PEPTIC ULCER
OLEH :
FITRIA DEWI
JUMRIATI
LATHIFATUS SHALIHAH
BOBBY SUGARA
MAKASSAR
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan nikmat kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Tak lupa pula shalawat serta salam tercurahkan kepada junjungan nabi besar
Muhammad SAW,sebagai suri tauladan bagi umat manusia.
Dalam penyusunan makalah ini,kami selaku penulis merasa masih banyak
kekurangan yang terdapat di dalamnya,sehingga kami mengharapkan kerjasama
dari pembaca untuk senantiasa memberikan kritik dan saran dalam penyusunan
makalah kami ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Gambar
Daftar Tabel
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
I.2 Rumusan Masalah
I.3 Tujuan Penulisan
I.4 Manfaat Penulisan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Anatomi dan Fisiologi
II.2 Patofisiologi Peptic Ulcer
II.3 Etiologi/ Faktor Resiko
II.4 Screening/ Diagnosa
II.5 Penatalaksanaan
BAB III PENUTUP
III.1 Kesimpulan
III.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
Bagian muskularis tersusun atas tiga lapis dan bukan dua lapis otot
polos:lapisan longitudinal di bagian luar,lapisan sirkular di tengah,dan lapisan
oblik di bagian dalam.Susunan serabut otot ini memungkinkan berbagai
macam kombinasi kontraksi yang di perlukan untuk memecah makanan
menjadi partikel-partikel yang kecil,mengaduk dan mencampur makanan
tersebut dengan cairan lambung,dan mendorongnya ke arah duodenum.
Submukosa tersusun atas jaringan areolar longgar yang menghubungkan
lapisan mukosa dan lapisan muskularis.Jaringan ini memungkinkan mukosa
bergerak dengan gerakan peristaltik.Lapisan ini juga mengandung pleksus
saraf, pembuluh darah, dan saluran limfe.
Peptic ulcer adalah luka terbuka yang terdapat dibagian dalam lapisan
perut, bagian atas usus kecil, atau esofagus, merupakan satu penyakit yang
biasa dialami oleh kebanyakan orang, tetapi kini penemuan baru
membuktikan bahwa puncak kebanyakan peptic ulcer di perut dan di bagian
atas usus kecil (duodenum) adalah jangkitan kuman atau obat-obatan dan
bukannya stres atau diet.
Dari grafik tersebut terlihat bahwa ada 2 faktor resiko terbesar yang
menimbulkan ulkus peptikum yaitu akibat dari infeksi Helicobacter pylori
dan penggunaan NSAID. Helicobacter pylori adalah bakteri yang berbentuk
helic, spiral-shaped, termasuk golongan bakteri gram negatif, memiliki
flagela dan biasanya hidup diantara lapisan mukus dan apisan epitel dari
mukosa.3
A B
Gambar 2.(A) Helicobacter pylori yang diambil dengan mikroskop (yang berwarna biru).
(B) Gambaran umum dari Helicobacter pylori.
Timbulnya ulkus peptikum akibat infeksi dari helicobacter pylori terkait
erat dengan kemampuan helicobacter pylori bertahan pada kondisi asam serta
melewati lapisan mukus yang berada pada permukaan mukosa lambung.
Setidaknya ada 2 mekanisme yang mendasari timbulnya ulkus peptikum oleh
infeksi Helicobacter pylori yaitu 3:
a) Produksi enzim urease dan alfa-karbonil anhidrase (-CA). Enzim
urease akan mengubah urea yang merupakan produk sekresi dari sel-
sel di lambung menjadi amonia dan karbon dioksida. Sedangkan
enzim alfa-karbonil anhidrase akan mengubah karbon dioksida
tersebut menjadi bikarbonat. Adanya amonia dan bikarbonat ini akan
menetralkan lingkungan asam disekitar Helicobacter pylori, selain
itu efek toksik dari amonia terhadap sel akan membuat sel
mangalami kerusakan.
3. Stres psikologis
Stress psikologis menjadi faktor penting patogenesis terjadinya PUD
yang kontroversial, namun hasil uji coba gagal membuktikan antara penyebab
dan akibat terjadinya PUD. Kemungkinan emosional pada stress yang
memicu perilaku untuk merokok dan menggunakan NSAID, sehingga hal ini
yang dapat menyebabkan ulkus. Bagaimana stress dapat menyebabkan PUD
kemungkinan dipengaruhi banyak faktor.2
4. Kebiasaan Merokok
Kemungkinan mekanisme yang terjadi akibat merokok sehingga dapat
menginduksi terjadinya PUD adalah penghambatan pengosongan lambung,
penghambatan sekresi bikarbonat dari pankreas, memicu refluks
duodenogastric dan mengurangi produksi Prostaglandin (PG).Meskipun
merokok dapat meningkatkan sekresi asam lambung tapi efeknya tidak
konsisten. Merokok dapat menyebabkan seeorang lebih mudah terinfeksi HP.2
5. Faktor Diet dan Penyakit Lain
Kedua faktor ini belum ada mekanisme patofisiologi yang pasti, beberapa
minuman seperti kopi dan the (mengandung kafein), cola, bir, dan susu dapat
menyebabkan dyspepsia tapi tidak meningkatkan resiko PUD. Kafein dapat
menstimulasi sekresi asam lambung dan alcohol dapat menyebabkan
kerusakan mukosa lambung serta perdarahan GI bagian atas, tapi tidak ada
bukti cukup yang menunjukkan bahwa alcohol dapat menyebabkan ulkus.
