Anda di halaman 1dari 36

CASE DAN REFERAT

ANESTESI UMUM
TONSILEKTOMI DENGAN GENERAL ANESTESI

Pembimbing :
Dr. Dublianus, Sp. An
Dr. Tati, Sp. An

Disusun oleh :
Andi Nita Aprilliana

03012017

Soraya Olyfia

03010258

KEPANITRAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CILEGON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
OKTOBER 2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk kesempatan yang
boleh diberikan kepada kami dalam menyelesaikan makalah kasus ini. Makalah yang berjudul
Tonsilektomi dengan General Anestesi juga tidak lepas dari bimbingan dr. Dublianus,
Sp.An dan dr. Tati, Sp.An, sehingga makalah ini dapat selesai dan dipaparkan. Selain itu
penulis juga mengucapkan terimakasih untuk para penata dan seluruh staf anestesi yang
memberikan saran, bimbingan, kritikan dan motivasi serta kerjasama yang baik sehingga
makalah ini dapat selesai.
Presentasi kasus ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepanitraan
klinik bagian anestesiologi di RSUD Cilegon. Selain itu juga sebagai bahan pembelajaraan
penulis pada bidang anestesiologi. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu kami sangat terbuka untuk menerima
segala kritik dan saran guna menyempurnakan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan pembaca pada umumnya.

Cilegon, 9 November 2016

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... 1
DAFTAR ISI.. 2
BAB I

Pendahuluan... 3

BAB II

Laporan Kasus... 4

BAB III

Laporan Anestesi... 9

BAB IV

Analisa kasus..... 14

BAB V

Tinjauan Pustaka... 18

BAB VI

Kesimpulan........ 37

Daftar Pustaka... 38

BAB I
PENDAHULUAN

Anestesiologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan


meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan,
pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan
penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu
operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra-anestesi yang terdiri dari
persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan
pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa
anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.
Terdapat beberapa tipe anestesi, yang pertama anestesi total yaitu hilangnya kesadaran
secara total, anestesi lokal yaitu hilangnya rasa pada daerah tertentu yang diinginkan (pada
sebagian kecil daerah tubuh) dan anestesi regional yaitu hilangnya rasa pada bagian yang
lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf yang berhubungan.
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai dengan
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesi yang ideal
(trias anestesi) terdiri dari : hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga
termasuk mengendalikan pernapasan dan pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama
prosedur anestesi.

BAB II
LAPORAN KASUS

I.

II.

Identitas Pasien
Nama

: An. X

Jenis kelamin

: Laki-laki

Usia

: 10 tahun

Alamat
Agama
Pekerjaan
Status
No RM
Tanggal masuk
Diagnosa

: Jl.M.Yusuf Lembang Raya no.13


: Islam
: Pelajar
: Belum menikah
: 935XXX
: 17 Oktober 2016
: Tonsilitis Kronis

Anamnesis
Anamenesis dilakukan pada tanggal 17 Oktober 2016, pukul 07.30 WIB, dilakukan
secara autoanamnesis.
A. Keluhan utama
Pasien mengeluh terasa seperti mengganjal pada tenggorokan
B. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke RSUD Cilegon dengan keluhan terasa mengganjal pada tenggorokan
sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan sekarang yang dirasakan memberat dibandingkan
setahun yang lalu. Keluhan juga disertai dengan nyeri yang menjalar ke kedua telinga,
nyeri saat menelan. Pasien juga mengeluh demam dan batuk berdahak, tetapi
dahaknya susah keluar.
Ayah pasien mengatakan bahwa pasien juga sering mengeluh sakit kepala dan sering
pilek, sejak kecil pasien sering mengalami sakit karena daya tahan tubuh yang
menurun. Ayah pasien juga megatakan bahwa pasien sering jajan sembarangan dan
pola makan pasien yang tidak teratur.

C. Riwayat penyakit dahulu

Pasien mengatakan sudah 2x dirawat di RS dengan diagnosa dokter tonsilitis akut.


Pasien mengaku mempunyai riwayat sakit maag, riwayat penyakit asma disangkal,
riwayat alergi obat dan makanan disangkal.
D. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit jantung dan hipertensi disangkal
Riwayat penyakit diabetes mellitus disangkal
Riwayat penyakit asma disangkal
Riwayat gigi berlubang disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan disangkal
E. Riwayat kebiasaan
Jajan sembarangan (+), merokok (-) , konsumsi alkohol (-),
F. Riwayat pemakaian obat-obatan
Tidak ada
III.

Pemeriksaan fisik
Kesadaran
Kesan sakit
Berat badan
Tinggi badan
Tekanan darah
Nadi
Suhu
Pernapasan

: compos mentis
: tampak sakit sedang
: 45 kg
: 153 cm
: 100/70 mmHg, diukur di lengan kanan pasien, posisi telentang
: 80x/menit, diukur di A. radialis,teratur, kuat, isi cukup
: 36.5C, diukur di axilla
: 20x/menit, tipe prnapasan abdominalthorakal

Status Generalis
Kepala
Mata

: normosefali
: konjungtiva anemis (-) , sklera ikterik (-), pupil isokor, reflex

Hidung
Telinga
Mulut
Leher

cahaya langsung (+/+) , reflex cahaya tidak langsung (+/+)


: deviasi septum (-), secret (-), napas cuping hidung (-)
: normotia (+/+), secret/serumen/darah (-), nyeri tekan (-)
: sianosis (-), gigi berlubang (-), perdarahan gusi (-), oral
hygiene baik, tonsil (T3/T3), faring hiperemis (+)
: deviasi trakea (-), KGB dan kelenjar tiroid tidak teraba
membesar

Thorax
Inspeksi

: bentuk dada simetris, pergerakan dinding dada saat bernapas


simetris, sianosis (-). Pulsasi Iktus cordis tidak tampak, lesi

Palpasi

kulit yang bermakna (-)


: vocal fremitus simetris kedua lapang paru

Perkusi

: sonor di kedua lapang paru, batas kanan jantung di ICS IV


garis sternalis kanan, batas kiri jantung di ICS V 1 jari

Auskultasi

medial garis midsternalis sinistra


: suara napas vesikuler kedua lapang paru, Rhonki (-/-),
wheezing (-/-), BJ 1&2 reguler, murmur dan gallop (-)

Abdomen
Inspeksi

: perut buncit, kulit sawo matang, tidak terdapat lesi kulit

Auskultasi
Palpasi

bermakna
: bising usus (+) normal pada seluruh regio abdomen
: tidak teraba massa di seluruh region abdomen, nyeri tekan (-),

Perkusi

hepar dan lien tidak teraba pembesaran, ballotemant ginjal (-)


: timpani pada 4 regio abdomen

Ekstremitas

: warna kulit sawo matang, deformitas (-), tidak terdapat


kelainan kulit bermakna, sianosis (-), edema (-). CRT<2

Status Lokalis
Telinga AD/AS

Hidung

-Bentuk
normotia/normotia

-Bentuk
normal

-CAE lapang/lapang
-Septum
deviasi -/-

-Serumen -/-Secret -/-Nyeri tekan -/-

IV.

-hipertrofi
konka inferior
-/-

Tenggorokan

Maksilo
Fasial

-faring
tenang

Leher

-KGB
TTM
-simetris

-tonsil T3/T3,
hiperemis (-)
-uvula
ditengah

-parase
N.VII(-)

-Nyeri
tekan (-)
-Trakea
ditengah

Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Masa pembekuan
Masa perdarahan
Kimia klinik
SGOT
SGPT
Albumin

Hasil

Nilai normal

13.3 g/dl
11000 Ul
40,8%
8 menit
2 menit

12-16
5000-10000
37-43
5-15 menit
1-5 menit

23 U/L
9 U/L
5 g/dL

<31
<31
3.5-5.5 g/Dl
6

Ureum
Kreatinin
Elektorlit
Natrium
Kalium
Klorida
Seroimunologi
HbsAg
Anti HCV
Anti HIV
GDS

18 mg/dL
0.3 mg/dL

17-43
0.6-1.2

139.2 mmol/L
3.78 mmol/L
103.7 mmol/L

135 155
3.6 5.5
95 107

Non reaktif
Negatif
Non reaktif
97 mg/dL

Non reaktif
Negatif
Non reaktif
<200

Foto Thoraks
Jenis foto: thoraks PA
Deskripsi:
-Cor: CTR <50%, Aorta baik
-Pulmo: Corakan bronkovaskular paru kanan kiri baik tak tampak infiltrate
Hilus kiri kanan baik
Kedua sinus dan diafragma baik
Tulang dan jaringan lunak baik
V.
Diagnosis kerja
Tonsilitis Kronis
VI.
Diagnosis banding
Tonsilitis Akut
VII. Tatalaksana
Ringer Laktat 500cc 20tpm
Direncanakan operasi tonsilektomi
Informed consent operasi
Konsul ke bagian Anestesi
VIII. Kesan anestesi
- ASA 1 tanpa riwayat penyakit sistemik lainnya.
-

Tindakan Operatif: Tonsilektomi


Jenis anestesi: General Anesthesia

BAB III
LAPORAN ANESTESI

Teknik dan Prosedur Anestesi

A.

Diagnosa prabedah
Jenis pembedahan
Lama anestesi
Lama operasi
Teknik

: Tonsilitis kronis
: Tonsilektomi
: 10.10-11.40
: 11.15 11.35
: Intubasi Nasoendotracheal tube no.26

Preoperatif
Informed Consent (+)
Puasa (+) kurang lebih 6-8 jam
Tidak terdapat gigi goyang dan pemakaian gigi palsu, riwayat DM (-), hipertensi (-),
alergi obat (-)
IV line terpasang dengan infus RL 500 cc, mengalir lancar
Keadaan umum tampak sakit ringan
Kesadaran Compos Mentis
Tanda Vital:
a. Tekanan darah
: 100/70 mmHg
b. Pernafasan
: 20x/menit
c. Nadi
: 90 x/menit
d. Suhu
: 36.6C
Klasifikasi status fisik dan kebugaran
ASA 1
: pasien sehat dan tidak memiliki kelainan sistemik
GCS
Persiapan alat

berhubungan dengan penyakitnya


: 15

S (scope)
T (tubes)
A (airway)

: stetoskop dan laringoskop


:
: pipa mulut faring (orotracheal airway), pipa hidung

T (tape)
I (introducer)
C (connector)
S (suction)

faring (nasotracheal airway)


: micropore
: mandarin atau stilet dari kawat
: penyambung pipa dan peralatan anesthesia
: alat penyedot lendir, saliva, dll

Tensimeter dan monitor EKG, saturasi dan heart rate


Tabung gas O2 dan N2O terbuka serta isoflurane terisi penuh
Spuit kosong 10cc berisi udara dan xylocaine gel

Pesiapan obat
Granon 1 mg/ml
Recofol 200 mg/20ml
Fentanyl 200 mg/4ml
Ketamine 100 mg/10ml
Ephedrine 50mg/10ml

B.

Rocoronium bromide 20mg/5ml


Sulfas atropine 0.5mg/2ml
As.traneksamat 100mg/2ml
Phytomiamenadione10mg
Atrain 400mg/2ml

Premedikasi Anestesi
Sebelum dilakukan tindakan anestesi diberikan Granon 1mg secara bolus IV

C.

Tindakan Anestesi
Pada tanggal 18 Oktober 2016, pukul 10.00 pasien sudah tiba di ruang operasi
dengan terpasang infus RL 40 tpm. Dilakukan pemasangan dan pemeriksaan vital sign
dengan hasil TD 100/70 mmHg; HR 90x/menit; dan SpO2 99%. Pukul 10.05
dilakukan premedikasi pemberian Granon 1 mg secara bolus intravena.
Pasien dalam posisi terlentang, kemudian dilakukan informed consent terhadap
tindakan anestesi. Fentanyl 150 mg lalu ditambahkan dengan Propofol 100 mg secara
bolus dan rocoronium bromide 20 mg sebagai pelemas otot serta dilanjutkan dengan
memantau tekanan darah, nadi, dan saturasi oksigen melalui monitor. Selain itu
memeriksa reflex bulu mata pasien untuk memastikan sudah terjadi efek hipnotik pada
pasien tersebut.
Setelah pasien dalam fase hipnotik, dilakukan pemasangan face mask dengan
O2 dan N2O 2L/m dan Isofluran 2% dan dilakukan pemompaan sampai pasien benar
relax dan tidak sadar. Memastikan tanda vital dan saturasi baik, baru setelah itu
dilakukan intubasi. Intubasi dilakukan dengan menggunakan Nasoendotrachea no. 26,
setelah alat masuk ke trakea, lalu alat disambungkan dengan O 2 dan N2O, dipompa,
dan dipastikan kembali apakah ETT benar-benar masuk ke saluran napas dengan
melakukan auskultasi suara nafas menggunakan stetoskop. Jika tidak ada kelainan
9

pada dada saat auskultasi lalu alat difiksasi menggunakan micropore. Kedua mata
pasien berikan chloramphenicole zalf dengan cara dioles lalu mata ditutup
menggunakan micropore. Ambu akan terus dipompa hingga pasien dapat bernapas
dengan spontan.
D.

Pemantauan Selama Tindakan Anestesi


Melakukan pemantauan keadaan pasien terhadap tindakan anestesi yang terdiri dari
fungsi kardiovaskular, fungsi respirasi, serta cairan.

Kardiovaskular: pemantauan terhadap tekanan darah dan frekuensi nadi setiap 5

menit.
Respirasi: inspeksi pernapasan spontan kepada pasien dan saturasi oksigen
Cairan: monitoring input cairan infus.

Jam

Tindakan
Pasien masuk kamar operasi, dibaringkan di

TD

Nadi

SpO2

10.0

meja operasi, dipasang manset di lengan kanan

100/70

90

99

dan pulse oxymetri di ibu jari tangan kiri.


Diberikan Granon 1 mg secara bolus
Dilakukan general anestesi.
Diberikan Propofol 100 mg dan Fentanyl 150

100/70

90

100

Operasi dimulai

100/80

98

97

Kondisi terkontrol

110/60

98

97

110/50

95

97

Kondisi terkontrol

100/58

80

99

11.10 Kondisi terkontrol

100/58

80

99

100/50

80

100

mcg secara bolus, dan Rocoronium bromide


10.0
5

20 mg secara bolus sebagai pelemas otot


Diberikan anestesi inhalasi menggunakan
isoflurane 2% dan O2 serta N2O
Intubasi dengan Nasoendotrachea

no.26

dengan O2 dan N2O 2L/m


10.1
0
10.2
5

Kondisi terkontrol
10.4
0

Diberikan Asam traneksamat secara bolus


sebanyak

500

mg

(2

ampul)

dan

Phytomiamenadione 10 mg
10.5
5

11.25

Pemberian Antrain secara bolus 400 mg


Pasien sudah dapat bernapas spontan

10

Operasi selesai
N2O dan isoflurane dimatikan
11.40 Dilakukan ekstubasi dan dipasang guedel
Pelepasan alat monitoring
Pasien dipindah ke recovery room

E.

Laporan Anestesi
Diagnosa pra bedah
Diagnosa pasca bedah
Penatalaksanaan preoperasi
Penatalaksanaan anestesi
a. Jenis pembedahan
b. Jenis Anestesi
c. Teknik Anestesi
d. Mulai Anestesi
e. Mulai Operasi
f. Premedikasi
g. Medikasi
h. Medikasi tambahan
i. Respirasi

100/40

60

98

: Tonsilitis kronis
: Tonsiltis kronis
: infus RL 500cc
: Tonsilektomi
: anestesi umum
: Semi Closed Circuit System dengan ETT
: pukul 10.05 WIB
: pukul 10.10 WIB
: Granon 1 mg IV
: Fentanyl 150 mcg, propofol 100 mg, dan Rocoronium
bromide 20 mg/5ml
: Asam traneksamat 500 mg dan Phytomiamenadione
10 mg
: Pernapasan spontan dan terpasang O2 2L/m,

N2O 2L/m dan isofluram 2%


j. Cairan durante operasi : RL 500 cc
k. Pemantauan TD dan HR : terlampir
l. Selesai operasi
: Pukul 10.40 WIB

Post operatif
Operasi berakhir pukul 10.40, kemudian pasien dipindahkan ke ruang pemulihan
(recovery room) dengan terpasang guedel dan diberikan bantuan O2 3L/m dengan
menggunakan canule melalui guedel, dilanjutkan pemberian cairan, dan diobservasi
hingga pasien sadar penuh.
Observasi tanda-tanda vital dalam batas normal :
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
TD : 100/40 mmHg
Nadi : 60x/menit
Saturasi oksigen : 99%
Pemeriksaan fisik :
11

Warna kulit sawo matang, airway paten, napas spontan, akral hangat, CRT<2
detik
Pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat inap. Penilaian ini berdasarkan Skor
Aldrete. Parameter ini berfungsi untuk mengetahui apakah pasien sudah dapat
dipindahkan ke ruangan berdasarkan beberapa keadaan pasca operasi. Pada
pasien didapatkan total skor 10.

BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien datang ke kamar operasi pada pukul 09.45 untuk menjalani operasi
tonsilektomi. Kondisi pasien saat itu tampak sakit ringan, compos mentis dan status
fisik

ASA

1. Pada
pasien

ini

12

dikatakan ASA 1 dikarenakan berdasarkan pemeriksaan tidak terdapat tanda-tanda


adanya kelainan sistemik akibat dari penyakitnya tersebut. Pasien dilakukan anestesi
menggunakan general anestesi dengan jenis intubasi ETT melalui hidung sesuai
dengan jenis operasi yang akan dilakukan. Teknik anestesi umum ini dipilih karena
lokasi operasi berada di daerah tenggorokan sehingga akan lebih mudah jika
menggunakan teknik anestesi umum.
Pada saat di kamar operasi, pasien diposisikan di meja operasi dalam posisi
terlentang dan leher diekstensikan di atas meja operasi. Kemudian dilakukan
pemasangan monitor tanda-tanda vital seperti tensi meter dan pulse oksimetri yang
berguna untuk monitoring selama operasi. Selain itu juga pada pasien terpasang infus
ringer laktat dengan tetesan cepat, untuk mencegah syok hipovolemik saat operasi
berlangsung. Hasil TD 100/70mmHg; HR 90x/menit; dan SpO2 99%. Pukul 10.05
dilakukan premedikasi pemberian Granon 1 mg secara bolus intravena.
Sebelum obat anestesi

diinjeksikan, diberikan premedikasi berupa injeksi

Granon 1 mg secara bolus intravena. Hal ini bertujuan untuk mengurangi rasa mualmuntah, meredakan kecemasan, memperlancar induksi anestesia, mengurangi sekresi
kelanjar ludah dan bronkus, selain itu obat premedikasi dapat mengurangi reflex yang
membahayakan. Yang utama adalah pencegahan terhadap aspirasi karena pada general
anestesi beresiko terjadinya aspirasi karena pasien pada kondisi tidur atau tidak sadar.
Refleks mual-muntah terjadi karena sel-sel mukosa enterochromaffin melepaskan
serotonin yang menstimulasi reseptor-reseptor 5-HT3. Hal ini menimbulkan
rangsangan aferen n. vagus dan dapat menyebabkan vomitus. Penelitian pada hewan
coba menunjukkan bahwa saat mengikat reseptor-reseptor 5-HT3, granisetron
menghambat stimulasi serotonin dan reaksi vomitus selanjutnya setelah stimulasi
emetogenik. Granon mengandung Granisentron. Granisetron merupakan antiemetik
yang potent dimana efek antiemetiknya dicapai melalui kerja antagonis pada reseptorreseptor 5-hydroxitryptamine (5-HT3) di dalam chemoreceptor trigger zone dan
mungkin pada saluran cerna bagian atas. Reseptor-reseptor serotonin tipe 5-HT3
terletak secara perifer pada terminal nervus vagus dan sentral di dalam chemoreceptor
trigger zone di area postrema. Granisetron diindikasikan untuk pencegahan dan
pengobatan pada keadaan nausea dan vomitus akut maupun tertunda yang
berhubungan dengan kemoterapi dan radioterapi serta mual dan muntah pasca operasi.

13

Selanjutnya pada pasien diberikan Fentanyl 150 mg. Dosis basal Fentanyl
sendiri adalah 20-50 mcg/kgBB. Pemberian Fentanyl ini digunakan untuk
pemeliharaan anestesi saat tindakan operasi. Fentanyl merupakan obat dari golongan
opioid. Obat ini juga bertujuan untuk memberikan efek anti analgesic.
Selanjutnya diberikan secara intravena obat Propofol dosis 100 mg. Pemberian
dosis ini disesuaikan dengan dosis Propofol yaitu 2-2.5 mg/kgBB dan pasien ini
memiliki berat badan 45 kg, sehingga dosis pemberian obatnya adalah 100 mg. Secara
kimiawi Propofol tidak ada hubungannya dengan anestetik intravena lain, propofol
merupakan salah satu obat hipnotik sedative. Sehingga efek dari pemberian obat ini
adalah ketidaksadaran. Pada saat pemberian Propofol secara bolus intravena, pasien
langsung tertidur. Keuntungan dari pemberian obat ini adalah efek samping minimal,
onset cepat, waktu pemulihan kesadaran, psikomotor dan kognitif cepat. Perlu
diketahui bahwa Propofol dapat menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 30%
tetapi efek ini lebih disebabkan oleh vasodilatasi perifer ketimbang penurunan curah
jantung dan dapat kembali normal dengan intubasi trakea. Pada intubasi ETT
diperlukan muscle relaxan untuk mecegah terjadinya bronkospasme diberikan
rocuronium bromide 20 mg sesua dosis yang ditentukan yaitu 0,6-1,2 mg/kg.
Setelah itu masuk dalam tahap anestesi. Pada tahap pertama, pasien diberikan
induksi secara inhalasi dan intravena. Pemberian obat inhalasi berupa N2O dan
isoflurane. Diberikan pula O2. Perbandingan N2O dan O2 adalah 50:50, dengan
konsentrasi 2 L/m. N2O atau dinitrogen monoksida merupakan suatu gas yang
memiliki efek yang baik untuk induksi anestesi. Begitu pula zat isoflurane. Isoflurane
memiliki lebih banyak keuntungan dan sedikit efek samping dibanding jenis obat
inhalasi yang lain. Pemberian oksigen bertujuan untuk menjaga sistem respirasi dan
kardiovaskular selama proses anestesi.
Setelah pasien tidak sadar dan otot-otot lemas, dilakukan intubasi. Intubasi ini
menggunakan ETT no. 26 melalui hidung. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya
digolongkan sebagai berikut: menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun,
mempermudah

ventilasi

positif

dan

oksigenasi,

misalnya

saat

resusitasi,

memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang, dan


pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi. Teknik anestesi yang dipakai adalah
SCCS (Semi Closed Systemic Circuit). Metode ini memungkinkan adanya sedikit
14

rebreathing. Apparatus untuk closed methode dapat dipakai untuk semi closed
methode, dengan jalan membiarkan sebagian gas yang berlebihan keluar melalui
valve

yang

dibuka. Sirkuit anestesi atau dikenal dengan sistem pernafasan

merupakan sistem yang berfungsi menghantarkan oksigen dan gas anestesi dari mesin
anestesi kepada pasien yang dioperasi. Sirkuit anestesi merupakan suatu pipa/tabung
yang merupakan perpanjangan dari saluran pernafasan atas pasien. Komponen sirkuit
anestesi pada saat sekarang ini terdiri dari kantong udara, pipa yang berlekuk-lekuk,
celah untuk aliran udara segar, katup pengatur tekanan dan penghubung pada pasien.
Aliran gas dari sumber gas berupa campuran oksigen dan zat anestesi akan mengalir
melalui vaporizer dan bersama zat anestesi cair tersebut keluar menuju sirkuit.
Campuran oksigen dan zat anestesi yang berupa gas atau uap ini disebut sebagai fresh
gas flow (FGF) (aliran gas segar). Sistem pernafasan atau sirkuit anestesi ini dirancang
untuk mempertahankan tersedianya oksigen yang cukup di dalam paru sehingga
mampu dihantarkan darah kepada jaringan dan selanjutnya mampu mengangkut
karbondioksida dari tubuh. Sistem pernafasan ini harus dapat menjamin pasien mampu
bernafas dengan nyaman, tanpa adanya peningkatan usaha bernafas, tidak menambah
ruang rugi (dead space) fisiologis serta dapat menghantarkan gas / agen anestesi secara
lancar pada sistem pernafasan pasien.
Jika semua sudah prosedur anestesi secara intravena dan intubasi telah selesai
dilakukan operasi dimulai penata anestesi memantau operasi saat tindakan
tonsilektomi dilakukan saat dokter operator sudah melakukan tonsilektomi pada salah
satu tonsil maka dimasukkan secara intravena obat traneksamat 500 mg/ 2 ampul
diberikan sesuai cara pemberian dengan dosis 15 mg/kgBB dengan berat badan pasien
45 kg, asam traneksamat merupakan penghambat bersaing dari aktivator plasminogen
dan penghambat plasmin, plasmin sendiri berperan menghancurkan fibrinogen, fibrin
dan faktor pembekuan darah lain, setelah pemberian asam traneksamat secara bolus
dilanjutkan dengan pemberian Phytomiamenadione 10 mg yang berfungsi untuk
meningkatkan biosintesis beberapa faktor pembekuan darah.
Ketika operasi hampir selesai, diberikan Antrain 400 mg. Antrain adalah obat
anti inflamasi nonsteroid (NSAID), diabsorpsi dari saluran pencernaan, mempunyai
waktu paruh 1-4 jam bekerja terhadap susunan saraf pusat yaitu mengurangi
sensitivitas reseptor rasa nyeri yang sering digunakan sebagai untuk meringankan rasa
sakit setelah operasi.
15

Pasien dapat bernapas spontan dan operasi hampir selesai. Setelah operasi
selesai, dilakukan ekstubasi dan dipasang guedel. Isoflurane dan N2O dimatikan,
namun O2 tetap dipertahankan pada konsentrasi 2 L/m untuk memaksimalkan
pernapasan spontannya. Pasien tetap dijaga pernapasannya supaya tidak terjadi
aspirasi sampai dibawa ke ruang pemulihan. Pada ruang pemulihan, pasien tetap
dimonitor kesadaran dan tanda-tanda vital.

16

BAB V
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-tidak, tanpa dan
aesthesos, persepsi, kemampuan untuk merasa. Secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah Anestesia digunakan pertama
kali oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1948 yang menggambarkan keadaan
tidak sadar yang bersifat sementara, karena anestesi adalah pemberian obat dengan
tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah tindakan
pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien.
Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi
terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri,
kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang
heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama
dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara
intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang
mudah menguap) yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran,
metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara intravena,
yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis, dan
beberapa obat khusus seperti ketamin.
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
1
2
3

Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran


Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
Muscle relaxant: relaksasi otot rangka

PILIHAN CARA ANESTESI


Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks, memerlukan
kesepakatan dan pengetahuan yang dalam baik antara pasien dan faktorfaktor
17

pembedahan. Dalam beberapa kelompok populasi pasien, pembiusan regional ternyata


lebih baik daripada pembiusan total. Blokade neuraksial bisa mengurangi resiko
trombosis vena, emboli paru, transfusi, pneumonia, tekanan pernapasan, infark
miokardial, dan gagal ginjal.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan anestesi antara lain:
keterampilan dan pengalaman ahli anestesi dan ahli bedah, tersedianya obat dan
peralatan, kondisi klinis pasien, waktu yang tersedia, tindakan gawat darurat atau
efektif, keadaan lambung, dan pilihan pasien. Untuk operasi kecil (misalnya menjahit
luka atau manipulasi fraktur lengan), jika lambung penuh, maka pilihan yang terbaik
adalah anestesi regional. Untuk operasi besar gawat darurat, anestesi regional atau
umum sangat kecil perbedaannya dalam hal keamanannya.
Berikut adalah beberapa faktor yang dapat menjadi pertimbangan pada
pemilihan cara anestesi:

Umur
o Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum
o Pada orang dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipermudahkan
dilakukan dengan anestesi local atau umum
Status fisik
o Riwayat penyakit dan anestesia terdahulu. Untuk mengetahui apakah
pernah dioperasi dan anestesi. Dengan itu dapat mengetahui apakah ada
komplikasi anestesia dan pasca bedah.
o Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin dihindari
penggunaan anestesia umum.
o Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi dengan gangguan jiwa
sebaikmya dilakukan dengan anestesia umum.
o Pasien obesitas, bila disertai leher pendek dan besar, sering timbul
gangguan sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan induksi anestesia.

Pilihan anestesia adalah regional, spinal, atau anestesi umum endotrakeal.


Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesis
umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan.demikian

juga pembedahan yang berlangsung lama.


Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan
kebutuhan dokter bedah antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi
18

perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin pada bedah

plastik dan lain-lain.


Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi
Keinginan pasien
Bahaya kebakaran dan ledakan\
Pemakaian obat anestesia yang tidak terbakar dan tidak eksplosif adalah
pilahan utama pada pembedahan dengan alat elektrokauter.

FAKTOR-FAKTOR ANESTESI UMUM


a. Faktor respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke dalam
paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial
tertentu. Kemudian zat anestesika akan berdifusi melalui membrane alveolus.
Epitel alveolus bukan penghambat disfusi zat anestesika, sehingga tekanan
parsial dalam alveolus sama dengan tekanan parsial dalam arteri pulmonarsi.
Hal- hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah:
Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/diinhalasi; makin tinggi
konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam
alveolus.
Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat

meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada


hipoventilasi.
b. Faktor sirkulasi
Faktor sirkulasi terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena, dimana
faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah sebagai berikut:
Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus
dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap

jaringan dan sebagian kembali melalui vena.


Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika
dalam darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam

keadaan seimbang.
Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak
aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang
diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi
lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai

tingkat anesthesia yang adekuat.


c. Faktor jaringan
19

Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan jaringan.
Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat

anestesika, kecuali halotan.


Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD): otak, jantung, hepar, ginjal.
Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan
parsial zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ
ini. Otak menerima 14% curah jantung.
b Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c Lemak : jaringan lemak.
d Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD): relative tidak ada aliran

darah : ligament dan tendon.


d. Faktor zat anestesika
Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang berbedabeda. Untuk menentukan derajat potensi ini dikenal adanya MAC (minimal
alveolar concentration atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu konsentrasi
terendah zat anestesika dalam udara alveolus yang mampu mencegah
terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit. Makin rendah nilai
MAC, makin tinggi potensi zat anestesika tersebut.

TAHAPAN TINDAKAN ANESTESI UMUM


Penilaian Dan Persiapan Pra Anestesi
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya
kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan
pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan
bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan
operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
1. Penilaian Pra Bedah
a) Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau
sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anestesia berikutnya
dengan lebih baik. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang kiranya
menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang,
20

misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu tiga bulan,


suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulang.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya
b) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi
intubasi.
Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak
boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua
system organ tubuh pasien.
c) Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi
pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan)
dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG
dan foto thoraks.
d) Kebugaran untuk anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan
yang tidak perlu harus dihindari.
e) Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang

adalah

yang

berasal

dari

The

American

Society

of

Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko


anestesia, karena dampaksamping anestesia tidak dapat dipisahkan dari
dampak samping pembedahan.
Kelas I

: Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

Kelas II

: Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.


Contohnya pada pasien batu ureter dengan hipertensi sedang
terkontrol, atau pasien appendisitis akut dengan lekositosis dan
febris.

Kelas III

: Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin


terbatas. Contohnya pada pasien appendisitis perforasi dengan
21

septisemia, atau pasien ileus obstrukstif dengan iskemia


miokardium.
Kelas IV

: Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan


aktivitas

rutin

dan

penyakitnya

merupakan

ancaman

kehidupannya setiap saat. Contohnya pada pasien dengan syok


atau dekompensasi kordis.
Kelas V

: Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa


pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam. Contohnya
pada pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan syok
hemoragik karena ruptur hepatik.

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan


mencantumkan tanda darurat (E = EMERGENCY), misalnya ASA IE atau
IIE.
f) Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan
risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode
tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam
dan untuk keperluan minumobat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam
sebelum induksi anestesia.
2. Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah dilakukan
premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesia diberi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:
1

Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien


a Menghilangkan rasa khawatir melalui:
i Kunjungan pre anestesi
22

2
3
4
5
6

ii Pengertian masalah yang dihadapi


iii Keyakinan akan keberhasilan operasi
b Memberikan ketenangan (sedative)
c Membuat amnesia
d Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
e Mencegah mual dan muntah
Memudahkan atau memperlancar induksi
a Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
a Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
a Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2 antagonis
Mengurangi rasa sakit

3. Waktu Dan Cara Pemberian Premedikasi


Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam, secara
intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat darurat
dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan
secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Bila pembedahan
belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian premedikasi
intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat premedikasi bila diberikan
secara intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropine. Hal ini
dapat dikurangi dengan pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.

Obat-obat yang sering digunakan:


1

3
4

Analgesik narkotik
a Pethidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
c Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3gr/kgBB
Analgesik non narkotik
a Ponstan
b Tramol
c Toradon
Hipnotik
a Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
Sedatif
23

a Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB


b Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB
c Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5 mg/kgBB
d Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
Anti emetic
a Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis 0,001
b
c

mg/kgBB
DBP
Narfoz, rantin, primperan.

INDUKSI ANESTESI
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat
dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur
akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai
tindakan pembedahan selesai.
Persiapan induksi anestesi
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan STATICS:
S : Scope

Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.


Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan
usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T : Tube

Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon


(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).

A : Airway

Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa


hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan
lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak
menyumbat jalan napas.

T : Tape

Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau


tercabut.

I : Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang
mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
24

S : Suction

Penyedot lendir, ludah danlain-lainnya.

Stadium Anestesi
Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama berupa
analgesia sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi teratur, stadium 3
dan stdium 4 sampai henti napas dan henti jantung.
Stadium I
Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik
sampai hilangnya kesadaran.Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah
dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).Tindakan pembedahan ringan, seperti
pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.Stadium ini
berakhir dengan ditandai oleh hilangnya reflekss bulu mata (untuk mengecek refleks
tersebut bisa kita raba bulu mata).
Stadium II
Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan ditandai
dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+),
pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri
dengan hilangnya reflekss menelan dan kelopak mata.
Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga hilangnya
pernapasan spontan.Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernapasan spontan, hilangnya
reflekss kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan
mudah.
Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera diikuti
kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Pasien sebaiknya
tidak mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi yang
berlebihan.

TEKNIK ANESTESI UMUM


Induksi intravena
25

o Paling banyak dikerjakan dalam praktek. Selama induksi anestesi,


pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan selalu
diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
o Obat-obat induksi intravena:
Propofol (diprivan, recofol)
Propofol memberikan efek sedatif hipnotik melalui interaksi
reseptor GABA. GABA adalah neurotransmiter penghambat
utama dalam susunan saraf pusat. Ketika reseptor GABA
diaktifkan,

maka

konduksi

meningkat,

mengakibatkan

klorida

transmembran

hiperpolarisasi

membran

akan
sel

postsinap dan hambatan fungsional dari neuron postsinap.


Interaksi propofol dengan komponen spesifik reseptor GABA
terlihat mampu meningkatkan laju disosiasi dari penghambat
neurotransmiter, dan juga mampu meningkatkan lama waktu
dari pembukaan klorida yang diaktifkan oleh GABA dengan
menghasilkan hiperpolarisasi dari membran sel. Obat anesthesia
yang sangat baik untuk induksi dan pemeliharan selama operasi.
Dosis yang diperlukan untuk mencapai keadaan hypnosis
adalah 2-2.5 mg/kgBB dan onset waktu 30-60 detik serta durasi
kerjanya adalah 5-10 menit. Durasi kerja dari propofol dapat
diperpanjang dengan menambah dosisnya. Efek samping dari
obat ini adalah tekanan darah dan denyut jantung menurun.
Propofol berikatan secara kuat dengan protein plasma.
Metabolisme dari obat ini melaui hepar.

Ketamin (ketalar)
Ketamin termasuk golongan hidroklorida. Durasi kerjanya
adalah 10-25 menit. Ketamine memiliki efek emergence
delirium atau sering disebut dissociative amnesia. Ketika
pasien pulih dari anestesi, pasien akan mengalami keadaan ilusi
secara visual, auditorik dan kesadaran. Halusinasi dan mimpi
buruk juga biasa terjadi dalam 24 jam setelah diberikan
ketamine. Obat ini kurang digemari karena sering menimbulkan
takikardia, hipertensi efek ini terjadi karena ketamine bekerja
langsung terhadap SSP sehingga merangsang langsung pusat
26

simpatis dan juga menghambat ambilan norephinefrin sehingga


ketamine bermanfaat bagi pasien dengan resiko hipotensi dan
asma, selain itu ketamine juga dapat menimbulkan efek
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan
mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum
pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum)
atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan
untuk mengurangi salivasi diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg.

Fentanyl
Fentanyl lebih banyak dibandingkan morfin sebagai anestesia
yang lebih kuat dengan efek depresi nafas yang lebih ringan.
Fentanyl biasa digunakan sebagai induksi atau pemeliharaan.
Dapat

memberikan

efek

sedasi.

Efek

samping

dapat

menyebabkan depresi pernapasan, rigiditas muscular pada dosis


tinggi dan mual muntah pasca operasi. Namun obat ini tidak
mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk
induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesia opioid
digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan

0,3-1 mg/kg/menit.
Rocoronium Bromide
Rocuronium bromide adalah pelumpuh otot non-depolarisasi
(inhibitor kompetitif) yang berikatan dengan reseptor nikotinikkolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya
menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin
tidak dapat bekerja. Pemberian obat ini adalah untuk Intubasi
trakea dan relaksasi otot selama pembedahan dan ventilasi
mekanik. Dosis yang diberikan adalah untuk intubasi rutin
adalah 0,6 mg/kg. Untuk induksi cepat dosis rocoronium 1,0
mg/kg,

lakukan

intubasi

setelah

90

detik

pemberian

rocoronium. Dosis pemeliharaan disarankan 0,15 mg/kg, untuk


inhalasi harus dikurangi 0,075-0,1 mg/kg. Awitan aksi: 45-90
detik, efek puncak: 1-3 menit, lama aksi : 15-150 menit
(tergantung dosis)
27

Ephedrin
Efedrin (ephedrine) merupakan simpatomimetik yang didapat
dari tanaman genus Ephedra (misalnya Ephedra vulgaris) dan
telah digunakan luas di Cina dan India Timur sejak 5000 tahun
yang lalu. Efedrin bekerja pada reseptor dan , termasuk 1,
2, 1 dan 2, baik bekerja langsung ataupun tidak langsung.
Efek tidak langsung yaitu dengan merangsang pelepasan
noradrenalin. Selain itu efedrin juga digunakan untuk mengatasi
hipotensi akibat induksi dengan propofol. Efedrin juga mampu
mempercepat mula kerja rokuronium. Efedrin mencegah nyeri
akibat injeksi propofol. Pencampuran efedrin dengan propofol
dapat menjaga kestabilan hemodinamik dan mencegah nyeri
akibat suntikan propofol. Pemberian efedrin 10-25 mg iv pada
orang dewasa sebagai pilihan simpatomimetik mengatasi
blokade susunan saraf simpatis yang disebabkan anestesi
regional ataupun untuk mengatasi efek hipotensi yang
disebabkan obat-obat anestesi. Lama kerja terhadap efek
tekanan darah bertahan sampai 1 jam pada pemberian
parenteral. Efek puncak efedrin terhadap curah jantung dicapai

sekitar 4 menit setelah injeksi.


Sulfas Atropine
Atropin sebagai prototype antimuskarinik akan dibahas sebagai
contoh dan antimuskarinik lain akan disebut bila ada perbedaan.
Hambatan oleh atropine bersifat reversible dan dapat diatasi
dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau
pemberian asetilkolinesterase. Atropin memblok asetilkolin
endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh lebih dekat
terhadap yang eksogen. Obat ini diindaksikan untuk keadaan
bradikardi selama masa operasi. Dosis pemberian secara
intravena adalah 300-600 mcg. Efek samping anti muskarinik
sering terjadi setelah pemberian obat ini.

28

Susunan saraf pusat atropine dalam dosis kecil memperlihatkan


efek merangsang di susunan saraf pusat dan pada dosis toksik
memperlihatkan akan terjadi efek depresi setelah melampaui
eksitasi yang berlebihan. Atropin merangsang medula oblongata
dan pusat lain di otak. Dalam dosis 30 mg atropine bekerja
dengan meragsang N.vagus sehingga frekuensi denyut jantung
berkurang. Dengan dosis 0,25-0,5 mg yang biasa digunakan jika
frekuensi jantung berkurang, mungkin disebabkan oleh
perangsangan pusat vagus. Bradikardi biasanya tidak nyata dan
tidak disertai perubahan tekanan darah atau curah jantung. Pada
dosis lebih dari 2 mg, yang biasanya hanya digunakan pada
keracunan insektisida organofosfat, terjadi hambatan N.vagus
sehingga terjadi takikardi. Atropin tidak mempengaruhi
pembuluh darah maupun tekanan darah secara langsung, tetapi
dapat menghambat vasodilatasi oleh asetilkolin atau esterkolin
yang lain.
Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
Induksi inhalasi
o N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan
beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal
25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga sering
digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi
inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu
cairan anastetik lain seperti halotan.
o Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya
cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot
lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus
simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi
vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor.
29

Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat


pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.
o Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih
iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat
dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek
relaksasi terhadap otot lurik lebih baik disbanding halotan.
o Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian
aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan
teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan
untuk bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga
digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada
pasien dengan gangguan koroner.
o Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi
napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas
sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.
o Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga
digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.
Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam.
Pelumpuh otot nondepolarisasi Tracurium 20 mg (Antracurium)
o Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak
menyebabkan

depolarisasi,

hanya

menghalangi

asetilkolin

menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.


o Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi
selama 20-45 menit, kecepatan efek kerjanya -2 menit.
o Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot:
Cegukan (hiccup)
Dinding perut kaku
Ada tahanan pada inflasi paru
RUMATAN ANESTESI (MAINTAINANCE)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan
inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.
30

Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hypnosis)
sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak
menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50
g/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup,
sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot dan
ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O 2 atau
N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan
perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4
vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau
dikendalikan.
TATALAKSANA JALAN NAPAS
Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:
1. Hidung
Menuju nasofaring
2. Mulut
Menuju orofaring
Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan
palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring menuju
esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea. Laring terdiri
dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan sepasang aritenoid, kornikulata
dan kuneiform.
A. Manuver tripel jalan napas
Terdiri dari:
1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3. Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas, sehingga
gas atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.
B. Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas mulutfaring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat hidung (nasopharyngeal airway).
C. Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke jalan
napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk
31

bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke
trakea lewat mulut atau hidung.
D. Sungkup laring (Laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang
dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan
seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa kerasdari polivinil
atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.
Dikenal 2 macam sungkup laring:
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa
tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esophagus.
E. Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan
standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut (orotracheal
tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).
F. Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk paru. Laringoskop merupakan
alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat
memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua
macam laringoskop:
1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa
2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka maksimal dan
lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi 4 gradasi.
Gradasi
1
2
3
4

Pilar faring
+
-

Uvula
+
+
Tabel. 2 Mallampati Score

Palatum Molle
+
+
+
-

Indikasi intubasi trakea


Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea
melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea
antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya
digolongkan sebagai berikut:
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan
napas, dan lain-lainnya.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien,
ventilasi jangka panjang.
32

3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi


Kesulitan intubasi :
1. Leher pendek berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tak terlihat
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas
Komplikasi intubasi :
1. Selama intubasi
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi, laring
c. Merangsang saraf simpatis
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glottis-subglotis
e. Infeksi laring, faring, trakea
Ekstubasi
1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:
a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan dengan catatan
tak akan terjadi spasme laring.
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan cairan
lainnya.

33

BAB VI
KESIMPULAN

Pasien An. X usia 10 tahun datang ke RSUD Cilegon dengan keluhan terasa
seperti mengganjal pada tenggorokan. Keluhan ini dirasakan semakin mengganggu.
Pasien memiliki riwayat dirawat di RS dengan diagnosis dokter spesialis THT yaitu
tonsilitis akut.
Setelah dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh baik fisik maupun
penunjang, maka pasien diklasifikasikan ke dalam ASA 1 dikarenakan tidak ada
penyakit/kelainan sistemik yang terjadi pada pasien dikarenakan keluhan tersebut.
Sebelum pasien dioperasi, dipuasakan selama 6-8 jam. Pasien direncanakan diberikan
anestesi umum dengan teknik anestesi SCCS (Semi Closed Circuit System)
menggunakan NTT no. 26. Sebelum pasien diinduksi, pasien diberikan obat
premedikasi berupa Granon 1 mg untuk mengurangi efek mual dan muntah akibat
pemberian obat-obat anestesi umum.
Pasien diinduksi dengan menggunakan obat Fentanyl 150 mcg dan Propofol 100 mg
secara intravena dan N2O dan Isofluran secara inhalasi sampai pasien tidak sadar/tertidur.
Diberikan pula O2 2 L/m untuk menjaga system respirasi. Pada intubasi ETT diperlukan
muscle relaxan untuk mecegah terjadinya bronkospasme diberikan rocuronium bromide 20
mg sesuai dosis yang ditentukan yaitu 0,6-1,2 mg/kg.
Jika semua sudah prosedur anestesi secara intravena dan intubasi telah selesai, maka
dimasukkan secara intravena obat asam traneksamat 500 mg/ 2 ampul diberikan sesuai cara
pemberian dengan dosis 15 mg/kgBB dengan berat badan pasien 45 kg. Ketika operasi hampir
selesai, diberikan Antrain 400 mg. Antrain adalah obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID),
diabsorpsi dari saluran pencernaan, mempunyai waktu paruh 1-4 jam bekerja terhadap
susunan saraf pusat yaitu mengurangi sensitivitas reseptor rasa nyeri yang sering digunakan
sebagai untuk meringankan rasa sakit setelah operasi.
Fase pemulihan anestesi dilakukan monitoring tekanan darah, nadi, dan saturasi
oksigen. Pasien dapat langsung dibawa ke ruangan rawat inap berdasarkan penilaian fisik dari
skor Aldrete. Pada pasien didapatkan nilai Aldrete 9 sehingga dapat langsung dibawa ke ruang
rawat inap.
34

DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan and Mikhail. Clinical Anesthesiology. 5th ed. McGraw Hill: USA.2013.
2. Maher J.T. Anesthetic Agents: General and Local Anesthetics. Chapter 16.
3. Derek M. Steinbacher. Propofol: A Sedative-Hypnotic Anesthetic Agent for Use in
Ambulatory Procedures. Anesth Prog 48:66-71. 2001. American Dental Society of
Anesthesiology.
4. Dachlan R, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi
dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
5. Stoelting RK, Miller, RD. Basics of Anesthesia, 5th Ed. Philadelphia: Elsevier Health
Sciences, 2007.
6. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anastesiologi, edisi kedua.
Jakarta: Bagian anastesiologi dan terapi intensif FKUI; 2002.
7. Goodman & Gillman. Dasar farmakologi dan terapi, edisi sepuluh. Jakarta: EGC.
8. Mangku G, Gde AST. Ilmu anastesi dan reminasi. Jakarta: PT. Macan Jaya Cemerlang.
2010.p.24-36.
9. De WJ, Sessler DI. Perioperative shivering: physiology and pharmacology.
Anesthesiology 2002; 96(2): 467-84.
10. Smith T, Pinnock C, Lin T. fundamentals of anesthesia. 3 rd. Post operative
management. Cambridge: Cambridge University Press. 2009;67.S

35

Anda mungkin juga menyukai