Hingga kini belum ada lembaga apapun juga yang secara formal dan
sistematis melakukan kajian seni secara komrehensif, filosofis (eistetika atau
filsafat seni Islam, yang merumuskan batasan nilai keindahan sesuai dengan
ajaran Islam), teoritik (sejarah, struktur, dan klasifikasi: apakah ada seni Islam
ataukah hanya ada seni muslim), praktik (kajian tentang teknik-teknik
perbidang), dan apresiatif (kritik seni yang mengkaji perkembangan seni Islam
dalam hubungannya dengan perkembangan masyarakat muslim) yang
mengatasnamakan lembaga seni Islam. Inti pendirian kelompok ini menyatakan
bahwa Seni Islam itu tidak ada, dan yang ada adalah orang Islam bersseni.
2.
Sebagian umat Islam atau bisa disebut seniman muslim bersemangat
menunjukkan berbagai dalil aqliyah (rasional) bahwa Alquran sendiri
mengandung nilai seni yang amat tinggi dan demonstratif bahwa musabaqah
tilawatil quran digelar di mana-mana, demikian juga seni kaligrafi Islam-Arab,
maupun naqliyah (teks yang bersumber dari Alquran maupun as-Sunnah;
Alfaruqi, 1999: v-vi) menjelaskan tentang keindahan sebagai buah karya seni. Inti
pendirian kelompok ini adalah seni merupakan salah satu dari kandungan atau
jangkauan Islam. Dalam bab ini tentu dinyatakan bahwa seni Islam itu ada.
C. Aliran Filsafat Seni
Sekurang-kurangnya terdapat dua aliran besar dalam seni, yaitu seni
untuk seni (the art for the art) dan seni untuk sesuatu (the art for the others).
1.
1.
Seni untuk Seni
Pada awal abad 19 ditengarai munculnya gerakan seni untuk seni (the art for
the art) . Di Perancis gerakan ini didukung oleh Flaubert, Gauthier, dan Baudelaire.
Di rusia oleh Pushkein. Di Inggris oleh Walter Patter Oscar Wilde. Di Amerika oleh
sastrawan Allan Poe. Aliran ini berakar dari Romantisime Romawi yang dapat
ditemukan akar-akarnya pada Friedrich Schlegel dan Henrich Heine (Syarif, 1984 :
114).
Mereka meyakini slogan Seni Untuk Seni. Dengan slogan ini dimaksudkan bahwa
keindahan sebagai produk seni, adalah kualitas seni yang khusus. Ia adalah nilai
dasar yang absolut, menyeluruh dan tertinggi. Nilai-nilai lain seperti kebenaran dan
kebaikan berada di bawahnya atau malah sama sekali tidak relefan. Di dalam
panggung kehidupan, seni memiliki daerahnya sendiri, mempunyai tujuannya
sendiri, tidak mempunyai misi yang harus dipenuhi kecuali membangkitkan jiwa
sang kontemprator untuk menciptakan sensasi-sensasi keindahan tertinggi.
Moralitas, instruksi, uang, dan populalaritas tidak boleh menjadi tujuan seni, tetapi
malah merendahkan nilai artistik sesuatu seni (Syarif, l984 : 115). Buat mereka, seni
adalah otonom tidak bergantung pada yang di luar seni.
Gauthier, utamanya, ia mengatakan bahwa seni bukan suatu cara, tetapi tujuan.
