Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perseroan (TJSLP) dan Tanggung Jawab Sosial

Perseroan (TJSP) atau yang sering disebut Corporate Social Responsibility adalah suatu
komitmen yang berkelanjutan dari suatu perusahaan untuk berperilaku etis dan berkontribusi
secara positif kepada karyawannya, komunitas dan lingkungan sekitarnya, serta masyarakat
luas. Dengan kata lain, hal ini merupakan pengambilan keputusan yang dikaitkan dengan nilainilai etika, memenuhi kaidah-kaidah dan keputusan hukum dan menghargai manusia,
masyarakat dan lingkungan.
Motivasi utama setiap perusahaan atau industri atau bisnis sudah tentu adalah
meningkatkan keuntungan. Namun bisnis yang dialankan dengan melanggar prinsip-prinsip
moral dan nilai-nilai etika cenderung tidak produkif dan menimbulkan inefisiensi. Manajeman
yang tidak memperhatikan dan tidak menerapkan nilai- nilai moral, hanya berorientasi pada
laba (tujuan) jangka pendek, tidak akan mampu survive dalam jangka panjang. Dengan
meningkatnya peran swasta antara lain melalui pasar bebas dan globalisasi maka swasta
semakin luas berinteraksi dan bertangung jawab sosial dengan masyarakat dan pihak lain.
Pada saat banyak perusahaan semakin berkembang, maka pada saat itu pula
kesenjangan social dan kerusakan lingkungan sekitarnya dapat terjadi. Karena itu muncul pula
kesadaran untuk mengurangi dampak negative. Banyak perusahaan mengembangkan apa yang
disebut Corporate Social Responsibility (CSR). Penerapan CSR tidak lagi dianggap sebagai
cost melainkan investasi perusahaan.
B. Rumusan Masalah
Guna

untuk

memahami

latar

belakang

masalah

di

atas,

dan

mempersempit/memperjelas materi yang akan dibahas, maka disusunlah rumusan masalah


sebagai berikut:
a. Hakikat Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan

BAB II
PEMBAHASAN
MISKONSEPSI HAKIKAT CSR
Pada 20 Juli 2007, DPR telah menetapkan UU No.40 Pasal 74 tentang Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan Perseroan (TJSLP) serta Perda CSR di sejumlah daerah. Peraturan
tersebut menumbuhkan nilai pro dan kontra dikalangan pelaku usaha. Banyak dari pengusaha
enggan untuk melakukan CSR. Hal itu dikarenakan :
1. Sejauh ini praktik CSR dalam lingkup global masih bersifat sukarela, sehingga
pengusaha Indonesia menolak jika CSR diwajibkan
2. CSR dianggap membebani perseroan dan mengurangi laba perseroan (dividen) pemilik
saham
3. Dapat mengganggu iklim investasi yag dapat menyebabkan para investor pindah ke
Negara lain
Pemerintah dan masyarakat menganggap bahwa CSR adalah suatu kewajiban dan
harus dipenuhi oleh perusahaan. Dalam sejumlah regulasi tersebut, hakikat TJSLP
disamaartikan dengan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) atau CSR. Kemudian CSR
diperlukan sebagai kewajiban perusahaan yang harus dilaksanakan secara periodik,
dianggarkan dan dimasukkan sebagai biaya perseroan.
Mengapa perusahaan menganggap CSR adalah kegiatan sukarela (voluntary) dan
TJSLP adalah bersifat wajib (mandatory)? Karena bagi perusahaan CSR tidaklah sama dengan
hakikat TJSLP. Hakikat CSR bukanlah bersifat wajib melainkan bersifat sukarela.
Pelaksaannyapun juga tidak boleh dipaksakan oleh pemerintah dan pihak pihak masyarakat
sipil. CSR harus didasarkan pada kesediaan, komitmen dan kemampuan sumber daya ekonomi
serta strategi bisnis dari masing masing perusahaan. Apabila perusahaan menilai CSR
sebagai strategi bisnis untuk memperkuat fondasi bisnis serta mengurangi tekanan stakeholder
maka biarkanlah perusahaan yang mengatur tata kelola CSR itu sendiri.
Perbedaan

pandangan

tersebut

menunjukkan

telah

terjadi

miskonsepsi

atau

kesalahpahaman terhadap hakikat dan esensi CSR di Indonesia. Hal tersebut tentu membuat

tidak kondusif dan dapat merigukan semua pihak jika dibiarkan terus menerus. Oleh karena
itu, para regulator perlu berkompromi untuk mencari titik kesamaan tentang hakikat TJSLP
dan CSR di Indonesia.
1. Sumber Miskonsepsi
Sumber miskonsepsi dan polemik CSR di Indonesia berasal dari perbedaan
pandangan dari para pihak terhadap konstruksi bisnis teori yuridis tentang TJSLP
yang tertera dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) dan PP
No. 47/2012 tentang TJSLP. Konstruksi teoritis TJSLP dalam UUPT dan PP No.
47/2012 menyatakan bahwa TJSLP wajib untuk dilaksanakan dan memang menjadi
kewajiban suatu perseroan. Berdasarkan konstruksi teoritis yuridis tersebut, para
regulator menganggap TJSLP sama dengan kontruksi teoritis dari CSR yang selama ini
sudah dikenal di masyarakat luas. Oleh karena itu, pemerintah memberlakukan CSR
untuk dilaksakan perusahaan dan menyetorkan dana CSR kepada pemerintah dan ikut
serta melaksakan program program pembangunan daerah dalam upaya pengentasan
kemiskinan dan menjaga kelestarian lingkungan.
Meskipun makna CSR terlihat seperti sama dengan konstruksi teoritis TJSL
dalam UUPT, namun sesungguhnya esensinya berbeda. Konstruksi teoritis CSR lebih
menekankan CSR sebagai suatu kebutuhan hakiki, strategi bisnis dan investasi strategi
dilaksanakan secara sukarela dan program program CSR yang dilakukan bisa
berkaitan langsung dengan karyawan dan masyarakat sekitar serta para pemangku
kepentingan yang terkait langsung dengan mata rantai ekonomi perusahaan dengan
tujuan untuk memperkuat relasi sosial, ekonomi dan ekologi agar perusahaan atau
bisnis bisa terus bertumbuh dan berkembang secara berkesinambungan. Berbeda
dengan CSR, konstruksi TJSLP yang ada dalam UUPT lebih menekankan TSLJ
sebagai kewajiban yuridis yang harus dilaksanakan dengan tujuan untuk mencegah
atau meminimalisir dampak dampak negatif atau resiko resiko yang timbul dari
aktivitas ekonomi dan aktivitas operasi perusahaan terhadap masyarakat dan
lingkungan sekitar.
2. Rekonstruksi Konsepsi CSR
CSR harus diperlakukan sebagai suatu komtimen berkelanjutan secara sukarela
dari dunia bisnis untuk turut serta bertanggungjawab secara ekonomi, sosial, dan

ekologis untuk mencegah dampak dampak negatif yang mungkin timbul dan untuk
meningktkan kapasitas, kualitas, dan kejahteraan masyarakat (termasuk karyawan,
pemasok dan pelanggan) yang menjadi stakeholder perusahaan. CSR harus di
konstruksi untuk menyelaraskan pencapaian tujuan ekonomi (profit) dengan tujuan
sosial (poeple) dan tujuan lingkungan (planet) atau disebut triple botom line
perfomance demi keselarasan dan keberlanjutan bersama. Sementara itu, peran
pemerintah adalah mendorong dan memotivasi dunia usaha melaksanakan CSR dalam
konteks trilogi tanggungjawab korporasi. Pemerintah juga perlu memberi feedback
dalam bentuk insentif pajak dan lainnya kepada perusahaan perusahaan yang secara
sukarela memiliki kepedulian yang besar dalam melaksanakan CSR secara
berkesinambungan.
KASUS CSR
Dalam praktik opearasional perusahaan di Indonesia terdapat beberapa kasus yang
merupakan dampak dari tidak terlaksananya CSR. Salah satunya ialah keadaan yang terjadi di
PT Freeport Indonesia (FI) di Papua. Terjadinya aksi pemblokiran jalan menuju lokasi
tambang dan tuntutan dari masyarakat agar pemerintah menutup perusahan tersebut.
Masyarakat menilai bahwa perusahaan tersebut tidak memberikan manfaat ekonomi dan sosial
yang signifikan untuk kualitas hidup masyarakat di lingkungan tersebut. Bagi mereka
operasional perusahaan menimbulkan dampak negatif, seperti : meningkatnya kemiskinan,
banyak masyarakat terjangkit penyakit, masyarakat merasa terasingkan.
Namun di sisi lain, perusahaan menganggap bahwa mereka sudah memberikan yang
terbaik bagi masyarakat dan negara yaitu dengan membayar pajak, royalti dan dividen.
Perusahaan juga melakukan program CSR dan menyumbang dana pada Pemda setempat untuk
pembangunan sarana dan prasarana. Sehingga pihak perusahaan merasa berhak untuk
mempertahankan perusahaannya. Pemda pun juga melindungi perusahaan karena merasakan
secara langsung manfaat ekonominya.
Maka dari itu, solusi yang dipikirkan oleh perusahaan adalah mengikat gerak gerik
masyarakat setempat dengan pendekatan pragmatis yang represif. Perusahaan tidak menyadari
bahwa solusi tersebut hanya mampu meredakan emosi masyarakat dalam waktu yang singkat

dan sewaktu waktu dapat menyerang lagi. Solusi yang diambil perusahaan ini, dapat
menuntun perusahaan menuju kebangkrutan. Sehingga diperlukan langkah yang benar untuk
jangka panjang keberlanjutan perusahaan.

HAKIKAT CSR
Hakikat CSR sebenarnya sudah dirumuskan secara baik oleh Andrew Carnegie (18351919). Carnegie merumuskan dua prinsip dasar tentang hakikat CSR. Pertama, prinsip charity
yaitu bahwa perusahaan yang mampu perlu mengamalkan atau menyumbangkan dana dan
sumber daya ekonomi yang dimilikinya untuk membantu fakir miskin, anak terlantar, kaum
difabel, gereja dan lembaga-lembaga agama lainnya, yayasan-yayasan sosial, sekolah dan
lainnya.
Kedua, prinsip stewardship yaitu perusahaan perlu mengelola semua sumber daya
ekonomi, energi dan relasi bisnis yang dimilikinya dengan sebaik mungkin agar bisa
memberikan kemanfaatan yang besar kepada pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk
kepada masyarakat sekitar dan masyarakat luas.
Setelah Carnegie, berkembanglah gagasan dasar tentang tanggung jawab sosial
perusahaan (CSR) pada awal abad 19. Yaitu, perusahaan memiliki tanggung jawab yang jauh
lebih luas tidak hanya terbatas pada pelaksanaan terhadap fungsi-fungsi ekonominya untuk
memaksimalkan laba namun perusahaan juga memiliki tanggung jawab sosial sehingga
keseluruhan kinerjanya harus bisa memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat luas
melampaui kewajiban tanggung jawab yudirisnya. Perusahaan juga harus secara sukarela
melakukan tindakan tambahan untuk memenuhi kewajiban tambahan pada masyarakat.
Kewajiban tambahan tersebut haruslah merupakan hasil kompromi dengan para stakeholder
atau pemangku kepentingan ( Steiner dan Steiner, 2009 ).
Howard R.Bowen dalam bukunya, Social Responsibilities of Businessmen (1954),
Bowen menagatakan bahwa para manajer merasakan ekspektasi dan tekanan publik yang kian
menguat agar perusahaan mesti bertindak dengan cara yang melampaui profit maximizing dan
memenuhi ekspektasi publik. Namun pandangan Bowen dikritik oleh ekonom Milton

Friedman ( 1962,1970 ). Friedman adalah peraih hadiah Nobel Ekonomi Tahun 1976. Dalam
pandangan Friedman, hanya ada satu dan satu-satunya tanggung jawab sosial perusahaan
adalah menghasilkan laba semaksimal mungkin asalkan sesuai dengan aturan main yang
berlaku. Dengan laba yang maksimal, korporasi sebagai the good citizen bisa menyetor pajak
dalam jumlah yang besar kepada negara sementara urusan terkait isu-isu sosial dan lingkungan
adalah tanggung jawab pemerintah.
Berkembangnya teori stakeholder pada awal 1990an dan juga muncul konsep triple
bottom line of business (TBLB) yang digagas oleh John Elkington (1997;2001). Dengan
menganalogikan relasi antara bisnis dengan masyarakat dan lingkungan dalam suatu segitiga,
Elkington menempatkan lingkungan sebagai pilar dasar utama dari bisnis disusul masyarakat
sebagai pilar dasar kedua. Menurut Elkington, apabila perilaku bisnis tidak ramah terhadap
lingkungan dan masyarakat yang menjadi bottom line bisnis atau apabila masyarakat dan
lingkungan mengalami krisis maka laba dan keberlanjutan bisnis akan menghadapi masalah
serius. Menurut Elkington, apabila korporasi menginginkan bisnisnya bisa bertumbuh secara
berkelanjutan maka para pimpinan perusahaan harus menjadikan korporasi mereka paling
tidak sebatgai korporasi kupu-kupu (butterflies corporation) atau sekalian menjadi
korporasi lebah madu sangat terpuji karena memberikan dampak-dampak regeneratif pada
masyarakat dan lingkungan serta menghasilkan return berkelanjutan kepada korporasi.
Menurut ISO 26000, karakteristik mendasardari CSR adalah komitmen atau kemauan
dari suatu organisasi untuk memasukan pertimbangan-pertimbangan sosial dan lingkungan
dalam pembuatan keputusan organisasi dan bertanggungjawab atas dampak-dampak dari
keputusan dan aktivitas-aktivitas tersebut terhadap masyarakat dan lingkungan.
CSR dapat dimaknai sebagai komitmen berkelanjutan dari suatu organisasi (bisnis dan
nirbisnis) untuk merespon atau bertanggungjawab secara ekonomi atas keputusan-keputusan
dan aktivitas-aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan dengan tujuan turut
berkontribusi dalam pembangunan berkelanjutan dan mengatasikrisis sosial lingkungan.
Untuk memperkuat relasi sosial dan bisnis, perusahaan juga dapat melakukan aktivitasaktivitas CSR yang melampaui kewajiban yuridisnya (bersifat sukarela) untuk memberikan
social benefits dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat lokal, komunitas dan para

stakeholder. Tanggungjawab tersebut juga mencakup penyajian dan pengungkapan informasi


CSR secara jujur, transparan, kredibel dan akuntabel kepada para stakeholder untuk
pengambilan keputusan dalam pelaporan informasi perusahaan.

MOTIF CSR
Ada tiga faktor utama yang memicu banyak perusahaan di Indonesia memulai peduli
dan berkomitmen melaksanakan CSR dalam beberapa tahun trakhir. Pertama, karena ada
tekanan dari para pelaku pasar yang menguat agar dunia bisnis peduli dan berkomitmen
melaksanakan CSR.
Lako (2010,2011b) mengindentifikasi bahwa tekanan pelaku pasar tersebut berasal dari
:
1. Tuntutan pelaku pasar Internasional teruatama investor, kreditor dsb agar
perusahaan mengasilkan produk atau jasa yang ramah lingkungan.
2. Lembaga-lembaga keuangan nasional dan internasional yang mensyaratkan
dimasukkannya kepedulian perusahaan terhadap isu sosial dan lingkungan dalam
pemberian asuransi.
3. DPR dan Pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah yang kian responsif
terhadap isu sosial dan lingkungan.
Kedua, karena didorong oleh motif kepentingan ekonomi perusahaan dalam jangka
panjang. Perusahaan menyadari bahwa dibalik pengorbanan sumber daya ekonomi yang cukup
besar untuk melaksanakan CSR, perusahaan juga ternyata akan mendapatkan manfaat yang
berlipat ganda apabila melaksanakan CSR.
Ketiga, karena didorong oleh motif etika bisnis atau motif pengalaman iman cinta
kasih kepada sesama dan lingkungan. Sejumlah pengusaha atau petinggi perusahaan
mendorong perusahaannya melaksanakan CSR karena didorong oleh motif etika bisnis, yaitu
menjalankan bisnis dengan cara yang tidak merugikan sesame tapi justru memberikan
keberkahan kepada sesama seperti karyawan, masyarakat sekitar, pemerintah setempat,
masyarakat konsumen dan masyarakat luas.

Jika perusahaan melakukan CSR dengan beberapa motif yang sudah dijelaskan pada
paragraf di atas, tentunya kita dapat memakluminya. Namun tidak sedikit dari perusahaan
melakukan CSR dengan motif yang tidak etis. Contohnya ialah motif untuk menghindari
pembayaran pajak yang besar pada negara. Padahal perusahaan mendapat reputasi yang baik
dari masyarakat melalui program CSR. Atau perusahaan melakukan CSR yang bersifat
promotif, sehingga dapat mematikan pesaingnya. Selain itu juga terdapat motif untuk
mendapat akses bisnis dan perlindungan dari pemerintah untuk perluasan pasar, bahan baku,
dan pabrik.
HIPOTESIS MANFAAT CSR
Manfaat CSR
Secara teoritis, CSR telah diakui memiliki peran yang sangat penting, krusial dan
stategis. CSR tidak hanya memberikan kebermanfaatan kepada masyarakat sekitar dan
komunitas masyarakat luas, kepada para stakeholder (termasuk karyawan atau pekerja) dan
kepada lingkungan alam semesta. CSR diyakini memiliki peran yang sangat penting dan
strategis bagi perusahaan. Kepedulian dan komitmen suatu perusahaan dalam melaksanakan
CSR akan memberikan kebermanfaatan yang besar kepada perusahaan tersebut.
Manfaat CSR yang lebih komprehensif dinyatakan dalam ISO 26000 (2010). ISO
26000 menyatakan bahwa CSR dapat memberikan banyak manfaat bagi suatu organisasi
apabila CSR dilaksanakan secara sungguh sungguh dengan mempertimbangkan isu isu
relevan dan menetapkan prioritas prioritas penting yang berhubungan dengan tata kelola
organisasi yang baik, hak asasi manusia, praktik tenaga kerja, lingkungan, praktik operasi
yang adil, isu isu konsumen, dan pembangunan serta keterlibatan komunitas. Manfaat
tersebut antara adalah:
1. Mendorong pengambilan keputusan yang lebih baik karena didasarkan pada
pemahaman yang lebih baik terhadap ekspektasi ekspektasi dari masyarakat, peluang
peluang yang berhubungan dengan tanggung jawab sosial (mencakup manajemen
yang lebih baik terhadap legal risk) dan terhadapa resiko resiko dari tindakan
tindakan yang tidak bertanggung jawab secara sosial.

2. Meningkatkan reputasi organisasi memperluas publik besar.


3. Mendukung lisensi sosial suatu organisasi untuk beroperasi.
4. Menghasilkan inovasi bagi perusahaan dan meningkatkan kemampuan daya saing
organisasi, mencakup kemudahan dalam mendapatkan akses pembiayaan (pendanaan)
dan status partner yang disukai.
5. Memperbaiki dan meningkatkan hubungan baik antara organisasi dan para stakeholder.
dll.
Sementara Lako (2011a) menyatakan bahwa kemauan baik, komitmen dan kepedulian
dunia usaha dalam menyisihkan dana dan sumber dayan untuk melaksanakan aktivitas
aktivitas CSR secara berkelanjutan akan menempatkan perusahaan menjadi warag negara
korporasi yang baik (good corporate citizenship).
Selain itu, menurut Kottler dan Lee (2005), terdapat enam manfaat bisnis dari
melaksanakan CSR secara kosisten. Yaitu :
1)
2)
3)
4)

Meningkatkan pengaruh dan image perusahaan


Meningkatkan pangsa pasar dan penjualan
Memperkuat brand positioning
Meningkatkan kemampuan perusahaan untuk mendapatkan, memotivasi, dan

mempertahankan loyalitas para pekerja


5) Menurunkan biaya operasi
6) Meningkatkan daya tarik investor, kreaditor, dan analisis keuangan
Hipotesis Manfaat Ekonomi CSR
Untuk menguji dan menilai manfaat ekonomi dari pelaksanaan CSR secara empiris,
ada tiga perspektif penting yang sering digunakan para periset dalam memprediksi manfaat
ekonomi dari CSR. Ketiga perspektif itu adalah perspektif manajerial, finansial dan pasar
modal.
Dari perspektif manajerial, CSR diyakini memiliki peran penting dan strstegis bagi
perusahaan dalam menurunkan atau meminimalisir resiko resiko perusahaan seperti resiko
bisnis, resiko pasar dan resiko finansial yang timbul akhibat tekanan dari pelaku pasar dan
pemerintah serta resistensi masyarakat setempat. Dengan demikian, dari perspektif manajerial,

CSR merupakan strategi risk management dalam mengelola resiko perusahaan (Kytle dan
Ruggie, 2005; Benn dan Bolton, 2011)
Dari perspektif finansial, CSR memiliki peran yang sangat vital dalam meningktakan kinerja
keuangan dan nilai perusahaan dalam jangka panjang. Pelaksanaan CSR akan mengurangi
biaya perusahaan sebagai dampak dari penurunan resiko, dan juga akan meningkatkan
penjualan sebagai akhibat dari peningkatan citra, reputasi dan apresiasi publik terhadap
perusahaan. Hal tersebut juga akan membawa dampak positif pada peningkatan kinerja laba,
ekuitas dan nilai aset perusahaan (Benn dan Bolton, 2011; Lako, 2011a,b; Lys et al.,2015)
Dari perspektif pasar modal, pelaksanaan dalam pengungkapan informasi CSR dalam
sejumlah media laporan diyakini mamiliki pengaruh yang besar terhadap resiko, kinerja dan
nilai pasar saham suatu perusahaan (Lako, 2011a dan 2015a; Lys et al., 2015). Dengan
demikian, dari perspektif pasar modal, CSR merupakan strategi investasi yang tepat untuk
memberikan sinyal kepada pelaku pasar modal bahwa perusahaan memiliki kepedulian yang
besar kepada sesama dan lingkungan, sehingga investasi para investor akan aman dan
bertumbuh secara bisnis.
Dari ketiga perspektif pemikiran tersebut, Lako (2011a) mengajukan lima hipotesis
berkenaan dengan peran strategis dan manfaat ekonomi dari CSR bagi perusahaan.
1. CSR berpengaruh positif meningkatkan kinerja keuangan dan nilai perusahaan.
2. CSR berpengaruh positif meningkatkan kinerja dan nilai pasar perusahaan.
3. CSR meningktakna efisiensi, produktivitas dan efektivitas kinerja operasional bisnis
sehingga meningktakan kinerja keuangan dan posisi keuangan.
4. CSR menurunkan resiko (coorporate risk) dan memudahkan perusahaan mendapatkan
akses pendanaan dari para kreditro dan investor.
5. CSR dan pengungkapan informasinya dalam pelaporan perusahaan, seperti dalam
annual report dan sustainability report, dapat mengurangi asimetri informasi antara
perusahaan dengan para stakeholdernya.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Menurut kami, perusahaan memiliki hak untuk menikmati dan mengambil sumber
daya yang berada di lingkungan. Mengingat perusahaan perlu menghasilkan suatu produk baik
barang dan jasa yang nantinya berguna bagi kebutuhan masyarakat. Namun jika perusahaan
terus mengambil sumber daya tanpa melakukan suatu pertanggungjawaban, maka akan terjadi
krisis yang mengerikan. Dimana terjadinya kelangkaan, kemiskinan, kelaparan dan banyak
bencana. Maka dari itu diperlukan keselarasan antara hak dan kewajiban bagi perusahaan,
yaitu dengan CSR.
Pada modern ini kesadaran masyarakat mengenai pentingnya program CSR sudah
semakin meningkat. Sehingga perusahaan perlu sadar pula bahwa CSR bukan hanya kegiatan
charity atau stewardship, melainkan suatu kewajiban dari perusahaan.Sehingga perusahaan
meningkatkan kesadaran dalam melakukan CSR dan tidak bergantung pada GSR mengingat
terkadang Pemerintah pun gagal melakukan TJSLP. Mengingat banyaknya manfaat yang
diterima oleh perusahaan dengan melaksanakan CSR. Perusahaan baiknya melakukan
pengajian ulang terkait strategi bisnis dari perusahaan.

Pengkajian ulang yang dimaksud ialah perusahaan membangun kembali sistem


manajeman yang dijalankan oleh perusahaan. Sistem manajemen ini nantinya akan membantu
perusahaan untuk merumuskan strategi perusahaan, pengambilan keputusan dan tindakan
perusahaan. Perusahaan hendaknya memasukkan CSR ke dalam visi misi perusahaan.
Sehingga CSR juga merupakan tujuan utama perusahaan, mengingat perusahaan juga
memanfaatkan sumber daya yang ada pada sosial dan lingkungan. Oleh karena itu perusahaan
perlu menciptakan target atau indikator kesuksesan CSR untuk pencapaian tujuan. Dengan
begitu pastilah perusahaan memerlukan partisipasi dari masyarakat dan stakeholders.
Partisipasi yang dilakukan bisa dengan mengajak untuk mendesain program CSR atau dengan
mengikutserkan masyarakat untuk menikmati program CSR perusahaan.
Jika perusahaan sudah melakukan program CSR nya, maka perusahaan dapat
mengumpulkan data dari CSR yang telah dilakukan. Kemudia data tersebut dianalisis oleh
perusahaan untuk dikaji program seperti apa yang sesungguhnya dibutuhkan dan dilakukan di
tahun berikutnya ? Bagian mana yang seharusnya dirubah, agar masyarakat dan juga
lingkungan merasa terbantu oleh program CSR perusahaan dan perusahaan dapat menjaga
eksistensinya dalam jangka panjang ? Pertanyaan pertanyaan tersebut dapat dijawab oleh
masyarakat sekitar yang menikmati program CSR perusahaan. Dengan kata lain perusahaan
perlu feedback dari masyarakat dan para stakeholders mengenai kinerja CSR milik
perusahaan.
Kewajiban lain yang harus dilakukan oleh perusahaan, yaitu melaporkan informasi
CSR dalam bentuk pelaporan keuangan perusahaan. Yaitu dengan membuat triple bottom line
reporting. Tujuannya agar para stakeholders mendapat informasi yang rinci, agar mereka dapat
menilai kinerja, resiko, prospek bisnis dan keberlangsungan perusahaan. Oleh karena itu
penting bagi perusahaan untuk membuat Sustainbility Report. Di Indonesia sendiri, hanya
beberapa perusahaan saja yang merasa perlu Sustainbility Report, sedangkan yang lainnya
tidak merasa harus membuat karena mereka sendiri tidak melakuakan CSR. Jadi apa yang
perlu dilaporkan ?
Bagi mereka yang tidak melakukan CSR tentu memiliki alasan alasan sendiri.
Karena bagi mereka melaksanakan CSR itu merupakan beban periodik yang cukup besar.

Mereka bisa saja dengan sengaja menutup dirinya untuk melihat kondisi lingkungan yang
sesungguhnya atau perusahaan tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan CSR.
Sehingga mereka tidak mengambil langkah nyata untuk menangani permasalahan yang
sesungguhnya mereka timbulkan. Atau mereka cenderung tidak mempercayai isu yang
menyebutkan bahwa sesungguhnya lingkungan berada pada krisis. Karena menurut
perusahaan, kegiatan operasionalnya sejauh ini masih aman, mereka tidak memikirkan
kelangkaan dan bencana yang mungkin esok akan terjadi.
Oleh karena itu, menurut kelompok kami, diperlukannya hukum yang tegas yang
menekan para pelaku usaha untuk melaksanakan kewajibannya. Selain itu semoga pemerintah
pun juga mengimplementasikan peraturan tersebut secara bijak. Sehingga tidak membela
perusahaan yang memberi manfaat finansial secara langsung pada pemerintah, tetapi membela
masyarakat yang sengsara akibat kegiatan operasional perusahaan. Dengan perturan tersebut
perusahaan harus terikat dalam melaksanakan CSR dan membuat SR. Karena dengan begitu
perusahaan akan mendapat goodwill. CSR juga bisa menjadi asset jangka panjang perusahaan
yang berupa intangible asset. Diharapkan perusahaan dapat merumuskan program program
dan upaya upaya yang berkesinambungan dan tidak bersifat sementara untuk mencegah
dampak negative atau resiko ekonomi terhadap masyarakat dan lingkungan. Sehingga
perusahaan nantinya akan dianggap sebagai good corporate citizenship (GCC).

DAFTAR PUSTAKA

Andreas Lako. 2015. CSR Bukan Fiktif.


Andreas Lako. 2011. Dekontruksi CSR & Reformasi Paradigma Bisnis & Akuntansi.
Semarang: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai