Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD),
PPOK adalah penyakit dengan karakteristik keterbatasan saluran napas yang tidak
sepenuhnya reversible. Keter-batasan saluran napas tersebut biasanya progresif dan
berhubungan dengan respons inflamasi di-karenakan bahan yang merugikan atau gas.
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit sistemik yang mempunyai
hubungan antara keterlibatan metabolik, otot rangka dan molekuler genetik.
Keterbatasan aktivitas merupa-kan keluhan utama penderita PPOK yang sangat
mempengaruhi kualitas hidup. Disfungsi otot rangka merupakan hal utama yang
berperan dalam keterbatasan aktivitas penderita PPOK. Inflamasi sistemik, penurunan
berat badan, peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, dan depresi
merupakan manifestasi sistemik PPOK.1
PPOK merupakan salah satu penyakit tidak menular utama, yang agak jarang
terekpose karena kurangnya informasi yang diberikan. Di Amerika Serikat data tahun
2007 menunjukkan bahwa pre-valensi PPOK sebesar 10,1% (SE 4,8) pada laki-laki
sebesar 11,8% (SE 7,9) dan untuk perempuan 8,5% (SE 5,8).2 Sedangkan prevalensi
PPOK di negara-negara Asia Tenggara diperkirakan 6,3% dengan prevalensi tertinggi
terdapat di Vietnam (6,7%) dan China (6,5%).3
Menurut European Respiratory Society, penyakit paru obstruksi kronik
(PPOK) menempati peringkat kelima urutan penyakit terbanyak di dunia pada tahun
2020, penyebab kematian peringkat empat di Amerika Serikat, dan pada akhir abad
ini diperkirakan akan menempati peringkat ketiga dari urutan penyebab kematian di
dunia. Di Indonesia, penderita penyakit ini terus mengalami peningkatan dari tahun
ke tahun, berdasarkan survey kesehatan rumah tangga ( SKRT, 1992), asma bronkial,
bronkitis dan empisema menduduki peringkat ke-6 dari l0 penyebab kematian
terbanyak.4 Peningkatan jumlah penderita penyakit ini disebabkan oleh berbagai
faktor diantaranya meningkatnya usia harapan hidup,semakin tingginya pajanan

terhadap polusi udara, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok
usia muda dan penurunan kasus infeksi.5
Karakteristik dari penyakit ini ialah terdapatrya hambatan aliran udara yang
tidak sepenuhnya reversibel dan prevalensi penyakit ini khususnya stadium lanjut
terus meningkat. Masalah yang sering dialami oleh penderita PPOK khususnya stage
II dan III meliputi exercise deconditioning, muscle wasting, dan penunrnan berat
badan, depresi, serta terisolasi dari lingkungan. Masalah tersebut saling berhubungan,
dengan mengatasi salah satu masalah maka diharapkan akan dapat memotong
circulus viscious tersebut.6
Oleh karena itu dibutuhkan penatalaksanarln yang komprehensif pada
penderita PPOK agar kehidupannya dapat menjadi lebih baik. Dalam
penatalaksarLaanpenderita PPOK, disamping pemberian terapi secara farmakologis
dan penghentian merokok juga diperlukan terapi non- farmakologis yakni rehabilitasi
paru. Tujuan utama rehabilitasi paru adalah untuk mengurangi keluhan, meningkatkan
kemampuan fisik untuk melakukan aktivitas sehari-hari, memperbaiki emosi, dan
meningkatkan kualitas hidup.6 Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, program rehabilitasi
paru harus mencakup perhatian terhadap masalah-masalah non pulmoner yang tidak
dapat diterapi secara adekuaLdengan terapi biasa.
Rehabilitasi paru adalah suatu pengobatan non-farmakologis pada PPOK
stabil. Pada beberapa penelitian, dapat disimpulkan bahwa dengan melaksanakan
Program rehabilitasi paru secaraa rutin masalah-masalah yang timbul akibat dari
penyakit ini dapat berkurang ataupun menunjukkan perbaikan.7 Idealnya program
rehabilitasi paru harus melibatkan beberapa kalangan professional kesehatan.
Komponen rehabilitasi paru bervariasi akan tetapi suatu program rehabilitasi yang
komprehensip harus meliputi empat komponen utama yaitu exercise training,
education, psychosocial / behavioral intervention dan outcome assessmet.8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Sistem Respiratorius
a. Dinding Toraks
Dinding toraks terdiri atas kulit, fascia, saraf, otot, dan tulang. Kerangka dinding
toraks membentuk sangkar dada osteokartilaginous yang melindungi jantung, paruparu, dan beberapa organ rongga abdomen. Kerangka toraks terdiri dari vertebra
thoracica dan discus intervertebralis, costae dan cartilago costalis, serta sternum.
Beberapa otot pernafasan yang melekat pada dinding dada antara lain:
a. Otot-otot inspirasi: M. intercostalis externus, M. levator costae, M. serratus
posterior superior, dan M scalenus.
b. Otot-otot ekspirasi: M. intercostalis internus, M. transversus thoracis, M.
serratus posterior inferior, M. subcostalis. 9

b. Traktus Respiratorius
Traktus respiratorius dibedakan menjadi dua, yaitu traktus respiratorius bagian
atas dan bagian bawah. Traktus respiratorius bagian atas terdiri dari cavum nasi,
nasofaring, hingga orofaring. Sementara itu, traktus respiratorius bagian bawah terdiri
atas laring, trakea, bronkus (primarius, sekundus, dan tertius), bronkiolus, bronkiolus
respiratorius, duktus alveolaris, dan alveolus.
Paru-paru kanan terdiri atas 3 lobus (superior, anterior, inferior), sementara paruparu kiri terdiri atas 2 lobus (superior dan inferior). Masing-masing paru diliputi oleh
sebuah kantung pleura yang terdiri dari dua selaput serosa yang disebut pleura, yaitu
4

pleura parietalis dan visceralis. Pleura visceralis meliputi paru-paru termasuk


permukaannya dalam fisuran sementara pleura parietalis melekat pada dinding toraks,
mediastinum dan diafragma. Kavum pleura merupakan ruang potensial antara kedua
lapis pleura dan berisi sedikit cairan pleura yang berfungsi melumasi permukaan
pleura sehingga memungkinkan gesekan kedua lapisan tersebut pada saat pernafasan.
2.2 Fisiologi Sistem Respiratorius
Proses inspirasi jika tekanan paru lebih kecil dari tekanan atmosfer. Tekanan paru
dapat lebih kecil jika volumenya diperbesar. Membesarnya volume paru diakibatkan
oleh pembesaran rongga dada. Pembesaran rongga dada terjadi akibat 2 faktor, yaitu
faktor torakal dan abdominal. Faktor torakal (gerakan otot-otot pernafasan pada
dinding dada) akan memperbesar rongga dada ke arah transversal dan anterosuperior,
sementara faktor abdominal (kontraksi diafragma) akan memperbesar diameter
vertikal rongga dada. Akibat membesarnya rongga dada dan tekanan negatif pada
kavum pleura, paru-paru menjadi terhisap sehingga mengembang dan volumenya
membesar, tekanan intrapulmoner pun menurun. Oleh karena itu, udara yang kaya O2
akan bergerak dari lingkungan luar ke alveolus. Di alveolus, O2 akan berdifusi masuk
ke kapiler sementara CO2 akan berdifusi dari kapiler ke alveolus.
Sebaliknya, proses ekspirasi terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih besar dari
tekanan atmosfer. Kerja otot-otot ekspirasi dan relaksasi diafragma akan
mengakibatkan rongga dada kembali ke ukuran semula sehingga tekanan pada kavum
pleura menjadi lebih positif dan mendesak paru-paru. Akibatnya, tekanan
intrapulmoner akan meningkat sehingga udara yang kaya CO2 akan keluar dari paruparu ke atmosfer.
2.3 Kelainan Paru
a. Kelainan Paru Obstruktif

Obstruksi adalah gangguan saluran pernapasan baik struktural


(anatomis)/fungsional yang menimbulkan perlambatan arus respirasi. Kelainan ini
dapat diketahui/deteksi dengan:
Pemeriksaan fisik (auskultasi dijumpai ekspirasi memanjang atau lebih dari 3
detik.
Spirometri (VCR 80% dan FEV1R 70%)
Pemeriksaan dengan peak flow rate (PFR) rendah
Gambaran flow volume curve (kurva melandai dan memanjang)
Pengukuran volume statik paru (VR, KPT, KRF semuanya memanjang)
Kelainan obstruksi dapat dijumpai pada keadaan:
Kelainan intraluminer (lumen bronki normal tetapi dijumpai massa dalam lumen
tersebut misalnya tumor, benda asing, sekret).
Lumen bronki yang menebal (misalnya asma, bronkitis kronis, perokok).
Pada emfisema. Sebenarnya disini tidak ada obstruksi tetapi jaringan penyangga
yang berkurang, maka akan memudahkan kolapsnya jalan napas sehingga bila
makin kuat penderita melakukan ekspirasi lumen semakin tertutup.pada emfisema,
alveolus saling bergabung sehingga terjadi obstruksi relatif karena udara dalam
alveoli yang menjadi besar harus keluar saluran napas/bronkiolus yang besarnya
tetap (fenomena sedotan minum)
b. Kelainan Paru Restriktif
Restriktif adalah gangguan pengembangan paru dengan deteksi sebagai
berikut:
6

Semua volume statis paru mengecil yaitu kapasitas vital (VC), kapasitas paru total
(KPT), volume residu (VR), volume cadangan ekspirasi (VCE), kapasitas residu
fungsional (KRF).
Vital Capacity Ratio (VCR) 80% dan FEV1R 70%.

