Anda di halaman 1dari 12

Memahami Perang Asymmetric Warfare

Strategies (AWS)
PENGERTIAN
Perang Asimetris atau Asymmetric warfare, adalah suatu model peperangan yang
dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim, dan di luar aturan peperangan
yang berlaku, dengan spektrum perang yang sangat luas dan mencakup aspekaspek astagatra (perpaduan antara trigatra-geografi, demografi, dan sumber daya
alam, dan pancagatra-ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Perang
asimetris selalu melibatkan peperangan antara dua aktor atau lebih, dengan ciri
menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang.
Rujukan lain menyatakan:
Perang asimetris
dapat
digambarkan sebagai konflik di
mana sumber
daya dari dua
pihak
yang
berperang berbeda
dalam esensi
dan dalam
perjuangan, berinteraksi dan
berusaha untuk
mengeksploitasi kelemahan karakteristik masing-masing.
Perjuangan seperti itu sering melibatkan strategi dan taktik perang konvensional,
kombatan pihak yang lemah akan mencoba menggunakan strategi untuk
mengimbangi kekurangan dalam kuantitas atau kualitas. Strategi tersebut belum
tentu menggunakan militerisasi. Ini berbeda dengan perang simetris, di mana dua
kubu memiliki kekuatan militer dan sumber daya yang sama dan mengandalkan
taktik yang mirip secara keseluruhan, hanya berbeda dalam rincian dan eksekusi.
Ini adalah jenis perang yang lain, baru dalam intensitasnya, kuno dalam asalmulanya. Perang oleh gerilyawan, pemberontak, pengacau, pembunuh; perang
dengan dadakan, bukan dengan pertempuran terorganisir; dengan
penyusupan, bukan dengan agresi; mencari kemenangan dengan
merontokkan dan menyusutkan musuh, bukan dengan menghadapinya
Mereka memanfaatkan kerusuhan ekonomi dan konflik etnis, mereka
berusaha berada dalam situasi yang harus kita masuki. Ini adalah tantangan
yang ada di depan kita jika kebebasan harus diselamatkan; suatu strategi
yang seluruhnya baru, jenis kekuatan yang seluruhnya berbeda, dan oleh
karena itu memerlukan bentuk pelatihan militer yang baru sama sekali.
Kutipan diatas tidak diucapkan oleh Presiden Obama untuk mengomentari keonaran
di berbagai belahan dunia, namun oleh Presiden John F. Kennedy saat memberikan
sambutan di West Point tahun 1962. Perang jenis baru ini kemudian dikenal sebagai
perang asimetris, yaitu perang antar dua pihak dengan kekuatan yang kurang lebih
seimbang, menggunakan strategi dan taktik yang kurang lebih sama, hanya teknis
operasional dan kemampuan memanfaatkan medan yang menentukan siapa pihak
yang menang.

Konsep Perang Asimetris


Dalam berbagai literatur pertahanan dan hubungan internasional, istilah asimetris
diartikan sebagai perbedaan yang signifikan dalam kekuatan dari aktor-aktor yang
berlawanan dalam suatu konflik. Kekuatan tersebut diartikan sebagai kekuatan
material, seperti tentara profesional berjumlah besar, senjata canggih, ekonomi
maju, dan sebagainya. Perang asimetris mencakup konflik antarnegara dan
antarkelompok (biasa disebut perang sipil atau perang saudara). Sedangkan perang
simetris, di mana dua pihak memiliki kekuatan militer dan sumber daya yang sama,
menggunakan taktik yang mirip secara keseluruhan, hanya berbeda dalam detail
dan eksekusinya.
Perang asimetris sering disebut juga dengan perang gerilya, pemberontakan,
terorisme, konflik intensitas rendah, perang generasi ke 4, perang irreguler, dsb.
Perang asimetris juga merupakan konflik yang melibatkan kekerasan, antara militer
formal di satu pihak melawan pihak lain yang informal dan tidak didukung pasukan
bersenjata lengkap namun memiliki militansi yang tinggi. Dalam perang asimetris, ke
dua pihak berusaha untuk mengeksploitasi kelemahan lawan dengan menggunakan
strategi dan taktik perang konvensional maupun non-konvensional. Pihak yang lebih
lemah berusaha menggunakan strategi yang lebih jitu untuk mengimbangi
kekurangannya dalam kuantitas atau kualitas militer. Strategi pihak yang lemah
menghindari tindakan secara militer, yang merupakan kekuatan pihak lawan.
Bagaimana negara kecil bisa mengalahkan negara besar dijelaskan oleh Mack
(1975). Menurutnya, kemenangan negara kecil atas negara besar disebabkan oleh
ketidakmauan negara kecil menghadapi negara besar sesuai terminologi negara
besar. Sebaliknya, negara kecil menggunakan terminologi perang yang tidak
konvensional dalam menghadapi negara besar, yaitu perang gerilya, terorisme kota,
atau bahkan tindakan non-kekerasan. Namun selain itu, penyebab kekalahan
negara besar dari negara kecil adalah menurunnya kapabilitas politik negara besar
itu untuk berperang. Kapabilitas politik yang menurun itu antara lain disebabkan oleh
meningkatnya aksi sosial menentang perang, seperti yang terjadi di AS pada tahun
1960an.

Kesiapan menghadapi Perang Asimetris


Dari mempelajari pengalaman banyak negara menghadapi perang asimetris,
Robinson et al. (2014) menyimpulkan perlunya penyesuaian terhadap praktek dan
sistem yang ada sebelumnya. Perubahan itu setidaknya meliputi aspek-aspek
perencanaan, kelembagaan, operasi, insentif, keterampilan, kekuatan sipil dan
koordinasi. Tabel berikut menguraikan tindakan yang diperlukan untuk menghadapi
perang asimetris yang perlu dilakukan oleh pihak yang lebih kuat.

Perang Asimetris Pasca PD II


Perang asimetris skala besar yang terjadi pada era setelah Perang Dunia II, selain
perang Vietnam diantaranya adalah Perang Saudara Sri Lanka, Perang antara
Israel dan Palestina, dan Perang Saudara di Suriah. Berikut adalah uraian singkat
tentang ke tiga perang asimetris tersebut. Sebagai catatan perang asimetris yang
paling dahsyat pada 20 tahun terakhir ini adalah kejadian 11 September 2001 di
New York, di mana sekelompok orang menabrakkan pesawat terbang komersial
yang dibajaknya ke dua gedung kembar yang menjadi lambang keperkasaan
(ekonomi) Amerika Serikat, yang menelan korban 3.000 orang.

Perang Saudara di Sri Langka meletus pada tahun 1983, antara pemerintah Sri
Lanka dan Tentara Pembebasan Tamil Eelam (LTTE). Perang dimulai dengan
pemberontakan LTTE terhadap Pemerintah dan berkembang menjadi konflik besarbesaran, melibatkan perang gerilya dan perang konvensional. LTTE mempelopori
penggunaan bom, yang puncaknya dilakukan oleh pembom bunuh diri pria atau
wanita, baik di dalam maupun di luar medan perang; menggunakan perahu yang
penuh dengan bahan peledak untuk menghancurkan kapal-kapal militer; serta
penggunaan pesawat-pesawat ringan yang menargetkan instalasi militer. Hasil
akhirnya, pemberontakan dapat diatasi dan Sri Langka tetap utuh.
Perang antara Israel dan Palestina yang sudah berlangsung selama puluhan tahun
adalah kasus klasik perang asimetris yang berkepanjangan. Israel memiliki tentara
angkatan darat, udara dan laut yang kuat, dengan alutsista canggih yang dapat
mengalahkan Palestina (khususnya Hamas). Namun, Palestina menggunakan taktik
asimetris, seperti serbuan dadakan, tembakan lintas-perbatasan, serangan roket,
bom bunuh diri, dan menurut PM Israel Benyamin Netanyahu (Fitch, 2014): We use
missiles to protect civilians; Hamas use civilians to protect their missiles. Hingga
saat ini, konflik Israel-Palestina masih berlangsung.
Perang di Suriah yang terjadi sejak tahun 2012 hingga sekarang, juga merupakan
perang asimetris. Koalisi Nasional Suriah bersama dengan Mujahidin dan Partai Uni
Demokratik Kurdi berjuang melawan Pemerintah Suriah melalui cara-cara asimetris

untuk menumbangkan kekuasaan Presiden Hafez al Asad. Para pemberontak tidak


mampu terlibat secara simetris menghadapi tentara Suriah sehingga melakukan
taktik non-konvensional seperti bom bunuh diri, penyerbuan target-target tertentu,
dsb. Konflik antara pemerintah dengan pemberontak berlangsung lama, sampai
kemudian muncul ISIS yang memerangi pemerintah Suriah dan Irak sekaligus untuk
mendirikan negara sendiri. Sampai saat ini, perang di Suriah juga masih
berlangsung.
Fenomena perang asimetris di berbagai negara tersebut mendorong tumbuhnya
pemikiran bagaimana menjelaskan keunggulan pihak lemah sehingga dapat
memenangkan peperangan dengan pihak yang lebih kuat.

STRATEGI
Dalam perang konvensional, kekuatan musuh mudah sekali diperkirakan kuantitas
maupun kualitasnya, misalkan tentang kekuatan komando dan pengendaliannya.
Sehingga strategi yang hendak digunakan relatif mudah dipelajari dan dibaca,
sehingga dapat digunakan untuk dasar-dasar mengantisipasinya. Namun dalam
perang asimetris hal ini sebaliknya. Sangat sulit bagi kita memprediksi kekuatan
musuh, secara kuantitas dan kualitas.
Beberapa taktik yang memungkinkan hasil positif dalam perang asimetris, antara
lain:
1. Satu sisi dapat memiliki keunggulan teknologi yang melebihi keuntungan numerik
dari musuh; yang menentukan English Longbow sebagai contoh adalah pada
Pertempuran Crcy atau Battle of Crcy.
2. Inferioritas teknologi atau technological
inferiority,
biasanya dibatalkan
olehinfrastruktur yang lebih rentan yang dapat ditargetkan dengan hasil yang
dahsyat.Penghancuran beberapa sumber listrik, jalan atau sistem pasokan air di
daerah padat penduduk bisa memiliki efek buruk terhadap perekonomian dan
moral, sementara pada kubu yang lemah mungkin tidak memiliki struktur ini sama
sekali.
3. Pelatihan
dan taktik serta
teknologi dapat
membuktikan, menentukan dan
memungkinkan kekuatan yang lebih kecil untuk mengatasi sesuatu yang jauh lebih
besar. Sebagai
contoh, selama
beberapa
abad, penggunaan hoplite Yunani
atau Greek
hoplites (untuk infanteri
berat)
mereka membuat dan memakai phalanx yang jauh lebih unggul dari musuh-musuh
mereka. The Battle of Thermopylae, yang juga melibatkan penggunaan medan
perang yang baik, adalah contoh yang terkenal.
4. Jika daya yang rendah berada dalam posisi membela diri; yaitu, diserang atau
dijajah,
sangat dimungkinkan untuk menggunakan
taktik yang
tidak
konvensional,seperti taktik
serang
lalu
pergi
(hitand-run) dan
juga
pertempuran selektif
dikalakekuatan superior lebih
lemah, cara
yang
efektif menghajar
namun tanpa melanggarhukum
peperangan. Mungkin sebagai contoh sejarah klasik, doktrin ini dapat ditemukan

dalam Perang
Revolusi Amerika
(the
American
Revolutionary
War),
sebuah gerakan dalam Perang Dunia II, seperti Perlawanan Perancis (French
Resistance)
dan partisan
perang Soviet dan Yugoslavia.
Perlawanan
terhadap negara-negara agresor yang demokratis, strategi ini dapat digunakan untuk
bermain padakesabaran para pelaku dalam konflik (seperti dalam Perang
Vietnam dan perang-perang setelahnya) dengan cara memprovokasi para
kontra dan para perselisihanantara legislator yang terpilih.
5. Jika
kubu
yang
berdaya rendah berada
dalam
posisi yang
agresif, dan / atauberubah
menjadi taktik yang
dilarang
oleh hukum
perang (jus in bello),keberhasilannya
tergantung
pada kekuatan menahan
diri dari atasan, seperti taktik.Sebagai
contoh, hukum perang darat melarang
penggunaan bendera gencatan senjataatau kendaraan medis sebagai kamuflase
atau penutup
untuk melakukan serangan
atau penyergapan, namun pejuang asimetris menggunakan taktik yang dilarang ini
untuk
keuntungan, tergantung
pada ketaatan dan kekuatan superior terhadap hukumyang
sesuai. Demikian
pula, hukum perang melarang kombat
yang menggunakanpemukiman sipil,
berpopulasi atau fasilitas sebagai pangkalan militer, tetapi ketikakubu yang
berdaya rendah menggunakan taktik ini, semua itu tergantung pada premisbahwa
kekuatan superior akan menghormati
hukum dan
pihak yang lain melanggar,dan tidak
akan menyerang target sipil, atau
jika
mereka melakukan propaganda yangakan
memberikan keuntungan lebih
besar
daripada kerugian
material. Seperti
yang
terlihat pada
sebagian
besar konflik yang terjadi pada abad ke-20 dan abad ke-21, ini sangat tidak
mungkin karena keuntungan propaganda selalu melebihi kepatuhan terhadap hukum
internasional, terutama dengan mendominasi sisi konflik apapun.
6. Seperti disebutkan kali ini, adalah konflik IsraelPalestina adalah salah satu
contohterbaru
dari perang
asimetris. Mansdorf dan Kedar menjelaskan
bagaimana perangIslam menggunakan status asimetris-nya untuk mendapatkan
keuntungan taktisterhadap
Israel. Mereka merujuk
pada mekanisme psikologis yang
digunakan oleh
pasukan seperti Hizbullah dan Hamas yang mau mengeksploitasi warga sipil mereka
sendiri serta warga sipil musuh untuk mendapatkan keuntungan taktis, sebagian
dengan cata menggunakan media untuk mempengaruhi jalannya peperangan.
Pada sisi lain menurut tipologi terdapat strategi ideal yang digunakan dalam perang
asimetris berdasarkan para aktor yang berperang :
1. Untuk aktor yang kuat strategi yang digunakan dengan penyerangan : direct
attack and barbarism (serangan langsung yang brutal).
2. Untuk aktor yang lemah strategi yang digunakan dengan pertahanan : direct
defense and guerrilla warfare strategy (pertahanan langsung dan perang
strategi gerilya).
TINGKAT KEBERHASILAN
Berdasarkan data yang dilaporkan dapat kita simak adanya suatu fakta yang
mengejutkan tentang tingkat keberhasilan dalam perang asimetris berdasarkan aktor
yang bermain:

Kemenangan perang asimetris. (mardoto.com)

Terlihat bahwa makin ke arah sekarang dan yang akan datang adanya trend aktor
perang asimetris yang lemah semakin memiliki peluang memenangkan perang ini
lebih tinggi.
Hal ini tentu menjadi kajian yang menarik untuk para pemain perang asimetris dalam
menyusun strategi yang lebih andal, karena aktor yang kuat bisa saja terkalahkan
dengan olah strategi yang handal oleh pemain yang lemah.
BAGAIMANA DI INDONESIA?
Indonesia sesungguhnya telah menjadi sasaran perang asimetris. Penyebaran
berita, acara, dan pentas-pentas yang merusak mental SDM Indonesia itu sudah
merupakancontoh nyata adanya perang asimetris di Indonesia.
Strategi ini tergolong murah tanpa mengeluarkan biaya mahal, bahkan malah
mengeruk uang rakyat, karena perang asimetris ini tidak menggunakan banyak
senjata, cukup dengan menggegerkan media dengan Lady Gaga, isu provokatif
stabilitas keamanan Negara sudah digoyang.
Dengan digunakannya strategi asimetris oleh sebuah negara untuk melumpuhkan
lawannya bukan berarti kekuatan konvensional tidak diterapkan lagi. Justru untuk
mengantisipasi gagalnya upaya melemahkan suatu negara, pola perang kombinasi
juga sering digunakan.
Jadi hard power dan soft power digunakan secara cantik secara bersama, dengan
kehebatan mind power di belakangnya.
Contoh perang konvensional yang mengembang, dapat kita lihat di Libya saat
penumbangan Khadafy. Ketika strategi non-konvensional yang dilancarkan masih
dianggap kurang mampu menundukkan Libya, AS lalu merubah strateginya dari nonkonvensional menjadi konvensional dengan segera menyiapkan mesin-mesin
perang yang dimilikinya beserta NATO untuk menggebuk kekuatan militer Libya
yang masih bercokol dan mendapat dukungan dari sebagian rakyatnya.
Alasan awalnya adalah NFZ yaitu dari bahasa Polandia: Narodowy Fundusz
Zdrowia atau Zona Larangan Terbang, atau dalam bahasa Inggris: A no-fly

zone (no-flight zone), tapi itu sesungguhnya adalah kedok untuk mencapai tujuan
sebenarnya.
Sedangkan sejarah perang di Indonesia juga mencatat, selama konflik RI
Permesta berlangsung, AS dengan dalih menjaga ladang minyaknya selalu
berusaha masuk ke wilayah indonesia, melihat gelagat tidak beres yang ditunjukkan
AS terhadap Indonesia TNI berusaha menggagalkan upaya tersebut dengan
sesegera mungkin mengamankan ladang-ladang minyak AS sebelum sengaja
dihancurkan oleh pemberontak Permesta yang bersekongkol dengan AS.
Dengan begitu AS sudah dapat dipastikan tidak akan dapat masuk ke wilayah RI
karena tidak memiliki alasan kuat sebagai pembenarnya. Perlu diketahui, AS sudah
menyiapkan Armada VII dekat perairan Singapura dan terus melakukan manuver
perang sebagai langkah persiapan memasuki wilayah indonesia.

Indonesia dulu berbeda dengan Indonesia sekarang, saat ini Indonesia bagi AS
sudah dianggap sebagai Good Boy sehingga strategi konvensional masih belum
saatnya disiapkan melihat tekanan dan lobi-lobi AS yang diberikan dengan dalih
menjaga kestabilan kawasan masih bisa di turuti/diikuti oleh pemerintah indonesia.
Jadi cukup dengan strategi Asimetris saja, AS sudah mampu menggoncangkan
pemerintah indonesia lewat isu, informasi, kebebasan, budaya, ekonomi, narkoba,
korupsi dan lain sebagainya.
Seperti yang kita ketahui, Menurut Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Samsoedin
bahwa dunia strategi dan pertahanan sedang memasuki babakan baru, yakni perang
asimetris.

Kita harus menanggalkan cara berpikir perang konvensional. Banyak hal


yang terjadi tanpa disadari adalah dampak perang asimetri. Media
digunakan sedemikian rupa mengumbar sensasi. Perang asimetri itu bukan
menghadapkan senjata dengan senjata atau tentara melawan tentara,
ujarnya. (Kompas 28/3/2011)
Wamenhan mengingatkan, negara yang secara ekonomi dan kesenjataan lemah
adalah sasaran utama perang asimetris. Sebagai contoh, media internet atau media
massa tanpa sadar dipakai untuk memengaruhi cara berpikir atau melemahkan
bangsa Pemberitaan dua media Australia mengenai kebijakan Presiden RI Susilo
Bambang Yudhoyono dan situasi politik di indonesia beberapa waktu lalu juga
termasuk upaya pemerintah Australia dalam melancarkan strategi Asimetris dengan
tujuan menggoyahkan stabilitas pemerintah indonesia lewat jaringan informasi.
Karena saat ini begitu mudah semua informasi diakses lewat media jaringan seperti
Youtube, Tweeter, Facebook, Media Cetak maupun Elektronik.
Indonesia sendiri sebenarnya memiliki daftar panjang dijadikan sasaran perang
asimetris. Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,
Indonesia terus melakukan perang asimetris terhadap pendudukan Belanda hingga
1950, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), krisis Timor-Timur, Gerakan Pengacau
Keamanan di Papua, dan lainnya.
Seorang pakar, Tamrin, dalam salah satu presentasinya yang berjudul Perang
Asimetris, Tanggapan dan Penajaman, membahas mengenai ancaman asimetris di
bidang sosial-budaya dan agama, menyatakan beberapa argumentasi bahwa yang
pertama adalah tidak meratanya persebaran suku-suku di Indonesia.
Seperti diketahui, di Indonesia terdapat 653 suku bangsa. Akan tetapi dari Sumatra
hingga Jawa (kecuali Sumatra Selatan) hanya terdapat beberapa suku mayoritas.
Sebaliknya di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, banyak sekali suku bangsa yang
menghuni satu kota. Bahkan setengan dari jumlah suku bangsa berada di Papua. Ini
dapat menjadi ancaman disintegrasi.
Ancaman lainnya, bangunan keras: demokratisasi, desentralisasi, dan pemekaran
wilayah. Desentralisasi pada saat ini, kata Tamrin, sudah kebablasan. Pemekaran
juga luar biasa.

Di Lombok misalnya, dari sembilan menjadi 18 kelurahan. Banyak sekali gubernurgubernur yang tidak berkinerja. Yang terakhir adalah bangunan lunak: kebangsaan,
konstitusi, negara dan agama.
Menurut Manuel Castells di dalam bukunya, The Power of Identity: The Information
Age Economy, Society and Culture, kata Tamrin, dahulu negara adalah pihak satusatunya yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dan memaksa. Namun sekarang,
negara mendapat saingan kelompok yang bahkan membuat negara tidak berkutik,
yaitu terorisme lokal, fundamentalis agama dan suku.
Pakar lainnya, Fayakhun Andriadi, yang membawakan presentasi Asymetric
Warfare Strategy, memaparkan mengenai pengaruh teknologi informasi dan
komunikasi terhadap perang asimetris. Menurut dia, teknologi informasi dan
komunikasi semakin meningkat, dan menduduki peranan utama dalam kehidupan
sehari-hari. Karenanya, teknologi informasi telah menjadi sesuatu yang bernilai
sekaligus dapat menjadi senjata perusak.
Sekarang ini, lini pertempuan akan bergeser ke lini informasi. Bombardir informasi
akan membentuk citra yang tertanam di kawasan lawan dan akan melemahkan
posisi lawan, katanya.
Ia mencontohkan ketika Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet terlibat perang dingin
yang memuncak di tahun 1980-an. Sungguh naif jika dikatakan Soviet hancur secara
alamiah.
Justru, AS melancarkan asymetric warfare terhadap Soviet. Amerika dan negaranegara barat pandai memainkan strateginya dalam perang informasi yang lebih
bersifat
psychological
warfare.
Secara
ideologi,
kemunculan glasnost dan perestroika sudah berhasil menyerang ideologis komunis
yang telah lama menjadi perekat kesatuan Soviet.

Lembaga dan Pasukan Khusus


Pada tahun 2006 Gordon R. Sullivan (Jenderal Purn. AS) menyatakan bahwa:
Warfare today has taken on a new form and grown to new levels. The type of
warfare is not new, and few of the tactics are new. What is new is that this type of
war has recently reached a global leveland the United States and its allies have
found themselves ill prepared. Many strategists and theorists have attempted to
grasp the concept of the war we are facing today, yet none have adequately given it
definition and understanding.
Menyadari kekurang-siapan ini, berbagai upaya pembenahan dan penyesuaian
dilakukan untuk terus meningkatkan kesiapan Angkatan Bersenjata AS dalam
menghadapi perang asimetris. Center for Asymmetric Warfare (CAW) dan
Asymmetric Warfare Group (AWG) adalah contoh upaya yang dilakukan AS
menghadapi perang asimetris.

Center for Asymmetric Warfare


The Center for Asymmetric Warfare (CAW) didirikan pada tahun 1999, dua tahun
sebelum peristiwa 11 September 2001. CAW adalah suatu satuan kerja di Angkatan
Laut AS yang dibentuk untuk memperkuat angkatan bersenjata, negara bagian,
pemerintah kota, organisasi federal, dll. dalam melawan, mengendalikan dan
mendukung perang global melawan terorisme. CAW menjadi unit khusus terdepan
dalam menghadapi perang asimetris, dengan memberikan pendidikan dan pelatihan,
integrasi teknologi, pengujian, dan evaluasi program; dan pengukuran kemampuan
untuk berbagai organisasi, termasuk dunia usaha dan LSM, akademia, dan lembaga
pemerintah negara lain.
Misi CAW adalah melakukan penelitian, menyelenggarakan pelatihan terfokus,
eksperimen lapangan, pengujian dan penilaian untuk meningkatkan kemampuan
personel militer dan sipil di semua tingkatan kelembagaannya dalam rangka
mencegah, mengurangi, menghadapi, atau merespon, serta melakukan pemulihan
terhadap dampak dari ancaman asimetris terhadap ketahanan negara dan
keamanan nasional dan global. Sedangkan visi CAW adalah meningkatnya
keselamatan dan keamanan negara dan rakyat Amerika Serikat termasuk sekutu
strategisnya melalui pelatihan, eksperimen, perumusan program strategis, taktis,
dan operasional; dll. CAW mengupayakan berbagai organisasi lintas sektor dan
lintas komando, berbagi intelijen dan informasi operasional, berkomunikasi dan
berkoordinasi satu sama lain, melakukan perencanaan mengantisipasi ancaman,
melaksanakan tindakan operasi pemulihan, dsb.

Asymmetric Warfare Group


The Asymmetric Warfare Group (AWG) adalah unit khusus di bawah Angkatan
Darat AS yang mempunyai misi memberikan bantuan konsultasi operasional kepada
Angkatan Darat dan para Komandan Angkatan Gabungan (Joint Force
Commanders) untuk meningkatkan efektivitas tempur menghadapi ancaman
asimetris. AWG memaparkan observasi dan perspektif penting bagi para komandan
senior untuk dipertimbangkan ketika membuat kebijakan dan keputusan mengenai
sumber daya pertahanan.
AWG terdiri dari tentara, pegawai sipil Angkatan Darat, dan spesialis yang dikontrak.
Setiap anggota AWG diseleksi dan dipilih berdasarkan kemampuan khusus dan
pengalaman operasional dengan menggunakan proses nominatif untuk memastikan
satuan ini diisi oleh personel yang sangat profesional. AWG mengerahkan
pasukannya ke berbagai pelosok dunia untuk mengamati, mengukur, dan
menganalisis informasi tentang situasi kejadian kontemporer yang muncul,
khususnya ancaman asimetris dan penanggulangannya secara efektif. Tugas utama
AWG adalah:
Mendukung Angkatan Darat dan para Komandan Angkatan Gabungan dengan
memberikan saran dan membantu persiapan operasi di wilayah perang untuk
mengurangi kerentanan dalam mengjhadapi ancaman yang ada dan yang akan
muncul.

Menggelar pasukan AWG ke berbagai pelosok dunia untuk mengamati


perkembangan ancaman dan untuk mengidentifikasi tindakan penanganan secara
ofensif atau defensif untuk mengalahkan ancaman.
Mengidentifikasi, mengembangkan, dan mengkampanyekan solusi mengatasi
ancaman melalui praktek-praktek terbaik, peningkatan kemampuan memecahkan
masalah, dan penguasaan teknologi penanggulangan ancaman.
Meningkatkan inovasi dan adaptasi kekuatan operasi Angkatan Darat agar menjadi
lebih lincah, fleksibel dan mematikan.
Mengembangkan pemimpin yang mampu beradaptasi melalui pengembangan
organisasi pembelajaran yang terus menerus.
AWG memberikan dukungan konsultasi operasional bagi komandan pasukan
gabungan dan masing-masing angkatan untuk meningkatkan ketahanan hidup,
efektivitas tempur, dan keterampilan teknik mengatasi ancaman, dsb.
APA YANG HARUS KITA LAKUKAN?
Fahami lebih mendalam tentang perang asimetris, strategi dan penerapannya,
sebelum semuanya menjadi terlambat. Karena waktu terus bergulir dan para aktor
semakin banyak bergentayangan.
Nasionalisme harus terus digelorakan, demi terjaganya keberadaan WNI yang
bermartabat yang selalu ikut menjaga dan mempertahankan negara bangsanya agar
semakin jaya dalam bingkai NKRI sampai kapanpun. (sumber: mardoto.com)
CATATAN Oleh : Kolonel Sus Drs. Mardoto, M.T. (Dosen Akademi Angkatan Udara /
Referensi:
Wikipedia Asymmetric warfare
The Jakarta Post Asymmetric warfare, a clearand present threat
http://www.army.mil/article/36989/Asymmetric_Warfare_Group/Buffaloe, David L.,
Defining Asymmetric Warfare, A National Security Affairs Paper, No. 58 September
2006.
Fitch, Ed; Asymmetric Warfare Evolves in Tragic Directions, Special to the
Vancouver Sun, July 14, 2014.
[http://www.vancouversun.com/news/Opinion+Asymmetric+warfare+evolves+tragic+
directions/10029388/story.html]
Robinson, Linda et.al; Lessons from 13 Years of War Point to a Better U.S. Strategy,
RAND Corporation, 2014 [http://www.rand.org/pubs/research_briefs/RB9814.html].
Mack, Andrew, Why Big Nations Lose Small Wars: The Politics of Asymmetric
Conflict, World Politics Volume 27/Issue 02, January 1975
[http://web.stanford.edu/class/polisci211z/2.2/Mack%20WP%201975%20Asymm
%20Conf.pdf]
The Center for Asymmetric Warfare: http://www.cawnps.org/

Anda mungkin juga menyukai