Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, presentasenya dapat


berubah tergantung pada umur, jenis kelamin, dan derajat obesitas seseorang.
Cairan tubuh terbagi dalam dua kompartemen yaitu intraseluler dan ekstraseluler.
Ekstraseluler terbagi dalam ruang interstisial dan intravaskuler.1
Tujuan dari terapi cairan dan elektrolit adalah untuk mengganti kehilangan
cairan yang hilang sebelumnya, mencukupi kebutuhan sehari, dan mengganti
kehilangan

cairan

yang

sedang

berlangsung

sehingga

dapat

menjaga

keseimbangan normal zat-zat penting selama pertumbuhan dan pemulihan dari


penyakit. Tujuan dalam pengelolaan keseimbangan cairan dan elektrolit adalah
untuk melanjutkan kualitas hidup sesuai usia, berat badan, dan cara pasien
menghadapi kehilangan cairan tubuhnya.1
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan suatu hubungan yang erat
dan bergantung satu dengan yang lainnya. Apabila terjadi gangguan
keseimbangan pada salah satunya, maka akan memberikan pengaruh pada yang
lainnya. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh dapat terjadi pada
keadaan diare, muntah-muntah, sindrom malabsorpsi, ekskresi keringat yang
berlebih pada kulit, pengeluaran cairan yang tidak disadari (insensible water loss)
secara berlebihan oleh paru-paru, pendarahan, berkurangnya kemampuan pada
ginjal dalam mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Dalam
keadaan tersebut, pasien perlu diberikan terapi cairan agar volume cairan tubuh
yang hilang dengan segera dapat digantikan. Terdapat tiga prinsip utama dalam
pemberian terapi cairan yaitu koreksi kehilangan elektrolit, koreksi kehilangan
cairan dan koreksi terhadap kebutuhan normal asupan cairan per harinya. Koreksi
yang dilakukan cukup sampai batas normal atau kondisi yang dapat ditolerir oleh

tubuh. Tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya resiko iatrogenik yang


tidak diinginkan akibat dari pemberian terapi yang berlebihan. American College
of Surgeons Commite on Trauma. 2014. Advanced Trauma Life Support (ATLS)
Student Course Manual Ed.9. Hal 76-97

Oleh karena itu referat ini dibuat guna memahami mengenai fisiologi
cairan dalam tubuh dan terapi cairan. Pada referat ini akan dibahas mengenai
prinsip-prinsi cairan dan elektrlit tubuh serta prinsip terapi cairan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prinsip-Prinsip Fisiologi Cairan dan Elektrolit


Total cairan tubuh, elektrolit, dan distribusinya
Air merupakan komponen terbesar dan pelarut terpenting dari tubuh kita,
biasanya dinyatakan dalam persen berat badan dan besarnya berubah menurut
umur. Distribusi TBW berubah pada masa remaja karena ada peningkatan lemak
pada anak perempuan (TBW=55%), dibandingkan dengan anak laki-laki yang
lebih berotot (TBW=60%). Seiring dengan pertumbuhan seseorang persentase
jumlah cairan terhadap berat badan berangsur-angsur turun yaitu pada laki-laki
dewasa 50-60% berat badan, sedangkan pada wanita dewasa 50 % berat badan.
Kisaran ini tergantung pada tiap individu yang memiliki jumlah jaringan adiposa
yang berbeda, yang mana jaringan ini hanya mengandung sedikit air. TBW pada
wanita lebih kecil dibanding dengan laki-laki dewasa pada umur yang sama,
karena struktur tubuh wanita dewasa yang umumnya lebih banyak mengandung
jaringan lemak. 1
TBW dibagi dalam 2 komponen utama yaitu cairan intraseluler (CIS) dan
cairan ekstraseluler (CES). Cairan intraseluler merupakan 40% dari TBW. Pada
seorang laki-laki dewasa dengan berat 70 kg berjumlah sekitar 27 liter. Sekitar 2
liter berada dalam sel darah merah yang berada di dalam intravaskuler. Komposisi
CIS dan kandungan airnya bervariasi menurut fungsi jaringan yang ada. Misalnya,
jaringan lemak memiliki jumlah air yang lebih sedikit dibanding jaringan tubuh
lainnya.
Cairan intra seluler merupakan 40% dari TBW. Pada seorang laki- laki
dewasa dengan berat 70 kg berjumlah sekitar 27 liter. Sekitar 2 liter berada dalam
sel darah merah yang berada di dalam intravaskuler. Komposisi CIS dan
kandungan airnya bervariasi menurut fungsi jaringan yang ada. Misalnya, jaringan
lemak memiliki jumlah air yang lebih sedikit dibanding jaringan tubuh lainnya.
Komposisi dari CIS bervariasi menurut fungsi suatu sel. Namun terdapat
perbedaan umum antara CIS dan cairan interstitial. CIS mempunyai kadar Na +, Cl-

dan HCO3- yang lebih rendah dibanding CES dan mengandung lebih banyak ion
K+ dan fosfat serta protein yang merupakan komponen utama intra seluler.
Komposisi CIS ini dipertahankan oleh membran plasma sel dalam keadaan
stabil namun tetap ada pertukaran. Transpor membran terjadi melalui mekanisme
pasif seperti osmosis dan difusi, yang mana tidak membutuhkan energi
sebagaimana transport aktif.
Sekitar sepertiga dari TBW merupakan cairan ekstraseluler (CES), yaitu
seluruh cairan di luar sel. Dua kompartemen terbesar dari mairan ekstrasluler
adalah cairan interstisiel, yang merupakan tiga perempat cairan ekstraseluler, dan
plasma, yaitu seperempat cairan ekstraseluler. Plasma adalah bagian darah
nonselular dan terus menerus berhubungan dengan cairan interstisiel melalui
celah-celah membran kapiler. Celah ini bersifat sangat permeabel terhadap hampir
semua zat terlarut dalam cairan ekstraseluler, kecuali protein. Karenanya, cairan
ekstraseluler terus bercampur, sehingga plasma dan interstisiel mempunyai
komposisi yang sama kecuali untuk protein, yang konsentrasinya lebih tinggi pada
plasma.
Cairan transeluler merupakan cairan yang disekresikan dalam tubuh
terpisah dari plasma oleh lapisan epithelial serta peranannya tidak terlalu berarti
dalam keseimbangan cairan tubuh, akan tetapi pada beberapa keadaan dimana
terjadi pengeluaran jumlah cairan transeluler secara berlebihan maka akan tetap
mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh. Cairan yang termasuk
cairan transseluler yaitu: Cairan serebrospinal, cairan dalam kelenjar limfe, cairan
intra okular, cairan gastrointestinal dan empedu, cairan pleura, peritoneal, dan
perikardial.
Ruang transcellular dan ruang slowly exchangeable sebenarnya ini juga
merupakan cairan ekstraseluler tetapi mempunyai karakteristik tersendiri dan
dalam keadaan normal tidak begitu penting. Cairan slowly exchangeable
berjumlah 8-10% berat badan, mengisi tulang-tulang rawan dan jaringan ikat yang

keras.