Gambaran flow volume loop sama dengan normal hanya ukurannya lebih kecil.

Pada kelainan restriktif paru menjadi kaku sehingga daya tarik ke dalam lebih
besar maka dinding dada mengecil, costa/iga menyempit dan volume paru
mengecil.
Kelainan restriktif paru dapat dijumpai pada keaadan berikut:
Kelainan Parenkim Paru
o Tumor paru
o Pneumonia (karena infiltrasi sel radang dan alveoli terisi cairan)
o Abses paru
o Atelektasis
o Kelainan fibrosis
o Kelainan paru fibrosis
o TB paru
o Pneumokoniasis (asbestosis, silikosis)
o Penyakit kolagen (reumatoid arthtritis, scleroderma, SLE, sarkoidosis)

o Penyakit interstitial paru


Kelainan Pleura
o Efusi pleura
o Pneumotoraks
o Pleuritis sicca/schwarte
o Tumor pleura
Kelainan dinding dada/tulang
o Fraktur costa
o Obesitas
o Peklus akskavatus
o Skoliosis, kifosis/Gibbus
Kelainan neuromuskular (miasthenia gravis)

Kelainan mediastinum (kardiomegali, tumor mediastinum, efusi perikardial)

Kelainan diafragma (hernia diafragma, parese diafragma,asites, kehamilan).10


2.4 Definisi
The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD)
tahun 2014 mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai
penyakit respirasi kronis yang dapat dicegah dan dapat diobati, ditandai adanya
hambatan aliran udara yang persisten dan biasanya bersifat progresif serta

berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronis saluran napas yang


disebabkan oleh gas atau partikel iritan tertentu. Eksaserbasi dan komorbid berperan
pada keseluruhan beratnya penyakit pada seorang pasien.11 Pada definisi ini tidak lagi
dimasukan terminologi bronkhitis kronik dan emfisema dan secara khusus
dikemukakan pentingnya eksaserbasi dan komorbid pada definis GOLD 2014
sehingga dipandang perlu untuk dicantumkan pada definisi. Hambatan aliran napas
kronik pada PPOK adalah merupakan gabungan dari penyakit saluran napas kecil
dan destruksi parenkhim dengan kontribusi yang ebrbeda antar pasien ke pasien.
Pada kenyataannya, PPOK merupakan sebuah kelompok penyakit dengan gejala
klinis yang hampir serupa dengan bronkitis kronis, emfisema, asma, bronkiektasis,
dan bronkiolitis. Hambatan jalan napas yang terjadi pada penderita PPOK disebabkan
oleh penyakit pada saluran napas dan rusaknya parenkim paru.
2.5 Epidemiologi
Setiap orang dapat terpapar dengan berbagai macam jenis yang berbeda
dari partikel yang terinhalasi selama hidupnya, oleh karena itu lebih bijaksana jika
kita mengambil kesimpulan bahwa penyakit ini disebabkan oleh iritasi yang
berlebihan dari partikel-partikel yang bersifat mengiritasi saluran pernapasan.
Setiap partikel, bergantung pada ukuran dan komposisinya dapat memberikan
kontribusi yang berbeda, dan dengan hasil akhirnya tergantung kepada jumlah
dari partikel yang terinhalasi oleh individu tersebut. Insidensi pada pria > wanita.
Namun akhir-akhir ini insiden pada wanita meningkat dengan semakin
bertambahnya jumlah perokok wanita.12
2.6 Faktor Risiko
Faktor resiko PPOK bergantung pada jumlah keseluruhan dari partikelpartikel iritatif yang terinhalasi oleh seseorang selama hidupnya.
1. Asap rokok
Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami gejala
respiratorik, abnormalitas fungsi paru dan mortalitas yang lebih tinggi

daripada orang yang tidak merokok. Resiko untuk menderita PPOK


bergantung pada dosis merokok nya, seperti umur orang tersebut mulai
merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan berapa lama orang tersebut
merokok.
Enviromental Tobacco Smoke (ETS) atau perokok pasif juga dapat
mengalami gejala-gejala respiratorik dan PPOK dikarenakan oleh partikelpartikel iritatif tersebut terinhalasi sehingga mengakibatkan paru-paru
terbakar.
Merokok selama masa kehamilan juga dapat mewariskan faktor resiko
kepada janin, mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan paru-paru dan
perkembangan janin dalam kandungan, bahkan mungkin juga dapat
mengganggu sistem imun dari janin tersebut.
2. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritan, gas beracun)
3. Indoor Air Pollution atau polusi di dalam ruangan
Hampir 3 milyar orang di seluruh dunia menggunakan batubara, arang,
kayu bakar ataupun bahan bakar biomass lainnya sebagai penghasil energi
untuk memasak, pemanas dan untuk kebutuhan rumah tangga lainnya. Ini
memungkinkan bahwa wanita di negara berkembang memiliki angka kejadian
yang tinggi terhadap kejadian PPOK. Sehingga IAP memiliki tanggung jawab
besar jika dibandingkan dengan polusi di luar ruangan seperti gas buang
kendaraan bermotor.
4. Polusi di luar ruangan, seperti gas buang kendaraan bermotor dan

