Anda di halaman 1dari 14

A.

Konsep Dasar Typhus Abdominalis


1. Pengertian
Menurut Muttaqin dan Sari (2011), demam tifoid atau sering
disebut dengan Typhus abdominalis adalah penyakit infeksi akut pada saluran
pencernaan yang berpotensi menjadi penyakit multi sistemik yang disebabkan
oleh Salmonella thyphi. Sedangkan menurut Mansjoer (2003) dalam Wijaya
dan Putri (2013) menjelaskan Typhus abdominalis adalah penyakit infeksi
akut usus halus yang disebabkan oleh kuman Salmonella Typhi biasanya
terjadi pada saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7 hari dan
gangguan kesadaran.
2. Etiologi
Menurut Mansjoer (2003) dalam Wijaya dan Putri (2013), penyakit
Typhus abdominalis disebabkan oleh Salmonella typhi, Salmonella
Paratyphi A, Salmonella Paratyphi B, Salmonella Paratyphi C. Antigen O
(Ohne Hauch) somatic antigen/tidak menyebar. Antigen H (Hauch)
menyebar, terdapat pada flagella dan bersifat termolabil. Antigen V 1
(Kapsul), merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi
O antigen terhadap fagositosis.
3. Tanda dan gejala
Menurut Muttaqin dan Sari (2011), tanda dan gejala klinis tifus
abdominalis yaitu demam atau tidak disertai menggigil kemudian nyeri
kepala, anoreksia, mual, muntah, diare kemudian konstipasi, dan nyeri
otot. Sedangkan menurut Mansjoer (2003) dalam Wijaya dan Putri
(2013) gejala yang timbul yaitu penderita cepat lelah, malaise,
anoreksia, rasa tidak enak diperut dan nyeri seluruh badan. Demam
berangsur naik pada minggu pertama, demam terutama pada sore dan
5

6
malam hari. Gejala lainnya yaitu bibir kering dan pecah-pecah, lidah
kotor serta awalnya terjadi diare yang kemudian menjadi Obstipasi.
4. Patofisiologi
Menurut Curtis (2006) dalam Muttaqin dan Sari (2011), kuman
Salmonella typhi yang masuk ke saluran gastrointestinal akan ditelan oleh
sel-sel fagosit ketika masuk melewati mukosa dan oleh makrofag yang ada
di dalam lamina propia. Sebagian dari Salmonella typhi ada yang dapat
masuk ke usus halus mengadakan invaginasi ke jaringan limfoid usus
halus (plak Peyer) dan jaringan limfoid mesenterika. Kemudian Salmonela
typhi masuk melalui folikel limpa ke saluran limpatik dan sirkulasi darah
sistemik sehingga terjadi bakterimia. Bakterimia pertama-tama menyerang
system retikulo endothelial (RES) yaitu: hati limpa, dan tulang,
selanjutnya mengenai seluruh organ di dalam tubuh antara lain system
saraf pusat, ginjal, dan jaringan limpa. Sedangkan menurut Brusch (2009)
dalam Muttaqin dan Sari (2011) , pada akhir minggu pertama infeksi,
terjadi nekrosis dan tukak. Tukak ini lebih besar di ileum dari pada di
kolon sesuai dengan ukuran plak Peyer yang ada disana. Kebanyakan
tukaknya dangkal, tetapi kadang lebih dalam sampai menimbulkan
perdarahan. Perforasi terjadi pada tukak yang menembus serosa. Setelah
penderita sembuh, biasanya ulkus membaik tanpa meninggalkan jaringan
parut dan fibrosis.
5. Penatalaksanaan
Menurut Muttaqin dan Sari (2011), penatalaksanaan tifoid
abdominalis yaitu diet makanan harus mengandung cukup cairan, kalori,
dan tinggi protein. Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat,
tidak merangsang, dan tidak menimbulkan banyak gas. Obat pilihan utama
ialah kloramfenikol atau tiamfenikol. Sedangkan menurut Aru dan Sudoyo

7
(2006) dalam Wijaya dan Putri (2013), menjelaskan tiga penatalaksanaan
demam typhoid yaitu :
1. Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk
mencegah komlikasi, posisi perlu di awasi untuk mencegah dekubitus,
serta hygiene pasien harus diperhatikan dan dijaga.
2. Diet dan terapi penunjang
Berikan makanan yang tidak merangsang (asam, pedas, dan
mengandung gas). Berikan bubur saring, bubur kasar kemudian nasi.
Pemberian bubur bertujuan untuk menghindari perdarahan saluran
cerna atau perforasi usus.
3. Penatalaksanaan medis
Pemberian antimikroba atau antibiotik seperti kloramfenikol,
Tiampenikol, Kotrimoksazol, Ampisillin dan Seflosporin generasi ke
tiga.
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien tifus
abdominalis menurut Muttaqin dan Sari (2011) meliputi :
1. Pemeriksaan darah didapatkan jumlah leukosit 3000-4000/mm3 pada
fase demam
2. Pemeriksaan urin akan didapatkan protrinuria ringan (<2 gr/liter) dan
didapatkan peningkatan leukosit dalam urine.
3. Pemeriksaan feses didapatkan adanya lender dan darah, dicurigai akan
bahaya perdarahan usus dan perforasi.

8
4. Pemeriksaan bakteriologis untuk mengidentifikasi adanya kuman
salmonella pada darah tinja, urin, cairan empedu/sumsum tulang.
5. Pemeriksaan serologis/uji widal untuk mengevaluasi reaksi aglutinasi
antara antigen dan antibody, aglutinin O, H dan V1. Apabila titer
antibody O adalah 1:20 atau lebih pada minggu pertama atau terjadi
peningkatan titer antibody yang progresif (lebih dari 4x). Pemeriksaan
ulangan 1 atau 2 minggu kemudian menunjukan diagnosis positif dari
infeksi Salmonella typhi. Uji widal secara bertahap yaitu titer 1:80,
1:160, 1:320, 1:640. Pada artikel Rachman (2011), sebagian besar
kultur darah Salmonella typhi adalah 61,2%.
6. Pemeriksaan radiologi untuk mengetahui apakah ada kelainan atau
komplikasi akibat demam tifoid.
7. Komplikasi
Menurut Irianto (2014), komplikasi dari typhus abdominalis adalah
pneumonia, kadang-kadang tukak di usus kecil dapat berdarah dengan
hebat, menyebabkan shock dan pucat, dapat timbulnya peritonitis, infeksi
pada bagian tubuh lain dapat terjadi dari penyebaran bakteri melalui
peredaran darah. (misalnya osteomielitis). Sedangkan menurut Mansjoer
(2003) dalam Wijaya dsn Putri (2013) komplikasi Typhus abdominalis
dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Komplikasi intestinal : perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik
b. Komplikasi eksraintestinal
1. Komplikasi kardiovaskuler : miokarditis, kegagalan sirkulasi
perifer
2. Komplikasi darah : anemia hemolitik
3. Komplikasi paru : pneumonia
4. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis

9
5. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis
6. Komplikasi tulang : osteoielitis, periostitis, arthritis
7. Komplikasi neuropsikiartik : meningitis, delirium, psikosis
B. Konsep Hipertermi pada Typhus Abdominalis
1. Definisi Hipertermi
Pemenuhan kebutuhan dasar manusia ada beberapa macam,
diantaranya yaitu kebutuhan keamanan atau perlindungan salah satunya
yaitu hipertermi atau demam. Menurut (NANDA International, 2012)
hipertermi adalah peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal.
Sedangkan menurut Iqbal (2015) hipertermi adalah peningkatan suhu
tubuh sehubungan dengan ketidakmampuan tubuh untuk mengeluarkan
panas. Suhu tubuh yang terlalu ekstrem baik panas maupun dingin dapat
memicu kematian. Dengan demikian, apabila terjadi demam harus segera
di atasi atau berkepanjangan akan berakibat fatal, seperti halnya dehidrasi
dan syok.
2.

Batasan Karakteristik Hipertermi


Hipertermi memiliki tanda objektif antara lain kulit kemerahan,
peningkatan suhu tubuh di atas kisaran normal, kulit terasa hangat
(NANDA International, 2012).

3. Etiologi Hipertermi
Hipertermi memiliki beberapa faktor yang berhubungan diantaranya
yaitu dehidrasi, penyakit atau trauma, ketidakampuan atau penurunan
kemampuan untuk berkeringat, pakaian yang tidak tepat, peningkatan laju
metabolisme, obat atau anesthesia, terpajan pada lingkungan yang panas
(jangka panjang), aktivitas yang berlebihan (Wilkinson & Ahern, 2012).