Pertukaran

tidak

mudah

terjadi

sehingga

tidak

mempengaruhi

keseimbangan cairan, tetapi dapat menerima cairan infus dan meneruskan ke


plasma pada resusitasi intraosseous. Cairan transcellular atau rongga ke tiga
(extracorporeal) berasal dari pengangkutan aktif cairan ekstrasel melalui epitel
dan dianggap sebagai reservoir cairan ekstraseluler, seperti: cairan serebro
spinalis, cairan lumen usus, cairan bola mata, cairan getah bening, cairan
intrapleura, cairan peritoneal, cairan sinovial dsb. Jumlahnya hanya 1-3% berat
badan.2
Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada
perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun
perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan
tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah,
maka resiko penderita menjadi lebih besar. Seluruh cairan tubuh didistribusikan
ke dalam kompartemen intraselular dan kompartemen ekstraselular.1
Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan non
elektrolit.4
a. Elektrolit
Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus listrik.
Elektrolit dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif (anion).
Jumlah kation dan anion dalam larutan adalah selalu sama (diukur dalam
miliekuivalen).4
o Kation
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan
kation utama dalam cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu sistem
pompa terdapat di dinding sel tubuh yang memompa keluar sodium dan
potassium ini.

o Anion
Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat
(HCO3), sedangkan anion utama dalam cairan intraselular adalah ion fosfat
(PO4-3). Karena kandungan elektrolit dalam plasma dan cairan interstitial pada
intinya sama maka nilai elektrolit plasma mencerminkan komposisi dari cairan
ekstraseluler tetapi tidak mencerminkan komposisi cairan intraseluler.4

1. Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling
berperan di dalam mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium plasma: 135145mEq/liter.11 Kadar natrium dalam plasma diatur lewat beberapa mekanisme:
- Left atrial stretch reseptor
- Central baroreseptor
- Renal afferent baroreseptor
- Aldosterone (reabsorpsi di ginjal)
- Atrial natriuretic factor
- Sistem renin angiotensin
- Sekresi ADH
- Perubahan yang terjadi pada air tubuh total (TBW=Total Body Water)
Kadar natrium dalam tubuh 58,5mEq/kgBB dimana + 70% atau 40,5

mEq/kgBB dapat berubah-ubah. Ekresi natrium dalam urine 100-180mEq/liter,


faeces 35mEq/liter dan keringat 58mEq/liter. Kebutuhan setiap hari = 100mEq (615 gram NaCl). Natrium dapat bergerak cepat antara ruang intravaskuler dan
interstitial maupun ke dalam dan keluar sel. Apabila tubuh banyak mengeluarkan
natrium (muntah,diare) sedangkan pemasukkan terbatas maka akan terjadi
keadaan dehidrasi disertai kekurangan natrium. Kekurangan air dan natrium
dalam plasma akan diganti dengan air dan natrium dari cairan interstitial. Apabila
kehilangan cairan terus berlangsung, air akan ditarik dari dalam sel dan apabila
volume plasma tetap tidak dapat dipertahankan terjadilah kegagalan sirkulasi.6

2.

Kalium
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan ekstraseluler

berperan penting di dalam terapi gangguan keseimbangan air dan elektrolit.


Jumlah kalium dalam tubuh sekitar 53 mEq/kgBB dimana 99% dapat berubahubah sedangkan yang tidak dapat berpindah adalah kalium yang terikat dengan
protein didalam sel. 6
Kadar kalium plasma 3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3
mEq/kgBB. Keseimbangan kalium sangat berhubungan dengan konsentrasi H+
ekstraseluler. Ekskresi kalium lewat urine 60-90 mEq/liter, faeces 72 mEq/liter
dan keringat 10 mEq/liter.6

3.

Kalsium
Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama susu, 80-90%
dikeluarkan lewat faeces dan sekitar 20% lewat urine. Jumlah pengeluaran ini
tergantung pada intake, besarnya tulang, keadaan endokrin. Metabolisme kalsium
sangat dipengaruhi oleh kelenjar-kelenjar paratiroid, tiroid, testis, ovarium, dan
hipofisis. Sebagian besar (99%) ditemukan didalam gigi dan + 1% dalam cairan

ekstraseluler dan tidak terdapat dalam sel.6

4.

Magnesium
Magnesium ditemukan di semua jenis makanan. Kebutuhan untuk

pertumbuhan + 10 mg/hari. Dikeluarkan lewat urine dan faeces. 6

5.

Karbonat
Asam karbonat dan karbohidrat terdapat dalam tubuh sebagai salah satu

hasil akhir daripada metabolisme. Kadar bikarbonat dikontrol oleh ginjal. Sedikit
sekali bikarbonat yang akan dikeluarkan urine. Asam bikarbonat dikontrol oleh
paru-paru dan sangat penting peranannya dalam keseimbangan asam basa. 6

b. Non elektrolit
Merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam cairan.
Zat lainya termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.4
Komposisi elektrolit dalam berbagai kompartemen tidak sama (gambar 2).
Natrium merupakan kation utama ekstraseluler dan aktif secara osmotik menjaga
volume intravaskuler dan interstisial. Kalium merupakan kation utama
intraseluler, sehingga berperan menjaga osmolalitas intrasel dan memelihara
volume sel. Kalium penting untuk membangkitkan sel-sel saraf dan otot,
bertanggung jawab terhadap kontraktilitas otot.

SERUM

INTERSTITIAL

INTRACELLULAR
FLUID
CATION ANION

FLUID
Gambar 1. Distribusi elektrolit dalam masing-masing kompartemen

Regulasi input dan output cairan tubuh


Intake dirangsang oleh rasa haus sebagai respon kurang air (hipertonik)
melalui osmoreceptor di midhipotalamus, pankreas dan vena porta hepatika.
Hipovolemi dan hipotensi juga dapat merangsang haus melalui baroreceptor di
atrium dan pembuluh darah besar, atau melalui peningkatan angiotensin II.
Gangguan rasa haus bisa terjadi pada gangguan psikologik, penyakit SSP,
hipokalemi, malnutrisi, gangguan renin angiotensin.2
Excretion atau pengeluaran air dapat berupa kehilangan cairan insensible
(30%), air kemih melalui ginjal (60%) dan sedikit cairan tinja (10%). Ini
menggambarkan jumlah yang harus diminum perhari untuk mempertahankan
keseimbangan cairan.2,3 Kehilangan insensible bisa melalui kulit (2/3) dan paru
(1/3), tergantung faktor-faktor yang mempengaruhi energi expenditure (tidak
tergantung keadaan cairan tubuh) seperti: luas permukaan tubuh, suhu tubuh dan

lingkungan, laju respirasi, kelembaban lingkungan, dsb. Ini berbeda dengan


kehilangan cairan melalui keringat (sensible water and electrolyte losses) yang
biasanya terjadi bila suhu tubuh dan lingkungan meningkat, diatur oleh sistem
saraf otonom.2,4,5
Pengeluaran air kemih penting untuk mengatur osmolalitas dan komposisi
cairan

ekstraseluler.