debu

jalanan.
5. Infeksi saluran nafas berulang

10

6. Jenis kelamin
Dahulu, PPOK lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding wanita.
Karena dahulu, lebih banyak perokok laki-laki dibanding wanita. Tapi dewasa
ini prevalensi pada laki-laki dan wanita seimbang. Hal ini dikarenakan oleh
perubahan pola dari merokok itu sendiri. Namun hal tersebut masih
kontoversial, maskipun beberapa penelitian mengatakan bahwa perokok
wanita lebih rentan untuk terkena PPOK dibandingkan perokok pria. Di
negara berkembang wanita lebih banyak terkena paparan polusi udara yang
berasal dari asap saat mereka memasak.
7. Status sosioekonomi dan status nutrisi
Rendahnya intake dari antioksidan seperti vitamin A, C, E, kadangkadang berhubungan dengan peningkatan resiko terkena PPOK, meskipun
banyak penelitian terbaru menemukan bahwa vitamin C dan magnesium
memiliki prioritas utama.
8. Asma
9. Usia
Onset usia dari PPOK ini adalah pertengahan
2.7 Patofisiologi
Karakteristik PPOK adalah peradangan kronis mulai dari saluran napas,
parenkim paru sampai struktur vaskuler pulmonal. Diberbagai bagian paru
dijumpai peningkatan makrofag, limfosit T (terutama CD8) dan neutrofil. Sel-sel
radang yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti Leukotrien
B4, IL8, TNF yang mampu merusak struktur paru dan atau mempertahankan
inflamasi neutrofilik. Disamping inflamasi ada 2 proses lain yang juga penting
yaitu imbalance proteinase dan anti proteinase di paru dan stres oksidatif.13

11

Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai disaluran napas


besar (central airway), saluran napas kecil (periperal airway), parenkim paru dan
vaskuler pulmonal. Pada saluran napas besar dijumpai infiltrasi sel-sel radang
pada permukaan epitel. Kelenjar-kelenjar yang mensekresi mukus membesar dan
jumlah sel goblet meningkat. Kelainan ini menyebabkan hipersekresi bronkus.
Pada saluran napas kecil terjadi inflamasi kronis yang menyebabkan berulangnya
siklus injury dan repair dinding saluran napas. Proses repair ini akan
menghasilkan struktural remodeling dari dinding saluran napas dengan
peningkatan kandungan kolagen dan pembentukan jaringan ikat yang
menyebabkan penyempitan lumen dan obstruksi kronis saluran pernapasan. Pada
parenkim paru terjadi destruksi yang khas terjadi pada emfisema sentrilobuler.
Kelainan ini lebih sering dibagian atas pada kasus ringan namun bila lanjut bisa
terjadi diseluruh lapangan paru dan juga terjadi destruksi pulmonary capilary bed.
Perubahan vaskular pulmonal ditandai oleh penebalan dinding pembuluh
darah yang dimulai sejak awal perjalanan ilmiah PPOK. Perubahan struktur yang
pertama kali terjadi adalah penebalan intima diikuti peningkatan otot polos dan
infiltrasi dinding pembuluh darah oleh sel-sel radang. Jika penyakit bertambah
lanjut jumlah otot polos, proteoglikan dan kolagen bertambah sehingga dinding
pembuluh darah bertambah tebal.13
Pada bronkitis kronis maupun emfisema terjadi penyempitan saluran
napas. Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi dan menimbulkan sesak.
Pada bronkitis kronik, saluran pernapasan yang berdiameter kecil (< 2mm)
menjadi lebih sempit dan berkelok-kelok. Penyempitan ini terjadi karena
metaplasi sel goblet. Saluran napas besar juga menyempit karena hipertrofi dan
hiperplasi kelenjar mukus. Pada emfisema paru, penyempitan saluran napas
disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru.
2.8 Gejala klinis PPOK
Pasien biasanya mengeluhkan 2 keluhan utama yaitu sesak napas dan
batuk. Adapun gejala yang terlihat seperti :
1. Sesak Napas

