Manakala sang surya mulai terlelap di ujung langit, senja yang begitu dirindukan dan semilir angin yang menghantarkan setiap untai kata cinta kepada pemilik-pemilik hati yang mulai terisi. Aku berdiri memandangi langit senja hari yang begitu menawan, jingga, dan gradasi warna lainnya memukau sejenak membuatku lupa pada yang tengah aku hadapi. Kemelut kehidupan yang begitu mengikat jiwaku. Aku mencoba tegar menghadapi beribu masalah yang sedang menerpaku. Aku sadar bahwa mungkin inilah saat yang paling egois dalam setiap apa yang aku temui. Aku menyukai seseorang. Sesorang yang sangat aku dambakan untuk bisa aku miliki. Bibir manisnya, telah memukau hatiku. Dia teman sekelasku. Karena keakrabanku dengannya, memunculkan benih-benih cinta di dalam hatiku. Aku selalu bermimpi tentangnya setiap malam. Akan tetapi, ketika aku mulai mencintainya, masalah barupun muncul. Ternyata, sahabat akrabku sendiri, tanpa aku sadari juga menyukai wanita idamanku itu. Sehingga hal ini membuatku harus membuat suatu pilihan antara tetap mencintai dirinya, atau mengalah demi sahabat akarabku itu. Sekali lagi, aku harus memendam egoku. Walaupun sakit, tetapi aku rela berkorban demi suatu tali persahabatan. Akupun sadar bahwa, mungkin aku tak seharusnya mencintai dirinya. Mungkin benar, cinta itu tak harus memiliki. Akupun mencoba tegar di tengah genangan kolam air mata ini, aku kembali berdiri di ujung senja. Berlatar langit jingga termenung dan terduduk sendiri, bersimpuh merasakan sisa-sisa kehangatan sang mentari.