PENDAHULUAN
Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD),
PPOK adalah penyakit dengan karakteristik keterbatasan saluran napas yang tidak
sepenuhnya reversible. Keter-batasan saluran napas tersebut biasanya progresif dan
berhubungan dengan respons inflamasi di-karenakan bahan yang merugikan atau gas.
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit sistemik yang mempunyai
hubungan antara keterlibatan metabolik, otot rangka dan molekuler genetik.
Keterbatasan aktivitas merupa-kan keluhan utama penderita PPOK yang sangat
mempengaruhi kualitas hidup. Disfungsi otot rangka merupakan hal utama yang
berperan dalam keterbatasan aktivitas penderita PPOK. Inflamasi sistemik, penurunan
berat badan, peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, dan depresi
merupakan manifestasi sistemik PPOK.1
PPOK merupakan salah satu penyakit tidak menular utama, yang agak jarang
terekpose karena kurangnya informasi yang diberikan. Di Amerika Serikat data tahun
2007 menunjukkan bahwa pre-valensi PPOK sebesar 10,1% (SE 4,8) pada laki-laki
sebesar 11,8% (SE 7,9) dan untuk perempuan 8,5% (SE 5,8).2 Sedangkan prevalensi
PPOK di negara-negara Asia Tenggara diperkirakan 6,3% dengan prevalensi tertinggi
terdapat di Vietnam (6,7%) dan China (6,5%).3
Menurut European Respiratory Society, penyakit paru obstruksi kronik
(PPOK) menempati peringkat kelima urutan penyakit terbanyak di dunia pada tahun
2020, penyebab kematian peringkat empat di Amerika Serikat, dan pada akhir abad
ini diperkirakan akan menempati peringkat ketiga dari urutan penyebab kematian di
dunia. Di Indonesia, penderita penyakit ini terus mengalami peningkatan dari tahun
ke tahun, berdasarkan survey kesehatan rumah tangga ( SKRT, 1992), asma bronkial,
bronkitis dan empisema menduduki peringkat ke-6 dari l0 penyebab kematian
terbanyak.4 Peningkatan jumlah penderita penyakit ini disebabkan oleh berbagai
faktor diantaranya meningkatnya usia harapan hidup,semakin tingginya pajanan
terhadap polusi udara, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok
usia muda dan penurunan kasus infeksi.5
Karakteristik dari penyakit ini ialah terdapatrya hambatan aliran udara yang
tidak sepenuhnya reversibel dan prevalensi penyakit ini khususnya stadium lanjut
terus meningkat. Masalah yang sering dialami oleh penderita PPOK khususnya stage
II dan III meliputi exercise deconditioning, muscle wasting, dan penunrnan berat
badan, depresi, serta terisolasi dari lingkungan. Masalah tersebut saling berhubungan,
dengan mengatasi salah satu masalah maka diharapkan akan dapat memotong
circulus viscious tersebut.6
Oleh karena itu dibutuhkan penatalaksanarln yang komprehensif pada
penderita PPOK agar kehidupannya dapat menjadi lebih baik. Dalam
penatalaksarLaanpenderita PPOK, disamping pemberian terapi secara farmakologis
dan penghentian merokok juga diperlukan terapi non- farmakologis yakni rehabilitasi
paru. Tujuan utama rehabilitasi paru adalah untuk mengurangi keluhan, meningkatkan
kemampuan fisik untuk melakukan aktivitas sehari-hari, memperbaiki emosi, dan
meningkatkan kualitas hidup.6 Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, program rehabilitasi
paru harus mencakup perhatian terhadap masalah-masalah non pulmoner yang tidak
dapat diterapi secara adekuaLdengan terapi biasa.
Rehabilitasi paru adalah suatu pengobatan non-farmakologis pada PPOK
stabil. Pada beberapa penelitian, dapat disimpulkan bahwa dengan melaksanakan
Program rehabilitasi paru secaraa rutin masalah-masalah yang timbul akibat dari
penyakit ini dapat berkurang ataupun menunjukkan perbaikan.7 Idealnya program
rehabilitasi paru harus melibatkan beberapa kalangan professional kesehatan.
Komponen rehabilitasi paru bervariasi akan tetapi suatu program rehabilitasi yang
komprehensip harus meliputi empat komponen utama yaitu exercise training,
education, psychosocial / behavioral intervention dan outcome assessmet.8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Sistem Respiratorius
a. Dinding Toraks
Dinding toraks terdiri atas kulit, fascia, saraf, otot, dan tulang. Kerangka dinding
toraks membentuk sangkar dada osteokartilaginous yang melindungi jantung, paruparu, dan beberapa organ rongga abdomen. Kerangka toraks terdiri dari vertebra
thoracica dan discus intervertebralis, costae dan cartilago costalis, serta sternum.
Beberapa otot pernafasan yang melekat pada dinding dada antara lain:
a. Otot-otot inspirasi: M. intercostalis externus, M. levator costae, M. serratus
posterior superior, dan M scalenus.
b. Otot-otot ekspirasi: M. intercostalis internus, M. transversus thoracis, M.
serratus posterior inferior, M. subcostalis. 9
b. Traktus Respiratorius
Traktus respiratorius dibedakan menjadi dua, yaitu traktus respiratorius bagian
atas dan bagian bawah. Traktus respiratorius bagian atas terdiri dari cavum nasi,
nasofaring, hingga orofaring. Sementara itu, traktus respiratorius bagian bawah terdiri
atas laring, trakea, bronkus (primarius, sekundus, dan tertius), bronkiolus, bronkiolus
respiratorius, duktus alveolaris, dan alveolus.
Paru-paru kanan terdiri atas 3 lobus (superior, anterior, inferior), sementara paruparu kiri terdiri atas 2 lobus (superior dan inferior). Masing-masing paru diliputi oleh
sebuah kantung pleura yang terdiri dari dua selaput serosa yang disebut pleura, yaitu
4
Semua volume statis paru mengecil yaitu kapasitas vital (VC), kapasitas paru total
(KPT), volume residu (VR), volume cadangan ekspirasi (VCE), kapasitas residu
fungsional (KRF).
Vital Capacity Ratio (VCR) 80% dan FEV1R 70%.
Gambaran flow volume loop sama dengan normal hanya ukurannya lebih kecil.
Pada kelainan restriktif paru menjadi kaku sehingga daya tarik ke dalam lebih
besar maka dinding dada mengecil, costa/iga menyempit dan volume paru
mengecil.
Kelainan restriktif paru dapat dijumpai pada keaadan berikut:
Kelainan Parenkim Paru
o Tumor paru
o Pneumonia (karena infiltrasi sel radang dan alveoli terisi cairan)
o Abses paru
o Atelektasis
o Kelainan fibrosis
o Kelainan paru fibrosis
o TB paru
o Pneumokoniasis (asbestosis, silikosis)
o Penyakit kolagen (reumatoid arthtritis, scleroderma, SLE, sarkoidosis)
debu
jalanan.
5. Infeksi saluran nafas berulang
10
6. Jenis kelamin
Dahulu, PPOK lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding wanita.
Karena dahulu, lebih banyak perokok laki-laki dibanding wanita. Tapi dewasa
ini prevalensi pada laki-laki dan wanita seimbang. Hal ini dikarenakan oleh
perubahan pola dari merokok itu sendiri. Namun hal tersebut masih
kontoversial, maskipun beberapa penelitian mengatakan bahwa perokok
wanita lebih rentan untuk terkena PPOK dibandingkan perokok pria. Di
negara berkembang wanita lebih banyak terkena paparan polusi udara yang
berasal dari asap saat mereka memasak.
7. Status sosioekonomi dan status nutrisi
Rendahnya intake dari antioksidan seperti vitamin A, C, E, kadangkadang berhubungan dengan peningkatan resiko terkena PPOK, meskipun
banyak penelitian terbaru menemukan bahwa vitamin C dan magnesium
memiliki prioritas utama.
8. Asma
9. Usia
Onset usia dari PPOK ini adalah pertengahan
2.7 Patofisiologi
Karakteristik PPOK adalah peradangan kronis mulai dari saluran napas,
parenkim paru sampai struktur vaskuler pulmonal. Diberbagai bagian paru
dijumpai peningkatan makrofag, limfosit T (terutama CD8) dan neutrofil. Sel-sel
radang yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti Leukotrien
B4, IL8, TNF yang mampu merusak struktur paru dan atau mempertahankan
inflamasi neutrofilik. Disamping inflamasi ada 2 proses lain yang juga penting
yaitu imbalance proteinase dan anti proteinase di paru dan stres oksidatif.13
11
12
Anamnesis:
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan.