Seorang seniman yang mengejar tujuan lain di luar keindahan adalah bukan
seniman (Syarif, l984 : 115). Sementara itu, Orcar Wilde memisahkan secara penuh
antara lingkungan etika dan seni( Syarif, l984 : 1). Sebuah patung naturalis telanjang
bulat yang dipasang di pusat keramaian, jia ini dipandang indah, tentu dilakukan
dengan tanpa mermpertimbankan nilai etis. Jika peristiwa ini benar-benar ada, pasti
menjadi heboh. Tokoh agama dan kaum moralis lainnya pasti memprotesnya, karena
dipandang bertentangan dengan nilai moral. Beberapa tahun yang lalu, kasus
pembuatan gambar-gambar bugil Dewi Sukarno Putri pada suatu majalah menjadi
heboh. Tabloid yang pernah muncul penaka kecambah, beberapa diantaranya
mengintrodusir gambar-gambar bugil atau hampir bugil atau secara umum seronok
pada halaman sampulnya mendapat reaksi keras dari tokoh maupun lembagalembaga penjunjung tinggi moralitas. Goyang ngebor Inul Daratista, goyang patahpatah Anisa bahar, Goyang gergaji dari Dewi perssik dalam seni panggung menjadi
heboh dan mendapat protes keras dari pendukung kaum moralis yang anti
pornografi dan pornoaks atau sekurang-kurang erotisme. Karya Taman Eden yang
menampilkan pose bugil Anjasmoro dan kawan-kawannya tidak luput dari hujatan
keras dari kaum pendukung seni untuk sesuatu di luar seni. Mulai Maret 2008
Pemerintah Republik tercinta ini (Indonesia), demi menjaga supaya generasi
mudatidak rusak parah moralitasnya menutup situs pornografi maupun pornoaksi
dalam dunia internet, adalah sikap dan gerak nyata anti seboyan seni untuk seni
Seni untuk seni yang produksi seninya dinilai seronok oleh masyarakat tidak akan
menjadi masalah manakala semua orang mendukung paham itu. Mungkinkah ini
bisa terjadi ? rasanya tidak mungkin atau malah pasti tidak mungkin. Manusia tidak
bisa diseragamkan dalam paham seni. Justru kebanyakan manusia tidak sadar akan
dunia seni atau malah tidak menyadarkan diri akan dunia seni. Bagi mereka,
sebagian berpendirian bahwa yang penting tuntutan ekonomi dasar (pangan,
sandang, papan). Seni bagi kebanyakan orang adalah komoditas mewah. Orangorang semacam ini biasanya dalam penghayatan agama juga terbatas pada aturanaturan pokok kehidupan agama seperti pelaksanaan ritus dalam Islam. Agama,
dalam kasus Islam dilihat melalui tolok ukur wajib-haram, sunnah-makruh, dosamemperoleh pahala, ketika melihat patung naturalis bugil di pusat keramaian, tidak
dipandang sebagai karya seni yang indah, melainkan dihukumi haram, dosa, dan
membinatangkan manusia.
Jadi, sebenarnya doktrin seni untuk seni bukanlah sesuatu yang ideal, justru
ditentukan oleh persoalan-persoalan eksternal non seni, seperti etika jika harus
dihadapkan dengan etika sebagai lawan seni. Seni menjadi sesuatu yang menentang
kodrat Ilahi. Tujuan utama keutusan para Nabi dan Rasul sepanjang sejarah
manusia justru mengenai etika. Nabi dan Rasul terakhir Islam adalah Muhammad
saw (570:622) mengaku bahwa tugas pokoknya sebagaimana ia katakan adalah
sebagai berikut: . . . ( ( ) Aku diutus hanyalah
utuk menyempurnakan kebaikan akhlak. H.R. al-Laisi dari Malik bin Anas). Seni
menjadi bagian integral dalam risalah kenabian Muhammadsaw.