10
4. Patofisiologi Hipertermi
Menurut Muttaqin dan Sari (2011), Typhus abdominalis disebabkan
oleh bakteri Salmonella typhi yang masuk ke saluran gastrointestinal
kemudian menginvaginasi ke jaringan limfoid usus halus (Plak peyer) dan
jaringan limfoid mesenterika. Selanjutnya menginvasi system retikulo
endteleal (RES), terjadilah Typhus abdominalis yang mengakibatkan
adanya respons inflamasi sistemik sehingga muncul diagnosa hipertermi.
C. Pengelolaan Hipertermi pada Typhus Abdominalis
Pegelolaan terpenting untuk hipertermi meliputi : monitor suhu
sesering mungkin, monitor tekanan darah, nadi dan respirasi, kolaborasi
pemberian cairan intravena, berikan antipiretik, kompres pasien pada lipatan
paha dan aksila.(Wilkinson & Ahern, 2012). Telah diketahui bahwa dampak
yang ditimbulkan berupa penguapan cairan yang berlebihan atau dehidrasi.
Perawat sangat berperan untuk mengatasi hipertermia melalui peran mandiri
maupun kolaborasi. Untuk peran mandiri perawat dalam mengatasi
hipertermia bisa dengan melakukan kompres (Alves & Almeida, 2008 dalam
Setiawati, 2009).
1. Konsep Tepid Sponge
Sedangkan menurut Haryani dan Arif (2011) salah satu tindakan
untuk menurunkan suhu yaitu dengan menggunakan tepid sponge adalah
sebuah teknik kompres hangat yang menggabungkan teknik kompres blok
pada pembuluh darah supervisial dengan teknik seka.

2. Patofisiologi Tepid Sponge terhadap Penurunan Suhu


Saat adanya pemberian kompres hangat, tubuh akan memberikan
sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor

11
yang peka terhadap panas di hipotalamus di rangsang, system efektor
mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer.
Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada
medulla oblongata dari batang otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian
anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini
menyebabkan pembuangan panas melalui kulit meningkat (berkeringat),
diharapkan akan terjadi peurunan suhu tubuh sehingga mencapai keadaan
normal kembali (Nurwahyuni, 2009 dalam Mohamad, 2011).
D. Asuhan Keperawatan Hipertermi pada Typhus Abdominalis
Menurut Muttaqin dan Sari (2011), asuhan keperawatan pada Typhus
abdominalis meliputi :
I.

Pengkajian
1. Keluhan Utama
Secara umum keluhan utama pasien adalah demam disetai atau
tidak disertai menggigil. Pada minggu pertama akan di dapatkan
keluhan inflamasi yang belum jelas, minggu kedua keluhan pasien
menjadi lebih berat. Keluhan lain yaitu nyeri kepala, anoreksia, mual,
muntah, diare, konstipasi, dan nyeri otot.
2. Riwayat penyakit saat ini
Pasien yang di diagnosis Typhus abdominalis akan di dapatkan
keluhan demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, kostipasi
dan nyeri otot.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pada pengkajian riwayat penyakit dahulu perlu divalidasi tentang
adanya riwayat penyakit Typhus abdominalis sebelumnya.

12
4. Riwayat penyakit keluarga
Secara patologi Typhus abdominalis tidak diturunkan, pada
pengkajian

riwayat

kesehatan

mungkin

didapatkan

kebiasaan

mengkonsumsi makanan yang tidak diolah dengan baik, sumber air


minum yang tidak sehat dan kondisi lingkungan rumah tempat tinggal
yang tidak sehat, serta kebiasaan perseorangan yang tidak baik.
5. Pengkajian Pola Fungsional Gordon
Menurut Herdman (2012), pengkajian fungsional Gordon yang
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Pola Persepsi Kesehatan
Arti sehat, pengetahuan tentang kesehatan diri sendiri, gaya hidup
atau kebiasaan, perilaku untuk mengatasi masalah kesehatan.
b. Pola Nutrisi Metabolik
Pola makan, minum, tipe makanan, nafsu makan, mual, muntah,
pembatasan makanan, dan alergi makanan.
c. Pola Eliminasi
Pola

defekasi,

urine

(frekuensi,

jumlah,warna,

bau,

nyeri,

kemampuan mengontrol buang air kecil atau besar, adanya


perubahan lain), penggunaan alat-alat bantu, penggunaan obatobatan.

