Anda di halaman 1dari 15

KORTIKOSTEROID PADA ASMA KRONIS

Syarifudin; Koentjahja, SpP


SMF Paru RS. Dr. Saiful Anwar
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Malang, 2001

Halaman: 10/11

4.2. OBAT RELIEVER

8.11

Obat reliever bekerja cepat untuk menghilangkan bronkokonstriksi dan gejala akut lain yang menyertai. Yang
termasuk dalam golongan ini adalah inhalasi beta 2-agonis short acting, kortikosteroid sistemik, antikolinergik
inhalasi, teofilin short acting dan beta 2-agonis oral short acting.

4.2.
Beta2-Agonis Inhalasi Short Acting
1.

Seperti beta2-agonis yang lain, obat ini menyebabkan relaksasi otot polos saluran nafas, meningkatkan
klirens mukosilier, mengurangi permeabilitas vaskuler dan mengatur pelepasan mediator dari sel mast dan
basofil. Merupakan obat pilihan untuk asma eksaserbasi akut dan pencegahan exercise induced asthma. Juga
dipakai untuk mengontrol bronkokonstriksi episodik. Pemakaian obat ini untuk pengobatan asma jangka
panjang tidak dapat mengontrol gejala asma secara memadai, juga terhadap variabilitas peak flow atau
hiperrespon saluran nafas. Hal ini juga dapat menyebabkan perburukan asma dan meningkatkan kebutuhan
obat antiinflamasi.

4.2.
Kortikosteroid Sistemik
2.

8.11

Walaupun onset dari obat ini adalah 4-6 jam, obat ini penting untuk mengobati eksaserbasi akut yang berat
karena dapat mencegah memburuknya eksaserbasi asma, menurunkan angka masuk UGD atau rumah sakit,
mencegah relaps setelah kunjungan ke UGD dan menurunkan morbiditas.Terapi oral lebih dipilih, dan
biasanya dilanjutkan 3-10 hari mengikuti pengobatan lain dari eksaserbasi. Diberikan 30 mg prednisolon tiap
hari untuk 5-10 hari tergantung derajad eksaserbasi. Bila asma membaik, obat bisa dihentikan atau
ditappering.

4.2.
Antikolinergik
3.

8.11

Obat antikolinergik inhalasi (ipratropium bromida, oxitropium bromida) adalah bronkodilator yang
memblokade jalur eferen vagal postganglion. Obat ini menyebabkan bronkodilatasi dengan cara mengurangi
tonus vagal intrinsik saluran nafas. Juga memblokade refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan
inhalasi. Obat ini mengurangi reaksi alergi fase dini dan lambat juga reaksi setelah exercise. Dibanding beta 2agonis, kemampuan bronkodilatornya lebih lemah, juga mempunyai onset kerja yang lambat (30-60 menit
untuk mencapai efek maksimum). Efek sampingnya adalah menyebabkan mulut kering dan rasa tidak enak.

4.2.
Teofilin Short Acting
4.

8.11

Aminofilin atau teofilin short acting tidak efektif untuk mengontrol gejala asma persisten karena fluktuasi
yang besar didalam konsentrasi teofilin serum. Obat ini dapat diberikan pada pencegahan exercise induced
asthma dan menghilangkan gejalanya. Perannya dalam eksaserbasi masih kontroversi. Pada pemberian
beta2-agonis yang efektif, obat ini tidak memberi keuntungan dalam bronkodilatasi, tapi berguna untuk
meningkatkan respiratory drive atau memperbaiki fungsi otot respirasi dan memperpanjang respon otot
polos terhadap beta2-agonis short acting.

4.2. Beta2-Agonis Oral Short Acting


5.

8.11

Merupakan bronkodilator yang merelaksasi otot polos saluran nafas. Dapat dipakai pada pasien yang tidak
dapat menggunakan obat inhalasi.

4.3. LANGKAH UNTUK MENCAPAI KONTROL ASMA

11

Kontrol asma didefinisikan sebagai :

Gejala kronis yang minimal (idealnya tidak ada), termasuk gejala nokturnal.

Eksaserbasi yang minimal (tidak sering)

Tidak pernah mengunjungi UGD

Membutuhkan beta2-agonis minimal (idealnya tidak) dan kalau perlu saja

Tidak ada batasan terhadap aktivitas termasuk exercise

Variasi cicardian PEF kuran dari 20%

PEF normal atau mendekati normal

Efek samping minimal dari obat

4.3.1.
Langkah 1 : Asma Intermitten

11.22

Disebut asma intermiten bila pasien mengalami eksaserbasi (episode batuk, wheezing dan sesak) kurang dari
sekali seminggu dalam jangka waktu sedikitnya 3 bulan, dan eksaserbasi hanya berlangsung beberapa jam atau

hari.Gejala asma nokturnal tidak lebih dari 2 kali sebulan. Diantara eksaserbasi, pasien asimtomatis dan
mempunyai fungsi paru normal yaitu FEV 1 atau PEF lebih dari 80% prediksi dan variabilitas PEF kurang dari 20%.

Pengobatan mencakup pemberian obat sebelum exercise (beta 2-agonis inhalasi atau kromoglikat/nedokromil) dan
sebelum paparan alergen (sodium kromoglikat atau nedokromil). Untuk eksaserbasi diberikan beta 2-agonis
inhalasi short acting diberikan seperlunya untuk menghilangkan gejala asma. Antikolinergik inhalasi, beta 2-agonis
oral short acting dan teofilin short acting dapat dipertimbangkan sebagai pengganti beta 2-agonis inhalasi short
acting. Bila terapi diatas dibutuhkan lebih dari sekali seminggu dalam waktu lebih dari 3 bulan, pasien harus
ditingkatkan ke langkah berikutnya berdasar juga pada pengukuran PEF nya.

4.3.2.
Langkah 2 : Asma Persisten Ringan

11

Penderita mengalami eksaserbasi paling tidak sekali seminggu, tetapi kurang dari sekali sehari dalam waktu 3
bulan dan beberapa eksaserbasi mempengaruhi tidur dan aktivitas, dan atau jika pasien memiliki gejala kronis
yang memmerlukan pengobatan simtomatis hampir setiap hari dan kejadian gejala asma nokturnal lebih dari 2
kali sebulan. Pretreatment baseline PEF lebih dari 80% prediksi dan PEF variabilitas 20 sampai 30%.

Pasien ini membutuhkan obat controller setiap hari untuk mencapai dan menjaga asma terkontrol. Terapi primer
adalah antiinflamasi harian, berupa inhalasi kortikosteroid 200-500 mcg/hari beclometason dipropionat atau
budesonid atau ekuivalennya. Inhalasi beta2-agonis short acting bisa dipakai seperlunya untuk menghilangkan
gejala, tetapi pemakaiannya tidak lebih dari 3 sampai 4 kali sehari. Antikolinergik inhalasi, beta 2-agonis oral short
acting atau teofilin short acting dapat dipertimbangkan sebagai pengganti beta 2-agonis inhalasi short acting. Bila
gejala menetap, kortikosteroid inhalasi ditingkatkan dari 400 atau 500 menjadi 750 atau 800 mcg tiap hari BDP
atau ekuivalen. Sebagai alternatif untuk mengurangi gejala nokturnal dapat diberikan beta2-agonis long acting
dan dosis rendah kortikosteroid.

4.3.3.
Langkah 3 : Asma Persisten Sedang

11

Khas ditandai gejala harian dalam jangka waktu lama atau serangan asma nokturnal lebih dari sekali seminggu.
Pretreatment baseline PEF lebih dari 60% tapi kurang dari 80% prediksi dan PEF variabilitas 20 sampai 30%.

Pasien ini membutuhkan obat controller harian. Kortikosteroid inhalasi 800 sampai 2000 mcg BDP atau ekuivalen
tiap hari. Bisa dipakai bronkodilator long acting, terutama untuk mengontrol gejala mokturnal. Teofilin lepas
lambat, beta2-agonis oral lepas lambat atau beta 2-agonis inhalasi long acting bisa dipakai. Pemberian
antikolinergik dapat dipertimbangkan bila terjadi efek samping dengan pemakaian beta 2-agonis inhalasi. Beta2agonis inhalasi short acting bisa digunakan seperlunya untuk menghilangkan gejala, tetapi pemakaiannya tidak
boleh lebih dari 3 atau 4 kali sehari. Obat bronkodilator short acting yang lain bisa juga dipakai.

4.3.4.
Langkah 4 : Asma Persisten Berat

11

Penderita mengalami variabilitas yang besar, gejala yang terus menerus dan gejala nokturnal yang sering,

mempunyai aktivitas yang terbatas, dan kadang mengalami eksaserbasi berat walaupun sedang dalam
pengobatan. Pretreatment baseline PEF kurang dari 60% prediksi dan variabilitas PEF lebih dari 30%. Untuk
mengontrol asma ini mungkin tidak bisa, tujuan pengobatan adalah gejala berkurang, berkurangnya kebutuhan

Klasifikasi
Berat Asma
Intermitten

TERAPI

TUJUAN

- inhalasi beta agonis bila perlu- kontrol gejala


- tidak perlu obat sehari-hari

Mild Persistent

- Tx sehari-hari : inhalasi kortiko


steroid dosis rendah, teofilin
lepas, lambat, anti leukotrien
- Inhalasi beta agonis bila perlu

Moderate Persistent

- Terapi harian
inhalasikortikosteroid dosis
sedang, beta agonis jangka
panjang

Severe Persistent

- Terapi harian inhalasi


kortikosteroid dosis tinggi
beta agonis jangka panjang

- menjaga aktivitas normal


- mencegah eksaserbasi

- normalisasi faal paru


- optimalisasi farmakoterapi dg
efek samping minimal
- penyuluhan perawatan
kepada pasien dan keluarga

beta2-agonis short acting, tercapainya PEF terbaik, variasi cicardian yang berkurang dan pengurangan efek
samping pengobatan.

Terapi membutuhkan obat controller harian kombinasi. Terapi primer adalah kortikosteroid inhalasi dosis tinggi
lebih dari 800-2000 mcg BDP atau ekuivalen. Teofilin lepas lambat oral atau beta 2-agonis oral, dan atau beta2agonis inhalasi long acting juga diberikan sebagai tambahan kortikosteroid. Percobaan menggunakan
antikolinergik harus juga dipertimbangkan terutama pada mereka yang mengalami efek samping bila memakai
beta2-agonis. Beta2-agonis inhalasi short acting bisa diberikan lebih dari 3 atau 4 kali sehari untuk menghilangkan
gejala. Kortikosteroid oral jangka panjang memakai dosis terendah yang masih mempunyai efek terapi.

Berikut ini tabel penatalaksanaan asma kronis :

Klik paru

18

PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID INHALASI DALAM


TERAPI ASMA
Posted on December 31, 2007 | 6 Comments

PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID INHALASI DALAM TERAPI ASMA


(Natalia Sugianti 078115060)
PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit yang disebabkan karena adanya inflamasi/
peradangan kronis pada saluran pernafasan dengan ciri-ciri seperti serangan
akut secara berkala, sesak nafas, mudah tersengal-sengal, disertai batuk dan
hipersekresi dahak, serta mengi pada pasien asma yang sudah parah. Jumlah
penderita asma dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup tinggi,
sehingga diperlukan pengobatan yang tepat dan benar agar tidak sampai
menyebabkan kematian.
Asma dapat terjadi karena meningkatnya kepekaan otot polos di sekitar saluran
nafas seseorang dibandingkan saluran nafas normal terhadap stimuli tidak
spesifik yang dihirup dari udara, yang pada orang sehat tidak memberikan reaksi
pada saluran pernafasan seperti perubahan suhu, dingin, polusi udara (asap
rokok), dll. Selain itu dapat pula terjadi karena reaksi alergi, atau karena infeksi
saluran pernafasan yang dapat menyebabkan radang/ inflamasi sehingga
saluran nafas pada pasien asma lebih menyempit lagi.
PENTATALAKSANAAN TERAPI
Sasaran terapi pada pasien asma dengan menggunakan kortikosteroid inhalasi
yaitu peradangan saluran nafas dan gejala asma. Terapi asma disini bertujuan
untuk menghambat atau mengurangi peradangan saluran pernafasan serta
mencegah dan atau mengontrol gejala asma, sehingga gejala asma berkurang/
hilang dan pasien tetap dapat bernafas dengan baik.
Strategi terapi asma dapat dibagi menjadi dua yaitu terapi non farmakologi
(tanpa menggunakan obat) dan terapi farmakologi (dengan obat).
Terapi Non Farmakologi
Untuk terapi non farmakologi, dapat dilakukan dengan olah raga secara teratur,
misalnya saja renang. Sebagian orang berpendapat bahwa dengan berenang,
gejala sesak nafas akan semakin jarang terjadi. Hal ini mungkin karena dengan
berenang, pasien dituntut untuk menarik nafas panjang-panjang, yang berfungsi
untuk latihan pernafasan, sehingga otot-otot pernafasan menjadi lebih kuat.
Selain itu, lama kelamaan pasien akan terbiasa dengan udara dingin sehingga
mengurangi timbulnya gejala asma. Namun hendaknya olah raga ini dilakukan
secara bertahap dan dengan melihat kondisi pasien.
Selain itu dapat diberikan penjelasan kepada pasien agar menghindari atau
menjauhkan diri dari faktor-faktor yang diketahui dapat menyebabkan timbulnya
asma, serta penanganan yang harus dilakukan jika serangan asma terjadi.
Terapi Farmakologi

Sedangkan untuk terapi farmakologi, dapat dibagi menjadi dua jenis pengobatan
yaitu:
Quick-relief medicines, yaitu pengobatan yang digunakan untuk merelaksasi
otot-otot di saluran pernafasan, memudahkan pasien untuk bernafas,
memberikan kelegaan bernafas, dan digunakan saat terjadi serangan asma
(asthma attack). Contohnya yaitu bronkodilator.
Long-term medicines, yaitu pengobatan yang digunakan untuk mengobati
inflamasi pada saluran pernafasan, mengurangi udem dan mukus berlebih,
memberikan kontrol untuk jangka waktu lama, dan digunakan untuk membantu
mencegah timbulnya serangan asma (asthma attack). Contohnya yaitu
kortikosteroid bentuk inalasi.
Obat-obat asma yang digunakan antara lain bronkodilator (simpatomimetika:
salbutamol, metilsantin: teofilin, antikolinergik: apratropium bromide),
kortikosteroid (prednisolon, budesonida,dll) dan obat-obatan lain seperti
ekspektoran (guaifenesin), mukolitik (bromheksin), antihistamin (ketotifen), dan
antileukotrien (zafirlukast). Untuk memaksimalkan pengobatan asma biasanya
digunakan kombinasi beberapa obat. Obat-obat asma tersedia dalam berbagai
macam bentuk sediaan, yaitu oral, parenteral, dan inhalasi. Namun yang akan
dibahas lebih lanjut disini yaitu kortikosteroid bentuk inhalasi.
KORTIKOSTEROID INHALASI
Kortikosteroid terdapat dalam beberapa bentuk sediaan antara lain oral,
parenteral, dan inhalasi. Ditemukannya kortikosteroid yang larut lemak (lipidsoluble) seperti beclomethasone, budesonide, flunisolide, fluticasone, and
triamcinolone, memungkinkan untuk mengantarkan kortikosteroid ini ke saluran
pernafasan dengan absorbsi sistemik yang minim. Pemberian kortikosteroid
secara inhalasi memiliki keuntungan yaitu diberikan dalam dosis kecil secara
langsung ke saluran pernafasan (efek lokal), sehingga tidak menimbulkan efek
samping sistemik yang serius. Biasanya, jika penggunaan secara inhalasi tidak
mencukupi barulah kortikosteroid diberikan secara oral, atau diberikan bersama
dengan obat lain (kombinasi, misalnya dengan bronkodilator). Kortikosteroid
inhalasi tidak dapat menyembuhkan asma. Pada kebanyakan pasien, asma akan
kembali kambuh beberapa minggu setelah berhenti menggunakan kortikosteroid
inhalasi, walaupun pasien telah menggunakan kortikosteroid inhalasi dengan
dosis tinggi selama 2 tahun atau lebih. Kortikosteroid inhalasi tunggal juga tidak
efektif untuk pertolongan pertama pada serangan akut yang parah.
Berikut ini contoh kortikosteroid inhalasi yang tersedia di Indonesia antara lain:

Nama
generik

Nama dagang di
Indonesia

Bentuk
Sediaan

Beclometh
asone
dipropiona

Becloment(beclo
methasone
dipropionate

Inhalasi
aerosol

Dosis
dan
Aturan
pakai
Inhalasi
aerosol:
200g ,

te

200g/ dosis)

Pulmicort (budeso
nide
Budesonid
e

Fluticason
e

2 kali
seharian
ak: 50100 g
2 kali
sehari

100 g, 200 g,
400 g / dosis)

Flixotide (flutikaso
n propionate50
g , 125 g
/dosis)

Inhalasi
aerosolS
erbuk
inhalasi

Inhalasi
aerosol:
200 g,
2 kali
sehariSe
rbuk
inhalasi:
2001600 g
/ hari
dalam
dosis
terbagia
nak:
200-800
g/ hari
dalam
dosis
terbagi

Inhalasi
aerosol

Dewasa
dan
anak >
16
tahun:
100-250
g, 2
kali
sehariAn
ak 4-16
tahun;
50-100
g, 2
kali
sehari

Dosis untuk masing-masing individu pasien dapat berbeda, sehingga harus


dikonsultasikan lebih lanjut dengan dokter, dan jangan menghentikan

penggunaan kortikosteroid secara langsung, harus secara bertahap dengan


pengurangan dosis.
MEKANISME AKSI
Kortikosteroid bekerja dengan memblok enzim fosfolipase-A , sehingga
menghambat pembentukan mediator peradangan seperti prostaglandin dan
leukotrien. Selain itu berfungsi mengurangi sekresi mukus dan menghambat
proses peradangan. Kortikosteroid tidak dapat merelaksasi otot polos jalan nafas
secara langsung tetapi dengan jalan mengurangi reaktifitas otot polos disekitar
saluran nafas, meningkatkan sirkulasi jalan nafas, dan mengurangi frekuensi
keparahan asma jika digunakan secara teratur.
2

INDIKASI
Kortikosteroid inhalasi secara teratur digunakan untuk mengontrol dan
mencegah gejala asma.
KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi bagi pasien yang hipersensitifitas terhadap kortikosteroid.
EFEK SAMPING
Efek samping kortikosteroid berkisar dari rendah, parah, sampai mematikan. Hal
ini tergantung dari rute, dosis, dan frekuensi pemberiannya. Efek samping pada
pemberian kortikosteroid oral lebih besar daripada pemberian inhalasi. Pada
pemberian secara oral dapat menimbulkan katarak, osteoporosis, menghambat
pertumbuhan, berefek pada susunan saraf pusat dan gangguan mental, serta
meningkatkan resiko terkena infeksi. Kortikosteroid inhalasi secara umum lebih
aman, karena efek samping yang timbul seringkali bersifat lokal
seperti candidiasis (infeksi karena jamur candida) di sekitar
mulut, dysphonia (kesulitan berbicara), sakit tenggorokan, iritasi tenggorokan,
dan batuk. Efek samping ini dapat dihindari dengan berkumur setelah
menggunakan sediaan inhalasi. Efek samping sistemik dapat terjadi pada
penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi yaitu pertumbuhan yang
terhambat pada anak-anak, osteoporosis, dan karatak.
RESIKO KHUSUS
Pada anak-anak, penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi menunjukkan
pertumbuhan anak yang sedikit lambat, namun asma sendiri juga dapat
menunda pubertas, dan tidak ada bukti bahwa kortikosteriod inhalasi dapat
mempengaruhi tinggi badan orang dewasa.
Hindari penggunaan kortikosteroid pada ibu hamil, karena bersifat teratogenik.
CARA PENGGUNAAN INHALER
Sebelum menarik nafas, buanglah nafas seluruhnya, sebanyak mungkin
Ambillah inhaler, kemudian kocok
Peganglah inhaler, sedemikian hingga mulut inhaler terletak dibagian bawah
Tempatkanlah inhaler dengan jarak kurang lebih dua jari di depan mulut (jangan
meletakkan mulut kita terlalu dekat dengan bagian mulut inhaler)

Bukalah mulut dan tariklah nafas perlahan-lahan dan dalam, bersamaan dengan
menekan inhaler (waktu saat menarik nafas dan menekan inhaler adalah waktu
yang penting bagi obat untuk bekerja secara efektif)
Segera setelah obat masuk, tahan nafas selama 10 detik (jika tidak membawa
jam, sebaiknya hitung dalam hati dari satu hingga sepuluh)
Setelah itu, jika masih dibutuhkan dapat mengulangi menghirup lagi seperti cara
diatas, sesuai aturan pakai yang diresepkan oleh dokter
Setelah selesai, bilas atau kumur dengan air putih untuk mencegah efek
samping yang mungkin terjadi.
PENUTUP
Pengobatan asma harus dilakukan secara tepat dan benar untuk mengurangi
gejala yang timbul. Pengobatan asma memerlukan kerja sama antara pasien,
keluarga, dan dokternya. Oleh karena itu pasien asma dan keluarganya harus
diberi informasi lengkap tentang obat yang dikonsumsinya; kegunaan, dosis,
aturan pakai, cara pakai dan efek samping yang mungkin timbul. Pasien
hendaknya juga menghindari faktor yang menjadi penyebab timbulnya asma.
Selain itu, pasien harus diingatkan untuk selalu membawa obat asma
kemanapun dia pergi, menyimpan obat-obatnya dengan baik, serta mengecek
tanggal kadaluarsa obat tersebut. Hal ini perlu diperhatikan agar semakin hari
kualitas hidup pasien semakin meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1998, Buku Saku Kedokteran Dorland edisi 25, Penerbit ECG, Jakarta
Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta
Boushey H.A., 2001, Obat-obat Asma dalam Katzung, B.G., Farmakologi Dasar &
Klinik, Ed.I, diterjemahkan oleh Sjbana, D., dkk, Salemba Medika, Jakarta
Brenner, MD, 2005, Current Clinical Strategies , Laguna Hills, California
Dipiro,JT., dkk, 2005, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Sixth
Edition, The McGraw-Hill Companies, Inc.., USA
Advertisements
RELATED

PENGGUNAAN SALBUTAMOL (ALBUTEROL) DALAM TERAPI ASMAIn "Sistem


Pernapasan"
PENGGUNAAN BRONKODILATOR : SIMPATOMIMETIKA (2 AGONIST) DALAM
TERAPI ASMAIn "Sistem Pernapasan"
KONTRAINDIKASI PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI BETA BLOKER PADA PASIEN
ASMAIn "sistem Kardiovaskular"
This entry was posted in Sistem Pernapasan. Bookmark the permalink.
6 RESPONSES TO PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID INHALASI DALAM TERAPI ASMA

Shinta | February 19, 2008 at 11:31 am | Reply


terima kasih atas infonya.
saya penderita asma mulai tahun 1998, umur saya skr 28 th. bbrp tahun y.l saya
mendapatkan terapi kortikosteroid inhalasi (seretide 50 isinya : fluticasone
propionat and salmeterol) dari dokter saya, kebetulan beliau sekarang sudah
pulang ke Amerika.dan saya ingin melanjutkan terapi tsb karena sangat
bermanfaat utk saya. dan saya lupa dg terapi tsb.
yang ingin saya tanyakan, sampai kapan pemakaian seretide yang efektif dan
apakah perlu kombinasi yang lain?
mohon balasannya dan terima kasih atas perhatiannya. salam sejahtera.

