PENDAHULUAN
Penyakit cor pulmonale merupakan penyakit paru dengan hipertrofi dan atau dilatasi
ventrikel kanan akibat gangguan fungsi dan atau struktur paru (setelah menyingkirkan
penyakit jantung kongenital atau penyakit jantung lain yang primernya pada jantung kiri).
Cor pulmonale dapat terjadi secara akut maupun kronik penyebab akut tersering adalah
emboli paru masif dan biasanya terjadi dilatasi ventrikel kanan. Penyebab kronik tersering
adalah penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan biasanya terjadi hipertrofi ventrikel
kanan.
Insidens diperkirakan 6-7% dari semua penyakit jantung pada orang dewasa
disebabkan oleh PPOK. Umumnya pada daerah dengan polusi udara yang tinggi dan
kebiasaan merokok yang tinggi dengan prevalensi bronchitis kronik dan emfisema didapatkan
peningkatan kekerapan cor pulmonale. Lebih banyak disebabkan exposure daripada
predisposisi dan pria lebih sering terkena daripada wanita. Sedangkan untuk kasus cor
pulmonal akut sangat jarang dilaporkan karena onsetnya yang cepat dan terkadang tidak
terdiagnosa secara dini.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
C. Definisi
Cor pulmonale adalah pembesaran ventrikel kanan sekunder terhadap penyakit
paru, toraks atau sirkulasi paru. Kadang-kadang disertai dengan gagal ventrikel kanan.
Tipe cor pulmonale disebut akut jika dilatasi belahan jantung kanan setelah embolisasi
akut paru, tipe kronis ditentukan lamanya gangguan pulmoner yang membawa ke
pembesaran jantung. Berapa lama dan sampai tahap apa jantung tetap membesar akan
bergantung pada fluktuasi-fluktuasi pada ketinggian tekanan arterial pulmoner.
D. Etiologi
Penyebab penyakit cor pulmonale antara lain :
1.
2.
3.
4.
5.
E. Patogenesis
Apapun penyebab penyakit awalnya, sebelum timbul cor pulmonale biasanya terjadi
peningkatan resistensi vaskular paru-paru dan hipertensi pulmonar. Hipertensi pulmonar pada
akhirnya meningkatkan beban kerja dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi
dan kemudian gagal jantung. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada
peningkatan resistensi vaskular paru-paru para arteria dan arteriola kecil.
Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskular paru-paru
adalah (1) vasokontriksi hipoksik dari pembuluh darah paru-paru dan (2) obstruksi dan atau
obliterasi anyaman vaskuler paru-paru. Mekanisme yang pertama paling penting dalam
patogenesis cor pulamale. Hipoksemia, hipercapnea, asidosis merupakan ciri khas PPOM
bronchitis lanjut adalah contoh yang paling baik. Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan
rangsangan yang lebih kuat untuk menimbulkan vasokonstriksi pulmonar daripada
hipoksemia. Hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos arteriola
paru-paru sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut. Asidosis,
hipercapnea dan hipoksemia bekerja secara sinergistrik dalam menimbulkan vasokontriksi.
Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia dan peningkatan curah
jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan hipercapnea juga ikut meningkatkan
tekanan arteria paru-paru.
Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskular dan tekanan arteria
paru-paru adalah bentuk anatomisnya. Hilangnya pembuluh darah secara permanen
menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu pada penyakit obstruktif, pembuluh
darah paru-paru juga tertekan dari luar karena efek mekanik dari volume paru-paru yang
besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi anatomik terhadap anyaman vaskuler
diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi hipoksik dalam patogenesa cor pulmonale. Kirakira dua pertiga sampai tiga perempat dari anyaman vaskuler harus mengalami obstruksi atau
rusak sebelum terjadi peningkatan tekanan arteria paru-paru yang bermakna. Asidosis
respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernafasan dan penyakit obstruktif sebagai
akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan perfusi ventilasi.
Jadi setiap penyakit paru-paru yang mempengaruhi pertukaran gas, mekanisme
ventilasi atau anyaman vaskuler paru-paru dapat mengakibatkan cor pulmonale.
Menurut New York Heart Association (NYHA), hipertensi pulmonal secara fungsional
dibagi menjadi empat derajat sesuai dengan keadaan klinis pasien (Humbert et al., 2004).
Klasifikasi hipertensi pulmonal
Klasifikasi
Derajat I
Deskripsi
Hipertensi pulmonal tanpa menyebabkan keterbatasan aktivitas.
Aktivitas sehari-hari tidak menyebabkan sesak nafas, letih, nyeri
dada, atau hampir pingsan.
Derajat II
Derajat III
Derajat IV
adanya retensi air dan natrium, serta meningkatnya cardiac output (Allegra et al.,2005).
Ketika jantung kanan tidak lagi dapat melakukan adaptasi dan kompensasi maka
akhirnya timbul kegagalan jantung kanan yang ditandai dengan adanya edema perifer.
Jangka waktu terjadinya hipertropi atau dilatasi ventrikel kanan maupun gagal jantung
kanan pada masing-masing orang berbeda-beda (Naeije, 2005).
Secara garis besar patognesis cor pulmonale dapat digambarkan sebagai berikut
(gambar II.3):
1. Hipoventilasi alveoli
2. Menyempitnya area aliran darah dalam paru ( vascular bed )
3. Terjadinya pintas (shunt) dalam paru
4. Peningkatan tekanan arteri pulmonal
5. Kelainan jantung kanan
F. Gambaran Klinis
Perlu dilakukan anamnesis yang teliti ada tidaknya penyakit paru yang mendasari
dan jenis kelainan paru seperti batuk kronik yang produktif, sesak nafas waktu
beraktifitas, nafas yang berbunyi, mudah fatig kelemahan. Pada fase awal berupa
pembesaran ventrikel kanan, tidak menimbulkan keluhan jadi lebih banyak keluhan
akibat penyakit parunya. Keluhan akibat pembesaran ventrikel kanan baru timbul bila
sudah ada gagal jantung kanan misalnya edema dan nyeri parut kanan atas. Infeksi paru
sering mencetuskan gagal jantung, hipersekresi branchus, edema alveolar, serta
bronkospasme yang menurunkan ventilasi paru lalu timbul gagal jantung kanan.
Manifestasi klinis dari cor pulmonale biasanya tidak spesifik. Terutama pada
stadium awal penyakit, dan mungkin keliru karena disebabkan patologi paru yang
mendasari.
Gejala
Pasien mungkin mengeluh kelelahan, takipnea, dispnea deeffort, dan batuk. Nyeri
dada angina juga dapat terjadi dan mungkin karena iskemia ventrikel kanan atau peregangan
arteri pulmonalis. Berbagai gejala neurologis dapat dilihat karena curah jantung menurun dan
hipoksemia. Hemoptisis dapat terjadi karena pecahnya dilatasi arteri pulmonalis atau
aterosklerosis. Kondisi lain, seperti tumor, bronkiektasis, dan infark paru, harus dikeluarkan
sebelum menghubungkan hemoptisis pada hipertensi pulmonal. Pasien mungkin mengeluh
suara serak tapi jarang karena kompresi saraf laring rekuren kiri oleh arteri paru melebar.
Pada tahap lanjut, kongesti hepar pasif sekunder untuk gagal ventrikel kanan yang
parah dapat menyebabkan anoreksia, ketidaknyamanan perut pada kuadran kanan atas, dan
jaundice. Selain itu, sinkop karena kelelahan, yang juga dapat dilihat pada keparahan
penyakit, mencerminkan ketidakmampuan untuk meningkatkan output jantung selama latihan
dengan penurunan berikutnya dalam tekanan arteri sistemik.
Peningkatan tekanan arteri paru dapat menyebabkan tingginya tekanan vena atrium
kanan, perifer, dan tekanan kapiler. Dengan meningkatkan gradien hidrostatik, itu mengarah
ke transudasi cairan dan akumulasi edema perifer. Meskipun ini adalah penjelasan sederhana
untuk edema perifer di cor pulmonale, hipotesis lainnya menjelaskan gejala ini, terutama di
sebagian kecil dari pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang tidak
menunjukkan peningkatan tekanan atrium kanan. Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR)
dan filtrasi natrium dan stimulasi arginin vasopressin (yang menurunkan ekskresi air bebas)
karena hipoksemia memainkan peran penting dalam patofisiologi pengaturan ini dan bahkan
10
mungkin memiliki peran untuk edema perifer pada pasien dengan cor pulmonale yang
memiliki tekanan atrium kanan meningkat.
Tanda
Temuan fisik mungkin mencerminkan penyakit paru-paru yang mendasari atau
hipertensi paru, hipertrofi ventrikel kanan (RVH), dan kegagalan RV. Peningkatan diameter
dada, ada upaya pernafasan dengan retraksi dinding dada, distensi vena jugularis di leher, dan
sianosis dapat dilihat.
Pada auskultasi paru-paru, mengi dan ronki mungkin terdengar sebagai tanda-tanda
penyakit paru-paru yang mendasari. Aliran turbulen melalui pembuluh darah dalam
hipertensi tromboemboli paru kronis dapat didengar sebagai bising sistolik di paru-paru.
Memisahkan dari bunyi jantung ke 2 dengan aksen komponen pulmonal dapat didengar
dalam tahap awal. Sebuah murmur ejeksi sistolik ejeksi pada daerah arteri pulmonal bisa
terdengar dalam penyakit lanjut, bersama dengan murmur regurgitasi diastolik paru. Temuan
lain pada auskultasi dari sistem kardiovaskular mungkin terdengar ketiga dan keempat dari
murmur jantung sistolik dan regurgitasi trikuspid.
RVH ditandai oleh denyut kuat angkat di parasternal atau subxiphoid kiri. Refluks
Hepatojugular adalah tanda-tanda kegagalan RV dengan kongesti vena sistemik.
Pada perkusi, hyperresonance dari paru-paru mungkin tanda PPOK yang mendasari; ascites
dapat dilihat pada penyakit yang parah. Pemeriksaan ekstremitas bawah menunjukkan bukti
pitting edema. Edema pada cor pulmonale sangat terkait dengan hiperkapnia.
G. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mengetahui penyakit yang mendasari dan untuk
menilai komplikasi serta perjalanan penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain :
11
12
Ekokardiografi
Dimensi ruang ventrikel kanan membesar, tapi struktur dan dimensi ventrikel kiri
normal. Pada gambaran ekokardiografi katup pulmonal, gelombang a hilang,
menunjukkan
hipertensi
pulmonal.
Kadang-kadang
dengan
pemeriksaan
13
Kateterisasi jantung
Ditemukan peningkatan tekanan jantung kanan dan tahanan pembuluh paru. Tekanan
atrium kiri dan tekanan kapiler paru normal, menandakan bahwa hipertensi
pulmonal berasal dari prekapiler dan bukan berasal dari jantung kiri. Pada kasus
yang ringan, kelainan ini belum nyata. Penyakit jantung paru tidak jarang disertai
penyakit jantung koroner terlebih pada penyakit paru obstruksi menahun karena
perokok berat (stenosis koroner pada angiografi).
EKG (Elektro Kardio Grafi)
Gambaran abnormal cor pulmonale pada pemeriksaan EKG dapat berupa :
a. Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 900 atau lebih.
b. Terdapat pola S1S2S3
c. Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1
d. Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1
e. Terdapat pola p pulmonal di sadapan 2,3, dan aVF
14
f. Terdapat pola S1 Q3 T3 dan right bundle branch block komplet atau inkomplet.
g. Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik pada sadapan prekordial.
h. Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada PPOK karena adanya
hiperinflasi.
i. Hipertropi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan gambaran gelombang Q
di sadapan prekordial yang dapat membingungkan dengan infark miokard.
j. Kadang dijumpai kelainan irama jantung mulai dari depolarisasi prematur atrium
terisolasi hingga supraventrikuler takikardi, termasuk takikardi atrial paroksismal,
takikardi atrial multifokal, fibrilasi atrium, dan atrial flutter. Disritmia ini dapat
dicetuskan karena keadaan penyakit yang mendasari (kecemasan, hipoksemia, gangguan
keseimbangan asam-basa, gangguan elektrolit, serta penggunaan bronkodilator
berlebihan).
G. Diagnosis
Diagnosis cor pulmonale biasanya menunjukkan kombinasi adanya gangguan respirasi
yang dihubungkan dengan hipertensi pulmonal dan adanya gangguan pada ventrikel
kanan yang didapat secara klinis, radiologis, elektrocardiogram. Dalam praktek seharihari sering didapatkan kesulitan dalam membuat diagnosis col pulmonal yakni bila
keadaan pasien sedang stabil atau belum terjadi gagal jantung kanan. Untuk itu
dianjurkan membuatkan EKG dan pemeriksaan radiologis dada secara serial.
I.
Diagnosis Banding
-
Hipertensi vena pulmonal yang biasanya diderita penderita stenosis katup mitral.
Gambaran foto toraks berupa pembesaran atrium kiri, pelebaran arteri pulmonal
karena peninggian tekanan aorta yang relatif kecil (pada fase lanjut), pembesaran
ventrikel kanan, pada paru-paru terlihat tanda-tanda bendungan vena
15
Perikarditis konstriktifa
dapat dibedakan dengan test fungsi paru dan analisa gas darah
J.
Penatalaksanaan
Penanganan cor pulmonale ditujukan untuk memperbaiki hipoksia alveolar dan
vasokonstriksi paru-paru yang diakibatkannya dengan pemberian oksigen konsentrasi
rendah dengan hati-hati. Pemakaian O2 yang terus menerus dapat menurunkan hipertensi
pulmoner, polisitemia dan takipnea. Memperbaiki keadaan umum dan bronkodilator,
antibiotik membantu meredakan obstruksi aliran udara pada pasien PPOM. Pembatasan
cairan yang masuk dan diuretik mengurangi tanda-tanda yang timbul akibat gagal
ventrikel kanan. Terapi anti koagulansia jangka panjang diperlukan jika terdapat emboli
paru-paru berulang. Kadang-kadang perlu trakeostomi untuk membantu aspirasi sekret
dan mengurangi ruang mati. Preventif yaitu berhenti merokok, olah raga bertahap dan
teratur serta senam pernafasan sangat bermanfaat walaupun jangka panjang.
Penanganan cor pulmonale secara umum adalah mencegah berlanjutnya proses
patogenesis yang masih bisa ditangani secara langsung dan secara bersamaan menangani
komplikasi yang terjadi seperti hipoksemia, hiperkapnia, dan asidosis.
Pemberian terapi pada cor pulmonale ditujukan untuk mengurangi hipoksemia,
meningkatkan toleransi aktivitas pasien dan jika memungkinkan menghilangkan faktor yang
mendasari. Untuk mengatasi faktor-faktor tersebut diatas perlu diambil tindakan berikut
(Humbert et al., 2004; Palevsky dan Fishman, 1991):
a) Mengusahakan supaya jalan nafas tetap terbuka dengan jalan memberikan obat-obatan
(bronkodilator, mukolitik), drainase postural, pengisapan lendir dari jalan nafas dan
lain-lain.
b) Pemberian 02
16
Terapi 02 pada penderita cor pulmonale yang disebabkan oleh PPOK harus berhati-hati
oleh karena dapat mengakibatkan retensi CO2.. Oleh karena itu pemeriksaan analisa gas
darah yang berulang-ulang sangat penting. Biasanya 0 2 diberikan dengan konsentrasi
rendah. Pemberian terapi oksigen jangka panjang pada pasien PPOK terbukti
memperbaiki prognosis dan dapat mencegah terjadinya hipertropi ventrikel kanan.
c) Memberantas infeksi saluran nafas. Dengan pemberian antibiotik yang sesuai dan
adekuat.
d) Pemberian glikosida jantung (digoxin) pada pasien dengan gagal jantung kanan.
Digoxin bersifat inotropik positif sehingga dapat meningkatkan cardiac output pada
pasien dengan gagal jantung kanan.
e) Vasodilator arteri pulmonal seperti diazoxide, nitroprussid, hydralazin, ACE inhibitor,
penyekat kanal kalsium, atau prostaglandin. Pemberian inhalasi vasodilator dalam
jangka panjang harus dihindari karena efek toksiknya. Pada pasien PPOK pemberian
vasodilator masih dipertanyakan. Hal ini dikarenakan hipertensi pulmonal pada PPOK
cenderung ringan tetapi dapat menjadi berat saat terjadi eksaserbasi.
f) Flebotomi untuk mengurangi jumlah sel darah merah. Hal ini jarang dilakukan karena
prosedur yang invasif. Tujuannya adalah menghilangkan polisitemia.
g) Antikoagulan untuk mengurangi resiko tromboemboli.
h) Diet rendah garam, pembatasan asupan cairan, pemberian diuretic, untuk mengurangi
edema dan mengurangi afterload.
K. Prognosis
Sangat bervariasi, tergantung perjalanan alamiah penyakit paru yang mendasarinya dan
ketaatan pasien berobat. Penyakit bronko pulmoner sistematis angka kematian rata-rata 5
tahun sekitar 40-50%. Juga obstruksi vaskuler paru kronis dengan hipertrofi ventrikel
17
18
DAFTAR PUSTAKA
1.
Eugene Braunwald : Heart Disease, Fourth edition, volume II, 1989, pp 1581-1601.
2.
3.
4.
5.
6.
Kurt J. Isselbacher, Eugene Braunwald, Jean D. Wilson, Joseph & Martin, Anthony S
Fauci, Dennis L Kasper, edis bahasa Indonesia; Ahmad H. Asdie Prof. dr. Sp.PD, ke :
Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison, edisi 15, volume 3, 2002, hal. 1222-1226.
7.
Mansjoer Arif, Savitri Rakhmi, Setiowulan Wiwik, Triyanti Kuspuji, Wardhan, Wahyu
Ika; Kapita Selekta Kedokteran Jilid I, edisi ketiga, Penerbit Media Acsculapius, FKUI,
Jakarta 1999, hal. 453-454.
8.
Soeparman dan Warpadji Sarwono : Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2, Cetakan ketiga, FKUI,
Jakarta, 1998. Hal. 882-889.
9.
Price Sylvia, Wilson Lorraine : Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Jilid 1 dan 2, edisi
4, EGC, Jakarta, 1995, hal. 723-725 dan hal. 650.
10. Lily Ismodiati, Faisal Baras, Santoso K, Popy S : Buku Ajar Kardiologi, FKUI, Jakarta
2003.
11. Hill. N.S and Farber. W. Pulmonary Hypertension. N Engl J Med. 2008. 359;20.
19
12. Eugene Braunwald, Stephen L. Hauser, Anthony S Fauci, Dennis L Kasper, L Longo, J
Larry Jameson : Harrisons Principles of Internal Medicine, fifthteen edition, volume I,
2002, PP. 1355 1359.
13. Kurt J. Isselbacher, Eugene Braunwald, Jean D. Wilson, Joseph & Martin, Anthony S
Fauci, Dennis L Kasper, edis bahasa Indonesia; Ahmad H. Asdie Prof. dr. Sp.PD, ke :
Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison, edisi 15, volume 3, 2002, hal. 1222-1226.
20