d. Pola Aktivitas Latihan

13
Kemampuan aktivitas sehari-hari (merawat diri, makan, berpakaian,
mandi, toileting) aktivitasnya dilakukan secara mandiri, dibantu
orang lain, menggunakan alat bantu, atau ketergantungan total.
e. Pola Istirahat Tidur
Kebiasaan tidur (frekuensi jam tidur, jam bangun/tidur, tingkat
kesadaran setelah tidur, lingkungan tempat tidur), penggunaan obatobatan.
f. Pola Persepsi Kognitif
Fungsi penglihatan, pendengaran, perasa, peraba, penciuman,
penggunaan alat bantu, kemampuan mengambil keputusan, dan
ketidaknyamanan.
g. Pola Kosep Diri-Persepsi Diri
Sikap diri, persepsi mengenai kemampuan diri, citra tubuh, identitas,
ancaman terhadap konsep diri.
h. Pola Hubungan Peran
Gambaran mengenai peran yang berkaitan dengan keluarga, teman,
rekan kerja. Proses dan dukungan keluarga, proses pengambilan
keputusan keluarga, hubungan dengan orang lain.
i. Pola Seksual Reproduksi
Riwayat reroduksi, keturunan, penngtahuan tentang reproduksi,
sksualitas dan menopause.
j. Pola Koping-Toleransi Stress
Kemampuan mengendalikan, faktor pencetus, strategi mengatasi
stress serta strategi koping yang biasa digunakan.
k. Pola Nilai Kepercayaan

14
Nilai keyakinan, praktik spiritual, pentingnya nilai spiritual.
6. Pemerikasaan Fisik
a. Keadaan umum dan tanda tanda vital
Pada fase awal penyakit biasanya tidak didapatkan adanya
perubahan. Pada fase lanjut, secara umum pasien terlihat sakit
berat dan sering didapatkan penurunan kesadaran (apatis,
derilium). Tanda-tanda vital pada fase 7-14 hari didapatkan suhu
tubuh meningkat 39-41C pada malam hari dan biasanya turun
pada pagi hari. Pada pemeriksaan nadi didapatkan penurunan
frekuensi nadi. (bradikardi relatif)
b. B1 (Breathing)
Sistem pernapasan biasanya tidak didapatkan adanya
kelainan, tetapi akan mengalami perubahan apabila terjadi respon
akut dengan gejala batuk kering. Pada beberapa kasus berat bisa
didapatkan adanya komplikasi tanda dan gejala pneumonia.
c. B2 (Blood)
Penurunan tekanan darah, keringat dingin, dan diaphoresis
sering didapatkan pada minggu pertama. Kulit pucat dan akral
dingin berhubungan dengan penurunan kadar hemoglobin. Pada
minggu ketiga, respons toksin sistemik bisa mencapai otot jantung
dan terjadi miokarditis dengan manifestasi penuurunan curah
jantung dengan tanda denyut nadi lemah, nyeri dada, dan
kelemahan fisik (Brusch, 2009 dalam Muttaqin & Sari, 2011)

d. B3 (Brain)

15
Pada pasien dengan dehidrasi berat akan menyebabkan
penurunan perfusi serebral dengan manifestasi sakit kepala,
perasaan lesu, gangguan mental seperti halusinasi dan derilium.
Pada beberapa pasien bisa didapatkan kejang umum yang
merupakan respons terlibatnya sistem syaraf pusat oleh infeksi
tifus abdominalis. Didapatkannya ikterus pada sklera terjadi pada
kondisi berat.
e. B4 (Bladder)
Pada kondisi berat akan didapatkan penurunan urine output
respons dari penurunan curah jantung.
f. B5 (Bowel)
Pemeriksaan fisik pada klien dengan Tifoid merupakan
pemeriksaan fokus yang terdiri atas inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi.
a. Inspeksi
Lidah kotor berselaput putih dan tepi hiperemesis disertai
stomatitis. Tanda ini jelas mulai nampak pada minggu kedua
berhubungan dengan infeksi sistemik dan endotoksin kuman.
Sering muntah, perut kembung. Distensi abdomen dan nyeri,
merupakan tanda yang diwaspadai terjadinya perfosi dan
peritonitis
b. Auskultasi
Didapatkan penurunan bising usus kurang dari 5 kali/menit
pada minggu pertama dan terjadi konstipasi, serta selanjutnya
meningkat akibat diare
c. Perkusi

16
Didapatkan suara timpani abdomen akibat kembung
d. Palpasi
Hepatomegali dan splenomegali. Pembesaran hati dan limpa
mengindikasikan infeksi RES yang mulai terjadi pada minggu
ke II. Nyeri tekan abdomen.
g. B6 (Bone)
Respon sistemik akan menyebabkan malaise, kelemahan fisik
umum, kram otot ekstremitas. Turgor kulit menurun, pucat, tanda
Roseola (bintik merah pada leher, punggung dan paha)
II.

Diagnosa
Pada

kasus

Tifoid

abdominalis

akan

timbul

diagnosa

keperawatan yang paling utama yaitu hipertermi berhubungan dengan


respons inflamasi sistemik dari gastrointestinal. (Muttaqin & Sari,
2011). Sedangkan menurut Wijaya dan Putri (2013) diagnosa
keperawatan yang muncul pada Typhus abdominalis yaitu hipertermi
berhubungan dengan proses infeksi.
III.

Perencanaan
Menurut Herdman, (2012) tujuan perencanaan keperawatan
pada klien dengan tifus abdominalis adalah setelah dilakukan tindakan
selama proses keperawatan diharapkan suhu tubuh kembali normal.
Nursing Outcome Classification/NOC yaitu termoregulatoin
dengan tujuan terjadi penurunan suhu tubuh.
kriteria hasil :
a. Suhu tubuh dalam rentang normal dengan skala 4 (sering
menunjukan)

17
b. Nadi dan RR dalam rentang normal dengan skala 4 (sering
menunjukan)
c. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing dengan
skala 4 (sering menunjukan)
Setiap indikator dalam NOC memiliki skala 1-5, yaitu tidak
pernah menunjukan, jarang menunjukan, kadang menunjukan,
kadang menunjukan, sering menunjukan, selalu menunjukan.
NIC 1: Fever treatment dengan intervensi yang dapat
dilakukan antara lain monitor suhu sesering mungkin, monitor
tekanan darah, nadi dan respirasi, monitor WBC, Hb, dn Hct,
Kolaborasi pemberian cairan intravena, berikan antipiretik, kompres
pasien pada lipatan paha dan aksila, berikan pengobatan untuk
mencegah terjadinya menggigil.
NIC 2: Temperature regulation dengan intervensi yang dapat
dilakukan monitor suhu minimal tiap 2 jam, monitor TD, nadi, dan
RR, monitor tanda-tanda hipertermi, selimuti pasien untuk mencegah
hilangnya kehangatan tubuh, tingkatkan intake cairan dan nutrisi.
NIC 3 : Vital sign monitoring tindakan yang dapat dilakukan
antara lain monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan pernafasan, moitor
suara paru.
IV.

Implementasi
Menurut Potter dan Perry (2010), implementasi ialah
menganalisis data pengkajian saat mengidentifikasi pada rencana
asuhan

keperawatan.

Sedangkan

menurut

Nursalam

(2009),

implementasi merupakan pelaksanaan dari rencana intervensi untuk


mencapai

tujuan

yang

spesifik.

Penulis

melakukan

semua

18
implementasi

berdasarkan

dari

semua

tindakan

yang

sudah

direncanakan pada intervensi. Rencana tindakan keperawatan antara


lain memonitor suhu sesering mungin , memberikan antipiretik,
mengompres pasien pada lipatan paha dan aksila, meningkatkan intake
cairan dan nutrisi (Wilkinson & Ahern, 2011)
V.

Evaluasi
Menurut Potter dan Perry (2010) evaluasi ialah menentukan
apakah rencana keperawatan telah berhasil dengan mengevaluasi hasil
kepada klien.Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan pasien secara
optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan. Yang perlu
dievaluasi dari diagnosa hipertermi adalah suhu tubuh dalam rentang
normal skala indikator 4 (sering menunjukan). Nadi dan RR dalam
rentang normal dengan skala indikator 4 (sering menunjukan). Tidak
ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing dengan indikator 4
(sering menunjukan).

Anda mungkin juga menyukai