Henny

| June 3, 2008 at 1:53 pm | Reply

Halo,Shinta. Asma memang salah satu penyakit yg membuat orang menderita


Saya punya sepupu yg kena asma sejak kecil dan sekarang asma itu menurun ke
anaknya yg masih kecil. Mereka rajin menggunakan obat2an dokter sebagai
terapi. Tapi, cara tsb saya kira kurang aman ya karena yah yg namanya obat
tetap saja racun. Saya sarankan untuk menggunakan terapi udara dengan
produk bernama Lampe Berger, ini produk Perancis dan aromaterapinya sangat
baik untuk mengobati asma secara terapi. Alat ini banyak digunakan oleh RS di
Singapura dan beberapa RS di Indonesia. Begitu pula spp dan keponakan saya
menggunakannya. Dan hasilnya sangat memuaskan.
Bila kamu tertarik untuk melihat dan mengetahui produk Lampe Berger ini
secara lebih detil, bisa hubungi saya : Henny 081806173906

eka | October 8, 2008 at 12:30 am | Reply


OC

huntoyo | December 1, 2008 at 3:14 pm | Reply


saya merasa menderita asma. tapi saya belum periksa dokter. Tapi gejala-gejala
yang saya rasakan jelas asma. kalau saya langsung menggunakan obat-obat
tersebut tampa dokter amankah. mohon balasan. trims.

farmakoterapi-info

| December 7, 2008 at 2:05 pm | Reply

@sdr. Huntoyo
Walaupun anda merasakan gejala-gejala asma, bukan berarti dengan mudah
anda mengobatinya langsung dengan obat asma yang dijual bebas, akan lebih
baik apabila anda pergi ke dokter sehingga mendapatkan penegakan diagnosis
yang tepat. Dengan diagnosis yang tepat, maka harapannya obat yang anda
peroleh juga menjadi tepat. apabila anda sudah jelas menderita asma, maka

anda akan mendapatkan info tentang penanggulangan asma apabila anda


mengalami serangan dengan tiba2. apabila anda sudah mengerti tentang itu,
maka anda dapat menggunakan obat asma dengan tepat dan aman
https://yosefw.wordpress.com/2007/12/31/penggunaan-kortikosteroid-inhalasidalam-terapi-asma-natalia-sugianti-078115060/

Atrovent (Ipratropium Bromide)


Atrovent
Atroven adalah antikolenergik, diberikan dalam bentuk aerosol dan bersifat
bronkodilator (Evelin dan joyce L. kee, 1994 ; Karnen baratawijaja, 1994 ).
Anti-cholinergic Agents

Acetylcholine adalah kimia yang dilepaskan oleh syaraf-syaraf yang melekat


pada receptor-receptor pada otot-otot yang mengelilingi saluran udara
menyebabkan otot-otot untuk berkontraksi dan saluran-saluran udara
menyempit. Obat-obat anti-cholinergic seperti Ipratropium Bromide
(Atrovent) melebarkan saluran-saluran udara dengan menghalangi receptorreceptor untuk acetylcholine pada otot-otot dari saluran-saluran udara dan
mencegah mereka menyempit. Ipratropium bromide (Atrovent) biasanya
dimasukan via MDI. Pada pasien-pasien dengan COPD, ipratropium telah
ditunjukan mengurangi dyspnea, memperbaiki toleran latihan dan memperbaiki
FEV1. Ipratropium mempunyai penimbulan aksi yang lebih perlahan namun
durasi aksi yang lebih panjang daripada beta-2 agonists yang beraksi singkat.
Ipratropium biasanya ditolerir dengan baik dengan efek-efek sampingan yang
minimal bahkan ketika digunakan pada dosis-dosis yang lebih tinggi. Tiotropium
(SPIRIVA) adalah versi Ipratropium yang beraksi lama dan lebih bertenaga dan
telah ditunjukan lebih efektif.
Ipratropium memerlukan waktu lebih lama untuk bekerja dibanding dengan beta2 agonis, dengan puncak efektifitas terjadi pada 2 jam setelah masuk dan
berakhir sekitar 6 jam. Obat ini lebih efektif pada pasien dengan COPD.

Dalam membandingkan ipratropium dengan beta-2 agonists


pada perawatan dari pasien-pasien dengan COPD, studi-studi menyarankan
bahwa ipratropium mungkin lebih efektif dalam melebarkan saluran-saluran
udara dan memperbaiki gejala-gejala dengan lebih sedikit efek-efek sampingan.

