Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan hidayah-Nya lah laporan hasil kelompok Etika dan Hukum Kesehatan" ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga
terselesaikannya makalah ini. Pertama-tama kami ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. drg. Very Asfrizal selaku Penanggungjawab tutor blok 1 modul 2
2. Teman-teman
kelompok
mahasiswa
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Mulawarman
khususnya program studi kedokteran gigi angkatan 2013, segala fasilitas yang
telah kami gunakan untuk menambah pengetahuan tentang modul kami ini, serta
pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Kami sengaja menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas kuliah
dengan sistem PBL. Dan tentunya kami selaku penyusun juga mengharapkan agar laporan ini
dapat berguna baik bagi penyusun sendiri maupun bagi pembaca di kemudian hari.
Samarinda,
Januari
2016
Hormat kami,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................................................
BAB 1..............................................................................................................................................
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................................
1.2 Tujuan...................................................................................................................................
1.3 Manfaat.................................................................................................................................
BAB 2..............................................................................................................................................
2.2.1 Undang-Undang Dalam Kedokteran Gigi......................................................................
2.2.2 Etika dan Moral Kesehatan ..........................................................................................
2.2.3 Ruang Lingkup etika dan Moral...................................................................................
BAB 3............................................................................................................................................
3.1 Kesimpulan.........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui beretika dalam bidang kesehatan sangatlah penting,
tidak hanya dalam
hal pekerjaan
namun dalam
berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk
menilai tindakan yang baik dan buruk.
Sama seperti etika, hukum dalam kesehatan juga sangat penting dan sangat
diperlukan, tidak hanya dibidang kedokteran saja namun disegala aspek kehidupan
yang ada. Karena mampu meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Karena di zaman sekarang ini kesehatan itu adalah hal yang sangat tak ternilai
harganya.
1.2 Tujuan
Mahasiswa mampu menjelaskan :
1. Menjelaskan Undang-Undang Terbaru dalam Kedokteran Gigi
2. Menjelaskan Etika dan Moral Kesehatan
3. Pelanggaran Etik yang terjadi di dalam Praktek Kedokteran Gigi
1.3 Manfaat
Menyadarkan peserta didik akan pentingnya etika, kode etik, hukum kesehatan dan
moral serta sanksi-sanksi hukum yang berlaku bila melanggarnya. Membuat kita
mengerti akan pentingnya Undang-undang di dalam kedokteran gigi dan sebagai
perlindungan ketika dokter gigi terkena masalah
BAB II
ISI
Bab I
Ketentuan Umum
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
Praktek kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi
terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan;
Dokter dan dokter gigi adalah dokter , dokter spesialis dokter gigi, dan dokter spesialis
lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran baik di dalam maupun luar negeri yang
diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Konsil Kedokteran Indonesia adalah suatu badan otonom, mendiri, nonstructural dan Konsil
kedokteran Gigi.
Sertifikat Konpentensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter
atau dokter gigi untuk menjalankan prektek kedokteran si seluruh Indonesia setelah lulus uji
kompetensi.
Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap dokter dan dokter gigi yang telah memiliki
sertifikat konpetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara
hukum untuk melakukan tindakan profesinya.
Regisrasi adalah pencatatan ulang terhadap dokter dan doktr gigi yang telah diregistrasi
setelah memenuhi persyaratan yang berlaku.
Surat izin praktik adalah bukti tertulis yang diberikan pemerintah kepada dokter dan dokter
gigi yang menjalankan praktik kedokteran setelah memenuhi persyaratan. Surat tanda
registrasi dokter dan dokter gigi adalah bukti tertulis yang diberika oleh Konsil Kedokteran
Indonesia kepada dookter dan dokter gigi yang telah diregistrasi. Sarjana pelayanan
kesehatan adalah tempat penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan yang dapat digunakan
untuk praktik kedokteran atau kedoktaran gigi.
Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatan untuk memperoleh
pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada
dokter atau dokter gigi.