Jumlah

dan

kadar

urin

dikendalikan

oleh

axis

neurohypophyseal renal, yaitu Antidiuretic Hormone (ADH). Ikut berpengaruh


pula adalah GFR, keadaan epitel tubulus ginjal, fungsi tiroid dan kadar adrenal
steroid dalam plasma.2 Pengeluaran ADH terjadi karena eksositosis sebagai reaksi
rangsangan hypothalamus. Sekresi ADH diatur oleh tekanan osmotik cairan
ekstraseluler, dipantau oleh vesikel dalam nukleus supraoptikus sebagai
osmoreceptor. Vesikel membengkak bila osmolalitas cairan ekstraseluler lebih
rendah dari intraseluler, mengerut apabila sebaliknya. Pengaruh utama ADH
adalah meningkatkan permeabilitas duktus colligentus terhadap air. Air berdifusi
keluar tubulus atas pengaruh ADH, dan difusi tidak terjadi bila tidak ada ADH.2

Regulasi distribusi cairan dan elektrolit di dalam tubuh


Cairan tubuh terdiri dari air, elektrolit dan non elektrolit. Air sebagai
pelarut, elektrolit dan non elektrolit sebagai terlarut. 6 Distribusi antar
kompartemen ditentukan oleh permeabilitas membran dan osmolal gradient.
Walaupun

demikian

keseimbangannya

menganut

hukum

iso-osmolaritas,

neutralitas elektron dan keseimbangan asam basa.7


Osmolalitas antar kompartemen dipertahankan seimbang meskipun kadar
zat terlarutnya berubah-ubah. Jumlah cairan intraseluler dipengaruhi oleh kadar
larutan ekstraseluler. Cairan intraseluler dipertahankan konstan oleh tekanan
osmotik di luar sel yang dibatasi membran yang permeabel terhadap air.
Peningkatan osmolalitas cairan ekstraseluler menyebabkan pengurangan air
intrasel, atau sebaliknya.2 Phosphat anorganik dan protein (90% anion

10

intraseluler)

tidak

bebas

melewati

membran

sel,

sehingga

berperan

mempertahankan osmolalitas intraseluler. Kalium dan magnesium merupakan


kation utama intraseluler dapat dengan bebas keluar masuk sel, tetapi karena
anion intraseluler relatif konstan dan harus menganut hukum netralitas elektron
maka kehilangan kation intrasel akan diganti dengan kation ekstrasel. Untuk
menghindari

edema

intraseluler

maka

tranport

aktif

melalui

aktifitas

NaKATPase akan memompa natrium keluar sel melawan chemical gradient


dan electrical gradient.7 Dikatakan juga bahwa perubahan nilai strong ion
difference (selisih konsentrasi kation kuat dan anion kuat) akan menyebabkan
gangguan keseimbangan asam basa, begitu juga sebaliknya.6
Osmolalitas cairan ekstrasel dapat bervariasi dengan mempengaruhi
konsentrasi solut atau kandungan air melalui regulasi ginjal. Pemeliharaan cairan
ekstraseluler terjadi karena keseimbangan pemasukan cairan, regulasi ginjal dan
tekanan onkotik (colloid osmotic) kapiler. Tekanan onkotik merupakan sebagian
kecil dari tekanan osmotik, dipengaruhi molekul-molekul besar seperti albumin
yang tak mudah melintasi pori kapiler. Selain permeabilitas kapiler dan colloid
osmotic pressure, jumlah cairan interstitial dipengaruhi tekanan hidrostatik kapiler
(hukum Starling). Air dari ruang interstitial dibawa oleh saluran lymphe melalui
duktus thorasikus ke vena cava. Tidak ada hubungan antara osmolalitas dengan
volume cairan ekstraseluler. Hipo atau hiperosmolar dapat berhubungan dengan
volume yang kurang, normal, atau berlebih.7
Air merupakan zat yang paling mudah berdifusi. Elektrolit dapat melintasi
membran kapiler dan membran sel dengan difusi maupun transport aktif
NaKATPase mengikuti netralitas elektron masing-masing kompartemen.7,8
Permeabilitas membran terhadap bahan terlarut non elektrolit bervariasi
tergantung besar molekul dan jenis selnya. Glukosa tidak mudah masuk ke dalam
sel otot, tetapi harus dibantu insulin untuk selanjutnya segera dimetabolisme.
Untuk sel-sel darah merah, hati, ginjal, dan beberapa sel otak termasuk mungkin
osmoreceptor glukosa dapat berdifusi dengan bebas. Karena sebagian besar tubuh
kita adalah sel otot, maka glukosa dapat mempengaruhi osmolalitas efektif

11

(effective osmols). Hiperglikemia menyebabkan pergeseran air intrasel ke


ekstrasel sehingga bisa menyebabkan kesalahan interpretasi kadar elektrolit,
demikian pula dengan manitol.7 BUN mudah melewati membran kapiler maupun
membran sel, sehingga tidak berkontribusi terhadap osmotic gradient (ineffective
osmols). Tetapi BUN mempunyai kontribusi terhadap osmolalitas secara
keseluruhan.9 Natrium merupakan kation terbanyak dalam plasma dan interstitial,
dan bersama anionnya (Cl- dan bikarbonat) berperan lebih dari 90% terhadap
osmolalitas ekstrasel. Sehingga osmolalitas plasma dapat dihitung dengan rumus:9

Osmolalitas plasma = 2 x
[Na+] +

Glukosa
1 8 (m
g/dl )

BUN
2,8 (mg/dl)

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam menilai osmolalitas plasma berkaitan
interpretasi

kadar

natrium

adalah

bila

terdapat

hiperproteinemia

dan

hiperlipidemia. Hasil laboratorium biasanya dalam mEq/liter atau mmol/liter


plasma volume, yang sebenarnya adalah kadar dalam plasma water. Karena
kelebihan protein dan lipid akan menggantikan sebagian tempat dari air,
kandungan air dalam plasma akan berkurang sehingga interpretasinya cenderung
hiponatremi (pseudohyponatremia).8,9
Cairan transeluler tidak ikut dalam keseimbangan, akan tetapi jumlahnya
sangat meningkat pada keadaan diare atau ileus dengan multiple air fluid level.2

Proses Pergerakan Cairan Tubuh


Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan
mekanisme transpor pasif dan aktif. Mekanisme transpor pasif tidak
membutuhkan energi sedangkan mekanisme transpor aktif membutuhkan energi.
Difusi dan osmosis adalah mekanisme transpor pasif. Sedangkan mekanisme
transpor aktif berhubungan dengan pompa Na-K yang memerlukan ATP. 4,6,7

