Case Referat GA RSUD CILEGON
Case Referat GA RSUD CILEGON
ANESTESI UMUM
TONSILEKTOMI DENGAN GENERAL ANESTESI
Pembimbing :
Dr. Dublianus, Sp. An
Dr. Tati, Sp. An
Disusun oleh :
Andi Nita Aprilliana
03012017
Soraya Olyfia
03010258
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk kesempatan yang
boleh diberikan kepada kami dalam menyelesaikan makalah kasus ini. Makalah yang berjudul
Tonsilektomi dengan General Anestesi juga tidak lepas dari bimbingan dr. Dublianus,
Sp.An dan dr. Tati, Sp.An, sehingga makalah ini dapat selesai dan dipaparkan. Selain itu
penulis juga mengucapkan terimakasih untuk para penata dan seluruh staf anestesi yang
memberikan saran, bimbingan, kritikan dan motivasi serta kerjasama yang baik sehingga
makalah ini dapat selesai.
Presentasi kasus ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepanitraan
klinik bagian anestesiologi di RSUD Cilegon. Selain itu juga sebagai bahan pembelajaraan
penulis pada bidang anestesiologi. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu kami sangat terbuka untuk menerima
segala kritik dan saran guna menyempurnakan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan pembaca pada umumnya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... 1
DAFTAR ISI.. 2
BAB I
Pendahuluan... 3
BAB II
Laporan Kasus... 4
BAB III
Laporan Anestesi... 9
BAB IV
Analisa kasus..... 14
BAB V
Tinjauan Pustaka... 18
BAB VI
Kesimpulan........ 37
Daftar Pustaka... 38
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS
I.
II.
Identitas Pasien
Nama
: An. X
Jenis kelamin
: Laki-laki
Usia
: 10 tahun
Alamat
Agama
Pekerjaan
Status
No RM
Tanggal masuk
Diagnosa
Anamnesis
Anamenesis dilakukan pada tanggal 17 Oktober 2016, pukul 07.30 WIB, dilakukan
secara autoanamnesis.
A. Keluhan utama
Pasien mengeluh terasa seperti mengganjal pada tenggorokan
B. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke RSUD Cilegon dengan keluhan terasa mengganjal pada tenggorokan
sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan sekarang yang dirasakan memberat dibandingkan
setahun yang lalu. Keluhan juga disertai dengan nyeri yang menjalar ke kedua telinga,
nyeri saat menelan. Pasien juga mengeluh demam dan batuk berdahak, tetapi
dahaknya susah keluar.
Ayah pasien mengatakan bahwa pasien juga sering mengeluh sakit kepala dan sering
pilek, sejak kecil pasien sering mengalami sakit karena daya tahan tubuh yang
menurun. Ayah pasien juga megatakan bahwa pasien sering jajan sembarangan dan
pola makan pasien yang tidak teratur.
Pemeriksaan fisik
Kesadaran
Kesan sakit
Berat badan
Tinggi badan
Tekanan darah
Nadi
Suhu
Pernapasan
: compos mentis
: tampak sakit sedang
: 45 kg
: 153 cm
: 100/70 mmHg, diukur di lengan kanan pasien, posisi telentang
: 80x/menit, diukur di A. radialis,teratur, kuat, isi cukup
: 36.5C, diukur di axilla
: 20x/menit, tipe prnapasan abdominalthorakal
Status Generalis
Kepala
Mata
: normosefali
: konjungtiva anemis (-) , sklera ikterik (-), pupil isokor, reflex
Hidung
Telinga
Mulut
Leher
Thorax
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
bermakna
: bising usus (+) normal pada seluruh regio abdomen
: tidak teraba massa di seluruh region abdomen, nyeri tekan (-),
Perkusi
Ekstremitas
Status Lokalis
Telinga AD/AS
Hidung
-Bentuk
normotia/normotia
-Bentuk
normal
-CAE lapang/lapang
-Septum
deviasi -/-
IV.
-hipertrofi
konka inferior
-/-
Tenggorokan
Maksilo
Fasial
-faring
tenang
Leher
-KGB
TTM
-simetris
-tonsil T3/T3,
hiperemis (-)
-uvula
ditengah
-parase
N.VII(-)
-Nyeri
tekan (-)
-Trakea
ditengah
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Masa pembekuan
Masa perdarahan
Kimia klinik
SGOT
SGPT
Albumin
Hasil
Nilai normal
13.3 g/dl
11000 Ul
40,8%
8 menit
2 menit
12-16
5000-10000
37-43
5-15 menit
1-5 menit
23 U/L
9 U/L
5 g/dL
<31
<31
3.5-5.5 g/Dl
6
Ureum
Kreatinin
Elektorlit
Natrium
Kalium
Klorida
Seroimunologi
HbsAg
Anti HCV
Anti HIV
GDS
18 mg/dL
0.3 mg/dL
17-43
0.6-1.2
139.2 mmol/L
3.78 mmol/L
103.7 mmol/L
135 155
3.6 5.5
95 107
Non reaktif
Negatif
Non reaktif
97 mg/dL
Non reaktif
Negatif
Non reaktif
<200
Foto Thoraks
Jenis foto: thoraks PA
Deskripsi:
-Cor: CTR <50%, Aorta baik
-Pulmo: Corakan bronkovaskular paru kanan kiri baik tak tampak infiltrate
Hilus kiri kanan baik
Kedua sinus dan diafragma baik
Tulang dan jaringan lunak baik
V.
Diagnosis kerja
Tonsilitis Kronis
VI.
Diagnosis banding
Tonsilitis Akut
VII. Tatalaksana
Ringer Laktat 500cc 20tpm
Direncanakan operasi tonsilektomi
Informed consent operasi
Konsul ke bagian Anestesi
VIII. Kesan anestesi
- ASA 1 tanpa riwayat penyakit sistemik lainnya.
-
BAB III
LAPORAN ANESTESI
A.
Diagnosa prabedah
Jenis pembedahan
Lama anestesi
Lama operasi
Teknik
: Tonsilitis kronis
: Tonsilektomi
: 10.10-11.40
: 11.15 11.35
: Intubasi Nasoendotracheal tube no.26
Preoperatif
Informed Consent (+)
Puasa (+) kurang lebih 6-8 jam
Tidak terdapat gigi goyang dan pemakaian gigi palsu, riwayat DM (-), hipertensi (-),
alergi obat (-)
IV line terpasang dengan infus RL 500 cc, mengalir lancar
Keadaan umum tampak sakit ringan
Kesadaran Compos Mentis
Tanda Vital:
a. Tekanan darah
: 100/70 mmHg
b. Pernafasan
: 20x/menit
c. Nadi
: 90 x/menit
d. Suhu
: 36.6C
Klasifikasi status fisik dan kebugaran
ASA 1
: pasien sehat dan tidak memiliki kelainan sistemik
GCS
Persiapan alat
S (scope)
T (tubes)
A (airway)
T (tape)
I (introducer)
C (connector)
S (suction)
Pesiapan obat
Granon 1 mg/ml
Recofol 200 mg/20ml
Fentanyl 200 mg/4ml
Ketamine 100 mg/10ml
Ephedrine 50mg/10ml
B.
Premedikasi Anestesi
Sebelum dilakukan tindakan anestesi diberikan Granon 1mg secara bolus IV
C.
Tindakan Anestesi
Pada tanggal 18 Oktober 2016, pukul 10.00 pasien sudah tiba di ruang operasi
dengan terpasang infus RL 40 tpm. Dilakukan pemasangan dan pemeriksaan vital sign
dengan hasil TD 100/70 mmHg; HR 90x/menit; dan SpO2 99%. Pukul 10.05
dilakukan premedikasi pemberian Granon 1 mg secara bolus intravena.
Pasien dalam posisi terlentang, kemudian dilakukan informed consent terhadap
tindakan anestesi. Fentanyl 150 mg lalu ditambahkan dengan Propofol 100 mg secara
bolus dan rocoronium bromide 20 mg sebagai pelemas otot serta dilanjutkan dengan
memantau tekanan darah, nadi, dan saturasi oksigen melalui monitor. Selain itu
memeriksa reflex bulu mata pasien untuk memastikan sudah terjadi efek hipnotik pada
pasien tersebut.
Setelah pasien dalam fase hipnotik, dilakukan pemasangan face mask dengan
O2 dan N2O 2L/m dan Isofluran 2% dan dilakukan pemompaan sampai pasien benar
relax dan tidak sadar. Memastikan tanda vital dan saturasi baik, baru setelah itu
dilakukan intubasi. Intubasi dilakukan dengan menggunakan Nasoendotrachea no. 26,
setelah alat masuk ke trakea, lalu alat disambungkan dengan O 2 dan N2O, dipompa,
dan dipastikan kembali apakah ETT benar-benar masuk ke saluran napas dengan
melakukan auskultasi suara nafas menggunakan stetoskop. Jika tidak ada kelainan
9
pada dada saat auskultasi lalu alat difiksasi menggunakan micropore. Kedua mata
pasien berikan chloramphenicole zalf dengan cara dioles lalu mata ditutup
menggunakan micropore. Ambu akan terus dipompa hingga pasien dapat bernapas
dengan spontan.
D.
menit.
Respirasi: inspeksi pernapasan spontan kepada pasien dan saturasi oksigen
Cairan: monitoring input cairan infus.
Jam
Tindakan
Pasien masuk kamar operasi, dibaringkan di
TD
Nadi
SpO2
10.0
100/70
90
99
100/70
90
100
Operasi dimulai
100/80
98
97
Kondisi terkontrol
110/60
98
97
110/50
95
97
Kondisi terkontrol
100/58
80
99
100/58
80
99
100/50
80
100
no.26
Kondisi terkontrol
10.4
0
500
mg
(2
ampul)
dan
Phytomiamenadione 10 mg
10.5
5
11.25
10
Operasi selesai
N2O dan isoflurane dimatikan
11.40 Dilakukan ekstubasi dan dipasang guedel
Pelepasan alat monitoring
Pasien dipindah ke recovery room
E.
Laporan Anestesi
Diagnosa pra bedah
Diagnosa pasca bedah
Penatalaksanaan preoperasi
Penatalaksanaan anestesi
a. Jenis pembedahan
b. Jenis Anestesi
c. Teknik Anestesi
d. Mulai Anestesi
e. Mulai Operasi
f. Premedikasi
g. Medikasi
h. Medikasi tambahan
i. Respirasi
100/40
60
98
: Tonsilitis kronis
: Tonsiltis kronis
: infus RL 500cc
: Tonsilektomi
: anestesi umum
: Semi Closed Circuit System dengan ETT
: pukul 10.05 WIB
: pukul 10.10 WIB
: Granon 1 mg IV
: Fentanyl 150 mcg, propofol 100 mg, dan Rocoronium
bromide 20 mg/5ml
: Asam traneksamat 500 mg dan Phytomiamenadione
10 mg
: Pernapasan spontan dan terpasang O2 2L/m,
Post operatif
Operasi berakhir pukul 10.40, kemudian pasien dipindahkan ke ruang pemulihan
(recovery room) dengan terpasang guedel dan diberikan bantuan O2 3L/m dengan
menggunakan canule melalui guedel, dilanjutkan pemberian cairan, dan diobservasi
hingga pasien sadar penuh.
Observasi tanda-tanda vital dalam batas normal :
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
TD : 100/40 mmHg
Nadi : 60x/menit
Saturasi oksigen : 99%
Pemeriksaan fisik :
11
Warna kulit sawo matang, airway paten, napas spontan, akral hangat, CRT<2
detik
Pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat inap. Penilaian ini berdasarkan Skor
Aldrete. Parameter ini berfungsi untuk mengetahui apakah pasien sudah dapat
dipindahkan ke ruangan berdasarkan beberapa keadaan pasca operasi. Pada
pasien didapatkan total skor 10.
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien datang ke kamar operasi pada pukul 09.45 untuk menjalani operasi
tonsilektomi. Kondisi pasien saat itu tampak sakit ringan, compos mentis dan status
fisik
ASA
1. Pada
pasien
ini
12
Granon 1 mg secara bolus intravena. Hal ini bertujuan untuk mengurangi rasa mualmuntah, meredakan kecemasan, memperlancar induksi anestesia, mengurangi sekresi
kelanjar ludah dan bronkus, selain itu obat premedikasi dapat mengurangi reflex yang
membahayakan. Yang utama adalah pencegahan terhadap aspirasi karena pada general
anestesi beresiko terjadinya aspirasi karena pasien pada kondisi tidur atau tidak sadar.
Refleks mual-muntah terjadi karena sel-sel mukosa enterochromaffin melepaskan
serotonin yang menstimulasi reseptor-reseptor 5-HT3. Hal ini menimbulkan
rangsangan aferen n. vagus dan dapat menyebabkan vomitus. Penelitian pada hewan
coba menunjukkan bahwa saat mengikat reseptor-reseptor 5-HT3, granisetron
menghambat stimulasi serotonin dan reaksi vomitus selanjutnya setelah stimulasi
emetogenik. Granon mengandung Granisentron. Granisetron merupakan antiemetik
yang potent dimana efek antiemetiknya dicapai melalui kerja antagonis pada reseptorreseptor 5-hydroxitryptamine (5-HT3) di dalam chemoreceptor trigger zone dan
mungkin pada saluran cerna bagian atas. Reseptor-reseptor serotonin tipe 5-HT3
terletak secara perifer pada terminal nervus vagus dan sentral di dalam chemoreceptor
trigger zone di area postrema. Granisetron diindikasikan untuk pencegahan dan
pengobatan pada keadaan nausea dan vomitus akut maupun tertunda yang
berhubungan dengan kemoterapi dan radioterapi serta mual dan muntah pasca operasi.
13
Selanjutnya pada pasien diberikan Fentanyl 150 mg. Dosis basal Fentanyl
sendiri adalah 20-50 mcg/kgBB. Pemberian Fentanyl ini digunakan untuk
pemeliharaan anestesi saat tindakan operasi. Fentanyl merupakan obat dari golongan
opioid. Obat ini juga bertujuan untuk memberikan efek anti analgesic.
Selanjutnya diberikan secara intravena obat Propofol dosis 100 mg. Pemberian
dosis ini disesuaikan dengan dosis Propofol yaitu 2-2.5 mg/kgBB dan pasien ini
memiliki berat badan 45 kg, sehingga dosis pemberian obatnya adalah 100 mg. Secara
kimiawi Propofol tidak ada hubungannya dengan anestetik intravena lain, propofol
merupakan salah satu obat hipnotik sedative. Sehingga efek dari pemberian obat ini
adalah ketidaksadaran. Pada saat pemberian Propofol secara bolus intravena, pasien
langsung tertidur. Keuntungan dari pemberian obat ini adalah efek samping minimal,
onset cepat, waktu pemulihan kesadaran, psikomotor dan kognitif cepat. Perlu
diketahui bahwa Propofol dapat menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 30%
tetapi efek ini lebih disebabkan oleh vasodilatasi perifer ketimbang penurunan curah
jantung dan dapat kembali normal dengan intubasi trakea. Pada intubasi ETT
diperlukan muscle relaxan untuk mecegah terjadinya bronkospasme diberikan
rocuronium bromide 20 mg sesua dosis yang ditentukan yaitu 0,6-1,2 mg/kg.
Setelah itu masuk dalam tahap anestesi. Pada tahap pertama, pasien diberikan
induksi secara inhalasi dan intravena. Pemberian obat inhalasi berupa N2O dan
isoflurane. Diberikan pula O2. Perbandingan N2O dan O2 adalah 50:50, dengan
konsentrasi 2 L/m. N2O atau dinitrogen monoksida merupakan suatu gas yang
memiliki efek yang baik untuk induksi anestesi. Begitu pula zat isoflurane. Isoflurane
memiliki lebih banyak keuntungan dan sedikit efek samping dibanding jenis obat
inhalasi yang lain. Pemberian oksigen bertujuan untuk menjaga sistem respirasi dan
kardiovaskular selama proses anestesi.
Setelah pasien tidak sadar dan otot-otot lemas, dilakukan intubasi. Intubasi ini
menggunakan ETT no. 26 melalui hidung. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya
digolongkan sebagai berikut: menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun,
mempermudah
ventilasi
positif
dan
oksigenasi,
misalnya
saat
resusitasi,
rebreathing. Apparatus untuk closed methode dapat dipakai untuk semi closed
methode, dengan jalan membiarkan sebagian gas yang berlebihan keluar melalui
valve
yang
merupakan sistem yang berfungsi menghantarkan oksigen dan gas anestesi dari mesin
anestesi kepada pasien yang dioperasi. Sirkuit anestesi merupakan suatu pipa/tabung
yang merupakan perpanjangan dari saluran pernafasan atas pasien. Komponen sirkuit
anestesi pada saat sekarang ini terdiri dari kantong udara, pipa yang berlekuk-lekuk,
celah untuk aliran udara segar, katup pengatur tekanan dan penghubung pada pasien.
Aliran gas dari sumber gas berupa campuran oksigen dan zat anestesi akan mengalir
melalui vaporizer dan bersama zat anestesi cair tersebut keluar menuju sirkuit.
Campuran oksigen dan zat anestesi yang berupa gas atau uap ini disebut sebagai fresh
gas flow (FGF) (aliran gas segar). Sistem pernafasan atau sirkuit anestesi ini dirancang
untuk mempertahankan tersedianya oksigen yang cukup di dalam paru sehingga
mampu dihantarkan darah kepada jaringan dan selanjutnya mampu mengangkut
karbondioksida dari tubuh. Sistem pernafasan ini harus dapat menjamin pasien mampu
bernafas dengan nyaman, tanpa adanya peningkatan usaha bernafas, tidak menambah
ruang rugi (dead space) fisiologis serta dapat menghantarkan gas / agen anestesi secara
lancar pada sistem pernafasan pasien.
Jika semua sudah prosedur anestesi secara intravena dan intubasi telah selesai
dilakukan operasi dimulai penata anestesi memantau operasi saat tindakan
tonsilektomi dilakukan saat dokter operator sudah melakukan tonsilektomi pada salah
satu tonsil maka dimasukkan secara intravena obat traneksamat 500 mg/ 2 ampul
diberikan sesuai cara pemberian dengan dosis 15 mg/kgBB dengan berat badan pasien
45 kg, asam traneksamat merupakan penghambat bersaing dari aktivator plasminogen
dan penghambat plasmin, plasmin sendiri berperan menghancurkan fibrinogen, fibrin
dan faktor pembekuan darah lain, setelah pemberian asam traneksamat secara bolus
dilanjutkan dengan pemberian Phytomiamenadione 10 mg yang berfungsi untuk
meningkatkan biosintesis beberapa faktor pembekuan darah.
Ketika operasi hampir selesai, diberikan Antrain 400 mg. Antrain adalah obat
anti inflamasi nonsteroid (NSAID), diabsorpsi dari saluran pencernaan, mempunyai
waktu paruh 1-4 jam bekerja terhadap susunan saraf pusat yaitu mengurangi
sensitivitas reseptor rasa nyeri yang sering digunakan sebagai untuk meringankan rasa
sakit setelah operasi.
15
Pasien dapat bernapas spontan dan operasi hampir selesai. Setelah operasi
selesai, dilakukan ekstubasi dan dipasang guedel. Isoflurane dan N2O dimatikan,
namun O2 tetap dipertahankan pada konsentrasi 2 L/m untuk memaksimalkan
pernapasan spontannya. Pasien tetap dijaga pernapasannya supaya tidak terjadi
aspirasi sampai dibawa ke ruang pemulihan. Pada ruang pemulihan, pasien tetap
dimonitor kesadaran dan tanda-tanda vital.
16
BAB V
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-tidak, tanpa dan
aesthesos, persepsi, kemampuan untuk merasa. Secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah Anestesia digunakan pertama
kali oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1948 yang menggambarkan keadaan
tidak sadar yang bersifat sementara, karena anestesi adalah pemberian obat dengan
tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah tindakan
pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien.
Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi
terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri,
kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang
heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama
dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara
intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang
mudah menguap) yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran,
metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara intravena,
yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis, dan
beberapa obat khusus seperti ketamin.
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
1
2
3
Umur
o Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum
o Pada orang dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipermudahkan
dilakukan dengan anestesi local atau umum
Status fisik
o Riwayat penyakit dan anestesia terdahulu. Untuk mengetahui apakah
pernah dioperasi dan anestesi. Dengan itu dapat mengetahui apakah ada
komplikasi anestesia dan pasca bedah.
o Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin dihindari
penggunaan anestesia umum.
o Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi dengan gangguan jiwa
sebaikmya dilakukan dengan anestesia umum.
o Pasien obesitas, bila disertai leher pendek dan besar, sering timbul
gangguan sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan induksi anestesia.
keadaan seimbang.
Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak
aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang
diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi
lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan jaringan.
Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat
adalah
yang
berasal
dari
The
American
Society
of
Kelas II
Kelas III
rutin
dan
penyakitnya
merupakan
ancaman
2
3
4
5
6
3
4
Analgesik narkotik
a Pethidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
c Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3gr/kgBB
Analgesik non narkotik
a Ponstan
b Tramol
c Toradon
Hipnotik
a Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
Sedatif
23
mg/kgBB
DBP
Narfoz, rantin, primperan.
INDUKSI ANESTESI
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat
dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur
akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai
tindakan pembedahan selesai.
Persiapan induksi anestesi
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan STATICS:
S : Scope
T : Tube
A : Airway
T : Tape
I : Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang
mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
24
S : Suction
Stadium Anestesi
Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama berupa
analgesia sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi teratur, stadium 3
dan stdium 4 sampai henti napas dan henti jantung.
Stadium I
Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik
sampai hilangnya kesadaran.Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah
dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).Tindakan pembedahan ringan, seperti
pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.Stadium ini
berakhir dengan ditandai oleh hilangnya reflekss bulu mata (untuk mengecek refleks
tersebut bisa kita raba bulu mata).
Stadium II
Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan ditandai
dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+),
pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri
dengan hilangnya reflekss menelan dan kelopak mata.
Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga hilangnya
pernapasan spontan.Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernapasan spontan, hilangnya
reflekss kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan
mudah.
Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera diikuti
kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Pasien sebaiknya
tidak mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi yang
berlebihan.
maka
konduksi
meningkat,
mengakibatkan
klorida
transmembran
hiperpolarisasi
membran
akan
sel
Ketamin (ketalar)
Ketamin termasuk golongan hidroklorida. Durasi kerjanya
adalah 10-25 menit. Ketamine memiliki efek emergence
delirium atau sering disebut dissociative amnesia. Ketika
pasien pulih dari anestesi, pasien akan mengalami keadaan ilusi
secara visual, auditorik dan kesadaran. Halusinasi dan mimpi
buruk juga biasa terjadi dalam 24 jam setelah diberikan
ketamine. Obat ini kurang digemari karena sering menimbulkan
takikardia, hipertensi efek ini terjadi karena ketamine bekerja
langsung terhadap SSP sehingga merangsang langsung pusat
26
Fentanyl
Fentanyl lebih banyak dibandingkan morfin sebagai anestesia
yang lebih kuat dengan efek depresi nafas yang lebih ringan.
Fentanyl biasa digunakan sebagai induksi atau pemeliharaan.
Dapat
memberikan
efek
sedasi.
Efek
samping
dapat
0,3-1 mg/kg/menit.
Rocoronium Bromide
Rocuronium bromide adalah pelumpuh otot non-depolarisasi
(inhibitor kompetitif) yang berikatan dengan reseptor nikotinikkolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya
menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin
tidak dapat bekerja. Pemberian obat ini adalah untuk Intubasi
trakea dan relaksasi otot selama pembedahan dan ventilasi
mekanik. Dosis yang diberikan adalah untuk intubasi rutin
adalah 0,6 mg/kg. Untuk induksi cepat dosis rocoronium 1,0
mg/kg,
lakukan
intubasi
setelah
90
detik
pemberian
Ephedrin
Efedrin (ephedrine) merupakan simpatomimetik yang didapat
dari tanaman genus Ephedra (misalnya Ephedra vulgaris) dan
telah digunakan luas di Cina dan India Timur sejak 5000 tahun
yang lalu. Efedrin bekerja pada reseptor dan , termasuk 1,
2, 1 dan 2, baik bekerja langsung ataupun tidak langsung.
Efek tidak langsung yaitu dengan merangsang pelepasan
noradrenalin. Selain itu efedrin juga digunakan untuk mengatasi
hipotensi akibat induksi dengan propofol. Efedrin juga mampu
mempercepat mula kerja rokuronium. Efedrin mencegah nyeri
akibat injeksi propofol. Pencampuran efedrin dengan propofol
dapat menjaga kestabilan hemodinamik dan mencegah nyeri
akibat suntikan propofol. Pemberian efedrin 10-25 mg iv pada
orang dewasa sebagai pilihan simpatomimetik mengatasi
blokade susunan saraf simpatis yang disebabkan anestesi
regional ataupun untuk mengatasi efek hipotensi yang
disebabkan obat-obat anestesi. Lama kerja terhadap efek
tekanan darah bertahan sampai 1 jam pada pemberian
parenteral. Efek puncak efedrin terhadap curah jantung dicapai
28
depolarisasi,
hanya
menghalangi
asetilkolin
Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hypnosis)
sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak
menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50
g/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup,
sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot dan
ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O 2 atau
N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan
perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4
vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau
dikendalikan.
TATALAKSANA JALAN NAPAS
Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:
1. Hidung
Menuju nasofaring
2. Mulut
Menuju orofaring
Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan
palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring menuju
esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea. Laring terdiri
dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan sepasang aritenoid, kornikulata
dan kuneiform.
A. Manuver tripel jalan napas
Terdiri dari:
1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3. Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas, sehingga
gas atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.
B. Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas mulutfaring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat hidung (nasopharyngeal airway).
C. Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke jalan
napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk
31
bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke
trakea lewat mulut atau hidung.
D. Sungkup laring (Laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang
dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan
seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa kerasdari polivinil
atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.
Dikenal 2 macam sungkup laring:
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa
tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esophagus.
E. Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan
standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut (orotracheal
tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).
F. Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk paru. Laringoskop merupakan
alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat
memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua
macam laringoskop:
1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa
2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka maksimal dan
lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi 4 gradasi.
Gradasi
1
2
3
4
Pilar faring
+
-
Uvula
+
+
Tabel. 2 Mallampati Score
Palatum Molle
+
+
+
-
33
BAB VI
KESIMPULAN
Pasien An. X usia 10 tahun datang ke RSUD Cilegon dengan keluhan terasa
seperti mengganjal pada tenggorokan. Keluhan ini dirasakan semakin mengganggu.
Pasien memiliki riwayat dirawat di RS dengan diagnosis dokter spesialis THT yaitu
tonsilitis akut.
Setelah dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh baik fisik maupun
penunjang, maka pasien diklasifikasikan ke dalam ASA 1 dikarenakan tidak ada
penyakit/kelainan sistemik yang terjadi pada pasien dikarenakan keluhan tersebut.
Sebelum pasien dioperasi, dipuasakan selama 6-8 jam. Pasien direncanakan diberikan
anestesi umum dengan teknik anestesi SCCS (Semi Closed Circuit System)
menggunakan NTT no. 26. Sebelum pasien diinduksi, pasien diberikan obat
premedikasi berupa Granon 1 mg untuk mengurangi efek mual dan muntah akibat
pemberian obat-obat anestesi umum.
Pasien diinduksi dengan menggunakan obat Fentanyl 150 mcg dan Propofol 100 mg
secara intravena dan N2O dan Isofluran secara inhalasi sampai pasien tidak sadar/tertidur.
Diberikan pula O2 2 L/m untuk menjaga system respirasi. Pada intubasi ETT diperlukan
muscle relaxan untuk mecegah terjadinya bronkospasme diberikan rocuronium bromide 20
mg sesuai dosis yang ditentukan yaitu 0,6-1,2 mg/kg.
Jika semua sudah prosedur anestesi secara intravena dan intubasi telah selesai, maka
dimasukkan secara intravena obat asam traneksamat 500 mg/ 2 ampul diberikan sesuai cara
pemberian dengan dosis 15 mg/kgBB dengan berat badan pasien 45 kg. Ketika operasi hampir
selesai, diberikan Antrain 400 mg. Antrain adalah obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID),
diabsorpsi dari saluran pencernaan, mempunyai waktu paruh 1-4 jam bekerja terhadap
susunan saraf pusat yaitu mengurangi sensitivitas reseptor rasa nyeri yang sering digunakan
sebagai untuk meringankan rasa sakit setelah operasi.
Fase pemulihan anestesi dilakukan monitoring tekanan darah, nadi, dan saturasi
oksigen. Pasien dapat langsung dibawa ke ruangan rawat inap berdasarkan penilaian fisik dari
skor Aldrete. Pada pasien didapatkan nilai Aldrete 9 sehingga dapat langsung dibawa ke ruang
rawat inap.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan and Mikhail. Clinical Anesthesiology. 5th ed. McGraw Hill: USA.2013.
2. Maher J.T. Anesthetic Agents: General and Local Anesthetics. Chapter 16.
3. Derek M. Steinbacher. Propofol: A Sedative-Hypnotic Anesthetic Agent for Use in
Ambulatory Procedures. Anesth Prog 48:66-71. 2001. American Dental Society of
Anesthesiology.
4. Dachlan R, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi
dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
5. Stoelting RK, Miller, RD. Basics of Anesthesia, 5th Ed. Philadelphia: Elsevier Health
Sciences, 2007.
6. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anastesiologi, edisi kedua.
Jakarta: Bagian anastesiologi dan terapi intensif FKUI; 2002.
7. Goodman & Gillman. Dasar farmakologi dan terapi, edisi sepuluh. Jakarta: EGC.
8. Mangku G, Gde AST. Ilmu anastesi dan reminasi. Jakarta: PT. Macan Jaya Cemerlang.
2010.p.24-36.
9. De WJ, Sessler DI. Perioperative shivering: physiology and pharmacology.
Anesthesiology 2002; 96(2): 467-84.
10. Smith T, Pinnock C, Lin T. fundamentals of anesthesia. 3 rd. Post operative
management. Cambridge: Cambridge University Press. 2009;67.S
35