Profesi kedokeran atau kedoketran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran
gigi yang dilaksanakan berdasarkan auatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui
pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat.
BAB VII
Penyelenggaraan Praktik Kedokteran
Bagian Kesatu
Surat Izin Praktik
Pasal 36
Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib
memiliki surat izin praktik.
Pasal 37
Surat izin praktik sebagaiman dimaksudkan dalam Pasal 36 dikeluarkann oleh pejabat
kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi
dilaksanakan. Suatu izin peraktik dokter atau dokter gigi sebagai mana dimaksud pada ayat
(1) hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat. Suatu surat izin praktik hanya
berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik.
Pasal 38
Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dokter atau
dokter gigi harus :memiliki surat tanda registrasi kedokteran atau surat tanda registrasi dokter
gigi yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 31, dan Pasal 32;
Mempunyai tempat praktik; danMemiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
Surat izin praktik masih tetap berlaku sepanjang :Surat tanda registrasi dokter atau surat
tanda registrasi dokter gigi masih berlaku; danTempat izin praktik masih sesuai dengan yang
tercantum dalam surat izin praktik.Ketentuan lebih lanjut mengenai surat izin paraktik diatur
Peraturan Materi.
Bagian Kedua
Palaksanaan Praktik
Pasal 39
Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau doktrer
gigi dengan pasien dalam upaya untuk memelihara kesehatan, pencegahan penyakit,
meningkatkan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Pasal 40
Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan menyelenggarakan
praktik kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 wajib memasang papan nama
praktik kedokteran. Dalam hal dokter atau dokter gigi berpraktik disarana pelayanan
kesehatan, pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib membuat daftar dokter atau dokter
gigi yang melakukan praktik kedokteran.
Pasal 42
Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter atau dokter gigi yang
tidak memiliki surat izin praktik untuk melakukan praktik kedokteran disarana pelayanan
kesehatan tersebut.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanan praktik kedokteran diatur dengan Peraturan
Menteri.
Bagian Ketiga
Pemberian Pelayanan
Paragaraf 1
Standar Pelayanan
Pasal 44
Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar
pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi. Standar pelayanan sebagaimana pada ayat (1)
dibedakan menurut jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan.Standar pelayanan untuk
dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Mentri.
Paragraf 2
Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi
Pasal 45
Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter
gigi terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan.
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapatkan
penjelasan secara lengkap.
Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
Tujuan tindakan medis yang dilakukan;Alternatif tindakan lain dan resikonya;Risiko dan
komplikasi yang mukin terjadi; danPrognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan.
Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetuajuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan. Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi
Pasal 50
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak:
Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar
profesi dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;
Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
Menerima imbalan jasa.
7
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban:
Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional
serta kebutuhan medis pasien;
Merujuk pasien kedokter atau kedokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kamampuan
yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien
itu meninggal dunia;
Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang
lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran
gigi.
Paragraf 7
Hak dan Kewajiban Pasien
Pasal 52
Pasien, dalam menerima pelayanan para praktik kedokteran, mempunyai hak:
Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud
dalam pasal 45 ayat (3);
Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
Menolak tindakan medis; dan
Mendapat isi rekam medis.
Paragraf 8
Pembinaan
Pasal 54
Dalam rangka terselenggaranya praktik kedokteran yang bermutu dan melidungi masyarakat
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, perlu dilakukan
pembinaan terhadap dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran. Pembinaan
sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dilakukan oleh Konsil Kedokteran Indonesia
bersama-sama dengan organisasi profesi.
BAB VIII
8
sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda
registrasi dokter gigi;Bagi sarjana hukum, pernah melakukan praktik dibidang hukum paling
sedikit 10 (sepuluh) tahundan memiliki pengetahuan di bidang hukum kesehatan; danCakap,
jujur, memiliki moral, etika, dan integritas yang tinggi serta memiliki reputasi yang baik.
Pasal 60
Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ditetapkan oleh Menteri atas
usul organisasi profesi.
Pasal 61
Masa bakti keanggotaan Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 adalah 5 (lima) kali masa jabatan.
BAB X
Ketentuan Pidana
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa
memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan
praktiknkedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
dengan paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
palling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 76
Setiap dokter dan dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa
memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
10
Pasal 77
Setiap orang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuklain yang
menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau
dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 78
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara-cara lain dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter
atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 73 ayat (20 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda
paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paloing banyak Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:
Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud pada Pasal 41 ayat (1);
Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagai mana dimaksud dalam Pasal 46 ayat
(1); atau
Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagai mana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e.
Pasal 80
Setiap orang yang dengan sengaja memperkejakan dokter atau dokter gigi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
atau dengan paling banyak Rp. 300.000.00,00 (tigaratus juta rupiah).
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi,
maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2009
11
Tentang Kesehatan
Bab I
Ketentuan Umum
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial
yangmemungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
2. Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga,
perbekalankesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan
kesehatan danteknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan yang dilakukanoleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
3.
Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan
untukmenyelenggarakan upaya kesehatan.
4. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.
5. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang
tidakmengandung
obat
yang
digunakan
untuk
mencegah,
mendiagnosis,
tubuh.
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatanserta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di
bidangkesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
12
tersebutyang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat
diterapkansesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
10. Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau metode yang ditujukan
untukmembantu
menegakkan
diagnosa,
pencegahan,
dan
penanganan
permasalahankesehatan manusia.
11. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang
dilakukansecara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara
danmeningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan
penyakit,peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan
olehpemerintah dan/atau masyarakat.
12. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatanpelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat
promosikesehatan.
13. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap
suatumasalah kesehatan/penyakit.
14. Pelayanan kesehatan kuratif adalah
suatu
kegiatan
dan/atau
serangkaian
13
19. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
kesehatan.
BAB II
Asas Dan Tujuan
Pasal 2
Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan,
keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan,
gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama.
Pasal 3
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif
secara sosial dan ekonomis.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 4
Setiap orang berhak atas kesehatan.
Pasal 5
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di
bidang kesehatan.
(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau.
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri
pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Pasal 6
Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.
14
Pasal 7
Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang
seimbang dan bertanggung jawab.
Pasal 8
Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan
dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 9
(1) Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi upaya
kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan
kesehatan.
Pasal 10
Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh
lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial.
Pasal 11
Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan,
dan memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 12
Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain
yang menjadi tanggung jawabnya.
Pasal 13
(1) Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.
(2) Program jaminan kesehatan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bab IV
Tanggung Jawab Pemerintah
15
Pasal 14
(1) Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan,
membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan
terjangkau oleh masyarakat.
(2) Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikhususkan pada
pelayanan publik.
Pasal 15
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik
fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggitingginya.
Pasal 16
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil
dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggitingginya.
Pasal 17
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap informasi, edukasi, dan
fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya.
Pasal 18
Pemerintah bertanggung jawab memberdayakan dan mendorong peran aktif masyarakat
dalam segala bentuk upaya kesehatan.
Pasal 19
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang
bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.
Pasal 20
(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat
melalui sistem jaminan social nasional bagi upaya kesehatan perorangan.
(2) Pelaksanaan sistem jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
16
BAB V
Sumber Daya Di Bidang Kesehatan
Bagian Kesatu
Tenaga Kesehatan
Pasal 21
(1) Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan
pengawasan mutu tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan
pengawasan mutu tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
(3) Ketentuan mengenai tenaga kesehatan diatur dengan Undang-Undang.
Pasal 22
(1) Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum.
(2) Ketentuan mengenai kualifikasi minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 23
(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.
(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin
dari pemerintah.
(4) Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.
(5) Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 24
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan
kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar
prosedur operasional.
17
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur oleh organisasi profesi.
(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar
prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 25
(1) Pengadaan dan peningkatan mutu tenaga kesehatan diselenggarakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat melalui pendidikan dan/atau pelatihan.
(2) Penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Ketentuan mengenai penyelengaraan pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan untuk pemerataan pelayanan
kesehatan.
(2) Pemerintah daerah dapat mengadakan dan mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai
dengan kebutuhan daerahnya.
(3) Pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan memperhatikan:
a. jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat;
b. jumlah sarana pelayanan kesehatan; dan
c. jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja pelayanan kesehatan yang ada.
(4) Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
tetap memperhatikan hak tenaga kesehatan dan hak masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang merata.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan tenaga kesehatan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 27
(1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
(2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban mengembangkan dan
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.
18
(3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
(1) Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib melakukan pemeriksaan kesehatan
atas permintaan penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh negara.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kompetensi dan
kewenangan sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki.
Pasal 29
Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya,
kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.
BAB VI
Upaya Kesehatan
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 46
Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat,
diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya
kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat.
Pasal 47
Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan
berkesinambungan.
Pasal 48
(1) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
dilaksanakan melalui kegiatan:
a. pelayanan kesehatan;
b. pelayanan kesehatan tradisional;
c. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;
d. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;
e. kesehatan reproduksi;
19
f. keluarga berencana;
g. kesehatan sekolah;
h. kesehatan olahraga;
i. pelayanan kesehatan pada bencana;
j. pelayanan darah;
k. kesehatan gigi dan mulut;
l. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran;
m. kesehatan matra;
n. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan;
o. pengamanan makanan dan minuman;
p. pengamanan zat adiktif; dan/atau
q. bedah mayat.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung oleh
sumber daya kesehatan.
Pasal 49
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab atas
penyelenggaraan upaya kesehatan.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial, nilai, dan norma
agama, sosial budaya, moral, dan etika profesi.
Pasal 50
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab meningkatkan dan
mengembangkan upaya kesehatan.
(2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memenuhi
kebutuhan kesehatan dasar masyarakat.
(3) Peningkatan dan pengembangan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan pengkajian dan penelitian.
(4) Ketentuan mengenai peningkatan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pad ayat (1)
dilaksanakan melalui kerja sama antar-Pemerintah dan antarlintas sektor.
Pasal 51
(1) Upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggitingginya bagi individu atau masyarakat.
20
(2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada standar pelayanan
minimal kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pelayanan Kesehatan
Paragraf Kesatu
Pemberian Pelayanan
Pasal 52
(1) Pelayanan kesehatan terdiri atas:
a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan
b. pelayanan kesehatan masyarakat.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan dengan
pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Pasal 53
(1) Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan
memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga.
(2) Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat.
(3) Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien disbanding kepentingan lainnya.
Pasal 54
(1) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman,
bermutu, serta merata dan nondiskriminatif.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan
pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pasal 55
(1) Pemerintah wajib menetapkan standar mutu pelayanan kesehatan.
21
(2) Standar mutu pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Paragraf Kedua
Perlindungan Pasien
Pasal 56
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan
pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami
informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam
masyarakat yang lebih luas;
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat.
(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 57
(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan
kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:
a. perintah undang-undang;
b. perintah pengadilan;
c. izin yang bersangkutan;
d. kepentingan masyarakat; atau
e. kepentingan orang tersebut.
Pasal 58
(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau
kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
22
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga
kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan
seseorang dalam keadaan darurat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Pelayanan Kesehatan Tradisional
Pasal 59
(1) Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional terbagi menjadi:
a. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan; dan
b. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan.
(2) Pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibina dan diawasi
oleh Pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak
bertentangan dengan norma agama.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jeni pelayanan kesehatan tradisional
sebagaimana dimaksudpada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 60
(1) Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat
dan teknologi harus mendapat izin dari lembaga kesehatan yang berwenang.
(2) Penggunaan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma
agama dan kebudayaan masyarakat.