Ipratropium terutama cocok untuk penggunaan oleh pasien-pasien kaum tua


yang mungkin mempunyai kesulitan dengan denyut jantung yang cepat dan
tremor (gemetar) dari beta-2 agonists. Pada pasien-pasien yang merespon
dengan buruk pada beta-2 agonists atau ipratropium sendiri, kombinasi dari
kedua obat-obat adakalanya berakibat pada respon yang lebih baik daripada
pada setiap obat sendiri tanpa tambahan efek-efek sampingan.
Komposisi

Ipratropium Bromide
Indikasi

Suatu bronkodilator untuk mencegah dan mengobati gejala obstruksi kronis


saluran nafas pada asma bronkial dan bronkitis kronis dengan atau tanpa
emfisema
Dosis

Larutan Inhalasi

Dosis disesuaikan kebutuhan individu pasien


Dewasa/orang tua dan remaja umur >14 tahun : 3-4 x 0,4-2 ml/hari
Anak 6-14 tahun : 3-4x 0,4-1 ml/hari
Dilarutkan dengan larutan garam fisiologis
Inhalasi dosis terukur :
Dewasa dan anak : pengobatan berkala dan jangka panjang 3-4 x 2 semprot
Untuk mempertahankan keadaan bebas dari gejala-gejala, lakukan inhalasi
secara teratur dengan selang 4 jam dengan maksimal 12 semprot/hari
Kontra indikasi :
Penderita yang hipersensitif terhadap zat-zat seperti atropin atau zat tambahan
obat ini
Perhatian

Dalam dosis tinggi, obat ini dapat menimbulkan bronkokonstriksi pada beberapa
pasien, glaukoma sudut sempit, obstruksi saluran kencing karena hipertrofi
prostat
Efek samping

Mulut kering, iritasi tenggorokan atau reaksi alergi; peninggian tekanan intra
okular pada penderita glaukoma sudut sempit bila salah satu masuk ke mata
Interaksi obat

Preparat beta adrenergik dan xanthine akan memperkuat efek bronkodilatasi.


Efek antikolinergik obat lain dapat ditingkatkan.
Kemasan

Inhalasi dosis terukur (Inhaler) 0,02 mg/semprot 200 semprot; 10 ml


Larutan inhalasi 0,025% 20 ml
Tanggung jawab Perawat dalam Pemberian Obat :
Peran perawat dalam pemberian obat dan pengobatan telah berkembang
dengan cepat dan luas seiring dengan perkembangan pelayanan kesehatan.
Perawat diharapkan terampil dan tepat saat melakukan pemberian obat. Tugas
perawat tidak sekedar memberikan pil untuk diminum atau injeksi obat melalui
pembuluh darah, namun juga mengobservasi respon klien terhadap pemberian
obat tersebut. Oleh karena itu, pengetahuan tentang manfaat dan efek samping
obat sangat penting untuk dimiliki perawat.

Karena obat dapat menyembuhkan atau merugikan pasien, maka pemberian


obat menjadi salah satu tugas perawat yang paling penting. Perawat adalah
mata rantai terakhir dalam proses pemberian obat kepada pasien. Perawat yang
bertanggung jawab bahwa obat itu diberikan dan memastikan bahwa obat itu
benar diminum. Perawat bertanggung jawab dalam pemberian obat-obatan yang
aman. Caranya adalah perawat harus mengetahui semua komponen dari
perintah pemberian obat dan mempertanyakan perintah tersebut jika tidak
lengkap atau kurang jelas dan dosis yang diberikan diluar batas yang
direkomendasikan. Secara hukum perawat bertanggung jawab jika mereka
memberikan obat yang diresepkan dan dosisnya tidak benar atau obat tersebut
merupakan kontraindikasi bagi status kesehatan klien. Perawat wajib membaca
buku-buku referensi obat untuk mendapatkan kejelasan mengenai efek
terapeutik yang yang diharapkan, kontraindikasi, dosis, efek samping yang
mungkin terjadi atau reaksi yang merugikan dari pengobatan.Rencana
keperawatanmya pun harus mencangkup rencana pemberian obat, bergantung
pada hasil pengkajian, pengetahuan tentang kerja dan interaksi obat, efek
samping, lama kerja, dan program dokter.
http://anistiana.blogspot.co.id/2010/11/atrovent-ipratropium-bromide.html

Anda mungkin juga menyukai