Anda di halaman 1dari 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.

1 Definisi , epidemiologi dan etiologi hipertiroid Penyakit


hipertiroidism merupakan bentuk tiroktoksikosis yang paling sering dijumpai dalam
praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering ditemukan pada
perempuan dari pada laki-laki. 1 Tanda dan gejala penyakit hipertiroid yang paling
mudah dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis
(hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, dan
disertai dermopati meskipun jarang. Patogenesis penyakit hipertiroid sampai sejauh
ini belum diketahui secara pasti. Diduga faktor genetik dan lingkungan ikut
berperan dalam mekanisme tersebut. 2 4 Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya,
penyakit Graves dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan
ditemukannya antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone Receptor Antibody /TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi. Pada penyakit Graves,
limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada didalam kelenjar
tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi
terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor
TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan
fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibodi. Adanya antibodi didalam sirkulasi
darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit.
Mekanisme autoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya
hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves. Sampai saat ini
dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu tiroglobulin (Tg),
thyroidal peroxidase (TPO) dan TSH reseptor (TSH-R). 3,4,5 4 Disamping itu terdapat
pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid
dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan
kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderitapenyakitGraves.1,2 Sel-sel tiroid
mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila terangsang oleh
Universitas Sumatera Utara pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan
mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti
DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T. 4 Gambar.2.1. Patogenesis
penyakit Graves 3 Faktor genetik berperan penting dalam proses otoimun, antara
lain HLA-B8 dan HLA-DR3 pada ras kaukasia, HLA-Bw46 dan HLA-B5 pada ras cina
dan HLA-B17 pada orang kulit hitam. Faktor lingkungan juga ikut berperan dalam
patogenesis penyakit tiroid autoimun seperti penyakit Graves. Virus yang
menginfeksi sel-sel tiroid manusia akan merangsang ekspresi DR4 pada permukaan
sel-sel folikel tiroid, diduga sebagai akibat pengaruh sitokin (terutama interferon
alfa). Infeksi basil gram negatif Yersinia enterocolitica, yang menyebabkan
enterocolitis kronis, diduga mempunyai reaksi silang dengan autoantigen kelenjar
tiroid.4 Antibodi terhadap Yersinia enterocolitica terbukti dapat bereaksi silang
dengan TSH-R antibodi pada membran sel tiroid yang dapat mencetuskan episode
akut penyakit Graves. Asupan yodium yang tinggi dapat meningkatkan kadar
iodinated immunoglobulin yang bersifat lebih imunogenik sehingga meningkatkan
kecenderungan untuk terjadinya penyakit tiroid autoimun.4 Dosis terapeutik dari
lithium yang sering digunakan dalam pengobatan psikosa manik depresif,
Universitas Sumatera Utara dapat pula mempengaruhi fungsi sel limfosit T

suppressor sehingga dapat menimbulkan penyakit tiroid autoimun. Faktor stres juga
diduga dapat mencetuskan episode akut penyakit Graves, namun sampai saat ini
belum ada hipotesis dugaan yang memperkuat tersebut. Terjadinya opthtalmopati
Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan antibodi sitotoksik lain yang
terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan tiroglobulin atau TSHR pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk
dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga
menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia. 3,4,5
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin
didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya
akumulasi glikosaminoglikans. Hormon tiroid mempengaruhi hampir seluruh sistem
pada tubuh, termasuk pada pertumbuhan dan perkembangan, fungsi otot, fungsi
Sistem Syaraf Simpatik, Sistem Kardiovaskular dan metabolisme karbohidrat. 4 5
Homorn tiroid dapat mempengaruhi metabolisme karbohidrat baik pada kadar
hormon yang meningkat (hipertiroid) ataupun menurun (hipotiroid). Penyakit
Graves merupakan penyebab paling umum hipertiroidisme. 6,10 1 Sekitar 60%
hipertiroidism disebabkan oleh penyakt Graves. Tirotoksikosis dengan sendirinya
adalah diabetogenik.6 Variabel intoleransi glukosa dapat terjadi hingga 50% dari
pasien tirotoksokosis dengan kejadian diabetes terjadi pada 2-3%, ketika hipertiroid
terjadi pada individu normal. Perubahan metabolik mungkin terjadi sebagai akibat
dari hipertiroidisme dan berkontribusi terhadap penurunan kontrol glikemik.
Meskipun resiko terjadinya diabetes melitus hanya berkisar 2-3% pada individu
yang menderita hipertiroidisme namun jika ini dijumpai akan mempengaruhi dan
menyebabkan sulitnya mengontrol glukosa darah oleh karena dua kondisi metabolik
yang terjadi secara bersamaan. Berbagai perubahan metabolisme dapat terjadi
selama kondisi hipertiroid dan hal ini dapat mempengaruhi status glukosa darah.
Perubahan-perubahan tersebut diantaranya adalah 6 pada kondisi hipertiroid, waktu
pengosongan lambung menjadi lebih cepat. Absorpsi glukosa pada saluran cerna
juga ikut meningkat termasuk aliran darah di vena portal. Ketika beberapa studi
menunjukkan bahwa penurunan sekresi insulin bisa terjadi pada kondisi hipertiroid,
studistudi lainnya melaporkan level insulin baik diperifer dan sirkulasi portal justru
normal atau meningkat. Sebenarnya kondisi ini bisa tertutupi oleh karena adanya
sekresi insulin yang Universitas Sumatera Utara meningkat termasuk juga degradasi
dari insulin tersebut. Pada hipertiroid insulin clearen meningkat hingga 40%. Kondisi
yang berlama-lama dari gangguan fungsi tiroid ini juga akan menyebabkan
gangguan fungsi dari sel beta sehingga akan menurunkan produksi insulin oleh
pankreas dan respon insulin terhadap glukosa. Produksi glukosa endogenous 6
meningkat dengan beberapa mekanisme 6 Meningkatnya prekursor
glukoneogenik dalam bentuk laktat, glutamin dan alanin dari otot rangka dan
gliserol dari jaringan lemak. : Meningkatnya konsentrasi free fatty acid (FFA)
plasma yang bisa menstimulasi hepatik glukoneogenesis. Meningkatnya
glikogenolisis oleh karena inhibisi dari sintesa glikogen Upregulasi dari protein
transporter glukosa atau GLUT-2 pada membran plasma hepatosit Meningkatnya
sekresi dan efek glukagon serta adrenalin terhadap sel-sel hati Gambar.2.2

Pengeluaran hormon tiroid pada berbagai sistem organ pada penyakit Graves 6
Universitas Sumatera Utara Penggunaan glukosa di jaringan adiposa meningkat
pada pasien hipertiroid ini dibuktikan melalui percobaan isolasi jaringan adiposa
dari tikus dan pasien hipertiroid menunjukkan sensitifitas dari transpor glukosa dan
penggunaannya terhadap insulin yang normal, meningkat atau menurun.14,15
Variabilitas hasil ini mungkin sebagai reflek terhadap perbedaan regional pada
jaringan adiposa yang terisolasi.16 Peningkatan ambilan glukosa dan pembentukan
laktat terhadap oksidasi glukosa dan proses penyimpanan pada kondisi hipertiroid.
Kondisi ini disebabkan karena meningkatnya insulin basal, stimulasi GLUT1, GLUT4,
meningkatnya respon glikogenolisis terhadap stimulasi beta adenergik,
meningkatnya aktivitas heksokinase dan fosfofruktokinase serta menurunnya
sensitifitas sintesa glikogen terhadap insulin. 6 Gambar 2.3 Pengaruh pengeluaran
hormon tiroid di otot pada penyakit Graves. 6 Universitas Sumatera Utara Sampai
saat ini belum ada didapatkan angka yang pasti insidensi dan prevalensi penyakit
Graves di Indonesia. Sementara di Amerika Serikat Sebuah studi yang dilakukan di
Olmstead Country Minnesota diperkirakan kejadian kira-kira 30 kasus per 100.000
orang per tahun . Prevalensi tirotoksikosis pada ibu adalah sekitar 1 kasus per 500
orang. Di antara penyebab tirotoksikosis spontan, penyakit Graves adalah yang
paling umum 3 . Penyakit Graves merupakan 60-90% dari semua penyebab
tirotoksikosis di berbagai daerah di dunia. Dalam Studi Wickham di Britania Raya,
dilaporkan 100-200 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Insidensi pada wanita
di Inggris telah dilaporkan 80 kasus per 100.000 orang per tahun. Pada populasi
umum prevalensi gangguan fungsi hormon tiroid diperkirakan 6% 3 Wengjun Li dkk
(2010) dari Fakultas Kedokteran Universitas Shanghai- Cina, meneliti tentang
hubungan penyakit Graves dan Resistensi insulin (RI), pada 27 subjek penyakit
Graves terjadi gangguan metabolisme glukosa sebesar 63,0 % dengan RI 44,4 %. .
21 Chih H C dkk (2011) dari Divisi endokrin dan metabolik, bagian Penyakit Dalam,
Kaohsiung Veterans General Hospital, Kaohsiung-Taiwan meneliti tentang RI pada
pasien hipertiroidism sebelum dan sesudah pengobatan hipertiroid dan dijumpai
adanya perbaikan RI pada pasien yang mendapat pengobatan selama 3-7 bulan
(Journal of Thyroid Research 2011). 2.2 Gambaran Klinis Pada penyakit Graves
terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal yang
keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia
kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan.
Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas
simpatis yang berlebihan.5 Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas,
keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun
nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan serta atrofi
otot.2,3,5 Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang
biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50%
sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar,
kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan
mata) dan kegagalan konvergensi. Gambaran klinik klasik dari penyakit Graves
antara lain adalah tri tunggal Universitas Sumatera Utara hipertitoidisme, goiter