Pasal 61
(1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan,
meningkatkan dan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional yang dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
(2) Pemerintah mengatur dan mengawasi pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan didasarkan pada keamanan, kepentingan, dan perlindungan
masyarakat.
23
Bagian Keempat
Peningkatan Kesehatan dan Pencegahan Penyakit
Pasal 62
(1) Peningkatan kesehatan merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk mengoptimalkan kesehatan
melalui kegiatan penyuluhan, penyebarluasan informasi, atau kegiatan lain untuk menunjang
tercapainya hidup sehat.
(2) Pencegahan penyakit merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk menghindari atau mengurangi risiko, masalah,
dan dampak buruk akibat penyakit.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin dan menyediakan fasilitas untuk
kelangsungan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit
diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Penyembuhan Penyakit dan Pemulihan Kesehatan
Pasal 63
(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan diselenggarakan untuk
mengembalikan status kesehatan, mengembalikan fungsi tubuh akibat penyakit dan/atau
akibat cacat, atau menghilangkan cacat.
(2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengendalian,
pengobatan, dan/atau perawatan.
(3) Pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu
kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan
kemanfaatan dan keamanannya.
(4) Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu
keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu.
24
(5) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan atau berdasarkan cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Pasal 64
(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi
organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan
rekonstruksi, serta penggunaan sel punca.
(2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
bentuk perbuatan.
Menurut Martin [1993], etika didefinisikan sebagai "the discipline which can
act as the performance index or reference for our control system". Dengan
demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standard yang akan
25
Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari
untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau
tindakan manusia.
Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara
dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in
human nature) yang terikat dengan pengertian baik dan buruk suatu
tingkah laku atau perbuatan manusia.
Secara teoritis, etika mempunyai pengertian sebagai berikut :
Secara etimologis, etika berasal dari kata Yunani ethos (jamaknya : ta etha),
yang berarti adat-istiadat atau kebiasaan. Dalam ari ini, etika berkaitan
dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri
seseorang atau masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan
filsafat
etika
mencari
keterangan
yang
sedalam-dalamnya.
Etika berkaitan dengan nilai-nilai hidup yang dianut oleh manusia beserta
pembenarannya serta hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia
(Gering supriadi, 1998:24).
Etika terdapat dua macam (Keraf: 1991: 23), sebagai berikut:
1. Etika Deskriptif
Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku
manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu
yang bernilai. Artinya Etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa
26
adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait
dengan situasi dan realitas yang membudaya. Da-pat disimpulkan bahwa tentang
kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang
dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertindak secara
etis.
2. Etika Normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya
dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan
tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika Normatif merupakan normanorma yang dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati
dan berlaku di masyarakat.
b. Definisi Moral
Secara kebahasaan perkataan moral berasal dari ungkapan bahasa latin mores yang
merupakan bentuk jamak dari perkataan mos yang berarti adat kebiasaan. Dalam
kamus umum bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penetuan baik buruk
terhadap perbuatan dan kelakuan.
Moral dalam istilah dipahami juga sebagai :
1. prinsip hidup yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk
2. kemampuan untuk memahami perbedaan benar dan salah.
3. ajaran atau gambaran tentang tingkah laku yang baik
Moral ialah tingkah laku yang telah ditentukan oleh etika. Tingkah laku yang
telah ditentukan oleh etika sama ada baik atau buruk dinamakan moral.
Moral yang menyangkut etika terbagi menjadi dua yaitu :
a. Baik; segala tingkah laku yang dikenal pasti oleh etika sebagai baik
b. Buruk; tingkah laku yang dikenal pasti oleh etika sebagai buruk.
Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan
suatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari.Moral berkaitan dengan
kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang
salah.
Dengan demikian moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.
Moral dapat diukur secara subyektif dan obyektif. Kata hati atau hati nurani
memberikan ukuran yang subyektif, adapun norma memberikan ukuran yang
27
oleh manusia.
Dari segi sumber, etika bersumber dari akal pikiran dan filsafat.Sebagai hasil
pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, tidak absolute, dan tidak punya
universal tapi terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan
sebagainya.
Dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu, dan penetap
28
Kedua, akhlak, etika, moral dan susila merupakan prinsip atau aturan hidup
manusia untuk menakar martabat dan harakat kemanusiaannya. Sebaliknya
semakin rendah kualitas akhlak, etika, moral dan susila seseorang atau
tingkah
laku
yang
perbuatan manusia
dinilai oleh orang lain
Menyangkut norma-norma
Menyangkut perilaku
Etika menetukan moral / etika Moral ditentukan oleh etika
berada di atas moral
Merupakan suatu aturan yang Pemikiran kritis atau dasar
mengacu
kepada
baik
dan penilaian
dari
pandangan
29
Agama seseorang adalah ungkapan dari sikap akhirnya pada alam semesta, makna,
dan tujuan singkat dari seluruh kesadarannya pada segala sesuatu, (Edward Caird)
Agama hanyalah upaya mengungkapkan realitas sempurna tentang kebaikan
melalui setiap aspek wujud kita (F.H Bradley)
Manusia adalah makhluk yang berfikir dan merasa serta berkehendak dimana
perilakunya mencerminkan apa yang difikir, yang dirasa dan yang dikehendakinya.
Manusia juga makhluk yang bisa menjadi subyek dan obyek sekaligus, disamping ia
dapat menghayati perasaan keagamaan dirinya, ia juga dapat meneliti keberagamaan
orang lain. Tetapi apa makna agama secara psikologis pasti berbeda-beda, karena
agama menimbulkan makna yang berbeda-beda pada setiap orang. Bagi sebagian
orang, agama adalah ritual ibadah, seperti salat dan puasa, bagi yang lain agama adalah
pengabdian kepada sesama manusia bahkan sesama makhluk, bagi yang lain lagi agama
adalah akhlak atau perilaku baik, bagi yang lain lagi agama adalah pengorbanan untuk
suatu keyakinan, berlatih mati sebelum mati, atau mencari mati (istisyhad) demi
keyakinan.
Bagi orang beragama, agama menyentuh bagian yang terdalam dari dirinya, dan
psikologi membantu dalam penghayatan agamanya dan membantu memahami
penghayatan orang lain atas agama yang dianutnya. Secara lahir agama menampakkan
diri dalam bermacam-macam realitas; dari sekedar moralitas atau ajaran akhlak hingga
ideologi gerakan, dari ekpressi spiritual yang sangat individu hingga tindakan
kekerasan massal, dari ritus-ritus ibadah dan kata-kata hikmah yang menyejukkan hati
hingga agitasi dan teriakan jargon-jargon agama (misalnya takbir) yang membakar
massa. Inilah kesulitan memahami agama secara ilmah, oleh karena itu hampir tidak
ada definisi agama yang mencakup semua realitas agama. Sebagian besar definisi
agama tidak komprehensip dan hanya memuaskan pembuatnya.
Kesulitan memahami realitas agama itu direspond The Encyclopedia of Philosophy
yang mendaftar komponen-komponen agama. Menurut Encyclopedia itu, agama
mempunyai ciri-ciri khas (characteristic features of religion) sebagai berikut :
1. Kepercayaan kepada wujud supranatural (Tuhan)
2. Pembedaan antara yang sakral dan yang profan.
3. Tindakan ritual yang berpusat pada obyek sacral
30
bentuk
ganguan
kejiwaan,
bagi
mazhab
Behaviorisme,
perilaku
keberagamaan tak lebih sekedar perilaku karena manusia tidak memiliki jiwa.
