormanl yang menyebabkan infertilitas dan melakukan
penanganannya. Untuk wanita, pemeriksaan ini untuk mengetahui kadar FSH
(Follicle Stimulating Hormone), LH (Luteinizing Hormone), PRL (Prolactin), E2
(Estradiol), dan P4 (Progesterone). Dan untuk pria, yaitu untuk mengetahui kadar
testosteron (hormon pria yang mempengaruhi perkembangan seks sekunder), LH, dan
FSH.Prolactin.
d. Urinalisis adalah tes yang dilakukan pada sampel urin pasien untuk tujuan diagnosis
infeksi saluran kemih, batu ginjal, skrining dan evaluasi berbagai jenis penyakit
ginjal, memantau perkembangan penyakit seperti diabetes melitus dan tekanan darah
tinggi (hipertensi), dan skrining terhadap status kesehatan umum.

Sumber : Haris, Syafruddin., Taralan Tambunan. 2009. Hipertensi pada Sindrom


Metabolik. Sari Pediati Vol. 11, No.4. Diakses dari http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/11-46.pdf pada tanggal 7 April 2016.
3. Dalam tata laksana hipertensi, beberapa penelitian menganjurkan untuk menurunkan berat
badan. Penurunan berat badan diikuti dengan diet dan latihan merupakan terapi primer pada
hipertensi dengan obesitas. Hipertensi persisten terindikasi mendapat terapi farmakologi
karena berhubungan dengan faktor risiko diabetes tipe 1 dan 2, hipertensi yang mengganggu
organ target atau organ lainnya. Pada keadaan seperti ini dipertimbangkan penggunaan obat
antihipertensi dosis tunggal dan diawali dengan dosis rendah. Pengobatan hipertensi
menggunakan ACE inhibitor, angiotensin receptor blockers, B-blockers, calcium chanel
blockers, dan diuretik. Terapi antihipertensi spesifik dapat dilakukan dengan melihat penyakit
yang mendasarinya atau kondisi medik yang terjadi bersamaan. Sebagai contoh, penggunaan
ACE inhibitor, angiotensin receptor blocker pada diabetes dengan mikroalbuminuria atau
dengan proteinuria.
Sumber : Haris, Syafruddin., Taralan Tambunan. 2009. Hipertensi pada Sindrom
Metabolik. Sari Pediati Vol. 11, No.4. Diakses dari http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/11-46.pdf pada tanggal 7 April 2016.
4. Kelenjar adrenal, masing-masing mempunyai berat kira-kira 4 gram, terletak di kutub
superior kedua ginjal. Tiap kelenjar terdiri atas dua bagian yang berbeda, yakni medulla
adrenal dan korteks adrenal. Medulla adrenal, yang merupakan 20% bagian kelenjar terletak
di pusat kelenjar, dan secara fungsional berkaitan dengan sistem saraf simpatis; menyekresi
hormone-hormon epinefrin dan norepinefrin sebagai respons terhadap rangsangan simpatis.
Korteks adrenal menyekresi kelompok hormone yang berbeda sama sekali, yakni
kortikosteroid. Hormone ini seluruhnya disintesis dari kolesterol steroid.
Ada dua jenis hormon adrenokortikal yang utama, yakni mineralkortikoid dan
glukokortikoid, yang disekresi oleh korteks adrenal. Selain hormon ini, korteks adrenal juga
menyekresi sedikit hormone kelamin, terutama hormone androgen yang efeknya pada tubuh
hampir mirip dengan hormon kelamin pria testosterone. Hormone mineralkortikoid
dinamakan demikian karena hormone ini terutama memengaruhi elektrolit (mineral) cairan
ekstrasel terutama natrium dan kalium. Disebut glukokortikoid karena hormone ini
mempunyai efek yang penting meningkatkan konsentrasi glukosa darah. Glukokortikoid juga
mempunyai efek tambahan pada metabolisme protein dan metabolisme lemak yang sama
pentingnya untuk fungsi tubuh seperti efek glukortikosteroid pada metabolisme karbohidrat.
Koterks adrenal mempunyai tiga lapisan berbeda yaitu zona glomerulosa, zona
fasikulata, dan zona retikularis.
Zona glomerulosa, lapisan tipis sel-sel yang terletak dibawah kapsul, membentuk sekitar
15% korteks adrenal. Pada kelenjar adrenal, sel-sel tersebut merupakan satu-satunya yang

