Anda di halaman 1dari 33

BAB 1

PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring (NPC) merupakan suatu keganasan yang jarang di sebagian belahan
dunia, dengan prevalensi yang biasanya kurang dari 1/100 000, namun di China NPC merupakan
penyebab utama kematian di beberapa daerah di Cina selatan, dan baru-baru ini diketahui bahwa
prevalensi NPC meningkat dari medium sampai prevalensi tinggi di negara-negara lain di Asia
Tenggara. Provinsi Guangdong di Cina Selatan memiliki prevalensi tertinggi di dunia, sekitar 20
sampai 40 kasus per 100 000 penduduk tergantung pada daerah. Penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa NPC pada Cantonese "manusia perahu" memiliki insiden tertinggi (54,7 / 100 000).(1)
Tingkat insidensi NPC di Asia Tenggara adalah menengah, termasuk Singapura (15/100 000),
Malaysia (9,7 / 100 000), Vietnam (7,5 / 100 000), Taiwan (7/100 000), dan Filipina (6,4 / 100 000).
Tingkat insidensi ini juga berlaku di Afrika, diantaranya adalah negara Timur Kenya (5,4 / 100 000)
dan negara-negara utara Aljazair, Maroko, dan Tunisia (5,1 / 100 000). Insiden NPC di negara lain
umumnya rendah, dan karena itu dianggap kanker langka pada populasi di Amerika, Jepang, Korea,
dan Eropa.(1)

Di Indonesia, KNF merupakan keganasan terbanyak ke-4 setelah kanker payudara,


kanker leher rahim, dan kanker paru. Berdasarkan GLOBOCAN 2012 terdapat 87.000 kasus
baru nasofaring muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru terjadi pada laki-laki dan
26.000 kasus baru pada perempuan) dan 51.000 kematian akibat KNF (36.000 pada laki-laki,
dan 15.000 pada perempuan). KNF terutama ditemukan pada pria usia produktif
(perbandingan pasien pria dan wanita adalah 2,18:1) dan 60% pasien berusia antara 25 hingga
60 tahun.(2)
Terjadinya multiple primer karsinoma yang terdapat pada 1 individu biasanya
disebabkan oleh etiologi yang berhubungan. Pada wanita, multiple primer karsinoma dapat
terjadi pada dada, ovarium, dan endometrium, hal ini biasanya disebabkan oleh faktor resiko
seperti riwayat reproduksi dan hormonal. Multiple primer karsinoma sangat jarang terjadi di
Singapore, hanya 103 kasus dari 26.848 kasus kanker yang terdata selama 10 tahun.(3)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di China, didapatkan bahwa pronosis NPC pada
wanita lebih baik dibandingkan pada laki-laki. Hal ini tidak hanya dikaitkan dengan diagnosis
dini dan pengobatan tetapi mungkin juga disebabkan beberapa faktor intrinsik pada pasien
wanita. Hormon steroid pada perempuan bisa memiliki peran kekebalan protektif, yang
mungkin

berkontribusi

terhadap

peningkatan

dibandingkan dengan pasien laki-laki.(4)

kelangsungan

hidup

pasien

wanita

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Nasofaring


Nasofaring merupakan suatu ruang atau rongga yang berbentuk kubus yang terletak
dibelakang hidung. Rongga ini sangat sulit untuk dilihat, sehingga dahulu disebut rongga
buntu atau rongga tersembunyi. Batas-batas rongga nasofaring, di sebelah depan adalah
koana (nares posterior). Sebelah atas, yang juga merupakan atap adalah basis cranii. Sebelah
belakang adalah jaringan mukosa di depan vertebra servikal. Sebelah bawah adalah ismus
faring dan palatum mole, dan batas lainnya adalah dua sisi lateral.(5)
Nasofaring

adalah

bagian

atas

tenggorokan

(faring)

yang

terletak

di

belakang

hidung. Nasofaring berfungsi sebagai jalan udara dari hidung ke tenggorokan yang akhirnya ke paruparu.(6)

Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat
dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting, yaitu: (7)
a. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.
b. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faringeal lateral dan pada resesus faringeus,
yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
c. Torus tubarius refleksi mukosa faringeal diatas bagian kartilago saluran tuba
eustakius yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan seperti ibu jari
ke dinding lateral nasofaring tepat diatas perlekatan palatum mole.
d. Koana posterior rongga hidung.
e. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan dari
penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf kranial
glosofaringeus, vagus, dan asesorius spinalis.
f. Struktur pembuluh darah yang penting yang terletak berdekatan termasuk sinus
petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksipital dan
arteri faringeal asenden, dan foramen hipoglosus yang dilalui saraf hipoglosus.
g. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat bagian
lateral atap nasofaring.
h. Ostium dari sinus-sinus sfenoid.

Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring


Nasofaring diperdarahi oleh cabang arteri karotis eksterna, yaitu faringeal asenden dan
desenden serta cabang faringeal arteri sfenopalatina. Darah vena dari pembuluh darah balik
faring pada permukaan luar dinding muskuler menuju pleksus pterigoid dan vena jugularis
interna. Daerah nasofaring dipersarafi oleh saraf sensoris yang terdiri dari nervus
glossofaringeus (N.IX) dan cabang maksila dari saraf trigeminus (N.V2), yang menuju ke
anterior nasofaring.(8)
2.2 Definisi
Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan karsinoma yang muncul pada daerah
nasofaring (bagian atas tenggorokan di belakang hidung dan dekat pangkal tengkorak), yang
menunjukkan bukti adanya diferensiasi skuamosa mikroskopik ringan atau ultrastruktur.(2)
2.3 Epidemiologi
Di Indonesia, KNF merupakan keganasan terbanyak ke-4 setelah kanker payudara,
kanker leher rahim, dan kanker paru. Berdasarkan GLOBOCAN 2012 terdapat 87.000 kasus
baru nasofaring muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru terjadi pada laki-laki dan
26.000 kasus baru pada perempuan) dan 51.000 kematian akibat KNF (36.000 pada laki-laki,
dan 15.000 pada perempuan). KNF terutama ditemukan pada pria usia produktif
(perbandingan pasien pria dan wanita adalah 2,18:1) dan 60% pasien berusia antara 25 hingga
60 tahun. Angka kejadian tertinggi di dunia terdapat di propinsi Cina Tenggara yakni sebesar
40 - 50 kasus kanker nasofaring diantara 100.000 penduduk. Kanker nasofaring sangat jarang
ditemukan di daerah Eropa dan Amerika Utara dengan angka kejadian sekitar <1/100.000
penduduk.(2)
2.4 Etiologi
Meskipun penelitian untuk mengetahui penyebab penyakit ini telah dilakukan
diberbagai negara dan telah memakan biaya yang tidak sedikit, namun sampai sekarang
penyebab pasti belum diketahui. Dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan sehingga
akhirnya disimpulkan bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor. Keganasan ini
berhubungan dengan infeksi EBV (Epstein Barr Virus) karena titer anti EBV yang lebih
tinggi didapatkan pada hampir semua pasien.(8)

EBV merupakan faktor risiko mayor karsinoma nasofaring. Sebagian besar infeksi
EBV tidak menimbulkan gejala. EBV menginfeksi dan menetap secara laten pada 90%
populasi dunia. Di Hong Kong, 80% anak terinfeksi pada umur 6 tahun, hampir 100%
mengalami serokonversi pada umur 10 tahun. Infeksi EBV primer biasanya subklinis.
Transmisi utama melalui saliva, biasanya pada negara berkembang yang kehidupannya padat
dan kurang bersih. Limfosit B adalah target utama EBV, jalur masuk EBV ke sel epitel masih
belum jelas, replikasi EBV dapat terjadi di sel epitel orofaring. Virus Epstein-Barr dapat
memasuki sel-sel epitel orofaring, bersifat menetap (persisten), tersembunyi (laten) dan
sepanjang masa (long-life). Antibodi Anti-EBV ditemukan lebih tinggi pada pasien
karsinoma nasofaring, pada pasien karsinoma nasofaring terjadi peningkatan antibodi IgG
dan IgA, hal ini dijadikan pedoman tes skrining karsinoma nasofaring pada populasi dengan
risiko tinggi.(9)
Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab
utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal
disana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk
mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Sebagai contoh, kebiasaan untuk
mengkonsumsi ikan asin secara terus-menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan
mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan karsinoma
nasofaring.(8)
Mediator yang dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring ialah:(8,9)
1.

Zat Nitrosamin.
Paparan non-viral yang paling konsisten dan berhubungan kuat dengan risiko karsinoma
nasofaring adalah konsumsi ikan asin. Konsumsi ikan asin meningkatkan risiko 1,7
sampai 7,5 kali lebih tinggi dibanding yang tidak mengkonsumsi. Diet konsumsi ikan
asin lebih dari tiga kali sebulan meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Potensi
karsinogenik ikan asin didukung dengan penelitian pada tikus disebabkan proses
pengawetan dengan garam tidak efisien sehingga terjadi akumulasi nitrosamin yang
dikenal karsinogen pada hewan. Enam puluh dua persen pasien karsinoma nasofaring
mengkonsumsi secara rutin makanan fermentasi yang diawetkan. Tingginya konsumsi
nitrosamin dan nitrit dari daging, ikan dan sayuran yang berpengawet selama masa kecil
meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Delapan puluh delapan persen penderita
karsinoma nasofaring mempunyai riwayat konsumsi daging asap secara rutin.

2.

Keadaan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup. Dikatakan bahwa
udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik ventilasinya di Cina, Indonesia
dan Kenya, meningkatkan jumlah kasus KNF. Di Hongkong, pembakaran dupa rumahrumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan KNF.

3.

Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat karsinogen yaitu zat yang dapat
menyebabkan kanker, antara lain Benzopyrene, Benzoathracene (sejenis Hidrokarbon
dalam arang batubara), gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa ekstrak
tumbuhan tumbuhan.

4.

Ras dan keturunan. Kejadian KNF lebih tinggi ditemukan pada keturunan Mongoloid
dibandingkan ras lainnya. Di Asia terbanyak adalah bangsa Cina, baik yang negara
asalnya maupun yang perantauan. Ras melayu yaitu Malaysia dan Indonesia termasuk
yang banyak terkena.

5.

Radang Kronis di daerah nasofaring. Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa


nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen lingkungan.

2.5 Gejala Klinis Karsinoma Nasofaring


2.5.1 Gejala Dini
Karsinoma nasofaring bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis
dan pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting. (Gejala pada telinga dapat
dijumpai sumbatan Tuba Eutachius. Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung
kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. (7)
Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang telinga tengah sampai pecahnya
gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan
muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin
lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat
gangguan pendengaran.(7)
Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh sehingga
oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya
darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus,
sehingga berwarna merah muda. Selain itu, sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat
pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. (7)
Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman
dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas

untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis
dan lain-lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang.(7)
2.5.2 Gejala Lanjut
Pembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah samping leher, 3-5 sentimeter
di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe,
sebagai pertahanan pertama sebelum tumor meluas ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan
ini tidak dirasakan nyeri, sehingga sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker
dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya
menjadi melekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih
lanjut lagi. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien
datang ke dokter.(8)
Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga
tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan menyebabkan
ialah penglihatan ganda (diplopia), rasa baal (mati rasa) didaerah wajah sampai akhirnya
timbul kelumpuhan lidah, leher dan gangguan pendengaran serta gangguan penciuman.
Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak
rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor. Biasanya
kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral) tetapi pada beberapa kasus
pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh.(8)
Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran
limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang
disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi,
menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk.(8)
2.6 Stadium Karsinoma Nasofaring

Gambar 2.2 Klasifikasi TNM (AJCC, Edisi 7, 2010)

2.7

Patogenesis
Karsinoma nasofaring terjadi akibat perubahan genetik yang dipengaruhi oleh faktor

lingkungan, baik virus maupun faktor kimiawi. Keterlibatan faktor kerentanan genetik dan
delesi pada kromosom 3p/9p berperan pada tahap awal perkembangan kanker. Hal ini
menunjukkan bahwa perubahan genetik dapat dirangsang oleh karsinogen kimia di
lingkungan yang menyebabkan transformasi epitel normal ke lesi pra-kanker tingkat rendah,
seperti NPIN I dan II. (9)
Penemuan berikutnya menunjukkan bahwa infeksi laten virus EB berperan dalam
progresi lesi pra-kanker tingkat rendah ke tingkat tinggi yaitu NPIN III. Infeksi laten virus
EB juga berperan penting dalam proses seleksi klonal dan perkembangan lebih lanjut.
Ekspresi bcl-2 yang terdapat di dalam sel displastik dari lesi pra-kanker tingkat tinggi (NPIN
III) berperan dalam menghambat proses apoptosis. Kemudian faktor lingkungan, perubahan
genetik seperti aktivasi telomerase, inaktivasi gen p16/p15, delesi kromosom 11q dan 14q
juga berperan dalam tahap awal perkembangan KNF.(9)
Peran LOH (Loss of Heterozygosity) pada kromosom 14q dan overekspresi dari gen cmyc, protein ras dan p53 berperan dalam progresi karsinoma yang invasif. Selain itu, mutasi
gen p53 dan perubahan genetik lainnya juga berperan dalam proses metastasis.(9)

2.8

Diagnosis
Diagnostik dapat ditegakkan dengan pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher,

sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak akan terlalu sulit ditemukan.
Pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior, lateral dan Waters menunjukan massa
jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto dasar tengkorak memperlihatkan destruksi atau
erosi tulang di daerah fossa serebri media. Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal dan lain
-lain dilakukan untuk mendeteksi metastasis.(9)
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B telah
menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tetapi pemeriksaan ini
hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan. Diagnosis pasti ditegakkan
dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari
hidung atau dari mulut. Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind
biopsi). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menelusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.(9)

10

Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan
melalui hidung dan ujung kateter yang berada didalam mulut ditarik keluar dan diklem
bersam-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung
disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik keatas. Kemudian dengan kaca laring dilihat
daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau
memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih
jelas. (9)

Gambar 2. Nasofaringoskopi Tumor


Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakuan dengan anestsi topical dengan Xylocain
10%. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan
pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam nakrosis. Endoskopi dapat
membantu dokter untuk melihat bagian dalam tubuh dengan hanya menggunakan thin fexible
tube. Pasien disedasi semasa tuba dimasukkan melalui mulut ataupun hidung untuk menguji
area

kepala

ataupun

leher. Apabila

nasofaring,disebut nasofaringoskopi.(9)

endoskopi

telah

digunakan

untuk

melihat

11

Gambar 2.3 Algoritma Diagnosis KNF


2.9

Penatalaksanaan
Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan didukung dengan

terapi simptomatik sesuai dengan gejala.

12

Pedoman Modalitas Terapi pada KNF


Stadium dini
Stadium I

Radiasi saja

Rekomendasi II,

(T1N0M0)
Stadium II (T1-2, Kemoradiasi

A
I, B

intermediet
N1-2, M0)
konkuren
Stadium
lokal Stadium III, IVA, Kemoradiasi

I, A

Stadium

lanjut

IVB (T3-4,N0-3, konkuren


M0)

Perencanaan
terapi

Stadium

(tumor

kemoterapi
adjuvan
IVA, Kemoterapi

radiasi IVB (T4 atau N3) induksi,

problematik

+/-

II, B

diikuti

dengan
yang

berbatasan

kemoradiasi
konkuren

dengan organ at
risk, mis: kiasma
optikum)
2.9.1

Radioterapi

a. Radiasi konvensional 2D
Radiasi dapat diberikan dengan lapangan radiasi plan parallel laterolateral dan
supraklavikula. Batas-batas lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer dan
sekitarnya/ potensi penjalaran per kontinuitatum, serta kelenjar getah bening regional
(kelenjar leher sepanjang jugular serta sternokleidomastoideus dan supraklavikula).
Dosis radiasi total 66-70 Gy, 2 Gy/fraksi, dengan blok medulla spinalis setelah 40 Gy.
Untuk kelenjar getah bening leher positif dilanjutkan dengan booster elektron hingga
mencapai total dosis target.(2)
b. Target Radiasi Konformal 3 Dimensi dan IMRT
Pendefinisian target radiasi 3 dimensi harus berdasarkan terminologi International
Commission on Radiation Units and Measurements - 50 (ICRU-50); yaitu gross tumor
volume (GTV), clinical target volume (CTV) dan planning target volume (PTV). Proses
simulator dengan CT-Scan, pasien diposisikan dalam posisi supine, dengan fiksasi
masker termoplastik untuk imobilisasi kepala dan leher, termasuk bahu. Pemberian
kontras intravena sangat membantu dalam mendelineasi GTV, terutama pada kalenjar

13

getah bening. Fusi dengan modalitas pencitraan lain seperti MRI dapat dilakukan, lebih
baik dengan yang ketebalan slice-nya minimal 3 mm. Basis kranii (clivus dan nervus
intrakranial) sangat baik bila dilihat dengan MRI.(2)
c. Radioterapi Paliatif
Radioterapi paliatif diberikan pada kanker nasofaring yang sudah bermetastases jauh,
misalnya ke tulang, dan menimbulkan rasa nyeri. Tujuan paliatif diberikan untuk
meredakan gejala sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien.(2)
2.9.2

Obat-obatan Simptomatik

Reaksi akut pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk mengunyah dan menelan berikan
obat kumur yang mengandung antiseptik dan astringent, (diberikan 3 4 sehari).

Tanda-tanda moniliasis berikan antimikotik

Nyeri menelan berikan anestesi lokal

Nausea, anoreksia berikan terapi simptomatik

2.9.3

Kemoterapi
Secara definisi kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat

pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-obat anti kanker dapat
digunakan sebagian terapi tunggal (active single agents), tetapi pada umumnya berupa
kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu
sel sel yang resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Dosis
obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek samping menurun.(8)
Kombinasi kemoradiasi sebagai radiosensitizer terutama diberikan pada pasien dengan
T2-T4 dan N1-N3. Kemoterapi sebagai radiosensitizer diberikan preparat platinum based 3040 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam sebelum dilakukan radiasi.
Kemoterapi kombinasi/dosis penuh dapat diberikan pada N3 > 6 cm sebagai neoadjuvan dan
adjuvan setiap 3 minggu sekali, dan dapat juga diberikan pada kasus rekuren/metastatik.
Terapi sistemik pada Karsinoma Nasofaring adalah dengan kemoradiasi dilanjutkan dengan
kemoterapi adjuvant, yaitu Cisplatin + RT diikuti dengan Cisplatin/5-FU atau Carboplatin/5FU. Dosis preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap seminggu sekali.(2)
2.9.4

Dukungan Nutrisi

14

Pasien karsinoma nasofaring (KNF) sering mengalami malnutrisi (35%) dan malnutrisi
berat (6,7%). Prevalensi kaheksia pada kanker kepala-leher (termasuk KNF) dapat mencapai
67%. Malnutrisi dan kaheksia dapat mempengaruhi respons terapi kualitas hidup, dan
kesintasan pasien. Pasien KNF juga sering mengalami efek samping terapi, berupa mukositis,
xerostomia, mual, muntah, diare, disgeusia, dan lain-lain. Berbagai kondisi tersebut dapat
meningkatkan meningkatkan stres metabolisme, sehingga pasien perlu mendapatkan
tatalaksana nutrisi secara optimal.(2)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Italia, KNF memiliki hubungan langsung
terhadap konsumsi kolesterol dan asam lemak dan mendukung resiko KNF secara signifikan.
Sedangkan Karotenoid dengan ditambahkan diet rendah buah dan sayuran dapat memberikan efek
perlindungan tubuh dari KNF.(10)

Pada anak dengan karsinoma nasofaring, efek samping yang sering ditimbulkan ialah
kehilangan nafsu makan, perubahan indra perasa, penurunan sistim kekebalan, muntah, diare,
gangguan saluran cerna lainnya seringkali berakibat terhadap jumlah asupan makronutrien
dan mikronutrien yang diperlukan pada anak. Para penyintas perlu mendapatkan edukasi dan
terapi gizi untuk meningkatkan keluaran klinis dan kualitas hidup pasien. Pasien kanker
nasofaring dapat mengalami gangguan saluran cerna, berupa mukositis oral, diare, konstipasi,
atau mual-muntah akibat tindakan pembedahan serta kemo- dan /atau radio-terapi.
Tatalaksana khusus pada kondisi tersebut, diberikan sesuai dengan kondisi pasien.(2)
Rekomendasi tingkat A:
a. Penyintas kanker sebaiknya memiliki BB ideal dan menerapkan pola makan yang
sehat, tinggi buah, sayur dan biji-bijian, serta rendah lemak, daging merah, dan
alkohol.
b. Direkomendasikan untuk mempertahankan atau meningkatkan aktivitas fisik pada
pasien kanker selama dan setelah pengobatan untuk membantu pembentukan massa
otot, fungsi fisik dan metabolisme tubuh (Rekomendasi tingkat A).
c. Direkomendasikan bagi para penyintas kanker untuk terus melakukan aktivitas fisik
sesuai kemampuan secara teratur dan menghindari sedentari
2.9.5

Rehabilitasi Medik Pasien Kanker Nasofaring


Rehabilitasi medik bertujuan untuk mengoptimalkan pengembalian kemampuan fungsi

dan aktivitas kehidupan sehari-hari serta meningkatkan kualitas hidup pasien dengan cara
aman dan efektif, sesuai kemampuan yang ada. Pendekatan rehabilitasi medik dapat
diberikan sedini mungkin sejak sebelum pengobatan definitif diberikan dan dapat dilakukan

15

pada berbagai tingkat tahapan dan pengobatan penyakit yang disesuaikan dengan tujuan
penanganan rehabilitasi kanker: preventif, restorasi, suportif atau paliatif.(2)
2.9.6

Edukasi
Memberikan edukasi secara jelas mengenai penyakit yang dialami, tindakan terapi yang

diberikan, efek samping dari terapi yang diberikan, serta perbaikan pola hidup yang harus
dilakukan untuk mendukung proses terapi.(2)

Gambar 2.4 Algoritma Penatalaksanaan KNF


KARSINOMA NASOFARING

T2, N1, M0;


T1-2, N1, 0
M

T1, N0, M0

T1-2, N2-3, M0;


T3-4, N0-3, M0

Kemoradiasi tanpa kemoterapi adjuvan


atau
Kemoradiasi + Kemoterapi Adjuvan
atau
Kemoterapi induksi + kemoradiasi
atau
Uji klinik multimodalitas

RT definitif
70Gy
RTeksterna 50 Gy +
BT 4 x 3 Gy
dan
RT elektif pada leher

Respons

Leher:

Observasi

Tumor residu

Semua T,
Semua N, M1

Kemoterapi berbasis
platinum

Radioterapi ke tumor
primer dan leher

Diseksi leher

Follow Up

2.10 Komplikasi
Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme, fibrosis dari
leher, trismus, kelainan gigi, dan Oandibular struktur otot dan tulang diiradiasi. Retardasi
pertumbuhan dapat terjadi akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism
dapat terjadi dalam beberapa kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin terjadi
dengan penggunaan cisplatin dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi pada pasien yang
menerima cisplatin. Mereka yang menerima bleomycin beresiko untuk menderita fibrosis
paru. Osteonekrosis dari mandibular merupakan komplikasi langka radioterapi dan sering
dihindari dengan perawatan gigi yang tepat.(2)

16

2.11 Prognosis
Prognosis pasien dengan KNF dapat sangat berbeda antara subkelompok yang satu
dengan subkelompok yang lain. Penelitian tentang faktor-faktor yang dapat memengaruhi
prognosis masih terus berlangsung hingga saat ini. Kebanyakan faktor-faktor prognosis
bersifat genetik ataupun molekuler. klinik (pemeriksaan fisik maupun penunjang). Sampai
saat ini belum ada uji meta analisis yang menggabungkan angka kesintasan dari berbagai
studi yang telah ada. Prognosis pada pasien keganasan paling sering dinyatakan sebagai
kesintasan 5 tahun. Menurut AJCC tahun 2010, kesintasan relatif 5-tahun pada pasien dengan
KNF StadiumI hingga IV secara berturutan sebesar 72%, 64%, 62%, dan 38%.(2)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di China, didapatkan bahwa pronosis NPC pada
wanita lebih baik dibandingkan pada laki-laki. Hal ini tidak hanya dikaitkan dengan diagnosis
dini dan pengobatan tetapi mungkin juga disebabkan beberapa faktor intrinsik pada pasien
wanita. Hormon steroid pada perempuan bisa memiliki peran kekebalan protektif, yang
mungkin

berkontribusi

terhadap

peningkatan

dibandingkan dengan pasien laki-laki.(4)

kelangsungan

hidup

pasien

wanita

17

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1

3.2

Identitas Pasien
Nama

: Wahyuni

Umur

: 29 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Lhokseumawe

Pekerjaan

: Guru

Agama

: Islam

Status

: Sudah Menikah

No CM

: 1-11-14-16

Tanggal Masuk RS

: 11 Desember 2016

Tanggal Pemeriksaan

: 13 Desember 2016

Anamnesis (Auto dan Alloanamnesis)

1. Keluhan Utama
2. Keluhan Tambahan

: Keluar darah dari hidung


: Sulit bernafas, lapangan

pandang

mata

kiri

menyempit, gangguan menghidu.


3. Riwayat penyakit sekarang
:
Pasien datang ke RSUDZA dengan keluhan keluar darah dari hidung sejak 12 jam
sebelum masuk rumah sakit. Menurut pasien darah yang keluar satu sendok makan dan
bercampur dengan gumpalan berbentuk jelly. Darah yang keluar berkurang jika hidung
pasien ditekan dengan tangan. Keluhan ini sudah dirasakan sejak tahun 2015. Saat ini
keluhan disertai dengan sulit bernafas yang sudah dirasakan sejak 12 bulan yang lalu,
keluhan lain berupa pilek berulang (+), riwayat penurunan berat badan 4 kg dalam 3 bulan
terakhir, batuk (-), gangguan penglihatan berupa penyempitan lapangan pandang mata
sebelah kiri sejak 8 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluhkan adanya gangguan menghidu
yang dirasakan sejak hidungnya tersumbat dan benjolan di leher sebelah kiri. Selain itu
pasien juga mengeluhkan nyeri pada perut bagian bawah yang awalnya hilang timbul dan saat
ini menjadi lebih sering sejak 3 minggu sebelum masuk rumah sakit.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya pasien menyangkal pernah mengalami keluhan yang sama, namun pasien
mengatakan bahwa ia sering mengalami sinusitis berulang yang telah dikonfirmasi ke dokter.

18

5. Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan untuk keluhannya saat ini.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengaku tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal yang serupa dengan
pasien.
7. Riwayat Kebiasaan dan Sosial
.

Pasien memiliki suami seorang perokok dan sering terpapar asap rokok.
3.3 Pemeriksaan Fisik

3.3.1 Status Present


VITAL SIGN (13 Desember 2016)
Tekanandarah

: 110/70 mmHg

Heart rate

: 82 kali/menit

Respiratory rate : 20 kali/menit


Temperatur

: 36,7 C

3.3.2 Status Generalisata


Kepala

: Normocephali

Mata

: Konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), pupil isokor

3mm/3mm,

sklera ikterik (-/-), lapangan pandang menyempit (-/+), konjungtiva


palpebra edema (+)
Telinga

: Dalam batas normal, serumen (+), cairan purulen (-)

Hidung

: Deviasi septum nasi (-), Konka nasi inferior tertutup massa

Mulut

: Swelling (-), stomatitis (-), leukoplakia (-),


Tonsil : T1/T1, Hiperemis (-), Kripta (-)

Leher
Paru-paru
Jantung
Abdomen
Inspeksi
Palpasi

: Pembesaran KGB (-)


: Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
: BJ I> BJ II, reguler, bising (-)
: Distensi (-)
: Nyeri tekan (+), hepar, lien dan renal tidak teraba, teraba massa a/r
hipogastrium

19

Perkusi

: Redup (+)

Auskultasi

: Peristaltik menurun

Ekstremitas
Superior

: Edema (-), sianosis (-)

Inferior

: Edema (-), sianosis (-)

Genetalia

: Tidak diperiksa

3.3.3 Status Lokalis


A/r Kepala
Inspeksi

:Normochepali

A/r Hidung
Inspeksi

: Deviasi septum (-), tanda-tanda radang (-)

Palpasi

: Nyeri tekan (-)

Rhinoskopi Anterior

: Mukosa hidung hiperemis, tampak kesan massa pada cavum


nasi, chonca kesan udem, darah (+).

A/r Telinga
Inspeksi

: Auricula bengkak dan kemerahan (-), MAE Pars Kartilago


bengkak dan kemerahan (-), darah (-).

Palpasi

: Tragus sign (-), auricula sign (-)

Otoskopi
Auris Dextra et Sinistra

: MAE Pars Oseus bengkak dan kemerahan (-), darah (-),


membran timpani retraksi (-), bulging (-), membran timpani
berwarna putih mutiara, reflek cahaya (+).

A/r Mulut
Pemeriksaan Orofaring
Dinding orofaring

: warna merah muda, permukaan licin, sekret (-), gerakan arcus


faring sinistra tertinggal

Tonsil

: warna merah muda, T1/T1, kripta melebar(-), detritus (-)

Mulut

: Bibir kering, ulkus pada bukal (-), palatum hiperemis (+), gusi
berdarah (-), karies gigi (-), gigi berlubang (-)

Lidah

: Lidah merah, selaput (-), parese nervus hipoglosus (-)

A/r Leher
Inspeksi

: Tampak benjolan pada leher kiri atas

20

Palpasi

: Teraba sebuah benjolan pada leher sebelah kiri atas dengan


ukuran 5 cm x 4 cm, batas tidak tegas, konsistensi lunak,
permukaan rata, terfiksir, nyeri tekan (-).

Gambar 3.1 Foto Klinis Pasien Tanggal 22 Desember 2016

21

Gambar 3.2 Foto Klinis Pasien Tanggal 27 Desember 2016

3.4 Pemeriksaan Penunjang


3.4.1 Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 3.1 Pemeriksaan Laboratorium Darah
Jenis pemeriksaan
Hematologi

Hasil (11 Des 2016)

Hasil (11 Des 2016)

Satuan

12,8
38
4,6
13,4
207

10,8*
32
4,0
11,3
454

g/dl
%
106/mm3
103/mm3
103/mm3

0
0
78*
1*
12
9

0
1
85*
0*
9*
5

%
%
%
%
%
%

Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
Leukosit
Trombosit

Hitung jenis

Eosinofil
Basofil
Netrofil segmen
Netrofil batang
Limfosit
Monosit

Diabetes

Gula darah sewaktu

Ginjal Hipertensi

Ureum
Kreatinin

99
15
0,70

3.4.2 Pemeriksaan Radiologi

mg/dl
8*
0,60

mg/dl
mg/dl

22

3.4.2.1

X-Ray Foto Thoraks

Gambar 3.3 FotoThoraks


Kesan : Tidak tampak metastasis paru. Cor dan pulmo dalam batas normal

23

3.4.2.2. CT-Scan Nasofaring

Gambar 3.4 CT-Scan Nasofaring


Kesan: massa melibatkan nasofaring, parafaring kiri, choana, kavum nasi, sinus ethmoidalis
bilateral, sinus maksilaris bilateral, sphenoidalis, orofaring, dengan kecurigaan keterlibatan
sinus kavernosus kiri.

24

3.4.2.3 USG Abdomen

Gambar 3.5 USG Abdomen


Kesimpulan: Massa ovarium

25

Gambar 3.6 CT Scan Abdomen


Kesimpulan: Kesimpulan: tampak adanya massa di abdomen bawah dan pelvis
3.4.3

Histopatologi

Kesimpulan: Suatu Squamous Cell Carcinoma Nasofaring


Aspirasi pada nodul di leher kiri 1,5x 1 x 1cm di dapatkan darah 2 tetes.
Kesimpulan: Suatu Metastasis Carcinoma

26

3.5

Diagnosis banding
-

3.6

Carcinoma Nasofaring Stadium IV


Angiofibroma

Diagnosis
Carcinoma Nasofaring Stadium IV + Neoplasma Ovarium Kistik

3.7

Tatalaksana
-

Tampon anterior cavum nasi


IVFD RL 20 gtt/menit
Inj. Fosmisin 1 gr/12 jam
Inj. Ketorolac 3% amp/ 8 jam
Inj. Transamin 500 mg/ 8 jam
Inj. Ranitidin 1 amp/ 12 jam
Inj. Ondansetron amp/ 12 jam
Durogesic patch

Planning/ - Persiapan kemoterapi siklus I (periksa lab, echocardiografi, perbaikan KU, dan
konsul IPD Divisi HOM)
- Konsul Bagian Obgyn :
Periksa tumor marker Ca 125

Ca 125 = 98,59 (>35 U/ml)

Rencana operasi 3 minggu setelah kemoterapi selesai


3.8

Prognosis
-

Quo ad Vitam
Quo ad Functionam
Quo ad Sanactionam

: Dubia ad Malam
: Dubia ad Malam
: Dubia ad Malam

27

BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien datang dengan keluhan mimisan berulang pada hidung sebelah kiri, keluarnya
cairan bening dari hidung kanan dan juga merasa hidung tersumbat disertai gangguan
menghidu sejak setahun yang lalu. Gejala karsinoma nasofaring dapat dikelompokan atas 4
katagori, yaitu gejala terkait massa pada nasofaring, gejala terkait fungsi tuba eustachius,
gejala terkait keterlibatan basis cranii dan masa pada leher. Gejala berupa keterkaitan massa
pada nasofaring dapat bermanifestasi sebagai epistaksis yang berulang, obstruksi dan juga
nasal discharge.(11,12)
Pada karsinoma, dinding tumor biasanya bersifat rapuh dan hipervaskularisasi
sehingga apabila terjadi trauma ringan oleh karena rangsangan dan sentuhan akan
menyebabkan pendarahan.(13) Keluarnya darah biasanya bersifat intermitten, seringkali
bercampur dengan sekret sehingga berwarna merah muda. Selain itu gejala hidung tersumbat
merupakan manifestasi dari adanya obstruksi dari jalan nafas oleh karena tumor yang
menutupi bagian koana.(14) Koana merupakan batas posterior dari hidung, sehingga apabila
terdapat sumbatan akan menyebabkan manifestasi sulit untuk bernafas. Gangguan menghidu
dapat disebabkan oleh rangsangan bau yang tidak sampai ke bulbus olfaktorius oleh karena
obstruksi nasal sehingga tidak dapat diterjemahkan oleh gyrus pos centralis cerebri.(15)(16)
Pada pasien terdapat keluhan gangguan penglihatan berupa penyempitan pada
lapangan pandang mata sebelah kiri. Gejala penglihatan yang dialami pasien merupakan
manifestasi adanya keterlibatan struktur yang lewat pada basis cranii oleh karena pengaruh
penjalaran tumor. Basis carinii dibagi atas tiga fosa cranii, yaitu fosa cranii anterior, fosa
cranii media dan fosa cranii posterior. Setiap fosa cranii memiliki celah yang dilewati oleh
berbagai struktur, seperti nervus cranial dan juga pembuluh darah.(15)(16) Tumor dapat
masuk mengganggu struktur pada basis cranii melalui foramen lacerum, yaitu celah yang
secara langsung dapat menghubungkan antara fossa rosenmuller dan juga intrakranial.
Keluhan parese nervus intrakranial dapat terlihat apabila tumor menekan dan merusak
struktur saraf intrakranial. Apabila tumor mendestruksi area pada meatus austikus eksternus,
maka akan timbul gangguan berupa parese N. VII berupa parese otot wajah ipsilateral dan
juga gangguan pada N. VIII berupa gangguan keseimbangan.(12)
Pada pasien ditemukan adanya defek lapangan pandang pada temporal sinistra
(hemianopsia temporal unilateral). Perlu dicurigai adanya tumor yang mendestruksi struktur

28

nervus opticus (N. II). Secara anatomis bagian yang bertugas sebagai rangsangan sensori
penglihatan adalah nervus opticus. Nervus opticus dibentuk oleh dua tractus opticus yang
berjalan sejajar dan terdapat sebagian serabut saraf yang berseberangan pada chiasma opticus
untuk menuju ke retina pada masing-masing mata.(15)(16)
Pada palpasi leher didapatkan adanya masa berukuran 5 cm x 4 cm setinggi upper
jugularis interna vein colli sinistra. Masa pada leher tersebut adalah kelenjar getah bening
dan merupakan keadaan yang paling sering didapatkan pada kasus karsinoma nasofaring.
Penyebab pembesaran kelenjar getah bening pada pasien ini adalah metastasis tumor.(14)
Pembesaran kelenjar getah bening pada leher dinamakan limphadenopaty cervical.
Pembesaran kelenjar getah bening umum terjadi pada kasus penyakit kepala dan leher, seperti
infeksi, autoimun dan keganasan. Perbedaannya pada saat dipalpasi adalah pada kasus
keganasan, sifat masa pada kelenjar getah bening terfiksir (imobile), permukaannya tidak rata
dan umumnya tidak nyeri.(17) Berikut lokasi atau level kelenjar getah bening pada leher(14):
Level 1: mulai dari garis tengah segitiga submental sampai tingkat kelenjar

submandibular.
Level 2: di sekitar upper jugularis vein
Level 3: di sekitar midle jugularis vein
Level 4: di sekitar lower jugularis vein
Level 5: posterior dari musculus sternocleidomastoideus dan bagian anterior musculus

trapezius, di atas klavikula.


Level 6: di bawah tulang hyoid dan di atas sternal notch.
Pada kasus karsinoma nasofaring biasanya metastasis kelenjar getah bening terjadi pada
kelenjar getah bening superior, yaitu pada level 2 dan 5.(14)
Umumnya pasien karsinoma datang ke rumah sakit dengan stadium yang sudah lanjut
dan disertai dengan metastase ke berbagai organ. Hal ini disebabkan karsinoma nasofaring
sulit dideteksi dini dan tidak mudah diperiksa oleh tenaga kesehatan yang bukan ahli di
pelayanan kesehatan perifer. Pada kasus ini pasien datang ke rumah sakit dan didiagnosa
dengan karsinoma nasofaring stadium IV.(14)
Untuk menentukan staging pada karsinoma nasofaring, diperlukan pengetahuan untuk
menetukan besarnya tumor (T), keterlibatan kelenjar getah bening (N) dan metastase tumor
(M). Pada hasil pemeriksaan CT-Scan didapatkan adanya tumor yang meluas ke intrakranial.
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior, ditemukan adanya yang menutupi bagian posterior
cavum nasi sinistra, hal ini juga didukung oleh hasil radiologi CT-Scan yang juga
menunjukan adanya masa dari daerah faring yang menutupi sinus paranasal. Sementara pada

29

pemeriksaan orofaring didapatkan adanya masa pada arcus faring sinistra dan menutupi
sebagian dinding faring.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya adanya masa berukuran 5 cm x 4 cm
setinggi upper jugularis interna vein colli sinistra. Masa pada leher tersebut adalah kelenjar
getah bening dan merupakan keadaan yang paling sering didapatkan pada kasus karsinoma
nasofaring. Penyebab pembesaran kelenjar getah bening pada pasien ini adalah metastasis
tumor.
Terdapat keluhan nyeri pada daerah perut bawah disekitar panggul pasien. Nyeri
dirasakan beberapa bulan setelah pasien mengalami keluhan mimisan berulang. Nyeri
awalnya hilang timbul dan menjadi lebih sering sejak 3 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Dari hasil pemeriksaan USG didapatkan adanya massa pada ovarium pasien. Sejauh ini
penyebab massa tersebut pada ovarium pasien adalah belum diketahui apakah primer dari
ovarium atau metastase jauh dari karsinoma nasofaring pada pasien.
Terdapat juga kemungkinan adanya insiden Muliple Primary Tumor (MTP) pada pasien
ini. Warren dan Gates mendefinisikan MTP sebagai suatu keganasan yang berkembang dalam
kurun waktu yang lama. Dalam artian apabila salah satu tumor tumbuh dan berkembang
dalam waktu lebih dari enam bulan, maka keadaan tersebut lebih mengarah kepada MTP,
namun apabila salah satu tumor tumbuh dan berkembang dalam waktu kurang dari enam
bulan, maka keadaan tersebut lebih diyakini sebagai suatu keadaan metastase. (18) Kejadian
MTP merupakan kasus yang sangat langka, tingkat kejadiannya diperkirakan hanya 1,3%2,5% dari seluruh kasus keganasan dan jumlah kasus MTP dengan jumlah tumor lebih
daripada tiga tumor adalah sekitar 0,16%-0,26% dari seluruh kasus MTP.(19) Berdasarkan
penelitian Zhihe Liu, dkk dalam Clinical Analysisof 152 Cases of Multiple Primary
Malignant Tumorsin 15,398 Patients with Malignant Tumors, dari 152 kasus MTP yang
didapat dalam penelitiannya, kasus MTP pada kanker kepala dan leher berjumlah 20 kasus
dari 354 (persentase kasus: 5,65%) kasus kanker kepala dan leher. Persentase kasus MTP
pada kanker kepala leher merupakan angka persentase terbesar dibandingkan dengan
persentase kasus kanker pada organ lainnya. Pada penelitian tersebut juga dikatakan bahwa
pasien dengan kanker pada kepala dan leher memiliki faktor resiko yang lebih besar untuk
mengalami insiden MTP. (18)
Berdasarkan AJCC/UICC (American Joint Committe on Cancer/International Union
Against Cancer), didapatkan staging karsinoma nasofaring pada pasien ini adalah stgae IV,
dengan T4N1M1. Cara penentuan stadium kanker nasofaring yang terbaru adalah sebagai
berikut:(20)

30

Tx
T0
Tis
T1
T2
T2A
T2B
T3
T4
Nx
N0
N1
N2
N3A
N3B
Mx
M0
M1

Tumor (T)
Tumor primer tidak dapat ditentukan
Tidak ditemukan adanya tumor primer
Carcinoma in situ
Tumor terbatas di nasofaring
Tumor meluas ke jaringan lunak
Tumor meluas sampai daerah orofaring dan/atau fossa nasalis tanpa
perluasan ke depan parafaring.
Dengan perluasan ke parafaring
Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal
Tumor meluas ke intrakranial dan/atau mengenai saraf kranial, fossa
infratemporal, hipofaring, orbita, atau ruang mastikator
Nodul KGB (N)
Nodul tidak dapat ditentukan
Tidak ada bukti pembesaran nodul
Metastasis ke KGB unilateral, ukuran 6 cm, terletak di atas fossa
supraklavikula
Metastasis ke KGB bilateral, ukuran 6 cm, terletak di atas fossa
supraklavikula
Ukuran KGB > 6 cm, di atas fossa supraklavikula
Terletak pada fossa supraklavikula
Metastase (M)
Metastase tidak dapat ditentukan
Tidak ada bukti metastase
Adanya bukti metastase jauh

31

Derajat (staging) karsnimona Nasofaring berdasarkan AJCC/UICC (American Joint


Committe

on

Cancer/International

Union

Against

Cancer):(20)

Pasien seorang wanita berusia 29 tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Marlinda dkk didapatkan bahwa tingkat kejadian NPC lebih sering terjadi pada laki-laki yaitu
70,4% pada laki-laki dan 29,6% pada perempuan dengan 2,4: 1 rasio. Distribusi usia pasien
NPC dari rumah sakit Cipto Mangunkusumo diketahui bahwa puncak NPC terjadi pada usia
40 sampai 49 tahun, dan lebih dari 80% dari pasien didiagnosis antara usia 30 sampai 59
tahun dan kurang dari 20% dari kasus NPC remaja, berusia di bawah 30 tahun, tanpa
distribusi usia bimodal jelas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di China, didapatkan
bahwa pronosis NPC pada wanita lebih baik dibandingkan pada laki-laki. Hal ini tidak hanya
dikaitkan dengan diagnosis dini dan pengobatan tetapi mungkin juga disebabkan beberapa
faktor intrinsik pada pasien wanita. Hormon steroid pada perempuan bisa memiliki peran
kekebalan protektif, yang mungkin berkontribusi terhadap peningkatan kelangsungan hidup
pasien wanita dibandingkan dengan pasien laki-laki.(1,4)

32

DAFTAR PUSTAKA
1.

Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B, Gondhowiardjo S, et al.


Nasopharyngeal carcinoma in indonesia: Epidemiology, incidence, signs, and symptoms at
presentation. Chin J Cancer. 2012;31(4):18596.

2.

Adham M, Gondhowiardjo S, Soediro R, Jack Z, Lisnawati, Witjaksono F, et al. Panduan


Penatalaksanaan Kanker Nasofaring. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2015;17.

3.

Singh P, Ilancheran a, Ratnam SS, Kim LT, OReilly a P. Cervical adenocarcinoma in women
with nasopharyngeal carcinoma (NPC). Cancer [Internet]. 1989;64(5):11525. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2758388

4.

Lu X, Wang F-L, Guo X, Wang L, Zhang H-B, Xia W-X, et al. Favorable prognosis of female
patients with nasopharyngeal carcinoma. Chin J Cancer. 2013;32(5):2838.

5.

Roezin A AM. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. 182-187 p.

6.

American Cancer Society. Nasopharyngeal cancer. Atlanta, American Cancer Society. 2011;

7.

Adams, G.L., Boies, L.R., dan Hilger P. Boies: Buku Ajar Penyakit. THT. Edisi 6. Jakarta:
EGC; 2013.

8.

Firdaus MA, Prijadi J. Kemoterapi Neoadjuvan pada Karsinoma Nasofaring. :111.

9.

Ariwibowo H. Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring. CDK-204. 2013;40(5):34851.

10.

J Polesel, E Negri, D Serraino, dkk. Dietary intakes of carotenoids and other nutrients in the
risk of nasopharyngeal carcinoma: a casecontrol study in Italy. British Journal of Cancer. Pg
1581-83.

11.

Sabaru I, Sarafoleanu C. Diagnostic particularities of advanced nasopharyngeal carcinoma.


2013;3(10).

12.

Kaushik ML, Pandey D, Sood BR, Thakur S. Nasopharyngeal Carcinoma presenting as


Multiple Cranial Nerve Involvement. Jiacm. 2003;4(1):613.

13.

FK-UI. Patologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1995.

14.

Indonesia D. Patogenesis , Patofisiologi , dan Manifestasi Klinis Kanker Nasofaring. :18.

15.

Snell RS. Clinical Anatomy. 6, editor. USA: Lippincott Williams & Wilkins Inc; 2012.

16.

Putz R Pabst R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. 21st ed. 2003. Jakarta: EGC; 2006.

17.

Oehadian A. Pendekatan Diagnosis Limfadenopati. Cdk-209. 2013;40(10):72732.

33
18.

Liu Z, Liu C, Guo W, Li S, Bai O. Clinical Analysis of 152 Cases of Multiple Primary
Malignant Tumors in 15 , 398 Patients with Malignant Tumors. 2015;29.

19.

Juliana S, Dittrich MR, Sousa JM, Teixera LF, Manso PG. Case report of a metachronous
multiple tumor: Mantle cell lymphoma in the orbital region associated with epithelial
malignancies at other sites. 2014;77(1):546.

20.

Deschler D, Day T. TNM Staging of Head and Neck Cancer and Neck Dissection
Classification. Am Acad Otolaryngol - Head Neck Surg Found Inc. 2008;Third Edit:128.

Anda mungkin juga menyukai