12

Proses pergerakan cairan tubuh antar kompartemen dapat berlangsung secara:


a. Osmosis
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran
semipermeabel (permeabel selektif) dari larutan berkadar lebih rendah menuju
larutan berkadar lebih tinggi hingga kadarnya sama. Seluruh membran sel dan
kapiler permeabel terhadap air, sehingga tekanan osmotik cairan tubuh seluruh
kompartemen sama. Membran semipermeabel ialah membran yang dapat dilalui
air (pelarut), namun tidak dapat dilalui zat terlarut misalnya protein.4,6,7
Tekanan osmotik plasma darah ialah 285+5 mOsm/L. Larutan dengan tekanan
osmotik kira-kira sama disebut isotonik (NaCl 0,9%, Dekstrosa 5%, Ringer
laktat). Larutan dengan tekanan osmotik lebih rendah disebut hipotonik (akuades),
sedangkan lebih tinggi disebut hipertonik. 6,7
b. Difusi
Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan
bergerak dari konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah. Tekanan
hidrostatik pembuluh darah juga mendorong air masuk berdifusi melewati poripori tersebut. Jadi difusi tergantung kepada perbedaan konsentrasi dan tekanan
hidrostatik.4,6,7
c. Pompa Natrium Kalium
Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor yang memompa ion
natrium keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa ion
kalium dari luar ke dalam. Tujuan dari pompa natrium kalium adalah untuk
mencegah keadaan hiperosmolar di dalam sel. 4,6,7

13

2.2 Prinsip-Prinsip Terapi Cairan dan Elektrolit


Penatalaksanaan terapi cairan meliputi dua bagian dasar yaitu resusitasi
cairan dan terapi rumatan. Resusitasi cairan ditujukan untuk menggantikan
kehilangan akut cairan tubuh, sehingga seringkali dapat menyebabkan syok.
Terapi ini juga ditujukan untuk ekspansi cepat dari cairan intravaskuler dan
memperbaiki perfusi jaringan. Terapi rumatan berguna untuk memelihara
keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini
digambarkan dalam diagram berikut:

Diagram 1. Terapi Cairan

Pemilihan cairan dimaksudkan untuk mengganti kehilangan air dan


elektrolit yang normal melalui urine, insensible water loss (IWL), dan feses serta
membuat hemodinamik tetap dalam keadaan stabil. Pada penggantian cairan, jenis
cairan yang digunakan didasarkan pada cairan pemeliharaan (jumlah cairan yang
dibutuhkan selama 24 jam), cairan defisit (jumlah kekurangan cairan yang
terjadi), serta cairan pengganti (sekuestrasi, pengganti darah yang hilang, cairan

14

yang hilang melalui fistel, nasogastric tube, dan drainase). Penghitungan untuk
memperkirakan besarnya cairan tubuh yang hilang dapat menggunakan
refraktometer, serum Na+, dan hematokrit (Tabel 1). Sementara kehilangan darah
dapat diperkirakan besarnya melalui beberapa kriteria klinis (Tabel 2).

Tabel 1. Penghitungan perkiraan besar cairan tubuh yang hilang

Refraktometer (Defisit cairan)

Serum Na+(air yang hilang)

BD plasma -1,025 x BB x 4ml

0,6 BB x BB (Plasma Natrium 1) vol.darah normal ((vol.darah


normal x nilai Hct awal)/Hct
terukur)
Ket. Plasma Na = 140

Ket. BD plasma = 0,001

Hematokrit (defisit plasma (ml))

Tabel 2. Derajat kehilangan darah menurut kriteria klinis

Derajat

II

III

IV

Kehilangan darah

<15%

15-30%

30-40%

>40%

<750 ml

750-1500 ml

1500-2000 ml

>2000 ml

Kesadaran

Sedikit cemas

Agak cemas

Cemas, bingung

Bingung, lesu
(letargi)

Frekuensi jantung

<100

>100

>120

>140

Tekanan darah

Normal

Normal

Menurun

Menurun

Tekanan nadi

Normal

Menurun

Menurun

Menurun

15

Pernafasan

14-20

20-30

30-40

>35

Produksi urin
(ml/jam)

>30

20-30

5-15

Tidak berarti

Cairan pengganti
(3:1)

Kristaloid

Kristaloid

Kristaloid dan
darah

Kristaloid dan
darah

Kebutuhan cairan perhari


Kebutuhan rumatan = IWL + urin + cairan tinja.
Kebutuhan cairan perhari bisa diperkirakan berdasarkan energy expenditure:11
1 kcal = 1 ml H2O.
Berdasarkan perhitungan energy expenditure rata-rata pada pasien yang dirawat di
rumah sakit didapatkan kebutuhan cairan perhari sebagai berikut: 10
-

Berat badan

10 kg pertama = 1000 ml/hari.

Berat badan

10 kg kedua

= 1000 ml + 500 ml/hari.

Berat badan

> 20 kg

= 1500 ml + 20 ml H2O/kgBB/hari.

Pada pasien dengan kesulitan kompensasi terhadap kelebihan atau


kekurangan cairan dan elektrolit (kelainan jantung, ginjal) harus dilakukan
perhitungan secara ketat/titrasi.10

16

Faktor-faktor yang bisa meningkatkan kebutuhan cairan:10

Berikut ini tabel yang menunjukkan pilihan cairan pengganti untuk suatu
kehilangan cairan yaitu ;

Tabel 3. Pilihan cairan pengganti

Kehilangan

Kandungan rata-rata

Cairan pengganti yang sesuai

(mmol/L)

Na+

K+

Darah

140

Ringer laktat / RL / NaCl 0,9% / koloid / produk darah

Plasma

140

Ringer asetat / RL / NaCl 0,9% / koloid

Rongga ketiga

140

Ringer asetat / RL / NaCl 0,9%

Nasogastrik

60

10

NaCl 0,45% + KCl 20 mEq/L

17

Sal. Cerna atas

110

5-10

NaCl 0,9% (periksa K+ dengan teratur)

Diare

120

25

NaCl 0,9% + KCl 20 mEq/L

Kebutuhan elektrolit perhari


Perkiraan kebutuhan elektrolit perhari didasarkan pada kebutuhan
metabolisme, atau dengan kebutuhan cairan perhari:
Natrium: 2 - 4 mEq/100mlH2O/hari.
Kalium

: 1 - 2 mEq/100mlH2O/hari.

Klorida : 2 - 4 mEq/100mlH2O/hari.
Walaupun dalam beberapa kondisi bisa terjadi kehilangan banyak
elektrolit melalui kulit atau gastrointestinal, tetapi sebagian besar kehilangan
elektrolit perhari adalah melalui urin. Karena itu pada penderita oliguri
memerlukan elektrolit lebih sedikit untuk penggantiannya sebaliknya pada
penderita poliuri. Pada penderita dengan unusual losses memerlukan monitoring
dan penyesuaian kebutuhan penggantian elektrolitnya.11
Persamaan-persamaan untuk menentukan kebutuhan rumatan cairan dan
elektrolit di atas didasarkan pada beberapa asumsi, yaitu :
-

Rata-rata kehilangan cairan insensible.

Rata-rata energy expenditure dan metabolisme.

Rata-rata kehilangan cairan melalui produksi urin.


-

Dianggap tidak ada sumber kehilangan cairan dan elektrolit dari


tempat lain.

18

Fungsi ginjal dianggap normal.


Pada penderita-penderita yang dirawat seringkali terdapat abnormalitas

dari asumsi-asumsi di atas, karena itu penatalaksanaan cairan dan elektrolit harus
disesuaikan berdasar pada keadaan klinis penderita.12

Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi:


1. Perubahan volume
a. Defisit volume
Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan tubuh
yang paling umum terjadi pada pasien bedah. Penyebab paling umum adalah
kehilangan cairan di gastrointestinal akibat muntah, penyedot nasogastrik, diare
dan drainase fistula. Penyebab lainnya dapat berupa kehilangan cairan pada
cedera jaringan lunak, infeksi, inflamasi jaringan, peritonitis, obstruksi usus, dan
luka bakar. Keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan menimbulkan tanda
gangguan pada susunan saraf pusat dan jantung. Pada kehilangan cairan yang
lambat lebih dapat ditoleransi sampai defisi volume cairan ekstraselular yang
berat terjadi.3

Dehidrasi
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari
natrium menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L) atau
hipernatremik (>150 mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling
sering terjadi (80%), sedangkan dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar
5-10% dari kasus. Dehidrasi Isotonis (isonatremik) terjadi ketika kehilangan
cairan hampir sama dengan konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan

19

cairan dan natrium besarnya relatif sama dalam kompartemen intravaskular


maupun kompartemen ekstravaskular. Dehidrasi hipotonis (hiponatremik) terjadi
ketika kehilangan cairan dengan kandungan natrium lebih banyak dari darah
(kehilangan cairan hipertonis). Secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang
lebih banyak dibandingkan air yang hilang. Karena kadar natrium serum rendah,
air di kompartemen intravaskular berpindah ke kompartemen ekstravaskular,
sehingga menyebabkan penurunan volume intravaskular. Dehidrasi hipertonis
(hipernatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan kandungan natrium lebih
sedikit dari darah (kehilangan cairan hipotonis). Secara garis besar terjadi
kehilangan air yang lebih banyak dibandingkan natrium yang hilang. Karena
kadar natrium tinggi, air di kompartemen ekstraskular berpindah ke kompartemen
intravaskular, sehingga meminimalkan penurunan volume intravaskular.

Tabel 4. Derajat dehidrasi

Dehidrasi

Dewasa

Ringan

4%

Sedang

6%

Berat

8%

Syok

15-20%

Terapi untuk dehidrasi (rehidrasi) dilakukan dengan mempertimbangkan


kebutuhan cairan untuk rumatan, defisit cairan dan kehilangan cairan yang sedang
berlangsung. Strategi untuk rehidrasi adalah dengan memperhitungkan defisit

20

cairan, cairan rumatan yang diperlukan dan kehilangan cairan yang sedang
berlangsung disesuaikan . Cara rehidrasi:
1. Nilai status rehidrasi (sesuai tabel 3 di atas), banyak cairan yang diberikan (D)=
derajat dehidrasi (%) x BB
2. Hitung cairan rumatan (M) yang diperlukan (untuk dewasa 40 cc/kgBB/24 jam
atau rumus holliday-segar)
3. Pemberian cairan:
- 6 jam I = D + M atau 8 jam I = D + M (menurut Guillot)
- 18 jam II = D + M atau 16 jam II = D + M (menurut Guillot)
Pemberian cairan intravena:
Untuk memperbaiki volume sirkulasi efektif, apapun jenis dehidrasinya
(isoosmotik, hipoosmotik, maupun hiperosmotik) cairan awal yang seharusnya
diberikan adalah cairan isotonis. Dalam hal ini yang biasa digunakan adalah
Ringer Laktat, Ringer Asetat , dan NaCl 0,9%. Nilai Strong Ion Difference (SID)
dari NaCl 0,9% adalah 0 (nol), sehingga pasca resusitasi dapat terjadi asidosis
metabolik hiperkloremik. Bila karena perdarahan maka pilihan volume
expander terbaik

adalah

darah.

Pada

beberapa

keadaan

khusus

perlu

dipertimbangkan penggunaan koloid.6,11,12


Untuk memperbaiki volume sirkulasi efektif diberikan 1020 ml/kg BB
dalam 1030 menit. Evaluasi perbaikan klinis meliputi status mental, tanda vital,
dan produksi urin. Bila masih diperlukan bisa diulang. Bila belum membaik
setelah diberikan 60 ml/kgBB, pertimbangkan pemasangan central venous
pressure (CVP) untuk menentukan volume intravaskuler yang lebih tepat.11
Bila belum memungkinkan peroral, total kebutuhan diberikan intravena
dengan mempertimbangkan:

21

1. Sisa defisit (air maupun elektrolit):


Volume: bandingkan berat badannya dengan berat badan sebelum sakit,
perhitungkan jumlah cairan selama resusitasi.
Natrium: bila hiponatremi, perhitungkan defisit natriumnya.
Air: bila hipernatremi, perhitungkan defisit airnya.
2. Kehilangan cairan yang masih berlangsung: Volume dan komposisi
elektrolitnya.
3. Kebutuhan rumatan: Air dan elektrolit (pertimbangkan kondisi yang
meningkatkan/ mengurangi kebutuhannya).
Jumlahkan semua kebutuhan air dan elektrolit dari sisa defisit, kehilangan
cairan yang masih berlangsung (on going losses), dan kebutuhan rumatan.
Kemudian tentukan jenis cairannya berdasarkan jumlah total air dan
elektrolit yang diperlukan dan juga kalori untuk diberikan dalam 24 jam.
Pertimbangkan juga kondisi klinis penderita seperti adanya kelainan jantung dan
kelainan ginjal.11,12

b. Kelebihan volume
Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat
iatrogenic (pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan kelebihan
air dan NaCl ataupun pemberian cairan intravena glukosa yang menyebabkan
kelebihan air) ataupun dapat sekunder akibat insufisiensi renal (gangguan pada
GFR), sirosis, ataupun gagal jantung kongestif. Kelebihan cairan intaseluler dapat
terjadi jika terjadi kelebihan cairan tetapi jumlah NaCl tetap atau berkurang.