Suatu hal lain menjadi kelemahan doktrin seni untuk seni adalah menyaksikan alam
semesta, yang menurut pandangan iman adalah refleksi karya Agung Sang Maha
Pencipta, dipandang sebagai sesuatu yang statis dan tidak bermakna karena lepas
dari sensasi-sensai keindahan dari sang seniman. Flaubert si pendukung mazhab ini
amat membenci kenyataan. Keindahan pegunungan Alpen tidak menimbulkan daya
tarik baginya. Baudelaire menatap alam dalam penampakan keaslinya, ia pandang
sebagai sesuatu yang monoton dan menjemukan. Menurutnya, seni harus
berhubungan nilai absolut dan tertingi yaitu dipakai untuk menggantikan filsafat
dan agama (Syarif, l984 : 116). Kalau sudah sampai tahap begini, seniman tidak bisa
menjadi filosof dan agamawan, demikian sebaliknya. Tidak pula ia menjadi seniman
yang berdoktrin Seni untuk seni secara setengah-setengah dan menjadi agamawan
sebagai agama doktrin dan peradaban. Point yang diperoleh dari premis ini adalah
Islam mengandung soal seni. Kandungan ini amat kecil barangkali sehingga amat
samar dan akibatnya sulit memotret secara jelas apa itu seni Islam, bagaimana umat
Islam mengapresiasi kesenian yang semuanya menjadi wacana yang hangat yang
secara keseluruhan atau sekurang-kurangnya secara mayor mencurigai seni.
Bolehlah dikatakan bahwa Islam ya terhadap seni, tetapi seperti apa ? Jawaban
pertanyaan ini dapat dijelaskan dalam dua level, operasional dan konsepsional
tentang seni.
1.
a.
Devinisi
Inti ajaran Islam dalam rumusan verbal dan perbandingan antar agama-agama
adalah tauhid. Essensi tauhid adalah meng-Esa-kan Tuhan, bukan hanya dalam level
keyakinan, melainkan total kehidupan. Karena itu, fenomena apa pun yang berlabel
Islam pasti dan harus berasal, beroperasional, dan bermuara pada tauhid. Islam
yang sumber ajaran pokoknya Alquran dan as-Sunnah, dan kandungannya
menyediakan pembentukan kebudayaan lengkap. Semuanya terbawahkan oleh
posisi tauhid. Tauhid berada di puncak piramida sesuatu yang disebut Islam. Atas
dasar alur pikir ini mendevinisikan seni Islam kiranya dapat dipahami.
Seni Islam dapat didevinisikan sebagai segala produk historis yang memiliki nilai
eistetis yang telah dihasilkan oleh orang-orang Islam dan dalam kurun sejarah Islam,
berdasarkan pandangan eistetika tauhid dan selaras dengan semangat keseluruhan
peradaban Islam, dengan enam ciri yang diambilkan dari ideal Alquran: abstraksi,
struktur modular, kombinasi suksesif, repetisi, dinamis, dan rumit (Alfaruqi, l999 :
vii-viii). Pertama-tama yang harus disadari dalam devinisi ini adalah sifatnya yang
aplikatif dalam arti mengabstraksi prestasi seni yang telah dicapai, meskipun dapat
juga dikenakan sebagai kerangka paradigmatik. Penjelasan keenam ciri tersebut
adalah sebagai berikut:
1). Abstraksi
Yang dimaksuds ciri abstraksi dalam seni Islam adalah pengingkaran naturalisme
dan pencegahan menghadirkan fenomena natural dalam karya seni, khususnya adala
seni patung. Kalau pun harus akan mencipta karya-karya figuratif alami harus
diupayakan denaturalisasi (Alfaruki, 1999 : 8). Demikian inilah diagnosa pengamat
seni Islam. Iqbal yang filosof dan seniman (Syarif, 1973 : 99) menyarankan bahwa
seni yang benar adalah seni yang bebas dari belenggu alam (Darb-I Kalim : 115). Seni
yang meniru alam dianggap pengemis di depan pintu alam. Dalam idea Insan Kamil,
Iqbal menggubah syair yang potongannya sebagai berikut:
(Sesungguhnya diantara yang amat berat siksaannya adalah orang yang memahat
menyerupai atau menyamai ciptaan Allah; H.R. al-Bukhari dan Muslim).
(5) Pematung naturalis memang menjadi penghuni neraka:
.
(Sesungguhnya sebagian penduduk neraka besok pada hari kiyamat untuk mendapat
siksa yang amat berat adalah para seniman naturalis; H.R. Muslim).
(6). Pematung naturalis dituntut untuk memberi nyawa atau menghidupkan hasil
karyanya:
. ) (
() .
(Barang siapa membuat patung naturalis di dunia, ia dituntut untuk meniupkan roh
di dalamnya besok pada hari kiyamat, padahal ia tidak bisa meniupnya, H.R. Muslim
dari Ibnu Abbas; atau beliau bersabda: Hidupkanlah! H.R. al-Bukhari).
Dalam memahami ancaman tersebut hendaklah mempetimbangkan dua
keadaan:pertama, Nabi amat sensitif terhadap patung. Islam, ketika pertama kali
menguasai kota Makkah (fath} al-Makkah) benar-benar tegas dalam melakukan
pemberantasan terhadap patung (al-asna>m). Di sekeliling kabah tidak kurang dari
360 buah, belum lagi di tempat-tempat lain. Patung-patung ini menjadi sarana atau
objek penyembahan dan poengorbanan kepada para dewa (ilah). Sementara Islam
memperkenalkan tauhid. Jadi, penghancuran ini dilakukan supaya orang tidak
musyrik. Jika karya patung naturalis tidak dalam konteks sebagai sarana
penyembahan, pengorbanan, atau sebagai ruitus-ritus keagamaan, tentunya lain
ceritanya. Penjelasan demikian: Seandainya berkarya seni patung naturalisme harus
ditetapkan putusan hukumnya, haram itulah penetapannya karena (1) Allah dan
Rasulullah melaknat, (2) Allah dan Rasulullah memberi ancaman siksaan besok di
hari akhir, (3) Rasulullah sama sekali tidak pernah melakukannya. Sesuatu
diharamkan itu karena mengandung mad}arat bagi pelaku yang diputusi haram.
Jika tidak pernah melakukannya justru memperoleh manfaat, sekalipun bersifat
janji-janji eskatologis. Tetapi, di dalam proses penetapan hukum dalam Islam itu
berlaku kaidah bahwa, Hukum itu tergantung pada illat ; sebab, konteks,
alasannya: ( Zahra, 1958 : 224,250). Jika patung naturalis dibuat
tidak dalam konteks sarana atau dalam penyembahan dan pengorbanan, atau secara
umum ritus-ritus sakral, alasan menetapkan hukum haram pada patung naturalis
tidak cukup. Kedua, alam dengan segala isinya natural adalah ciptaaan dan hak
paten Allah swt. Wajar jika orisinalitas ciptaannya ditiru orang yang itu adalah juga
makhluk-Nya. Dalam dunia manusia saja, karya yang telah ada hak patennya, tidak
boleh dijiplak atau dibajak, kecuali telah mendapat ijin pengarang atau pembuat
aslinya. Ini sebenarnya mengandung ajaran supaya seorang seniman senantiasa
berkarya kreatif dan orisinal.
Meskipun deminian, masih ada peluang bagi orang Islam untuk membuat karya
patung bukan yang bernyawa. Dalam hal ini Rasulullah bersabda:
( Beliau bersabda: jika kamu terpaksa harus
membuat patung naturalis, maka buatlah pohon atau sesuatu lain yang tidak
bernyawa; H.R. Muslim dari Ibnu Abbas).
2). Struktur modular
Karya seni Islam tersusun atas berbagai bagian atau modul yang dikombinasikan
untuk membangun rancangan atau kesatuan yang lebih besar. Masing-masing modul
ini adalah sebuah entitas yang memiliki keutuhan dan kesempurnaan diri, yang
memungkinkan mereka untuk diamati sebagai sebuah unit ekspresif dan mandiri
dalam dirinya sendiri maupun sebagai bagian penting dari kompleksitas yang lebih
besar.
Ciri ini bisa dipadatkan dalam term ekspresionisme. Hanya saja, kadang-kadang
seorang seniman tidak bisa mengontrol karya seninya secara utuh. Kalimuddin
menulis demikian:
An artist may not know anything about the nature of art. The process of cration
is often incomprehensible to the artist. He created, and be creates in a particular
manner, but very often he can not explain why he work in a certain way and not
other. He knows he is right; he feels it in his hones that a thing should be just so that
the least alternation would spoil it, but for the life of him he can not give any clear
and convincing reasons wich would be obvious to critic (Kalim, 1973 : 249).
Dalam kasus seperti ini sang seniman hanya menyadari bahwa tindakannya benar
dan hasil karyanya indah. Secara etis memang tidak ada masalah dengan hukum,
artinya tidak haram sepanjang ciri-ciri naturalisme tidak ada.
3). Kombinasi Suksesif
tersebut secara umum kiranya, dalam tampilan praktis, bukan monopoli seni Islam.
Ke enam ciri ini akan lebih menjadi ciri-ciri yang benar-benar hakiki jika indahnya
sebuah karya seni muncul dari pandangan tauhid atau keindahan yang dapat
membawa kesadaran transendensi ilahiah (Alfaruqi, l999 : vii).
1.
b.
Konsepsional Seni
1). Tuhan sebagai Pencipta
Alquran menjelaskan Allah itu adalah wujud yang Transenden, tak ada pandangan
dapat melihatnya, dan di atas segala perbandingan. Dalam hal ini Allah berfirman:
(Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia adapat melihat segala
yang kelihatan; Dan Daialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui Q.S. alAnam/6: 103).
Tidak ada sesuatu apapun seperti Dia. Dia berfirman:
(Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia; dan Dialah Yang Mah Mendengar
lagi Maha Melihat, Q.S. asy-Syuara/42 : 11).
Ia berada di luar jangkauan penjelasan apa pun dan tidfak mungkin dipresentasikan
melalui gambaran (image) antropomorfis, zoomorfis, maupun simbul figural alam
(Alfaruqi, 1999: 3). Ajaran yang terkandung di balik kualitas-kualitas Tuhan seperti
dalam dunia seni adalah pelarangan mengubah karya seni itu dalam berbagai aliran:
abstraksionisme, ekspresionisme, maupun naturalisme tentang Tuhan. Tetapi
kualitas Dia adalah pencipta segala sesuatu:
( Dia yang menciptakan segala sesuatu dan Dia
memelihara segala sesuatu, Q.S. az-Zumar/39 : 62).
Kegiatan penciptaan terkadang mencipta dari ketiadaan menjadi ada sesuatu dengan
kualitas mengadakan sesuatu tanpa alat, bahan, waktu, dan ruang (al-Asfahani,
l992 : 111),creatio ex nihillo. Contoh pemakainnya dalam Alquran adalah:
( Dia yang menciptakan langit-langit dan bumi . . . Q.S. al-Baqarah/2 : 117),
atau mencipta sesuatu dari sesuatu yang sudah ada (al-Asfahani, l992 :
292), transforming matter.Contohnya adalah pernyataan Alquran:
(Dia mencipta kamu dari diri yang satu, Q.S. an-Nisa>/4 : 1). Dan:
(Dia mencipta mencipta manusia dari air mani, Q.S. an-Nahl/16 : 4).
Akan tetapi dalam kualitas seperti itu, Dia memperkenalkan diri dalam banyak
atribut, antara lain: (1) Sebagai al-Khaliq dan al-Mus}awwir . Dalam hal ini Allah
berfirman: ( Dia adalah Allah yang Maha Mencipta
yang Mengadakan, yang Membentuk rupa, yang Mempunyai nama-nama yang baik,
Q.S. al-H}asyr/59 : 4).
Salah satu tajalli (refleksi) al-Mus}awwir adalah membentuk rupa manusia. Dalam
hal ini Allah berfirman:( Sesungguhnya kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya, Q.S. ath-Thin/95 : 4).
Arti general s}awwara dan ensiklopedis adalah jaala lahu
s}u>ratan mujassimatan(menjadikan sesuatu dalam bentuk yang fisikal). Manusia
dibentuk secara matrial dalam kelas yang disebut manusia secara fisika;l, demikian
pula aneka jenis mineral, tetumbuhan, binataang, maupun benda-benda angkasa.
Semuanya dalam bentuknya yang khas, spesifik, dan tidak ada bentuk yang benarbenar kembar. Secara pragmatis dan logis masing-masing bentuk fisik yang
serumpun disaebut spisies.
Dalam penampakan ke-wujud-an terjadi tidak secara bim salabim, melainkan secara
evolusional atau sekurang-kurang prosessual, betatapun
pelaku s}awwara/mus}awwir(pemberi bentuk) itu adalah Tuhan. Arti term ini
adalah intaqala min h}a>l ila al-ukhra(pindah dari suatu kualitas kepada yang lain,
Anis,I, 531). Contoh pemakaian makna term ini adalah:
. . . ( Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu(Adam), lalu Kami
bentuk tubuhmu, lalu Kami katakan kepada para malaikat:Bersujudlah kamu
kapada Adam. . ., Q.S. al-Araf/7 : 11).
Jika konsep s}awwara diterapkan ke dalam dunia aliran seni, tindak penciptaan dan
pembentukan oleh Tuhan adalah berpola non naturalisme, meskipun hasil jadi
ciptaan dan bentukan Tuhan yang mewujud dalam bentuk alam semesta dengan
segala isinya oleh manusia disebut natura. Tindak Tuhan mencipta dan membentuk
disebut non naturalisme karena memang tidak mencontoh barang yang telah ada.
2). Dia Sebagai Yang Indah
Secara tekstual Nabi saw mengatakan: ( Sesungguhnya
Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung adalah Indah dan Dia menyukai
keindahan, H.R. Ahmad dari Uqbah bin Amir). Ia (Ahmad) meriwayatkan hadis ini
tiga kali dan Muslim satu kali. Itulah sebabnya indah dalam pandangan Islam
berlaku manakala sebuah karya seni dapat membawa kesadaran pencipta seni
maupun penaggapnya kepada idea transendensi ilahiah.
Kalau Nabi saw mengatakan demikian, maka diyakini kebenrannya oleh umat Islam.
Dalam sejarah Islam, para sufi dan sastrawan menghayati dan mencintai Tuhan
dalam taraf cinta asketik dan mengungkapkannya Tuhan sebagai Yang Maha Indah.
Jauh hari sebelum Muhammad saw lahir, Plato telah mengatakan Tuhan sebagai
Keindahan Yang Abadi atau Keindahan Mutlak, good absolut (Syarif, 100; Runes,
1976 : 97), Keindahan Yang Tertingi, Summum Bonum (Syarif, l984 : 91). Dalam
semua wewujudan Tuhan menampakkan Diri. Demian Syarif menulis:
Tuhan sebagai Keindahan Abadi, Yang Ada tanpa tergantung pada dan mendahului
segala sesuatu, dan karena itu menampakkan diri dalam semuanya itu. Dia
menyatakan Dirinya di langit dan di bumi, di matahari dan di bulan, pada kerlip
bintang-bintang, dan jatuhnya embun, di tanah dan di laut, di api dan nyalanya, di
batu-batu dan pepohonan, pada burung-burung dan binatang buas, di wewangian
dan nyanyian; tetapi di mana pun Ia menunjukkan Diri, tidak lebih dari pada yang
nampak di mata Salimah, bahkan sebagai Dante; di mana pun, Dia menampakkan
Diri, Dia tidak lebih dari pada yang tampak pada Beatrice. Seperti halnya besi ditarik
oleh magnet, demikian pula segala sesuatu ditarik oleh Tuhan.
Dalam kutipan tersebut tampak jelas pengertiannya bahwa segala ciptaan Allah
indah karena keluar dari Yang maha Indah. Semua ciptaan dan bentukan Allah
adalah Master Piece (karya agung) sehingga Ia tidak malu-malu membuat nyamuk
atau yang lebih rendah dari itu (Q.S. al-Baqarah/2 : 26) sebagai hasil karya yang
lebih bermanfaat dibanding berhala/patung sebagai sesembahan yang tidak mampu
memberi perlindungan apa pun laksana sarang laba-laba (Depag, l971 : 13).
Hanya saja dalam bahasa dan akal diskursif manusia, sesuatu atau segala sesuatu
dalam kajian seni dibagi secara dikhotomis menjadi indah dan jelek, baik dan
buruk, , , dst, orang akan mengatakan :
Seorang wanita berkulit putih bersih, hidungnya mancung, bermata biru,
rambutnya pirang, atau hitam berkilau, tinggi/langsing akan dikatakan cantik atau
indah; semerntara yang berkulit hitam, hidungnya pesek, bibirnya tebal, rambutnya
keriting, tubuhnya besar dan pendek, dan perutnya buncit tentu akan dikatakan
jelek.
Padahal, orang ini juga termasuk Master Piece (karya agung) Tuhan. Itulah
sebabnya dalam aspek moral Nabi Muhammad saw mengatakan demikian:
.
melihat
bebas dari belenggu alam (Iqbal, Kalim, 115) dan karyanya bukan seni demi seni,
melainkan seni yang fungsionalis
Kalau tujuan Islam turun di muka bumi ini sebagai rahmat dan berkah bagi alam
semesta: ( Dan tidak Aku utus engkau (Muhammad), kecuali
untuk rahmat bagi alam semesta: Q.S. al-Anbiya/22 : 107), maka seni, sebagai bagian
integral dari Islam., harus juga sinergi dengan tujuan risalah ini. Itulah yang
dimaksud seni dalam pandangan Islam adalah seni yang fungsionalis. Dalam hal ini
Allah berfirman:
Arttinya: Katakanlah :Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkannya untuk hamba-hamba-Nya (siapa pula yang mengharamkan) rezeki
yang baik ? katakanlah semua itu bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan
dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiyamat; Q.S. al-Araf/7 : 32).
Yang dimaksud perhiasan adalah segala sesuatu yang mendatangkan keindahan.
Perhiasan dengan demikian adalah karya seni, dan seni sebagaimana diisyaratkan
dalam ayat itu adalah fungsionalisme, bukan hanya bagi atribut kehidupan orang
beriman di dunia, melainkan hingga ke akhirat kelak.
Akar dari paham fungsionalisme adalah Plato. Menurutnya seni harus mengandung
tujuan etis dan instruksional. Daya magis seni harus digunakan untuk menghasilkan
warga yang baik (Syarif, 1984 : 126). Di Barat, fungsionalisme seni didukung oleh
antara lain: Ruskin, Guyau, Tolstoy, Ibsen, dan Shaw. Mereka menghendaki fungsi
seni sebagai perubahan. Dalam Islam, Iqbal adalah pendukung fungsionalisme yang
amat berat. Seni, katamya, adalah sarana ayang berharga bagi prestasi kehidupan
( Iqbal, Asrar: 42). Menurutnya, menentang apa yang ada dilandasi keinginan
untuk mencipta apa yangseharusnya adalah sikap hidup yang baik ( Syarif,
1984 : 130), dan teman sekerja Tuhan adalah seniman yang menjadi rahmat bagi
kemanusiaan (Syarif, l984 : 1209). Jadi, seniman sejati dalam pandangan Islam
adalah seniman yang berkarya dengan dilandasi kesadaran bertuhan; tangannya
digerakkan oleh Tuhan karena pribadinya telah menyatu dengan Tuhan dan hasil
karyanya, tidak hanya menyenangkan karena ini hanya efek karya seni, melainkan
untuk rahmat bagi kemanusiaan. Seniman yang egois dan tidak peka terhadap
persoalan kemanusiaan adalah menyalahi kodrat dirinya sebagai wakil Tuhan di
muka bumi ini, yaitu memakmurkannya.