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja.
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara.
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak.
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.
b.
Pemeriksaan Fisik
13
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan rutin:
a. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)
-
Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20
menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1
atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
b. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
c. Radiologi
shadow berupa bayangan garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju
apeks paru dan corakan paru yang bertambah.
Pada emfisema, foto thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi
dengan gambaran diafragma yang rendah dan datar, penciutan pembuluh
darah pulmonal, dan penambahan cortakan ke distal.
15
Hyperinflation
16
17
18
tapi tidak ada data yang dapat membuktikan hubungan kausatif antara gejala prostat
dan penggunaan obat tersebut.
B. Methylxanthine
Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat ini dilaporkan
berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi. Namun obat ini tidak
direkomendasikan jika obat lain tersedia.16
C. Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara regular dapat memperbaiki gejala,
fungsi paru, kualitas hidup serta mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien
dengan FEV1<60% prediksi.16
D. Phosphodiesterase-4 inhibitor
Mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi inflamasi dengan menghambat
pemecahan intraselular C-AMP. Tetapi, penggunaan obat ini memiliki efek samping
seperti mual, menurunnya nafsu makan, sakit perut, diare, gangguan tidur dan sakit
kepala.
Terapi Farmakologis Lain
Vaksin :vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada pasien PPOK usia > 65
tahun
Alpha-1 Augmentation therapy: Terapi ini ditujukan bagi pasien usia muda dengan
defisiensi alpha-1 antitripsin herediter berat. Terapi ini sangat mahal, dan tidak
tersedia di hampir semua negara dan tidak direkomendasikan untuk pasien PPOK
yang tidak ada hubungannya dengan defisiensi alpha-1 antitripsin.
Antibiotik:Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang mencetuskan
eksaserbasi
Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan antioksidan: Ambroksol, erdostein,
carbocysteine, ionated glycerol dan N-acetylcystein dapat mengurangi gejala
eksaserbasi.
Immunoregulators (immunostimulators, immunomodulator)
Antitusif: Golongan obat ini tidak direkomendasikan.
Vasodilator
19
Chest Therapy
Chest therapy adalah salah satu terapi yang sangat berguna bagi penderita
penyakit respirasi baik yang bersifat akut maupun kronis. Chest therapy
sangat efektif dalam upaya mengeluarkan sekret dan memperbaiki ventilasi
pada pasien dengan fungsi paru yang terganggu.
Tujuan pokok chest therapy pada penyakit paru adalah mengembalikan
dan memelihara fungsi otot-otot pernafasan dan membantu membersihkan
sekret dari bronkus, mencegah penumpukan sekret, memperbaiki pergerakan
dan aliran sekret.
Kontra indikasi chest therapy dada ada yang bersifat mutlak seperti
kegagalan jantung, status asmatikus, renjatan dan perdarahan masif,
sedangkan kontra indikasi relatif seperti infeksi paru berat, patah tulang iga
atau luka baru bekas operasi, tumor paru dengan kemungkinan adanya
keganasan serta adanya kejang rangsang.9
a) Latihan Napas/Breathing Exercise
Pasien penyakit paru akut dan kronik perlu diajarkan untuk mengontrol
aktifitas pernafasannya untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi kerja
respirasi. Breathing exercise didesain untuk memperbaiki fungsi otot-otot
respirasi, meningkatkan ventilasi dan oksigenisasi. Exercise aktive ROM pada
shoulder dan trunk akan membantu ekspansi toraks, memfasilitasi deep
breathing dan sering digunakan untuk menstimulasi reflex batuk.
20
21
a. Meningkatkan ventilasi.
b. Meningkatkan efektifitas mekanisme batuk.
c. Mencegah atelektasis
d. Meningkatkan kekuatan, daya tahan dan koordinasi otot-otot respirasi.
e. Mempertahankan atau meningkatkan mobilitas chest dan thoracal spine.
f. Koreksi pola-pola nafas yang tidak efisien dan abnormal.
g. Meningkatkan relaksasi.
h. Mengajarkan pasien bagaimana melakukan tindakan bila terjadi gangguan
nafas
Jenis-Jenis Breathing Exercise
1. Diaphragmatic Breathing
22
Prosedur:
1) Bernafas dengan perut.