22

2. Perubahan konsentrasi
- Hiponatremia
Jika <120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental,
letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar <110 mg/L
maka akan timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh
euvolemia (SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal,
diare, muntah, third space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis).
Keadaan ini dapat diterapi dengan restriksi cairan (Na+ 125 mg/L) atau NaCl
3% sebanyak (140-X)xBBx0,6 mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5 mg/kg.
Salin hipertonis (NaCl 3%) hanya diindikasikan untuk kasus ini.
Dinaikkan bertahap dengan kenaikkan cepat cukup 5-10 mEq/L (cukup hanya
sampai kadar natrium 125 mEq/L) atau gejala klinis hilang, dengan batas
kecepatan tidak lebih dari 3 mEq/L/jam atau 6 ml/kg/jam (yang terbaik 1
mEq/L/jam atau 2 ml/kg/jam). Selanjutnya diberikan lebih lambat dengan cairan
lain yang lebih hipotonis dari NaCl 3% dengan memperhitungkan kebutuhan
natrium rumatan dan sisa defisit natriumnya, total kenaikan perhari tidak lebih
dari 10-15 mEq/L. Salin hipertonis (NaCl 3%) tidak ada tempat untuk hiponatremi
asimtomatik. Untuk menghitung Na serum yang dibutuhkan dapat menggunakan
rumus:
Na= (Na1 Na0) x TBW
Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)
Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan
Na0 = Na serum yang aktual

23

2.3 Jenis Cairan


Cairan dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu kristaloid dan koloid.
Kristaloid merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan inorganik
dilarutkan dalam air. Larutan ini ada yang bersifat isotonik, hipotonik, maupun
hipertonik. Cairan kristaloid memiliki keuntungan antara lain: aman, nontoksik,
bebas reaksi, dan murah. Adapun kerugian dari cairan kristaloid yang hipotonik
dan isotonik adalah kemampuannya terbatas untuk tetap berada dalam ruang
intravaskular.

Kristaloid
Merupakan larutan dengan air (aqueous) yang terdiri dari molekul-molekul
kecil yang dapat menembus membran kapiler dengan mudah. Biasanya volume
pemberian lebih besar, onset lebih cepat, durasinya singkat, efek samping lebih
sedikit.
Cairan kristaloid dibagi atas cairan elektrolit (NaCl 0.9%, Ringer Laktat,
Ringer asetat, dll) dan non-elektrolit (desktrose 5%, 10%, dll). Kristaloid yang
mengandung elektrolit umumnya bersifat isoosmolar/isotonik, tidak menyebabkan
reaksi imun, mengisi ruang ekstraseluler, murah dan mudah diperoleh. Cairan
kristaloid isotonis akan mudah melewati dinding endotel kapiler tetapi tidak
mudah melewati dinding sel. Pemberian infus cairan ini akan berakhir di ruang
interstisial. Kristaloid non elektrolit umumnya mengisi ruang intraseluler.
Dekstrose 5% dapat dengan mudah melewati dinding endotel kapiler dan dinding
sel. Pemberian infus dekstrose 5% akan berakhir di dalam sel dimana akan segera
mengalami metabolisme menjadi H2O dan CO2.
Penggunaan cairan NaCl 0.9% dalam jumlah yang besar dapat
menyebabkan timbulnya asidosis hiperkloremik, sedangkan penggunaan cairan
ringer laktat dengan jumlah besar dapat menyebabkan alkalosis metabolik yang
disebabkan adanya peningkatan produksi bikarbonat akibat metabolisme laktat.

24

Larutan dekstrose 5% sering digunakan jika pasien memiliki gula darah


yang rendah atau memiliki kadar natrium yang tinggi. Namun penggunaannya
untuk resusitasi dihindarkan karena komplikasi yang diakibatkan antara lain
hiperomolalitas-hiperglikemik, diuresis osmotik, dan asidosis serebral.
Mekanisme secara umum larutan kristaloid menembus membran kapiler
dari kompartemen intravaskuler ke kompartemen interstisial, kemudian
didistribusikan ke semua kompartemen ekstra vaskuler. Hanya 25% dari jumlah
pemberian awal yang tetap berada intravaskuler, sehingga penggunaannya
membutuhkan volume 3-4 kali dari volume plasma yang hilang. Bersifat isotonik,
maka efektif dalam mengisi sejumlah cairan kedalam pembuluh darah dengan
segera dan efektif untuk pasien yang membutuhkan cairan segera.
Cairan kristaloid bersifat mudah keluar dari intravaskuler, terutama pada
kasus dimana terjadi peningkatan resistensi kapiler seperti pada sepsis. Pada
kondisi tersebut, penting untuk dipikirkan penggantian cairan yang memiliki
molekul lebih besar, yaitu jenis koloid.

Tabel 5. Komposisi Cairan Kristaloid

Solution

Glucose

Sodium

Chloride

Potassium

Kalsium

Lactate

(mg/dl)

(mEq/L)

(mEq/L)

(mEq/L)

(mEq/L)

(mEq/L)

(mOsmol/
L)

25

5%
Dextrose in
water

5000

D5 NS

5000

77

77

406

D5 NS 0,9%
NaCl

5000

154

154

561

154

154

308

130

109

4.0

3.0

28

273

130

109

4.0

3.0

28

525

855

855

Ringer
Laktat

D5 RL

5000

5% NaCl

253

1171

Koloid
Koloid adalah cairan yang mengandung partikel onkotik dan karenanya
menghasilkan tekanan onkotik. Koloid dibagi atas koloid alamiah (albumin
manusia,

plasma

protein,

dll)

dan

buatan

(Gelatin,

polisakarida,

HES/Hydroxyethyl starch). Koloid memiliki berat molekul lebih besar dari 35.000
dalton. Tujuan terapi koloid adalah untuk mengganti kehilangan cairan
intravaskuler, sebab tidak dapat melewati dinding endotel kapiler kecuali dalam
keadaan patologis misalnya pada keadaan kombusio.
Dalam keadaan normal koloid akan menetap dan menambah volume
intravaskular untuk jangka waktu yang lama. Meskipun begitu, namun koloid
yang mempunyai tekanan onkotik lebih besar daripada plasma juga akan menarik
cairan ke dalam ruang intravaskular. Ini dikenal sebagai ekspander plasma, karena
mengekspansikan volume plasma lebih dari pada volume yang diberikan.

26

a. Albumin
Albumin merupakan larutan koloid murni yang berasal dari plasma
manusia. Albumin dibuat dengan pasteurisasi pada suhu 60 oC dalam 10 jam untuk
meminimalisir resiko transmisi virus hepatitis B atau C atau pun virus imuno
defisiensi. Waktu paruh albumin dalam plasma adalah sekitar 16 jam, dengan
sekitar 90% tetap bertahan dalam intravaskular 2 jam setelah pemberian.

b. Dekstran
Dekstran merupakan semisintetik koloid yang secara komersial dibuat dari
sukrose oleh mesenteroides leukonostok strain B512 dengan menggunakan enzim
dekstran sukrosa. Ini menghasilkan dekstran berat molekul (BM) tinggi yang
kemudian dilengketkan oleh hidrolisis asam dan dipisahkan dengan fraksionasi
etanol berulang untuk menghasilkan produk akhir dengan kisaran BM yang relatif
sempit. Dekstran untuk pemakaian klinis tersedia dalam dekstran 10 (BM 10.000)
dan dekstran 40 (BM 40.000) dicampur dengan garam faal, dekstrosa atau Ringer
laktat. Dekstran 10 digunakan pada syok hipovolemik dan untuk profilaksis
trombo embolisme dan mempunyai waktu paruh intravaskular sekitar 6 jam.
Pemakaian dekstran untuk mengganti volume darah atau plasma hendaknya
dibatasi sampai 1 liter (1,5 gr/kgBB) karena risiko terjadi perdarahan abnormal.
Batas dosis dekstran yaitu 20 ml/kgBB/hari. Sekitar 70% dosis dekstran 40 yang
diberikan akan dieksresikan ke dalam urine dalam 24 jam. Molekul- molekul yang
lebih besar dieksresikan lewat usus atau dimakan oleh sel-sel sistem
retikoloendotelial.Volume

dekstran

melebihi

dapat

mengganggu

hemostasis.Disfungsi trombosit dan penurunan fibrinogen dan faktor VIII


merupakan alasan timbulnya perdarahan yang meningkat. Reaksi alergi terhadap
dekstran telah dilaporkan, tetapi kekerapan reaksi anafilaktoid mungkin kurang

27

dari 0,02 %. Dekstran 40 hendaknya jangan dipakai pada syok hipovolemik


karena dapat menyumbat tubulus ginjal dan mengakibatkan gagal ginjal akut.

c. Gelatine
Gelatin dibuat dengan jalan hidrolisis kolagen sapi. Preparat yang umum
dipasaran adalah gelatin yang mengalami suksinasi seperti Gelofusin dengan
pelarut NaCl isotonik. Gelatin dengan ikatan urea-poligelin (Haemaccel) dengan
pelarut NaCl isotonik dengan Kalium 5,1 mmol/l dan Ca 6,25 mmol/ L.
Pemberian gelatin agaknya lebih sering menimbulkan reaksi alergik daripada
koloid yang lain. Berkisar dari kemerahan kulit dan pireksia sampai anafilaksis
yang mengancam nyawa. Reaksi-reaksi tersebut berkaitan dengan pelepasan
histamine yang mungkin sebagai akibat efek langsung gelatin pada sel mast.
Gelatin tidak menarik air dari ruang ekstravaskular sehingga bukan
termasuk ekspander plasma seperti dekstran.

Larutan gelatin terutama

diekskresikan lewat ginjal dalam urin, sementara itu gelatin dapat menghasilkan
diuresis yang bagus. Sebagian kecil dieliminasikan lewat usus. Karena gelatin
tidak berpengaruh pada sistem koagulasi, maka tidak ada pembatasan dosis.
Namun, bila terlalu banyak infus, pertimbangkan adanya efek dilusi. Gelatin dapat
diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal bahkan pada pasien yang
menjalani hemodialisis. Indikasi gelatin yaitu penggantian volume primer pada
hipovolemia, stabilisasi sirkulasi perioperatif. Sedangkan kontraindikasi adalah
infark miokard yang masih baru terjadi, gagal jantung kongestif dan syok
normovolemik.

d. HES
Senyawa kanji hidroksietil atau Hydroxyethyl starch (HES) merupakan

28

suatu kelompok koloid sintetik polidisperse yang mempunyai glikogen secara


struktural. Laporan-laporan tentang HES yang memperlihatkan koagulasi darah
yang terganggu dan kecenderungan perdarahan yang meningkat sebagian besar
berdasarkan pemakaian preparat HES berat molekul tinggi ( HMW-HES ). Pada
tahun 2013, EMA (European Medicine Agency) PRAC (Pharmacovigilance Risk
Assesment Committee) mengeluarkan peringatan bahwa HES tidak lagi
direkomendasikan untuk digunakan pada pasien dengan sepsis atau luka bakar
atau penyakit kritis terkait peningkatan resiko gagal ginjal dan mortalitas.Waktu
paruh dari 90% partikel HES adalah 17 hari.
Seperti semua koloid lainnya, HES juga berkaitan dengan reaksi
anafilaktoid yang ringan dengan kekerapan kira-kira 0,006 %. Indikasi pemberian
HES adalah terapi dan profilaksis defisiensi volume (hipovolemia) dan syok
(terapi penggantian volume) berkaitan dengan pembedahan (syok hemoragik),
cedera (syok traumatik), infeksi (syok septik), kombustio (syok kombustio).
Sedangkan kontraindikasi adalah gagal jantung kongestif berat, gagal ginjal
(kreatinin serum >2 mg/dL dan >177 mikromol/L), gangguan koagulasi berat
(kecuali kedaruratan yang mengancam nyawa). Dosis penggunaan HES adalah 20
ml/kgBB/hari.

Perbandingan Kristaloid dan Koloid


Pertanyaan apakah kristaloid atau koloid yang terbaik untuk resusitasi
terus merupakan bahan diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah dikaji untuk
resusitasi, antara lain: NaCl 0,9%, Larutan Ringer laktat, NaCl hipertonik,
albumin, fraksi protein murni, plasma beku segar, hetastarch, pentastarch, dan
dekstran 70.
Bila problema sirkulasi utama pada syok adalah hipovolemia, maka terapi
hendaknya ditujukan untuk restorasi volume darah dengan cairan resusitasi ideal.
Cairan ideal adalah yang dapat membawa O 2. Larutan koloid yang ada terbatas

29

karena ketidakmampuan membawa O2. Darah lengkap merupakan ekspander


volume fisiologis dan komplit, namun terbatas masa simpan yang tidak lama,
fluktuasi dalam penyimpanannya, risiko kontaminasi viral, reaksi alergi dan
mahal.
Biarpun larutan koloid tidak dapat membawa O2, namun sangat
bermanfaat karena mudah tersedia dan risiko infeksi relatif rendah.resusitasi
hemodinamik lebih cepat dilaksanakan dengan koloid karena larutan koloid
mengekspansikan volume vaskular dengan lebih sedikit cairan dari pada larutan
kristaloid. Sedangkan larutan kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan
hanya bagian tetap tinggal dalam plasma pada akhir infus. Larutan kristaloid
juga mengencerkan protein plasma sehingga TOK menurun, yang memungkinkan
filtrasi cairan ke interstisiel. Resusitasi cairan kristaloid dapat pula berakibat
pemberian garam dan air yang berlebihan dengan konsekuensi edema interstitial.
Pada kasus perdarahan yang cukup banyak, tetapi yang tidak memerlukan
transfusi, dapat dipakai koloid dengan waktu paruh yang lama misalnya: Haes
steril 6 %.
Bila pasien memerlukan transfusi, selama menunggu darah, kita dapat
memberi koloid dengan BM sekitar 40.000 misalnya: Expafusin, Plasmafusin,
Haemaccel, Gelafundin atau Dextran L. Dengan begitu, mana kala darah siap
untuk ditransfusikan sekitar 2 -3 jam kemudian, kita dapat melakukannya
langsung, tanpa khawatir terjadi kelebihan cairan dalam ruang intravaskular.

Tabel 6. Perbandingan Kristaloid dan Koloid

Keunggulan

Kristaloid

Koloid

Lebih mudah tersedia dan murah.

Ekspansi volume plasma tanpa


ekspansi interstitial

Komposisi serupa dengan plasma (Ringer

30

Kekurangan

asetat/ringer laktat).

Ekspansi volume lebih besar

Bisa disimpan di suhu kamar.

Durasi lebih lama

Bebas dari reaksi anafilaktik.

Oksigenasi jaringan lebih baik

Komplikasi minimal.

Insiden edema paru dan/atau


edema sistemik lebih rendah

Edema bisa mengurangiekspansibilitas dinding


dada
Oksigenasi
jaringan
terganggukarena
bertambahnya jarak kapiler dan sel
Memerlukan volume 4 kali lebih banyak

Anafilaksis
Koagulopati
Albumin bisa memperberat
depresi miokard pada pasien
syok

Resusitasi dengan kristaloid akan menyebabkan ekspansi ke ruang


interstisial, sedangkan koloid yang hiperonkotik akan cenderung menyebabkan
ekspansi ke volume intravaskuler dengan menarik cairan dari ruang interstitial.
Koloid isoonkotik akan mengisi ruang intravaskuler tanpa mengurangi volume
interstisial.
Secara fisiologis kristaloid akan lebih menyebabkan edema dibandingkan
koloid. Pada keadaan permeabilitas yang meningkat, koloid ada kemungkinan
akan merembes ke dalam ruang interstisial dan akan meningkatkan tekananan
onkotik plasma. Peningkatan tekanan onkotik plasma ini dapat menghambat
kehilangan cairan dari sirkulasi.
Keunggulan koloid terhadap respons metabolik adalah meningkatkan
pengiriman oksigen ke jaringan (DO2) dan konsumsi oksigen (VO2) serta
menurunkan laktat serum. DO2 dan VO2 dapat menjadi indikator untuk
mengetahui prognosis pasien.

BAB III
KESIMPULAN

31

Pada fetus, cairan ekstraseluler lebih banyak dari intraseluler dan jumlah
cairan ekstraseluler menurun seiring bertambahnya usia. Pada bayi usia < 1 tahun,
cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan, dan pada bayi usia > 1 tahun
mengandung air sebanyak 70-75%. Seiring dengan pertumbuhan, presentase
jumlah cairan terhadap berat badan berangsur-angsur turun.
Anak-anak memerlukan cairan dan elektrolit lebih banyak dari pada
dewasa, karena itu mudah terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Hal ini karena metabolic rate yang tinggi, insensible loss yang tinggi, dan
kemampuan konsentrasi urin rendah. Tetapi kemampuan bayi-bayi mengekskresi
air juga rendah karena immaturitas ginjal (usia < 1 tahun) dan mempunyai
kecenderungan ADHnya tinggi. Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan
menjadi perubahan volume (defisit dan kelebihan volume) dan perubahan
konsentrasi. Kebutuhan cairan perhari dihitung menggunakan kebutuhan rumatan
= IWL + urin + cairan tinja.
Cairan tubuh terdistribusi dalam ekstrasel dan intrasel yang dibatasi
membran sel. Adanya tekanan osmotik yang isotonik menjaga difusi cairan keluar
sel atau masuk ke dalam sel. Terapi cairan parenteral digunakan untuk
mempertahankan atau mengembalikan volume dan komposisi normal cairan
tubuh. Dalam terapi cairan harus diperhatikan kebutuhannya sesuai usia dan
keadaan pasien, serta cairan infus itu sendiri. Jenis cairan yang bisa diberikan
untuk terapi cairan adalah cairan kristaloid dan cairan koloid.

32

DAFTAR PUSTAKA

1. Kavanagh BP, Meyer LJ. Normalizing physiological variables in acute illness:


five reasons for caution. Intensive Care Med. 2005, 31:1161-1167.
2. Paschall JA, Melvin T. Fluid and electrolyte therapy. Dalam: Holbrook PR.
Textbook of pediatric critical care. Philadelphia: WB Saunders, 1993: 653-702.
3. Barkin RM, Rosen P. Emergency pediatrics: A guide to ambulatory care, 4th
ed. St Louis: Mosby, 1994: 69-73.
4. Souid AK, Schneiderman H. Principles of pediatric fluid therapy. Diakses dari
http://www.ec.hscsyr.edu/peds/fluid_manual, tanggal 27 Nopember 2000.
5. Ambalavanan N. Fluid, electrolyte, and nutrition management of the newborn.
Diakses dari wysiwyg://213/http://www.emedicine.com/ped/topic2554, tanggal
23 Mei 2002.
6. Stewart PA. How to understand acid-base. Diakses dari http://www.
qldanaesthesia.com, 20 Mei 2003
7. Oh MS, Carroll HJ. Regulation of Intracellular and Extracellular Volume.
Dalam: Arieff AI, DeFronzo RA. Fluid, electrolyte, and acid-base disorders,
2nd ed. New York: Churchill Livingstone, 1995: 1-28.
8. Laiken N, Fanestil DD. Body fluids and renal function. Dalam: West JB. Best
and taylors. Physiological basis of medical practice, 12th ed. Baltimore:

33

Williams & Wilkins, 1990: 406-418.


9. Badr K, Ichikawa L. Physical and biological properties of body fluid and
electrolytes. Dalam: Ichikawa L. Pediatric textbook of fluids and electrolytes.
Baltimore: Williams & Wilkins, 1990: 3-12.
10. Pearson GA. Handbook of Paediatric Intensive Care. London: WB Saunders,
2002: 83-97.
11. Symons. Clinical fluid and electrolyte management. Diakses dari
www.seattle- childrens.org/health care professionals/pdf/clinical fluid.pdf, 20
Maret 2006.
12. Carcillo JA, Fields AI. Clinical practice parameters for hemodynamic support
of pediatric and neonatal patiens in septic shock. Crit Care Med 2002;
30:1365-1378.
13. Wood EG, Lynch RE. Electrolyte management in pediatric critical illness.
Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ. Pediatric critical care, 3th ed. Elsevier:
Mosby, 2006: 939-957.

34

Anda mungkin juga menyukai