Mazhab Kognitip sudah mulai menghargai kemanusiaan, dan mazhab Humanisme
sudah memandang manusia sebagai makhluk yang mengerti akan makna hidup yang
dengan itu menjadi dekat dengan pandangan agama. Dibutuhkan paradigma baru atau
mazhab baru Psikologi untuk bisa memahami keberagamaan manusia.
rasakan
Arif dan bijaksana, yaitu mampu menilai suatu keadaan dengan tepat dan berani
c.
pemenuhan
kebutuhannya.
32
pertolongan pertama
Melakukan tindakan kedokteran gigi tanpa indikasi bahwa tindakan itu perlu
dilakukan hanya dengan maksud mendapatkan keuntungan belaka dari
5.
tindakan itu
Meminta uang jasa atau menetapkan tarif pengobatan yang tidak wajar yang
dibuktikan kebenarannya.
2.2.2.3 Pelanggaran Etika Kedokteran
a. Pelanggaran Etika Murni
Menarik Imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa dari keluarga
kehendak penderita.
Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya.
33
penafsiran adanya suatu niat lain untuk memuji diri sendiri. Walaupun hal itu
dilakuakn dalam wahana ilmiah kedokteran, dianggap juga sebagai perbuatan
tercela, apalagi jika tidak berlandaskan pengetahuan kedokteran tertinggi dalam
bidangnya, sehingga tidak diyakini sebagai produk yang layak diberikan kepada
pasien, sehingga untuk dirinya sendiri maupun kepada sanak keluarganya bila
mengalami hal yang sama.
2.2.2.4.
2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki
komeeptensi yang sesuai
3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki
kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut
4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki
kompetensi dan kewenangan yang sesuai atau tidak melakukan pemberitahuan
perihal penggantian tersebut
5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik atau
mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan
pasien
6. Tidak melakukan tindakan atau asuhan medis yang memadai pada situasi tertentu
yang dapat membahayakan pasien
7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan pasien
8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate
information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik
kedokteran.
9. Melakukan tindakan atau asuhan medis tanpa memperoleh persetujuan dari
pasien atau keluarga dekat, wali, atau pengampunya.
10. Tidak membuat atau tidak menyimpan rekam medis dengan sengaja.
11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan
sendiri atau keluarganya.
13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan, keterampilan,
atau teknologi yang belum diterima atau di luar tata cara praktis kedokteran yang
layak.
14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan manusia
sebagai subjek penelitian tanpa memperoleh persetujuan etik (ethical clerance)
dari lembaga yang diakui pemerintah.
15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak
membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan
mampu melakukannya.
16. Menolak atau menghentikan tindakan atau asuhan medis atau tindakan
pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah sesuai dengan
ketentuan etika profesi atau peraturan perundang-undangan yang berlaku
35
36
BAB 3
PENUTUP
1.4 Kesimpulan
Undang-undang didalam kedokteran gigi sangat penting untuk mengetahui dasar-dasar
dalam menjalankan Praktik dibidang kedokteran Gigi. Dokter gigi diberikan
perlindungan dan sebagai peringatan agar dokter gigi tidak melakukan pelanggaran
terhadap pasien.
Etika Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang
asas-asas akhlak (moral).Menurut Ahmad Amin, etika adalah ilmu pengetahuan yang
menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh
manusia, menyatakan tujuan yang harus dicapai oleh manusia dalam perbuatan mereka,
dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat oleh manusia.
Etika dibagi menjadi dua yaiytu Etika Deskriptif Etika yang menelaah secara kritis dan
rasional tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang
dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai, dan Etika Normatif
Etika yang
menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia
atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam
hidup ini.
Moral secara kebahasaan perkataan moral berasal dari ungkapan bahasa
latin mores yang merupakan bentuk jamak dari perkataan mos yang berarti adat
kebiasaan. Dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah
penetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.
37
Daftar Pustaka
Gunawan, dr. 1991. Memahami Etika Kedokteran. Yogyakarta: KANISIUS
Hanafiah M.J. dan Amri Amir. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan edisi 3.
Jakarta:
38