12

Timbul progresif secara gradual dalam beberapa tahun. Mula-mula ringan


lebih lanjut akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Sesak napas bertambah
berat mendadak menandakan adanya eksaserbasi.
2. Batuk Kronis
Batuk kronis biasanya berdahak kadang episodik dan memberat waktu pagi
hari. Dahak biasanya mukoid tetapi bertambah purulen bila eksaserbasi.
3. Sesak napas (wheezing)
Riwayat wheezing tidak jarang ditemukan pada PPOK dan ini menunjukan
komponen reversibel penyakitnya. Bronkospasme bukan satun-satunya
penyebab wheezing. Wheezing pada PPOK terjadi saat pengerahan tenaga
(exertion) mungkin karena udara lewat saluran napas yang sempit oleh radang
atau sikatrik.
4. Batuk Darah
Bisa dijumpai terutama waktu eksaserbasi. Asal darah diduga dari saluran
napas yang radang dan khasnya blood streaked purulen sputum.
5. Anoreksia dan berat badan menurun
Penurunan berat badan merupakan tanda progresif jelek
.
2.9 Diagnosis
a.

Anamnesis:
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan.
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja.
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara.
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak.
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.

b.

Pemeriksaan Fisik

13

Pada awal perkembangannya, pasien PPOK tidak menunjukkan kelainan saat


dilakukan pemeriksaan fisik. Pada pasien PPOK berat biasanya didapatkan bunyi
mengi dan ekspirasi yang memanjang pada pemeriksaan fisik. Tanda hiperinflasi
seperti barrel chest juga mungkin ditemukan.14 Sianosis, kontraksi otot-otot aksesori
pernapasan, dan pursed lips breathingbiasa muncul pada pasien dengan PPOK
sedang sampai berat. Tanda-tanda penyakit kronis seperti muscle wasting, kehilangan
berat badan, berkurangnya jaringan lemak merupakan tanda-tanda saat progresifitas
PPOK. Clubbing fingerbukan tanda yang khas pada PPOK, namun jika ditemukan
tanda ini maka klinisi harus memastikan dengan pasti apa penyababnya.15 Spirometri
merupakan pemeriksaan penunjang definitif untuk diagnosis PPOK seperti yang
sudah dijelaskan, dimana hasil rasio pengukuran FEV1/FVC < 0,7.19 Selain
spirometri, bisa juga dilakukan Analisis Gas Darah untuk mengetahui kadar pH dalam
darah, radiografi bisa dilakukan untuk membantu menentukan diagnosis PPOK, dan
Computed Tomography (CT) Scan dilakukan untuk melihat adanya emfisema pada
alveoli. Beberapa studi juga menyebutkan bahwa kekurangan -1 antitripsin dapat
diperiksa pada pasien PPOK maupun asma.15

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan rutin:
a. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)
-

Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP


(%). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP)
< 75 %

VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai


beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.

Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE


meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
14

Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20
menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1
atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
b. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
c. Radiologi

Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru


lain.

Pada emfisema terlihat gambaran :


- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)

Pada bronkitis kronik :


- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
Pada bronkitis kronis, foto thoraks memperlihatkan tubular

shadow berupa bayangan garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju
apeks paru dan corakan paru yang bertambah.
Pada emfisema, foto thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi
dengan gambaran diafragma yang rendah dan datar, penciutan pembuluh
darah pulmonal, dan penambahan cortakan ke distal.

15

Hyperinflation

Pemeriksaan khusus (tidak rutin)


a. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru
Total (KPT), VR/KRF,VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
b. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
c. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktivitas bronkus derajat ringan.
d. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama
2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal
250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah
pemberian kortikosteroid
e. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :

16

- Gagal napas kronik stabil


- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
f. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat
emfisema atau bula

yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos

- Scan ventilasi perfusi


Mengetahui fungsi respirasi paru
g. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal
dan hipertrofi ventrikel kanan.
h. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
i. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih
antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab
utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
j. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema
pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
riwayat penyakit yang ditandai dengan gejala-gejala diatas.
PPOK harus dipertimbangkan pada penderita dengan keluhan batuk dengan
dahak atau sesak napas dan atau riwayat terpapar faktor resiko. Diagnosis dipastikan
dengan pemeriksaan obyektif adanya hambatan aliran udara (dengan spirometri).
2.10 Penatalaksanaan
A. Bronkodilator

17

Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk meningkatkan FEV1 atau


mengubah variable spirometri dengan cara mempengaruhi tonus otot polos pada jalan
napas.
2Agonist(short-acting danlong-acting)
Prinsip kerja dari 2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan napas dengan
menstimulasi reseptor 2 adrenergik dengan meningkatkan C-AMP dan menghasilkan
antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi. Efek bronkodilator dari short
acting 2 agonistbiasanya dalam waktu 4-6 jam. Penggunaan 2 agonis secara reguler
akan memperbaiki FEV1 dan gejala (Evidence B). Penggunaan dosis tinggi short
acting 2 agonist pro renata pada pasien yang telah diterapi dengan longacting
broncodilator tidak didukung bukti dan tidak direkomendasikan.Long acting 2
agonistinhalasi memiliki waktu kerja 12 jam atau lebih. Formoterol dan salmeterol
memperbaiki FEV1dan volume paru, sesak napas, health related quality of life dan
frekuensi eksaserbasi secara signifikan (Evidence A), tapi tidak mempunyai efek
dalam penurunan mortalitas dan fungsi paru. Salmeterol mengurangikemungkinan
perawatan di rumah sakit (Evidence B). Indacaterol merupakan Long acting 2
agonist baru dengan waktu kerja 24 jam dan bekerja secara signifikan memperbaiki
FEV1, sesak dan kualitas hidup pasien (Evidence A). Efek samping adanya stimulasi
reseptor 2 adrenergik dapat menimbulkan sinus takikardia saat istirahat dan
mempunyai potensi untuk mencetuskan aritmia. Tremor somatic merupakan masalah
pada pasien lansia yang diobati obat golongan ini.
Antikolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium, oxitropium dan
tiopropium bromide. Efek utamanya adalah memblokade efek asetilkolin pada
reseptor muskarinik. Efek bronkodilator dari short acing anticholinergicinhalasi lebih
lama dibanding short acting 2 agonist. Tiopropium memiliki waktu kerja lebih dari
24 jam. Aksi kerjanya dapat mengurangi eksaserbasi dan hospitalisasi, memperbaiki
gejala dan status kesehatan (Evidence A), serta memperbaiki efektivitas rehabilitasi
pulmonal (Evidence B). Efek samping yang bisa timbul akibat penggunaan
antikolinergik adalah mulut kering. Meskipun bisa menimbulkan gejala pada prostat

18

tapi tidak ada data yang dapat membuktikan hubungan kausatif antara gejala prostat
dan penggunaan obat tersebut.
B. Methylxanthine
Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat ini dilaporkan
berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi. Namun obat ini tidak
direkomendasikan jika obat lain tersedia.16
C. Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara regular dapat memperbaiki gejala,
fungsi paru, kualitas hidup serta mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien
dengan FEV1<60% prediksi.16
D. Phosphodiesterase-4 inhibitor
Mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi inflamasi dengan menghambat
pemecahan intraselular C-AMP. Tetapi, penggunaan obat ini memiliki efek samping
seperti mual, menurunnya nafsu makan, sakit perut, diare, gangguan tidur dan sakit
kepala.
Terapi Farmakologis Lain
Vaksin :vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada pasien PPOK usia > 65
tahun
Alpha-1 Augmentation therapy: Terapi ini ditujukan bagi pasien usia muda dengan
defisiensi alpha-1 antitripsin herediter berat. Terapi ini sangat mahal, dan tidak
tersedia di hampir semua negara dan tidak direkomendasikan untuk pasien PPOK
yang tidak ada hubungannya dengan defisiensi alpha-1 antitripsin.
Antibiotik:Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang mencetuskan
eksaserbasi
Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan antioksidan: Ambroksol, erdostein,
carbocysteine, ionated glycerol dan N-acetylcystein dapat mengurangi gejala
eksaserbasi.
Immunoregulators (immunostimulators, immunomodulator)
Antitusif: Golongan obat ini tidak direkomendasikan.
Vasodilator

19

Terapi non farmakologis lain


1. Rehabilitasi
2. Konseling nutrisi
3. Edukasi
2.11 Program Rehabilitasi Medik
I.

Chest Therapy
Chest therapy adalah salah satu terapi yang sangat berguna bagi penderita
penyakit respirasi baik yang bersifat akut maupun kronis. Chest therapy
sangat efektif dalam upaya mengeluarkan sekret dan memperbaiki ventilasi
pada pasien dengan fungsi paru yang terganggu.
Tujuan pokok chest therapy pada penyakit paru adalah mengembalikan
dan memelihara fungsi otot-otot pernafasan dan membantu membersihkan
sekret dari bronkus, mencegah penumpukan sekret, memperbaiki pergerakan
dan aliran sekret.
Kontra indikasi chest therapy dada ada yang bersifat mutlak seperti
kegagalan jantung, status asmatikus, renjatan dan perdarahan masif,
sedangkan kontra indikasi relatif seperti infeksi paru berat, patah tulang iga
atau luka baru bekas operasi, tumor paru dengan kemungkinan adanya
keganasan serta adanya kejang rangsang.9
a) Latihan Napas/Breathing Exercise
Pasien penyakit paru akut dan kronik perlu diajarkan untuk mengontrol
aktifitas pernafasannya untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi kerja
respirasi. Breathing exercise didesain untuk memperbaiki fungsi otot-otot
respirasi, meningkatkan ventilasi dan oksigenisasi. Exercise aktive ROM pada
shoulder dan trunk akan membantu ekspansi toraks, memfasilitasi deep
breathing dan sering digunakan untuk menstimulasi reflex batuk.

20

Breathing exercise adalah bagian dari program treatment yang didesain


untuk meningkatkan status pulmonal, endurance dan fungsi ADL. Tergantung
pada problem klinik pasien, breathing exercise sering dikombinasikan dengan
pengobatan, postural drainage, penggunaan alat-alat respirasi terapi, dan
program conditioning.
Indikasi Breathing Exercise
1. Penyakit paru akut atau kronis
a. Penyakit paru obstruktif kronis
b. Pneumonia
c. Atelectasis
d. Emboli pulmo
e. Gangguan respirasi akut.
2. Nyeri pada area toraks dan abdomen setelah pembedahan atau trauma.
3. Obstruksi jalan nafas akibat bronchospasme atau menahan sekresi.
4. Penyakit CNS yang mengarah kepada kelemahan otot :
a. High spinal cord injury.
b. Myophatic progresif akut dan kronik atau penyakit nurophatic.
5. Abnormalitas orthopedic berat yang mempengaruhi fungsi respirasi seperti
scoliosis dan kiposis.
6. Penanganan stress.
Tujuan Breathing Exercise

21

a. Meningkatkan ventilasi.
b. Meningkatkan efektifitas mekanisme batuk.
c. Mencegah atelektasis
d. Meningkatkan kekuatan, daya tahan dan koordinasi otot-otot respirasi.
e. Mempertahankan atau meningkatkan mobilitas chest dan thoracal spine.
f. Koreksi pola-pola nafas yang tidak efisien dan abnormal.
g. Meningkatkan relaksasi.
h. Mengajarkan pasien bagaimana melakukan tindakan bila terjadi gangguan
nafas
Jenis-Jenis Breathing Exercise
1. Diaphragmatic Breathing

22

Diberikan pada penderita gangguan respirasi yang sedang mengalami serangan


sesak nafas. Contoh : penderita asma yang sedang kambuh. Pada saat serangan
asma, otot nafas atas akan mengalami kekelahan karena bekerja keras untuk
bernafas. Maka perlu diistirahatkan agar sesak tidak bertambah. Oleh karena itu
penggunaan teknik ini akan membantu mengurangi serangan sesak.

Prosedur:
1) Bernafas dengan perut.
2) Dada dan bahu harus rileks.
3) Saat inspirasi, kembungkan perut.
4) Saat ekspirasi, kempiskan perut.
5) Terapis mengontrol dengan memegang perut dan dada pasien. Yang harus
bergerak hanya perut, dada harus diam.
2. Segmental Breathing
a. Lateral costal expansion
b. Posterior basal expansion
c. Right middle lobe
d. Pursed lip breathing
Diberikan pada pasien yang sedang tidak mengalami serangan sesaknafas.
Contohnya: penderita asma yang sedang tidak kambuh.
23

Prosedur:
1)Posisi pasien rileks.
2) Pasien tarik nafas melalui hidung dan tahan 2-3 detik.

3) Lalu pasien diminta menghembuskan nafas lewat mulut (mulut


dimonyongkan) selama 6-8 detik.10

b) Postural Drainase

24

Merupakan salah satu intervensi untuk melepaskan sekresi dari berbagai


segmen paru dengan menggunakan pengaruh gaya gravitasi. Mengingat kelainan
pada paru bisa terjadi pada berbagai lokasi maka PD dilakukan pada berbagai
posisi disesuaikan dengan kelainan parunya. Waktu yang terbaik untuk melakukan
PD yaitu sekitar 1 jam sebelum sarapan pagi dan sekitar 1 jam sebelum tidur pada
malam hari. PD dapat dilakukan untuk mencegah terkumpulnya sekret dalam
saluran napas tetapi juga mempercepat pengeluaran sekret sehingga tidak terjadi
atelektasis. Pada penderita dengan produksi sputum yang banyak PD lebih efektif
bila disertai dengan clapping dan vibrating.9
c) Clapping/Perkusi

25

Perkusi adalah tepukan dilakukan pada dinding dada atau punggung


dengan tangan dibentuk seperti mangkok. Tujuan melepaskan sekret yang
tertahan atau melekat pada bronkus. Perkusi dada merupakan energi mekanik
pada dada yang diteruskan pada saluran nafas paru. Perkusi dapat dilakukan
dengan membentuk kedua tangan deperti mangkok. Perkusi secara rutin
dilakukan pada pasien yang mendapat postural drainase, jadi semua indikasi
postural drainase secara umum adalah indikasi perkusi.9
d) Vibrating/Tapping/Tapotage

