PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa.
Meskipun otak hanya seberat 2 % dari berat badan orang dewasa, ia menerima 20
% dari curah jantung. Sebagian besar yakni 80 % dari glukosa dan oksigen
tersebut dikonsumsi oleh substansi kelabu. Cedera kepala yang terjadi langsung
akibat trauma disebut cedera primer. Proses lanjutan yang sering terjadi adalah
gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen dan nutrien, terutama glukosa.
Kekurangan oksigen dapat terjadi karena berkurangnya oksigenasi darah akibat
kegagalan fungsi paru, atau karena aliran darah otak menurun, misalnya akibat
syok. Karena itu pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan
nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu, sehingga oksigenasi tubuh
cukup. Gangguan metabolisme jaringan otak akam menyebabkan edem yang
mengakibaykan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum, atau
herniasi dibawah falks serebrum. Jika terjadi herniasi jaringan otak yang
bersangkutan akan mengalami iskemik sehingga dapat menimbulkan nekrosis
atau perdarahan yang menimbulkan kematian. Dalam kasus cedera kepala sangat
tergantung pada derajat kerusakan pada otak. Kerusakan kecilpun jika berada
diotak maka akan menimbulkan gangguan perepsi sensori yang memicu
terjadinya perubahan perilaku pada klien.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas, rumusan masalah yang ada dalam makalah ini adalah
bagaimanakah tinjauan teoritis cedera kepala dan hubungannya dengan
perubahan perilaku?
C. TUJUAN MAKALAH
1. Untuk mengidentifikasi tinjauan teoritis tentang cidera kepala
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Menurut Dawodu (2002) dan Sutantoro (2003), cedera kepala adalah
trauma yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta organ-organ di
dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif / non-kongenital,
yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan fisik,
kognitif maupun sosial serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat
kesadaran.
B. PATOFISIOLOGI
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa.
Meskipun otak hanya seberat 2 % dari berat badan orang dewasa, ia menerima 20
% dari curah jantung. Sebagian besar yakni 80 % dari glukosa dan oksigen
tersebut dikonsumsi oleh substansi kelabu. Cedera kepala yang terjadi langsung
akibat trauma disebut cedera primer. Proses lanjutan yang sering terjadi adalah
gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen dan nutrien, terutama glukosa.
Kekurangan oksigen dapat terjadi karena berkurangnya oksigenasi darah akibat
kegagalan fungsi paru, atau karena aliran darah otak menurun, misalnya akibat
syok. Karena itu pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan
nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu, sehingga oksigenasi tubuh
cukup. Gangguan metabolisme jaringan otak akam menyebabkan edem yang
mengakibaykan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum, atau
herniasi dibawah falks serebrum. Jika terjadi herniasi jaringan otak yang
bersangkutan akan mengalami iskemik sehingga dapat menimbulkan nekrosis
atau perdarahan yang menimbulkan kematian. Patofisiologi cedera kepala dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Cedera Primer. Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang
tengkorak, robek pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak
(termasuk robeknya duramater, laserasi, kontusio).
2. Cedera Sekunder. Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada
berlanjut melampaui batas kompensasi ruang tengkorak. Hukum Monroe
Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya tetap.
Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan
parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan
mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif dan terjadi penurunan Tekanan
Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal padatingkatseluler. Cedera Sekunder
dan Tekanan Perfusi :
CPP
= MAP ICP
CPP
: Cerebral Perfusion Pressure
MAP
: Mean Arterial Pressure
ICP
: Intra Cranial Pressure
Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia
otak mengakibatkan edema sitotoksik kerusakan seluler yang makin parah
(irreversibel). Diperberat oleh kelainan ekstrakranial hipotensi/syok,
hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang, dll.
3. Edema Sitotoksik. Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan
berlebih sejenis Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory
Amino Acid a.l. glutamat, aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl
D-Aspartat) dan NMDA (Amino Methyl Propionat Acid) menyebabkan Ca
influks berlebihan yang menimbulkan edema dan mengaktivasi enzym
degradatif serta menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-kejang).
4. Kerusakan Membran Sel. Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym
degradatif akan menyebabkan kerusakan DNA, protein, dan membran
fosfolipid sel (BBB breakdown) melalui rendahnya CDP cholin (yang
3
sekitar 40% penderita yang memiliki luka tembus di kepala. Kejang bisa saja
baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya cedera. Obat-obat
anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat) biasanya dapat
mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat tersebut sering diberikan kepada
seseorang yang mengalami cedera kepala yang serius, untuk mencegah
terjadinya kejang. Pengobatan ini seringkali berlanjut selama beberapa tahun
atau sampai waktu yang tak terhingga.
2. AFASIA. Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa
karena terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu
memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang mengendalikan
fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis
di sebelahnya. Kerusakan pada bagian manapun dari area tersebut karena
stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi, akan mempengaruhi beberapa aspek
dari fungsi bahasa. Gangguan bahasa bisa berupa:
- Aleksia, hilangnya kemampuan untuk memahami kata-kata yang tertulis
- Anomia, hilangnya kemampuan untuk mengingat atau mengucapkan namanama benda. Beberapa penderita anomia tidak dapat mengingat kata-kata yang
tepat, sedangkan penderita yang lainnya dapat mengingat kata-kata dalam
fikirannya, tetapi tidak mampu mengucapkannya.
Disartria merupakan ketidakmampuan untuk mengartikulasikan kata-kata
dengan tepat. Penyebabnya adalah kerusakan pada bagian otak yang
mengendalikan otot-otot yang digunakan untuk menghasilkan suara atau
mengatur gerakan dari alat-alat vokal. Afasia Wernicke merupakan suatu
keadaan yang terjadi setelah adanya kerusakan pada lobus temporalis.
Penderita tampaknya lancar berbicara, tetapi kalimat yang keluar kacau
(disebut juga gado-gado kata). Penderita menjawab pertanyaan dengan raguragu tetapi masuk akal.
3. APRAKSIA. Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang
memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan
biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis atau lobus frontalis.
Ingatan akan serangkaian gerakan yang diperlukan untuk melakukan tugas
yang rumit hilang; lengan atau tungkai tidak memiliki kelainan fisik yang bisa
menjelaskan mengapa tugas tersebut tidak dapat dilakukan. Jenis-jenis
apraksia ada 5 yaitu apraksia ideal, apraksia ideomotorik, apraksia kinetik,
dressing apraksia, dan apraksia konstruksi.
Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya, yang telah
menyebabkan kelainan fungsi otak.
4. AGNOSIA. Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat
melihat dan merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya
dengan peran atau fungsi normal dari benda tersebut, atau dengan kata lain
ketidakmampuan untuk mengenal dan menginterpretasi rangsang indera.
Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan
baik atau benda-benda umum (misalnya sendok atau pensil), meskipun
mereka dapat melihat dan menggambarkan benda-benda tersebut.
Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis dan temporalis,
dimana ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan. Agnosia
seringkali terjadi segera setelah cedera kepala atau stroke. Tidak ada
pengobatan khusus, beberapa penderita mengalami perbaikan secara spontan.
5. AMNESIA. Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan
untuk mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah
lama berlalu. Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Cedera
pada otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi
sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi retrograd) atau peristiwa yang
terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca trauma). Amnesia
hanya berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung
kepada beratnya cedera) dan akan menghilang dengan sendirinya. Pada cedera
otak yang hebat, amnesia bisa bersifat menetap. Mekanisme otak untuk
menerima informasi dan mengingatnya kembali dari memori terutama terletak
BAB III
PE N UTU P
A. KESIMPULAN
Dari uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa cidera kepala
merupakan kasus yang sangat mempengaruhi system neurologi, yang dalam
system tersebut, akan sangat berpengaruh pada perilaku penderita dengan cidera
kepala.
B. SARAN
Dari penulisan makalah ini, penulis sangat mengharapkan adanya kritik
dan saran yang sifatnya membangun, guna untuk perbaikan dan kesempurnaan
pembuatan makalah selanjutnya
HIRMAWATI
YUSMIN
RICHA KARUNIA
MUH. ARHAM SABRI
MUH. IRFAN
10
DIAN RUBIYANTO
RIKA SAFITRI
RASNA
MUH. ANSARULLAH
ADRIL ISMANAN
11