difus dan eksoftalmus.2,3 Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi
klinis yang umum ditemukan antara lain palpitasi, nervous, mudah capek,
hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak tahan panas dan lebih senang cuaca
dingin. Pada wanita muda gejala utama penyakit Graves dapat berupa amenore
atau infertilitas. Pada anakanak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan
proses pematangan tulang. Sedangkan pada penderita usia tua ( > 60 tahun ),
manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler
dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi, dyspnea deffort, tremor, nervous
dan penurunan berat badan. 3,4,7, 2.2 Komplikasi Oftalmopati Graves terjadi akibat
infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler disertai dengan reaksi inflamasi akut.
Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita sehingga pembengkakan otot-otot
ekstraokuler akan menyebabkan proptosis (penonjolan) dari bola mata dan
gangguan pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia.
Pembesaran otototot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT scanning
atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi
penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan. 3,4,7 2.4
Pemeriksaan laboratorium Autoantibodi tiroid, TgAb, dan TPO Ab dapat dijumpai
baik pada penyakit Graves maupun tiroiditis Hashimoto, namun TSH-R Ab (stim)
lebih spesifik pada penyakit Graves.4 Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam
keadaan apathetic hyperthyroid atau pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda
klinis dan laboratorium yang jelas. Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium
pada penyakit Graves dan hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme
umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid.
Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T4) dan
triiodotironin (T3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating
hormon (TSH). Universitas Sumatera Utara Artinya, bila T3 dan T4 rendah, maka
produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi,
maka produksi TSH akan menurun. Pada penyakit Graves, adanya antibodi
terhadap reseptor TSH di membran sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan
produksi hormon tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi
tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar
hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak
terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring
paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive
(TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati 0,05mIU/L.
Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T4 bebas (free T4/FT4). 4,7 2.5
Pengobatan. Walaupun mekanisme autoimun merupakan faktor utama yang
berperan dalam patogenesis terjadinya sindrom penyakit Graves, namun
penatalaksanaannya terutama ditujukan untuk mengontrol keadaan
hipertiroidisme.2,7 Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap
hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu: Obat anti tiroid, pembedahan dan
terapi yodium radioaktif.17 Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal
antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma,
ketersediaan obat antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain

yang menyertainya. 2,7 2.5.1 Obat Antitiroid: Golongan Tionamid Terdapat 2 kelas
obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan
nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan
karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang
isinya sama dengan metimazol. 1,2,4 Obat golongan tionamid mempunyai efek
intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah
mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T3 dan T4, dengan cara
menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling Universitas
Sumatera Utara iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan
menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang
utama ialah menghambat konversi T4 menjadi T3 di jaringan perifer (hanya PTU,
tidak pada metimazol). 20 Atas dasar kemampuan menghambat konversi T4 ke T3
ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan
segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek
penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat
diberikan sebagai dosisi tunggal.17 Belum ada kesesuaian pendapat diantara para
ahli mengenai dosis dan jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT.18
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan
methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya dapat
berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan. 10 Untuk
mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid biasanya
diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis,
diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari).19
Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-150 mg setiap 6
jam. Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-200 mg, 1 atau2kalisehari. 18
Propiltiourasil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena dapat
menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar
hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves.20 Methimazole
mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis tunggal sekali
sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap pagi selama 1-2
bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5-20 mg perhari.18 Ada juga
pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis tergantung pada beratnya
tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai dengan 3 x 100-200 mg/hari dan
metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu
pertama. Setelah periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons
klinis dan biokimia.20 Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan
sampai dosis terkecil PTU 50 mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang
masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T4 bebas dalam
batas normal. Bila dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan
biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan
memperhatikan faktorfaktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat,
aktivitas fisis dan psikis. 20 Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan
timbulnya efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping
agranulositosis yang lebih kecil), Universitas Sumatera Utara gangguan fungsi hati,

lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama
pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping yang berat sehingga perlu
penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi
alternatif yaitu yodium radioaktif. Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam
dan sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.17 Efek
samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi dengan Obat Anti
Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity
dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut,
sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit
darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah
terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan
memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas
pengobatan yang lain seperti I131 atau operasi. Bila timbul efek samping yang lebih
ringan seperti pruritus, dapat dicoba diganti dengan obat jenis yang lain, misalnya
dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.17 Evaluasi pengobatan perlu dilakukan
secara teratur mengingat penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang tidak
bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak
dilakukan sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan biokimia guna
menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai respons
hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan eutiroid.19 Kemudian dosis
diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih mampu mempertahankan
keadaan eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai
remisi. 1 Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai