Strategies (AWS)
PENGERTIAN
Perang Asimetris atau Asymmetric warfare, adalah suatu model peperangan yang
dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim, dan di luar aturan peperangan
yang berlaku, dengan spektrum perang yang sangat luas dan mencakup aspekaspek astagatra (perpaduan antara trigatra-geografi, demografi, dan sumber daya
alam, dan pancagatra-ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Perang
asimetris selalu melibatkan peperangan antara dua aktor atau lebih, dengan ciri
menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang.
Rujukan lain menyatakan:
Perang asimetris
dapat
digambarkan sebagai konflik di
mana sumber
daya dari dua
pihak
yang
berperang berbeda
dalam esensi
dan dalam
perjuangan, berinteraksi dan
berusaha untuk
mengeksploitasi kelemahan karakteristik masing-masing.
Perjuangan seperti itu sering melibatkan strategi dan taktik perang konvensional,
kombatan pihak yang lemah akan mencoba menggunakan strategi untuk
mengimbangi kekurangan dalam kuantitas atau kualitas. Strategi tersebut belum
tentu menggunakan militerisasi. Ini berbeda dengan perang simetris, di mana dua
kubu memiliki kekuatan militer dan sumber daya yang sama dan mengandalkan
taktik yang mirip secara keseluruhan, hanya berbeda dalam rincian dan eksekusi.
Ini adalah jenis perang yang lain, baru dalam intensitasnya, kuno dalam asalmulanya. Perang oleh gerilyawan, pemberontak, pengacau, pembunuh; perang
dengan dadakan, bukan dengan pertempuran terorganisir; dengan
penyusupan, bukan dengan agresi; mencari kemenangan dengan
merontokkan dan menyusutkan musuh, bukan dengan menghadapinya
Mereka memanfaatkan kerusuhan ekonomi dan konflik etnis, mereka
berusaha berada dalam situasi yang harus kita masuki. Ini adalah tantangan
yang ada di depan kita jika kebebasan harus diselamatkan; suatu strategi
yang seluruhnya baru, jenis kekuatan yang seluruhnya berbeda, dan oleh
karena itu memerlukan bentuk pelatihan militer yang baru sama sekali.
Kutipan diatas tidak diucapkan oleh Presiden Obama untuk mengomentari keonaran
di berbagai belahan dunia, namun oleh Presiden John F. Kennedy saat memberikan
sambutan di West Point tahun 1962. Perang jenis baru ini kemudian dikenal sebagai
perang asimetris, yaitu perang antar dua pihak dengan kekuatan yang kurang lebih
seimbang, menggunakan strategi dan taktik yang kurang lebih sama, hanya teknis
operasional dan kemampuan memanfaatkan medan yang menentukan siapa pihak
yang menang.
Perang Saudara di Sri Langka meletus pada tahun 1983, antara pemerintah Sri
Lanka dan Tentara Pembebasan Tamil Eelam (LTTE). Perang dimulai dengan
pemberontakan LTTE terhadap Pemerintah dan berkembang menjadi konflik besarbesaran, melibatkan perang gerilya dan perang konvensional. LTTE mempelopori
penggunaan bom, yang puncaknya dilakukan oleh pembom bunuh diri pria atau
wanita, baik di dalam maupun di luar medan perang; menggunakan perahu yang
penuh dengan bahan peledak untuk menghancurkan kapal-kapal militer; serta
penggunaan pesawat-pesawat ringan yang menargetkan instalasi militer. Hasil
akhirnya, pemberontakan dapat diatasi dan Sri Langka tetap utuh.
Perang antara Israel dan Palestina yang sudah berlangsung selama puluhan tahun
adalah kasus klasik perang asimetris yang berkepanjangan. Israel memiliki tentara
angkatan darat, udara dan laut yang kuat, dengan alutsista canggih yang dapat
mengalahkan Palestina (khususnya Hamas). Namun, Palestina menggunakan taktik
asimetris, seperti serbuan dadakan, tembakan lintas-perbatasan, serangan roket,
bom bunuh diri, dan menurut PM Israel Benyamin Netanyahu (Fitch, 2014): We use
missiles to protect civilians; Hamas use civilians to protect their missiles. Hingga
saat ini, konflik Israel-Palestina masih berlangsung.
Perang di Suriah yang terjadi sejak tahun 2012 hingga sekarang, juga merupakan
perang asimetris. Koalisi Nasional Suriah bersama dengan Mujahidin dan Partai Uni
Demokratik Kurdi berjuang melawan Pemerintah Suriah melalui cara-cara asimetris
STRATEGI
Dalam perang konvensional, kekuatan musuh mudah sekali diperkirakan kuantitas
maupun kualitasnya, misalkan tentang kekuatan komando dan pengendaliannya.
Sehingga strategi yang hendak digunakan relatif mudah dipelajari dan dibaca,
sehingga dapat digunakan untuk dasar-dasar mengantisipasinya. Namun dalam
perang asimetris hal ini sebaliknya. Sangat sulit bagi kita memprediksi kekuatan
musuh, secara kuantitas dan kualitas.
Beberapa taktik yang memungkinkan hasil positif dalam perang asimetris, antara
lain:
1. Satu sisi dapat memiliki keunggulan teknologi yang melebihi keuntungan numerik
dari musuh; yang menentukan English Longbow sebagai contoh adalah pada
Pertempuran Crcy atau Battle of Crcy.
2. Inferioritas teknologi atau technological
inferiority,
biasanya dibatalkan
olehinfrastruktur yang lebih rentan yang dapat ditargetkan dengan hasil yang
dahsyat.Penghancuran beberapa sumber listrik, jalan atau sistem pasokan air di
daerah padat penduduk bisa memiliki efek buruk terhadap perekonomian dan
moral, sementara pada kubu yang lemah mungkin tidak memiliki struktur ini sama
sekali.
3. Pelatihan
dan taktik serta
teknologi dapat
membuktikan, menentukan dan
memungkinkan kekuatan yang lebih kecil untuk mengatasi sesuatu yang jauh lebih
besar. Sebagai
contoh, selama
beberapa
abad, penggunaan hoplite Yunani
atau Greek
hoplites (untuk infanteri
berat)
mereka membuat dan memakai phalanx yang jauh lebih unggul dari musuh-musuh
mereka. The Battle of Thermopylae, yang juga melibatkan penggunaan medan
perang yang baik, adalah contoh yang terkenal.
4. Jika daya yang rendah berada dalam posisi membela diri; yaitu, diserang atau
dijajah,
sangat dimungkinkan untuk menggunakan
taktik yang
tidak
konvensional,seperti taktik
serang
lalu
pergi
(hitand-run) dan
juga
pertempuran selektif
dikalakekuatan superior lebih
lemah, cara
yang
efektif menghajar
namun tanpa melanggarhukum
peperangan. Mungkin sebagai contoh sejarah klasik, doktrin ini dapat ditemukan
dalam Perang
Revolusi Amerika
(the
American
Revolutionary
War),
sebuah gerakan dalam Perang Dunia II, seperti Perlawanan Perancis (French
Resistance)
dan partisan
perang Soviet dan Yugoslavia.
Perlawanan
terhadap negara-negara agresor yang demokratis, strategi ini dapat digunakan untuk
bermain padakesabaran para pelaku dalam konflik (seperti dalam Perang
Vietnam dan perang-perang setelahnya) dengan cara memprovokasi para
kontra dan para perselisihanantara legislator yang terpilih.
5. Jika
kubu
yang
berdaya rendah berada
dalam
posisi yang
agresif, dan / atauberubah
menjadi taktik yang
dilarang
oleh hukum
perang (jus in bello),keberhasilannya
tergantung
pada kekuatan menahan
diri dari atasan, seperti taktik.Sebagai
contoh, hukum perang darat melarang
penggunaan bendera gencatan senjataatau kendaraan medis sebagai kamuflase
atau penutup
untuk melakukan serangan
atau penyergapan, namun pejuang asimetris menggunakan taktik yang dilarang ini
untuk
keuntungan, tergantung
pada ketaatan dan kekuatan superior terhadap hukumyang
sesuai. Demikian
pula, hukum perang melarang kombat
yang menggunakanpemukiman sipil,
berpopulasi atau fasilitas sebagai pangkalan militer, tetapi ketikakubu yang
berdaya rendah menggunakan taktik ini, semua itu tergantung pada premisbahwa
kekuatan superior akan menghormati
hukum dan
pihak yang lain melanggar,dan tidak
akan menyerang target sipil, atau
jika
mereka melakukan propaganda yangakan
memberikan keuntungan lebih
besar
daripada kerugian
material. Seperti
yang
terlihat pada
sebagian
besar konflik yang terjadi pada abad ke-20 dan abad ke-21, ini sangat tidak
mungkin karena keuntungan propaganda selalu melebihi kepatuhan terhadap hukum
internasional, terutama dengan mendominasi sisi konflik apapun.
6. Seperti disebutkan kali ini, adalah konflik IsraelPalestina adalah salah satu
contohterbaru
dari perang
asimetris. Mansdorf dan Kedar menjelaskan
bagaimana perangIslam menggunakan status asimetris-nya untuk mendapatkan
keuntungan taktisterhadap
Israel. Mereka merujuk
pada mekanisme psikologis yang
digunakan oleh
pasukan seperti Hizbullah dan Hamas yang mau mengeksploitasi warga sipil mereka
sendiri serta warga sipil musuh untuk mendapatkan keuntungan taktis, sebagian
dengan cata menggunakan media untuk mempengaruhi jalannya peperangan.
Pada sisi lain menurut tipologi terdapat strategi ideal yang digunakan dalam perang
asimetris berdasarkan para aktor yang berperang :
1. Untuk aktor yang kuat strategi yang digunakan dengan penyerangan : direct
attack and barbarism (serangan langsung yang brutal).
2. Untuk aktor yang lemah strategi yang digunakan dengan pertahanan : direct
defense and guerrilla warfare strategy (pertahanan langsung dan perang
strategi gerilya).
TINGKAT KEBERHASILAN
Berdasarkan data yang dilaporkan dapat kita simak adanya suatu fakta yang
mengejutkan tentang tingkat keberhasilan dalam perang asimetris berdasarkan aktor
yang bermain:
Terlihat bahwa makin ke arah sekarang dan yang akan datang adanya trend aktor
perang asimetris yang lemah semakin memiliki peluang memenangkan perang ini
lebih tinggi.
Hal ini tentu menjadi kajian yang menarik untuk para pemain perang asimetris dalam
menyusun strategi yang lebih andal, karena aktor yang kuat bisa saja terkalahkan
dengan olah strategi yang handal oleh pemain yang lemah.
BAGAIMANA DI INDONESIA?
Indonesia sesungguhnya telah menjadi sasaran perang asimetris. Penyebaran
berita, acara, dan pentas-pentas yang merusak mental SDM Indonesia itu sudah
merupakancontoh nyata adanya perang asimetris di Indonesia.
Strategi ini tergolong murah tanpa mengeluarkan biaya mahal, bahkan malah
mengeruk uang rakyat, karena perang asimetris ini tidak menggunakan banyak
senjata, cukup dengan menggegerkan media dengan Lady Gaga, isu provokatif
stabilitas keamanan Negara sudah digoyang.
Dengan digunakannya strategi asimetris oleh sebuah negara untuk melumpuhkan
lawannya bukan berarti kekuatan konvensional tidak diterapkan lagi. Justru untuk
mengantisipasi gagalnya upaya melemahkan suatu negara, pola perang kombinasi
juga sering digunakan.
Jadi hard power dan soft power digunakan secara cantik secara bersama, dengan
kehebatan mind power di belakangnya.
Contoh perang konvensional yang mengembang, dapat kita lihat di Libya saat
penumbangan Khadafy. Ketika strategi non-konvensional yang dilancarkan masih
dianggap kurang mampu menundukkan Libya, AS lalu merubah strateginya dari nonkonvensional menjadi konvensional dengan segera menyiapkan mesin-mesin
perang yang dimilikinya beserta NATO untuk menggebuk kekuatan militer Libya
yang masih bercokol dan mendapat dukungan dari sebagian rakyatnya.
Alasan awalnya adalah NFZ yaitu dari bahasa Polandia: Narodowy Fundusz
Zdrowia atau Zona Larangan Terbang, atau dalam bahasa Inggris: A no-fly
zone (no-flight zone), tapi itu sesungguhnya adalah kedok untuk mencapai tujuan
sebenarnya.
Sedangkan sejarah perang di Indonesia juga mencatat, selama konflik RI
Permesta berlangsung, AS dengan dalih menjaga ladang minyaknya selalu
berusaha masuk ke wilayah indonesia, melihat gelagat tidak beres yang ditunjukkan
AS terhadap Indonesia TNI berusaha menggagalkan upaya tersebut dengan
sesegera mungkin mengamankan ladang-ladang minyak AS sebelum sengaja
dihancurkan oleh pemberontak Permesta yang bersekongkol dengan AS.
Dengan begitu AS sudah dapat dipastikan tidak akan dapat masuk ke wilayah RI
karena tidak memiliki alasan kuat sebagai pembenarnya. Perlu diketahui, AS sudah
menyiapkan Armada VII dekat perairan Singapura dan terus melakukan manuver
perang sebagai langkah persiapan memasuki wilayah indonesia.
Indonesia dulu berbeda dengan Indonesia sekarang, saat ini Indonesia bagi AS
sudah dianggap sebagai Good Boy sehingga strategi konvensional masih belum
saatnya disiapkan melihat tekanan dan lobi-lobi AS yang diberikan dengan dalih
menjaga kestabilan kawasan masih bisa di turuti/diikuti oleh pemerintah indonesia.
Jadi cukup dengan strategi Asimetris saja, AS sudah mampu menggoncangkan
pemerintah indonesia lewat isu, informasi, kebebasan, budaya, ekonomi, narkoba,
korupsi dan lain sebagainya.
Seperti yang kita ketahui, Menurut Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Samsoedin
bahwa dunia strategi dan pertahanan sedang memasuki babakan baru, yakni perang
asimetris.
Di Lombok misalnya, dari sembilan menjadi 18 kelurahan. Banyak sekali gubernurgubernur yang tidak berkinerja. Yang terakhir adalah bangunan lunak: kebangsaan,
konstitusi, negara dan agama.
Menurut Manuel Castells di dalam bukunya, The Power of Identity: The Information
Age Economy, Society and Culture, kata Tamrin, dahulu negara adalah pihak satusatunya yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dan memaksa. Namun sekarang,
negara mendapat saingan kelompok yang bahkan membuat negara tidak berkutik,
yaitu terorisme lokal, fundamentalis agama dan suku.
Pakar lainnya, Fayakhun Andriadi, yang membawakan presentasi Asymetric
Warfare Strategy, memaparkan mengenai pengaruh teknologi informasi dan
komunikasi terhadap perang asimetris. Menurut dia, teknologi informasi dan
komunikasi semakin meningkat, dan menduduki peranan utama dalam kehidupan
sehari-hari. Karenanya, teknologi informasi telah menjadi sesuatu yang bernilai
sekaligus dapat menjadi senjata perusak.
Sekarang ini, lini pertempuan akan bergeser ke lini informasi. Bombardir informasi
akan membentuk citra yang tertanam di kawasan lawan dan akan melemahkan
posisi lawan, katanya.
Ia mencontohkan ketika Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet terlibat perang dingin
yang memuncak di tahun 1980-an. Sungguh naif jika dikatakan Soviet hancur secara
alamiah.
Justru, AS melancarkan asymetric warfare terhadap Soviet. Amerika dan negaranegara barat pandai memainkan strateginya dalam perang informasi yang lebih
bersifat
psychological
warfare.
Secara
ideologi,
kemunculan glasnost dan perestroika sudah berhasil menyerang ideologis komunis
yang telah lama menjadi perekat kesatuan Soviet.