menyekresi aldosteron dalam jumlah berarti karena sel-sel tersebut mengandung enzim
aldosteron sintase, yang dibutuhkan untuk sintesis aldosteron. Sekresi sel-sel tersebut
diatur terutama oleh konsentrasi angiotensin II dan kalium cairan ekstrasel, yang

keduanya merangsang sekresi aldosteron.


Zona fasikulata, yakni lapisan tengah dan terlebar; membentuk sekitar 75% korteks
adrenal dan menyekresi glukokortikoid kortisol dan kortikosteron, dan sejumlah kecil
androgen dan estrogen adrenal. Sekresi sel-sel tersebut diatur sebagian besar oleh sumbu

hipotalamus-hipofisis lewat hormone adrenokortikotropik (ACTH).


Zona retikularis, yang merupakan lapisan terdalam dari korteks, menyekresi androgen
adrenal dehidroepiandrosteron (DHEA) dan androstenedion, juga sejumlah kecil estrogen
dan beberapa glukokortikoid.
Semua hormone steroid manusia, termasuk yang diproduksi oleh korteks adrenal,

dibentuk dari kolesterol. Selain aldosteron dan kortisol, masih ada steroid lain yang
mempunyai aktivitas mineralkortikoid dan glukokortikoid, atau keduanya. Mineralkortikoid :
aldosteron,

deoksikortikosteron,

kortikosteron,

kortisol,

kortison,

9-fluorokortisol.

Glukokortikoid : kortisol, kortikosteron, kortison, prednisone, metilprednison, deksametason.


Tanpa mineralkortikoid, maka besarnya konsentrasi ion kalium dalam cairan ekstrasel
meningkat secara bermakna, konsentrasi natrium dan klorida akan cepat hilang dari tubuh,
dan volume total cairan ekstrasel dan volume darah juga akan sangat berkurang. Pasien
segeran mengalami penurunan curah jantung, yang berlanjut menjadi keadaan seperti syok,
yang disusul dengan kematian.
Sumber: Guyton, AC. Hall, JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC;
Jakarta

5. Kontraindikasi kortikosteroid :
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolute kortikosteroid. Pemberian
dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat
merupakan kontraindikasi relative dapat dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam
jiwa pasien. Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atau beberapa minggu,
kontraindikasi relative yaitu diabetes mellitus, tukak peptic/duodenum, infeksi berat,
hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular lain patut diperhatikan. Dalam hal yang
terakhir ini dibutuhkan pertimbangan matang antara risiko dan keuntungan sebelum obat
diberikan.
Sumber : Gunawan, SG. 2012. Farmakologi dan Terapi. Badan Penerbit FKUI : Jakarta
6. Beberapa klasifikasi hipertensi:

a. Klasifikasi Menurut Joint National Commite 7


Komite eksekutif dari National High Blood Pressure Education Program merupakan
sebuah organisasi yang terdiri dari 46 professionalm sukarelawan, dan agen federal. Mereka
mencanangkan klasifikasi JNC (Joint Committe on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure) pada tabel 1, yang dikaji oleh 33 ahli hipertensi nasional
Amerika Serikat.
Tabel 1
Klasifikasi Menurut JNC (Joint National Committe on Prevention, Detection, Evaluatin, and
Treatment of High Blood Pressure)
Kategori Tekanan Kategori Tekanan Tekanan
Darah

menurut Darah

JNC 7
Normal
Pra-Hipertensi
Hipertensi:
Tahap 1
Tahap 2
-

menurut Darah

JNC 6
Optimal
Nornal
Normal-Tinggi
Hipertensi:
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3