2) Dada dan bahu harus rileks.
3) Saat inspirasi, kembungkan perut.
4) Saat ekspirasi, kempiskan perut.
5) Terapis mengontrol dengan memegang perut dan dada pasien. Yang harus
bergerak hanya perut, dada harus diam.
2. Segmental Breathing
a. Lateral costal expansion
b. Posterior basal expansion
c. Right middle lobe
d. Pursed lip breathing
Diberikan pada pasien yang sedang tidak mengalami serangan sesaknafas.
Contohnya: penderita asma yang sedang tidak kambuh.
23
Prosedur:
1)Posisi pasien rileks.
2) Pasien tarik nafas melalui hidung dan tahan 2-3 detik.
b) Postural Drainase
24
25
26
27
Batuk efektif merupakan suatu metode batuk dengan benar, dimana klien
dapat menghemat energi sehingga tidak mudah lelah dan dapat mengeluarkan
dahak secara maksimal. Batuk efektif dan napas dalam merupakan teknik
batuk efektif yang menekankan inspirasi maksimal yang dimulai dari
ekspirasi, yang bertujuan merangsang terbukanya sistem kolateral,
meningkatkan distribusi ventilasi, meningkatkan volume paru, dan
memfasilitasi pembersihan saluran napas.
Manfaat batuk efektif adalah untuk mengeluarkan sekret yang menyumbat
jalan nafas dan memperingan keluhan saat terjadi sesak nafas pada penderita
jantung. Batuk efektif dilakukan pada pasien seperti COPD/PPOK,
Emphysema, Fibrosis, Asma, chest infection, pasien bedrest atau post operasi.
Batuk yang tidak efektif dapat menyebabkan kolaps saluran napas, ruptur
dinding alveoli, dan pneumotoraks.
Cara Batuk Efektif
1. Tarik nafas dalam 4-5 kali
2. Pada tarikan selanjutnya nafas ditahan selama 1-2 detik
3. Angkat bahu dan dada dilonggarkan serta batukan dengan kuat
4.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Oemiati R. Kajian epidemiologis penyakit paru obstruktif kronik.Media
litbangkes. 2013;23:82-8.
2. Buist AS, McBurnie MA, Vollmer WM, Gillespie S, Burney P, Mannino DM,
Menezes AM, Sullivan SD, Lee TA, Weiss KB, Jensen RL, Marks GB,
Gulsvik A, Nizankowska-Mogilnicka E; BOLD Collaborative Research
Group,International variation in the prevalence of COPD (the BOLD Study):
a population-based prevalence study. Lancet. 2007 Sep 1;370(9589):741-50.
3. Chan-Yeung M, Ait Khaled N, White N, Ip MS, and Tan WC, The Burden and
Impact of COPD in Asia and Africa, Int J Tuberc Lung Dis, 2004; 8; p.2-14
4. Pedoman pengendalian penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Departemen
Kesehatan republik Indonesia, Jakarta. 2007
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK, Pedoman praktis diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia.J akarta; 2004
6. Alsagaf H. COPD overview. In Wibisono MJ, Hasan H, Maranatha D, dkk.
editor. Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan VII, Ilmu
Penyakit Paru. Surabay4 Oktober2004: p.1-15
7. Rachma N. Rehabilitasi Napas Penderita PPOK.Dalam : Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, Kongres Nasional X PDPI, Peran ilmu kedokteran respirasi
dalam mewujudkan Indonesia sehat 2010.Surakarta;2005: hal 323-332
8. CelliBR, ZuwallackRl. Pulmonary Rehabilitation,In Munay and Nadels
Textbook of Respiratory Medicine, 4 th ed.2005:p.2421-2429
9. Moore KL. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates. 2002
10. Sirait M. Hubungan karakteristik pekerja dengan faal paru di kilang padi
kecamatan porsea tahun 2010. 2010. Cited on December 28, 2016. Available
at http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17738/4/Chapter%20II.pdf
11. Vestbo J, Hurd S, Agusti A, Jones P, Vogelmeier C, Anzueto A, et al. Global
strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
29
30