Sekarang ini, dapat disaksikan bahwa penganut fungsionalisme seni dari orang Islam
adalah Noor Mustakim salah satu galery seninya terletak di lereng gunung Muria
Kabupaten Kudus Jawa tengah, dan yang lainnya terletak di Jakarta maupun
Yogyakarta. Sebagai seniman, ia mengaku dalam berkarya selalu berangkat dari
kesadaran iman. Tuhan lah yang menggerakkan tangannya. Pikiran seolah-olah
kosong. Dalam beberapa kesempatan dialog dengan saya, ia berkata:
Setelah tangan memegang kanfas dan instrumen-instrumen lainnya tersedia, tibatiba leerr, , , leerr, , leerr, , , Dalam keadaan itu, terkadang dalam hati protes, dengan
coret-coret sembarang supaya hasilnya tak karuan. Tetapi hasilnya, ternyata dinilai
oleh pengamat dan penghayat seni amat indah.
Atas dasar pemikiran seperti ini, dan ini biasa terulang, katanya, maka ketika ditanya
mana karyanya yang dianggap sebagai Master Piece, ia mnenjawab bahwa semua
karyanya adalah Master Piece karena ia bekerja atas dorongan iman. Untuk itulah ia
berkata: Sesederhana apapun, ciptaan Tuhan itu indah, dan setiap sentuhan
tanganku dalam bentuk apapun adalah seni yang merupakan karunia-Nya. Inilah
barangkali rahasianya, ia tidak menganut paham seni untuk seni, melainkan seni
untuk sesuatu karena datangnya dari Allah. Sementara Allah mengamanatkan pada
manausia supaya menebarkan kemakmuran di bumi.Untuk itu, perlu ada
keterpaduan antara seniman, pengusaha, dan pencinta seni, kata Panoet Harsono,
orang yang pernah menjadi orang nomor satu di Bank Penbangunan Daerah Jawa
Tengah.
Sebagai bukti pilihannya yang fungsionalistik, ia berobsesi mendirikan sebuah
universitas di lereng gunung Muria Kudus pantura Jawa Tengah, dengan modal
perguruan yang berbasis pada alam, lalu diolah atas dasar seni dan ditujukan bagi
kesejahteraan manusia. Khusunya fakultas seni bebas dengan berbagai juruasannya
akan dibuka pada tahun 2002 2003. hanya saja, obsesi itu telah menjadi
kenyataan atau belum adalah persoalan lain, setidak-tidaknya idea mendirikan
lembaga seni secara legal sebagaimana dipertanyakan Alfaruqi telah direspon, justru
di kota kecil di Jawa Tengah, yaitu di Kudus.
D. Muhammadiyah dan Seni
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan yang memiliki misi:
(1) Menegakkan keyakinan tauhid yang murni; (2) Menyebarluaskan ajaran Islam
yang bersumber kepada Alquran dan as-Sunnah dan (3) Mewujudkan amal Islami
dalam kehidupan pribadi keluarga, dan masyarakat (Sukaca, 2008 : 4),
menghindarkan penyakit TBC+S [tahayyul, bidah, khurafat, dan syirik)
Al-Quran al-Karim
Agus Sukaca, Gerakan Pengajian Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2008.
M.M. Syarif,(terj.) Iqbal Tentang Tuhan dan Keindahan, Bandung:Mizan,
1984. Ismail Raji al-Faruqi, (terj.), Seni Tauhid: Esensi dan Ekspresi Estetika
Islam, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999.
Abdul Wahhab Azzam, Filsafat dan Puisi Iqbal, Bandung: Pustaka, 1985.
Abi Abdullah Muhammad bin Ismail, Matn al-Bukhari fi H}asyiyat as-
1996.
Ibrahim Anis, (et.all.), al-Mujam al-Wasith. Beirut: Dar al-Fikr, l994.
Al-Isfahani, Mufradat Alfa>f al-Qura>an al-Kari>m. Beirut: Dar al-Fikr,
l992
Muhammad Abu Zahra, Us}u>l al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr, l958.
Anas bin Malik, al-Muwaththa. Beirut: Dar al-Fikr, l985.