26

Vibrasi secara umum dilakukan bersamaan dengan clapping. Sesama


postural drainase terapis biasanya secara umum memilih cara perkusi atau
vibrasi untuk mengeluarkan sekret. Vibrasi dengan kompresi dada
menggerakkan sekret ke jalan nafas yang besar sedangkan perkusi
melepaskan/melonggarkan sekret. Vibrasi dilakukan hanya pada waktu
pasien mengeluarkan nafas. Pasien disuruh bernafas dalam dan kompresi
dada dan vibrasi dilaksanakan pada puncak inspirasi dan dilanjutkan
sampai akhir ekspirasi. Vibrasi dilakukan dengan cara meletakkan tangan
bertumpang tindih pada dada kemudian dengan dorongan bergetar. Kontra
indikasinya adalah patah tulang dan hemoptisis.9
e) Batuk Efektif

27

Batuk efektif merupakan suatu metode batuk dengan benar, dimana klien
dapat menghemat energi sehingga tidak mudah lelah dan dapat mengeluarkan
dahak secara maksimal. Batuk efektif dan napas dalam merupakan teknik
batuk efektif yang menekankan inspirasi maksimal yang dimulai dari
ekspirasi, yang bertujuan merangsang terbukanya sistem kolateral,
meningkatkan distribusi ventilasi, meningkatkan volume paru, dan
memfasilitasi pembersihan saluran napas.
Manfaat batuk efektif adalah untuk mengeluarkan sekret yang menyumbat
jalan nafas dan memperingan keluhan saat terjadi sesak nafas pada penderita
jantung. Batuk efektif dilakukan pada pasien seperti COPD/PPOK,
Emphysema, Fibrosis, Asma, chest infection, pasien bedrest atau post operasi.
Batuk yang tidak efektif dapat menyebabkan kolaps saluran napas, ruptur
dinding alveoli, dan pneumotoraks.
Cara Batuk Efektif
1. Tarik nafas dalam 4-5 kali
2. Pada tarikan selanjutnya nafas ditahan selama 1-2 detik
3. Angkat bahu dan dada dilonggarkan serta batukan dengan kuat
4.

Lakukan empat kali setiap batuk efektif, frekuensi disesuaikan dengan


kebutuhan

28

5. Perhatikan kondisi penderita.9

DAFTAR PUSTAKA
1. Oemiati R. Kajian epidemiologis penyakit paru obstruktif kronik.Media
litbangkes. 2013;23:82-8.
2. Buist AS, McBurnie MA, Vollmer WM, Gillespie S, Burney P, Mannino DM,
Menezes AM, Sullivan SD, Lee TA, Weiss KB, Jensen RL, Marks GB,
Gulsvik A, Nizankowska-Mogilnicka E; BOLD Collaborative Research
Group,International variation in the prevalence of COPD (the BOLD Study):
a population-based prevalence study. Lancet. 2007 Sep 1;370(9589):741-50.
3. Chan-Yeung M, Ait Khaled N, White N, Ip MS, and Tan WC, The Burden and
Impact of COPD in Asia and Africa, Int J Tuberc Lung Dis, 2004; 8; p.2-14
4. Pedoman pengendalian penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Departemen
Kesehatan republik Indonesia, Jakarta. 2007
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK, Pedoman praktis diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia.J akarta; 2004
6. Alsagaf H. COPD overview. In Wibisono MJ, Hasan H, Maranatha D, dkk.
editor. Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan VII, Ilmu
Penyakit Paru. Surabay4 Oktober2004: p.1-15
7. Rachma N. Rehabilitasi Napas Penderita PPOK.Dalam : Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, Kongres Nasional X PDPI, Peran ilmu kedokteran respirasi
dalam mewujudkan Indonesia sehat 2010.Surakarta;2005: hal 323-332
8. CelliBR, ZuwallackRl. Pulmonary Rehabilitation,In Munay and Nadels
Textbook of Respiratory Medicine, 4 th ed.2005:p.2421-2429
9. Moore KL. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates. 2002
10. Sirait M. Hubungan karakteristik pekerja dengan faal paru di kilang padi
kecamatan porsea tahun 2010. 2010. Cited on December 28, 2016. Available
at http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17738/4/Chapter%20II.pdf
11. Vestbo J, Hurd S, Agusti A, Jones P, Vogelmeier C, Anzueto A, et al. Global
strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive

29

pulmonary disease: GOLD executive summary. Am J Respir Crit Care Med.


2014;187(4):347 - 65.
12. Aditama Tjandra Yoga. 2005. Patofisiologi Batuk. Bagian Pulmonologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Unit Paru RS Persahabatan.
Jakarta.
13. Alsaggaf Hood, dkk. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu
Penyakit Paru FK Unair. Surabaya.
14. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et
al., editors. Harrisons Principle of Internal Medicine. 17th ed. New York: Mc
Graw Hill; 2008.
15. Alfred P F, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Senior RM, Pack AI, editors.
Fishmans Pulmonary Diseases and Disorders. 4th ed. New York: Mc Graw
Hill; 2008.
16. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et
al., editors. Harrisons Principle of Internal Medicine. 17th ed. New York: Mc
Graw Hill; 2008

30

Anda mungkin juga menyukai