Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN TN.S DENGAN RETENSI URINE


POLIKLINIK UROLOGI RSUP Dr.Soeradji Tirtonegoro

DISUSUN OLEH :
Anugrahani Kadanti Arifah

2520142578

Kelas 2D

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO


YOGYAKARTA
2015/2016

BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu indikator penting dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat pada
suatu wilayah tertentu adalah Angka Kematian Ibu melahirkan dan Angka Kematian
Bayi. Sebagaimana diketahui bahwa pengertian AKI adalah jumlah kematian ibu
melahirkan per 100.000 kelahiran hidup dalam kurun waktu 1 tahun. Makin besar
angka ini menunjukkan bahwa makin besar masalah kesehatan disuatu wilayah
tertentu ( DIKES NTB, 2005).
Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 menunjukkan bahwa
secara nasional AKI di Indonesia adalah 228/100.000 kelahiran hidup. Hasil survey
tersebut tidak memberi informasi tentang AKI untuk setiap Propinsi yang ada di
Indonesia. Selain itu SDKI tersebut juga menyajikan bahwa AKB untuk Indonesia
adalah 34/1000 kelahiran hidup, dan untuk Propinsi NTB adalah 72/1000 kelahiran
hidup lebih rendah dari hasil SDKI 2002 yaitu 74/1000 kelahiran hidup. Disebutkan
juga Angka Kematian Neonatal untuk Indonesia adalah 20/1000 kelahiran hidup,
sedangkan Angka Kematian Neonatal di NTB adalah 34/1000 Kelahiran Hidup.
Kematian Neonatal berhubungan dengan kondisi ibu saat hamil dan melahirkan
(DIKES NTB, 2005).
Retensio urine adalah tertahannya urine di dalam kandung kemih, dapat terjadi secara
akut maupun kronis. Retensio urine merupakan suatu keadaan darurat yang paling
sering ditemukan dan dapat terjadi kapan saja. Bilamana retensio urine tidak ditangani
sebagaimana mestinya akan mengakibatkan terjadinya penyulit yang memperberat
morbiditas penderita. Dampak dari seorang ibu setelah melahirkan biasanya
mengalami retensio urine atau sulit berkemih yang biasanya disebabkan oleh trauma
kandung kemih dan nyeri pada persyarafan kandung kemih.
Perubahan fisiologis pada kandung kemih yang terjadi saat kehamilan berlangsung
merupakan predisposisi terjadinya retensi urine satu jam pertama sampai beberapa
hari post partum. Perubahan ini juga dapat memberikan gejala dan kondisi patologis
yang mungkin memberikan dampak pada perkembangan fetus dan ibu. Residu urine
setelah berkemih normalnya kurang atau sama dengan 50 ml, jika residu urine ini
lebih dari 200 ml dikatakan abnormal dan dapat juga dikatakan retensi urine.
Insiden terjadinya retensi urine post partum berkisar 1,7% sampai 17,9%. Insiden
retensio akut pada wanita sekitar 0,07% per 1000 populasi wanita, dimana lebih dari

setengahnya terjadi setelah pembedahan atau post partum. Penelitian di Amerika


tahun 2001 mencatat kejadian retensio urine post partum 1,7% sampai 17,9%, dan
pada tahun 2007 tercatat kejadian retensio urine post partum di laporkan 14,8% dan
25,7%. Dalam kemampuan berkemih pasca operasi, retensio urine dialami oleh 15,0%
penderita mengalami histerektomi vaginalis, dibandingkan 4,8% pasca histerektomi
total abdominalis, sedangkan penderita yang menjalani histerektomi vaginalis dengan
kolporafia 29% mengalami retensio urine. Angka kejadian retensio urine di Ruang
nifas RSUD Kota Mataram dari bulan Mei sampai bulan Juli sebanyak 10 kasus
B. Tujuan Umum
Memperoleh pengalaman secara nyata dalam merawat pasien dengan Retensi Urine di
Poliklinik Urologi RSUP Dr.Soeradji Tirtonegoro
C. Tujuan khusus
Mampu menjelaskan definisi Retensi Urine
Mampu menjelaskan tanda dan gejala retensi urine
Mampu menjelaskan etiologi Retensi Urine
Mampu menjelaskan patofisiologi Retensi Urine
Mampu menjelaskan pemeriksaan diagnosis dari retensi Urine
Mampu menjlaskan penatalaksanaan dari Retensi Urine
Mampu menjelaskan Patofisiologi dari Retensi Urine
Mampu menjelaskan Komplikasi dari Retensi Urine
Mampu menjelaskan diagnosa keperawatan dari retensi urine
Mampu menjelaskan Rencana Keperawatan dari Retensi Urine

BAB 2
KONSEP DASAR
A. Definisi
Retensi urine adalah ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih secara
spontan. Gejala yang ada meliputi tidak adanya kemampuan sensasi untuk
mengosongkan kandung kemih ketika buang air kecil, nyeri abdomen bawah atau

tidak bisa berkemih sama sekali. Retensio urine dapat terjadi secara akut maupun
kronik.
Retensio urine akut dapat didefinisikan sebagai rasa nyeri mendadak yang timbul
akibat tidak bisa berkemih selama 24 jam, membutuhkan pertolongan kateter dengan
reduksi urine keluar kurang 50% dari kapasitas sistometer. Kandung kemih yang
normal kosong secara sempurna, pada retensio urine kronik terjadi kegagalan
pengosongan kandung kemih. Retensio urine adalah tidak bisa berkemih selama 24
jam yang membutuhkan pertolongan kateter, karena tidak dapat mengeluarkan urine
lebih dari 50% kapasitas kandung kemih pada saat berkemih. Biasanya berkemih
spontan harus sudah terlaksana dalam 6 jam sesudah melahirkan. Apabila setelah 6
jam pasien tidak dapat berkemih dinamakan retensio urine post partum (Winkjosastro,
2007).
B. Tanda dan Gejala
1. Diawali dengan urine mengalir lambat.
2. Kemudian terjadi poliuria yang makin lama menjadi parah karena pengosongan
kandung kemih tidak efisien.
3. Terjadi distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih.
4. Terasa ada tekanan, kadang terasa nyeri dan merasa ingin BAK.
C. Etiologi
Penyebab dari retensi urine antara lain diabetes, pembesaran kelenjar prostat, kelainan
uretra ( tumor, infeksi, kalkulus), trauma, melahirkan atau gangguan persyarafan
( stroke, cidera tulang belakang, multiple sklerosis dan parkinson). Beberapa
pengobatan dapat menyebabkan retensi urine baik dengan menghambat kontraksi
kandung kemih atau peningkatan resistensi kandung kemih. (Karch, 2008)
D. Patofisiologi

Patofisiologi penyebab retensi urin dapat dibedakan berdasarkan sumber


penyebabnya antara lain :
1. Gangguan supravesikal adalah gangguan inervasi saraf motorik dan
sensorik. Misalnya DM berat sehingga terjadi neuropati yang
mengakibatkan otot tidak mau berkontraksi.
2. Gangguan vesikal adalah kondisi lokal seperti batu di kandung kemih,
obat antimuskarinik/antikolinergik (tekanan kandung kemih yang
rendah) menyebabkan kelemahan pada otot detrusor
3. Gangguan infravesikal adalah berupa pembesaran prostat (kanker,
prostatitis), tumor pada leher vesika, fimosis, stenosis meatus uretra,
tumor penis, striktur uretra, trauma uretra, batu uretra, sklerosis leher
kandung kemih (bladder neck sclerosis)
E. Pemeriksaan Diagnosis
Adapun pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada retensio urine adalah
sebagai berikut:
1. Pemeriksaan specimen urine.
2. Pengambilan: steril, random, midstream
3. Penagmbilan umum: pH, BJ, Kultur, Protein, Glukosa, Hb, Keton dan Nitrit.
4. Sistoskopi ( pemeriksaan kandung kemih )
5. IVP ( Intravena Pielogram ) / Rontgen dengan bahan kontras.
F. Penatalaksanaan
1. Kateterisasi urethra

adalah memasukkan kateter ke dalam buli-buli melalui uretra. Pemasangan


kateter dilakukan secara aseptik dan diusahakan tidak menimbulkan rasa sakit
pada pasien
2. Dilatasi urethra dengan boudy.
3. Drainase suprapubik.
G. Komplikasi
1. Urolitiasis
Urolitiasis adalah adanya batu dan kalkulus dalam system urinarius. Batu
tersebut dibentuk dari kristialisasi larutan urine (kalsium oksalat, asam urat,
kalsium fosfat, struvit dan sistin) (sandra m netinna: 2002).
Batu ginjal adalah batu yang terbentuk di tubuli ginjal kemudian berada di
kaliks, infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta
seluruh kaliks ginjal dan merupakan batu slauran kemih yang paling sering
terjadi (Purnomo, 2000).
Batu ginjal (kalkuli) adalah bentuk deposit mineral, paling umum oksalat dan
fosfat, namun asam urat dan Kristal lain juga membentuk batu. Meskipun
kalkulus ginjal dapat terjadi dimana saja di saluran perkemihan, paling umum
ditemukan di pelvis dan kalix ginjal (Doengus, 2000)
2. Pielonefritis
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri pada piala ginjal (pelvis renalis),
tubulus, dan jaringan intestinal dari salah satu atau kedua ginjal. (Brunner dan
Suddarth, 2002)
Pielofritis merupakan infeksi bakteri yang menyerang ginjal yang sifatnya akut
maupun kronis. Pielonefritis akut biasanya akan berlangsung selama satu
sampai dua minggu. Bila pengobatan pada pielonefritis akut tidak sukses maka
dapat menimbulkan gejala lanjut yang disebut dengan pielonefritis kronis.
3. Hydronefrosis
Hidronefrosis adalah kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada
salah satu atau kedua ginjal akibat terkumpulnya urin di dalam ginjal. Hal ini
dapat disebabkan oleh berbagai keadaan yang menyebabkan tersumbatnya
lokasi-lokasi di sepanjang saluran kemih atau terganggunya fungsi kandung
kemih, yang menyebabkan terjadinya aliran balik ke dalam ginjal. Kondisikondisi ini dapat termasuk hipertrofi prostat jinak
4. Pendarahan
5. Ekstravasasi urine
Ekstravasasi adalah bocornya cairan intravena atau obat ke dalam jaringan
sekitar lokasi infus. Ekstravasasi dapat menyebabkan kerusakan jaringan.
H. Pengkajian

a. Kaji kapan klien terakhir kali buang air kecil dan berapa banyak urin yang
keluar.
b. Kaji adanya nyeri pada daerah abdomen.
c. Perkusi pada area supra pubik, apakah menghasilkan bunyi pekak yang
menunjukkan distensi kandung kemih.
d. Kaji pola nutrisi dan cairan.

I. Diagnosa keperawatan
Retensi urin berhubungan dengan ketidakmampuan kandung kemih untuk
berkontraksi dengan adekuat.
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi pada kandung

kemih.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring, nyeri, kelemahan otot.
J. Rencana Keperawatan

NO

DIAGNOSA

TUJUAN (NOC)

urin Setelah dilakukan tindakan keperawatan

1. Retensi
berhubungan

selama

dengan

teratasi dengan kriteria hasil :


Berkemih dengan jumlah yang

ketidakmampuan
kandung

INTERVENSI (NIC)

kemih

untuk berkontraksi

dengan adekuat.

3 x 24 jam, masalah dapat

Dorong pasien utnuk


berkemih tiap 2-4 jam
dan

cukup

Tidak teraba distensi kandung


kemih

bila

tiba-tiba

dirasakan.
Awasi dan catat waktu
dan

jumlah

berkemih.
Perkusi/palpasi

tiap
area

suprapubik
rasa Setelah dilakukan tindakan keperawatan

2. Gangguan
nyaman

nyeri selama

berhubungan
dengan
pada
kemih.

3 x 24 jam, masalah dapat

teratasi dengan kriteria hasil :


Nyeri dapat teratasi.
distensi
Nyeri dapat berkurang / hilang,
kandung
ekspresi wajah tenang.

Observasi

tanda-tanda

vital.
Kaji tingkat rasa nyeri.
Atur posisi yang nyaman

bagi klien.
Beri kompres hangat pada

daerah abdomen.
Kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian terapi

analgetik sesuai indikasi.


3. Intoleransi
aktivitas
berhubungan
dengan
baring,

Setelah dilakukan tindakan keperawatan

Evaluasi

selama

terhadap aktivitas.
Berikan
lingkungan

3 x 24 jam, masalah dapat

teratasi dengan kriteria hasil :


Menunjukkan
peningkatan
tirah
toleransi terhadap aktivitas yang
nyeri,

kelemahan otot.

tenang

dapat diukur dengan tidak


Adanya dispnea, kelemahan,
tanda vital dalam rentang normal.

respon

dan

batasi

pengunjung selama fase


Jelaskan
pentingnya
istirahat dalam rencana
pengobatan dan perlunya
keseimbangan

klien

aktivitas

dan istirahat
Bantu aktivitas perawatan
diri yang diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth. (2010). Text Book Of Medical Surgical Nursing 12th Edition. China :
LWW.
Doenges, Marilynn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Mansyoer Arif, dkk.2001.Kapita selekta kedokteran Jilid 1 Edisi ke tiga. Jakarta : Media
Aesculapius

Depkes RI Pusdiknakes.1995.Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan dan penyakit


Urogenital. Jakarta : Depkes RI.

Anda mungkin juga menyukai