dan/
Sistol atau

Tekanan
Darah Diastol

(mmHg)
< 120
120-139
< 130
130-139

dan
atau
dan
atau

(mmHg)
< 80
80-89
< 85
85-89

140-159
160
160-179
180

atau
atau
atau
atau

90-99
100
100-109
110

Data terbaru menunjukkan bahwa nilai tekanan darah yang sebelumnya dipertimbangkan
normal ternyata menyebabkan peningkatan resiko

komplikasi kardiovaskuler. Data ini

mendorong pembuatan klasifikasi baru yang disebut pra hipertensi


b. Klasifikasi Menurut WHO (World Health Organization)
WHO dan International Society of Hypertension Working Group (ISHWG) telah
mengelompokkan hipertensi dalam klasifikasi optimal, normal, normal-tinggi, hipertensi
ringan, hipertensi sedang, dan hipertensi berat
Tabel 2
Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO
Kategori
Optimal
Normal
Normal-Tinggi
Tingkat 1 (Hipertensi Ringan)
Sub-group: perbatasan
Tingkat 2 (Hipertensi Sedang)
Tingkat 3 (Hipertensi Berat)
Hipertensi sistol terisolasi
(Isolated systolic hypertension)

Tekanan

Darah

Sistol (mmHg)
< 120

Tekanan

Darah

Diatol (mmHg)
< 80

< 130
130-139
140-159

< 85
85-89
90-99

140-149
160-179
180
140

90-94
100-109
110
< 90

Sub-group: perbatasan
140-149

<90

c. Klasifikasi Menurut Chinese Hypertension Society


Menurut Chinese Hypertension Society (CHS) pembacaan tekanan darah <120/80
mmHg termasuk normal dan kisaran 120/80 hingga 139/89 mmHg termasuk normal tinggi
Tabel 3
Klasifikasi Hipertensi Menurut CHS
Tekanan

Darah

Sistol

(mmHg)
< 120
120-129
130-139
Tekanan Darah Tinggi
140-159
160-179
180
140

Tekanan Darah Diastol

CHS-2005

(mmHg)
< 80
80-84
85-89

Normal
Normal-Tinggi

90-99
100-109
110
90

Tingkat 1
Tingkat 2
Tingkat 3
Hypertensi Sistol Terisolasi

d. Klasifikasi menurut European Society of Hypertension (ESH)


Klasifikasi yang dibuat oleh ESH adalah:
1. Jika tekanan darah sistol dan distol pasien berada pada kategori yang berbeda, maka
resiko kardiovaskuler, keputusan pengobatan, dan perkiraan afektivitas pengobatan
difokuskan pada kategori dengan nilai lebih.
2. Hipertensi sistol terisolasi harus dikategorikan berdasarkan pada hipertensi sistoldistol (tingkat 1, 2 dan 3). Namun tekanan diastol yang rendah (60-70 mmHg) harus
dipertimbangkan sebagai resiko tambahan.
3. Nilai batas untuk tekanan darah tinggi dan kebutuhan untuk memulai pengobatan
adalah fleksibel tergantung pada resiko kardiovaskuler total.
Tabel 4
Klasifikasi menurut ESH
Kategori

Tekanan Darah

Optimal
Normal
Normal-Tinggi
Hipertensi tahap 1
Hipertensi tahap 2
Hipertensi tahap 3
Hipertensi
sistol

Sistol (mmHg)
< 120
120-129
130-139
140-159
160-179
180
140

Tekanan
Dan
dan/atau
dan/atau
dan/atau
dan/atau
dan/atau
Dan

Diastol (mmHg)
< 80
80-84
85-89
90-99
100-109
110
< 90

terisolasi
e. Klasifikasi menurut International Society on Hypertension in Blcks (ISHIB)
Klasifikasi yang dibuat oleh ISHIB adalah:

Darah

1. Jika tekanan darah sistol dan diastole pasien termasuk ke dalam dua kategori yang
berbeda, maka klasifikasi yang dipilih adalah berdasarkan kategori yang lebih
tinggi.
2. Diagnosa hipertensi pada dasarnya adalah rata-rata dari dua kali atau lebih
pengukuran yang diambil pada setiap kunjunga.
3. Hipertensi sistol terisolasi dikelompokkan pada hipertensi tingkat 1 sampai 3
berdasarkan tekanan darah sistol ( 140 mmHg) dan diastole ( < 90 mmHg).
4. Peningkatan tekanan darah yang melebihi target bersifat kritis karena setiap
peningkatan tekanan darah menyebabkan resiko kejadian kardiovaskuler.
Tabel 5
Klasifikasi Hipertensi Menurut ISHIB
Kategori

Tekanan Darah

Optimal
Normal
Normal-Tinggi
Hipertensi Tahap 1
Hipertensi Tahap 2
Hipertensi Tahap 3
Hipertensi
Sistol

Sistol (mmHg)
< 120
< 130
130-139
140-159
160-179
180
140

Tekanan
dan
dan/atau
dan/atau
dan/atau
dan/atau
dan/atau
dan

Darah

Diastol (mmHg)
< 80
< 85
85-89
90-99
100-109
110
< 90

terisolasi
f.

Klasifikasi berdasarkan hasil konsesus Perhimpunan Hipertensi Indonesia


Pada pertemuan ilmiah Nasional pertama perhimpunan hipertensi Indonesia 13-14
Januari 2007 di Jakarta, telah diluncurkan suatu konsensus mengenai pedoman penanganan
hipertensi di Indonesia yang ditujukan bagi mereka yang melayani masyarakat umum:
1. Pedoman yang disepakati para pakar berdasarkan prosedur standar dan ditujukan untuk
meningkatkan hasil penanggulangan ini kebanyakan diambil dari pedoman Negara maju
dan Negara tetangga, dikarenakan data penelitian hipertensi di Indonesia yang berskala
Nasional dan meliputi jumlah penderita yang banyak masih jarang.
2. Tingkatan hipertensi ditentukan berdasarkan ukuran tekanan darah sistolik dan diastolik
dengan merujuk hasil JNC dan WHO.
3. Penentuan stratifikasi resiko hipertensi dilakukan berdasarkan tingginya tekanan darah,
adanya faktor resiko lain, kerusakan organ target dan penyakit penyerta tertentu

.
Tabel 6
Klasifikasi Hipertensi Menurut Perhimpunan Hipertensi Indonesia
Kategori

Tekanan

Darah

dan/atau

Tekanan

Darah

Normal
Prehipertensi
Hipertensi Tahap 1
Hipertensi Tahap 2
Hipertensi
Sistol

Sistol (mmHg)
<120
120-139
140-159
160-179
140

Dan
Atau
Atau
Atau
Dan

Diastol (mmHg)
<80
80-89
90-99
100
<90

terisolasi
Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi esensial, ialah
penyakit multifaktorial yang timbul terutama karena interaksi antara faktor-faktor resiko
tertentu. Faktor-faktor resiko yang mendorong timbulnya kenaikan tekanan darah tersebut
adalah:
-

Faktor resiko, seperti: diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas, merokok, genetis
Sistem saraf simpatis: tonus simpatis, variasi diurnal
Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi: endotel pembuluh darah
berperan utama, tetapi remodeling dari endotel, otot polos dan interstisium juga

memberikan kontribusi akhir


Pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin, angiotensin dan
aldosteron

Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan darah
yang mempengaruhi rumus dasar tekanan darah = curah jantung x tahanan perifer

Sumber:
Borzecki AM, Glickman ME, Kader B, Bcrlowitz DR. The Effect of Age on Hypertension

Control and Management. AJH 2006; 19:520-527.


Kaplan, N.M. Hypertension. 2012 (online)
(www.patient/autor/content.do?topickey=hiperten5360 diakses 6 April 2016).

Yogiantoro, M. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Edisi IV. Badan
Penerbit FKUI; Jakarta

7. Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh kelainan glomerular.
Ditandai dengan sindrom klinik yang terdiri dari beberapa gejala yaitu proteinuria masif (>40
mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstick 2+),
hipoalbuminemia 2,5 g/dL, edema, dan hiperkolesterolemia melebihi 250mg/dl. Tandatanda tersebut dijumpai pada kondisi rusaknya membrane kapiler glomerulus terhadap protein
Umumnya sindrom nefrotik diklasifikasikan menjadi sindrom nefrotik primer dan sindrom
nefrotik sekunder. Pada sindrom nefrotik primer terjadi kelainan pada glomerulus itu sendiri
di mana faktor etiologinya tidak diketahui. Penyakit ini 90% ditemukan pada kasus anak.
Pasien sindrom nefrotik primer secara klinis dapat dibagi lagi menjadi tiga kelompok yaitu
sindrom nefrotik kongenital, responsif steroid dan resisten steroid .
Sindrom nefrotik primer yang biasanya paling banyak menyerang anak berupa sindrom
nefrotik tipe kelainan minimal dan majoriti dari mereka berumur antara 1-6 tahun dan 90-95%
dari mereka memberi respon yang baik kepada terapi kortikosteroid. Sindrom nefrotik bawaan
diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal dan resisten terhadap
semua pengobatan. Prognosisnya buruk dan biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan
pertama kehidupannya
a) Proteinuria
Protenuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik. Apabila ekskresi
protein 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan disebut dengan protenuria berat. Hal ini
digunakan untuk membedakan dengan protenuria pada pasien bukan sindrom nefrotik
b) Hypolbuminemia
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan proteinuria adalah
hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien sindrom nefrotik pada anak terjadi
hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL.
Pada keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg) dan
jumlah yang diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme secara
dominan terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10% di katabolisme pada tubulus proksimal
ginjal setelah resorpsi albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien sindrom nefrotik,
hipoalbuminemia merupakan manifestasi dari hilangnya protein dalam urin yang berlebihan
dan peningkatan katabolisme albumin

Hilangnya albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting pada kejadian
hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal tersebut bukan merupakan satu-satunya penyebab
pada pasien sindrom nefrotik karena laju sintesis albumin dapat meningkat setidaknya tiga
kali lipat dan dengan begitu dapat mengompensasi hilangnya albumin melalui urin.
Peningkatan hilangnya albumin dalam saluran gastrointestinal juga diperkirakan mempunyai
kontribusi terhadap keadaan hipoalbuminemia, tetapi hipotesis ini hanya mempunyai sedikit
bukti. Oleh karena itu, terjadinya hipoalbuminemia harus ada korelasi yang cukup antara
penurunan laju sintesis albumin di hepar dan peningkatan katabolisme albumin
c) Edema
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada sindrom
nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan edema. Teori ini
berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan
menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas
kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan
hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari albumin adalah
sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan
onkotik koloid plasma intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati
dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema.
d) Hiperkolesterolemia
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat
pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan antara lain yaitu adanya
kondisi hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk
lipoprotein. Selain itu katabolisme lemak menurun karena terdapat penurunan kadar
lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma
Sumber :
Pratiwi, D. dkk. 2013. Hubungan antara Proteinuria dan Hipoalbuminemia pada Anak
dengan Sindrom Nefrotik yang Dirawat di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 20092012. Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(2). http://jurnal.fk.unand.ac.id
8. Siklus menstruasi wanita
A. Siklus Endomentrium
a. Fase menstruasi. Pada fase ini, endometrium terlepas dari dinding uterus dengan
disertai pendarahan dan lapisan yang masih utuh hanya stratum basale. Rata-rata fase
ini berlangsung selama lima hari (rentang 3-6 hari). Pada awal fase menstruasi kadar

estrogen, progesteron, LH (Lutenizing Hormon) menurun atau pada kadar terendahnya


selama siklus dan kadar FSH (Folikel Stimulating Hormon) baru mulai meningkat.
b. Fase proliferasi. Fase proliferasi merupakan periode pertumbuhan cepat yang
berlangsung sejak sekitar hari ke-5 sampai hari ke-14 dari siklus haid, misalnya hari ke10 siklus 24 hari, hari ke-15 siklus 28 hari, hari ke-18 siklus 32 hari. Permukaan
endometrium secara lengkap kembali normal sekitar empat hari atau menjelang
perdarahan berhenti. Dalam fase ini endometrium tumbuh menjadi setebal 3,5 mm
atau sekitar 8-10 kali lipat dari semula, yang akan berakhir saat ovulasi. Fase proliferasi
tergantung pada stimulasi estrogen yang berasal dari folikel ovarium.
c. Fase sekresi/luteal. Fase sekresi berlangsung sejak hari ovulasi sampai sekitar tiga hari
sebelum periode menstruasi berikutnya. Pada akhir fase sekresi, endometrium
sekretorius yang matang dengan sempurna mencapai ketebalan seperti beludru yang
tebal dan halus. Endometrium menjadi kaya dengan darah dan sekresi kelenjar.
d. Fase iskemi/premenstrual. Implantasi atau nidasi ovum yang dibuahi terjadi sekitar 7
sampai 10 hari setelah ovulasi. Apabila tidak terjadi pembuahan dan implantasi, korpus
luteum yang mensekresi estrogen dan progesteron menyusut. Seiring penyusutan kadar
estrogen dan progesteron yang cepat, arteri spiral menjadi spasme, sehingga suplai
darah ke endometrium fungsional terhenti dan terjadi nekrosis. Lapisan fungsional
terpisah dari lapisan basal dan perdarahan menstruasi dimulai.
B. Siklus Ovulasi
Ovulasi merupakan peningkatan kadar estrogen yang menghambat pengeluaran FSH,
kemudian hipofise mengeluarkan LH (lutenizing hormon). Peningkatan kadar LH
merangsang pelepasan oosit sekunder dari folikel. Folikel primer primitif berisi oosit yang
tidak matur (sel primordial). Sebelum ovulasi, satu sampai 30 folikel mulai matur didalam
ovarium dibawah pengaruh FSH dan estrogen. Lonjakan LH sebelum terjadi ovulasi
mempengaruhi folikel yang terpilih. Di dalam folikel yang terpilih, oosit matur dan terjadi
ovulasi, folikel yang kosong memulai berformasi menjadi korpus luteum. Korpus luteum
mencapai puncak aktivitas fungsional 8 hari setelah ovulasi, dan mensekresi baik hormon
estrogen maupun progesteron. Apabila tidak terjadi implantasi, korpus luteum berkurang
dan kadar hormon menurun. Sehingga lapisan fungsional endometrium tidak dapat
bertahan dan akhirnya luruh.
C. Siklus Hipofisis-hipotalamus
Menjelang akhir siklus menstruasi yang normal, kadar estrogen dan progesteron darah
menurun. Kadar hormon ovarium yang rendah dalam darah ini menstimulasi hipotalamus
untuk mensekresi gonadotropin realising hormone (Gn-RH). Sebaliknya, Gn-RH
menstimulasi

sekresi

folikel

stimulating

hormone

(FSH).

FSH

menstimulasi

perkembangan folikel de graaf ovarium dan produksi estrogennya. Kadar estrogen mulai
menurun dan Gn-RH hipotalamus memicu hipofisis anterior untuk mengeluarkan

lutenizing hormone (LH). LH mencapai puncak pada sekitar hari ke-13 atau ke-14 dari
siklus 28 hari. Apabila tidak terjadi fertilisasi dan implantasi ovum pada masa ini, korpus
luteum menyusut, oleh karena itu kadar estrogen dan progesteron menurun, maka terjadi
menstruasi.
Sumber: Guyton, AC. Hall, JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC;
Jakarta

Learning Objectives 2

Blok 16

SKENARIO 2
APAKAH AKU DAPAT KEMBALI
NORMAL?

Disusun oleh:
Moh. Sahrul Siddiq
N 101 13 067
Kelompok 13

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2016

Anda mungkin juga menyukai