Pasien dengan penyakit kronik seperti cystic fibrosis, pancreatitis kronik,
coronary artery disease dapat meningkatkan ulkus pada duodenal.2
Budaya langsung dari spesimen biopsi EGD, hal ini sulit untuk dilakukan,
dan dapat mahal. Kebanyakan laboratorium tidak disiapkan untuk melakukan''H.
pylori''budaya;
Pengukuran kadar antibodi dalam darah (tidak memerlukan EGD). Hal ini
masih agak kontroversial apakah antibodi positif tanpa EGD cukup untuk
menjamin terapi eradikasi;
Setelah satu jam, pasien akan diminta untuk meniup ke dalam kantong
yang disegel. Jika pasien terinfeksi H. pylori, sampel nafas akan berisi karbon
dioksida radioaktif. Tes ini memberikan keuntungan untuk dapat memantau
respon terhadap pengobatan yang digunakan untuk membunuh bakteri.
Kemungkinan penyebab lain dari borok, terutama keganasan (kanker
lambung) perlu diingat. Hal ini terutama berlaku dalam borok dari''''lebih
besar (besar) kelengkungan lambung, sebagian besar juga merupakan
konsekuensi dari kronis H.pylori infeksi.
Jika perforasi ulkus peptikum, udara akan bocor dari bagian dalam
saluran pencernaan (yang selalu berisi udara segar) ke rongga peritoneum
(yang biasanya tidak pernah berisi udara).
Hal ini menyebabkan "gas bebas" dalam rongga peritoneum. Jika pasien
berdiri tegak, seperti ketika memiliki dada X-ray, gas akan mengapung ke
posisi bawah diafragma.
Oleh karena itu, gas dalam rongga peritoneal, ditampilkan pada sebuah
peti tegak X-ray atau terlentang lateral yang perut X-ray, merupakan pertanda
dari penyakit ulkus peptikum perforasi.
II.5 Penatalaksanaan
Terapi untuk penyakit peptik ulkus sangat bervariasi tergantung pada
etiologinya (H.pylori/NSAID), apakah ulkus awalan atau kambuhan dan
apakah komplikasi peptik ulkus telah muncul. Seluruh terapi bertujuan untuk
mengurangi nyeri akibat ulkus, mengobati ulkus, mencegah kekambuhan dan
menurunkan risiko komplikasi akibat peptik ulkus. Tujuan terapi pada pasien
ulkus dengan infeksi bakteri H. pylori adalah untuk mengeradikasi bakteri H.
pylori dan menyembuhkan ulkus. Kesuksesan eradikasi sangat menentukan
proses penyembuhan ulkus selanjutnya dan dapat mengurangi risiko
kekambuhan sebesar 10%. Tujuan terapi pada pasien peptik ulkus akibat
penggunaan NSAID adalah untuk menyembuhkan ulkus secepat mungkin.
Pasien dengan faktor risiko tinggi akibat penggunaan NSAID, jika
dimungkinkan maka penggunaan NSAID secepat mungkin harus diganti
dengan agen antiinflamasi yang selektif menghambat enzim COX-2 atau
menggunakan terapi profilaksis untuk menurunkan risiko ulkus serta
komplikasinya.2
Terapi peptik ulkus berfokus pada eradikasi H. pylori untuk pasien
dengan status positif H. pylori dan menurunkan risiko ulkus akibat
penggunaan NSAID serta mencegah komplikasi yang mungkin dapat
ditimbulkan. Regimen terapi yang mengandung : (1) antibakteri seperti
klaritromisin, metronidazol dan amoksisilin, (2) bismuth subsalisilat, (3) agen
antisekretori seperti PPI atau H2RA merupakan regimen obat peptik ulkus
yang biasa digunakan untuk mengatasi gejala ulkus, menyembuhkan ulkus
dan mengeradikasi bakteri H. pylori. PPI, H2RA dan sukralfat dapat
digunakan pada pasien dengan status H. pylori negatif. Terjadinya
kekambuhan gejala ulkus masih akan tetap tinggi apabila penggunaan NSAID
tidak dihentikan.Terapi profilaksis dengan PPI atau misoprostol dapat
menurunkan risiko terjadinya ulkus dan komplikasi saluran cerna bagian atas
pada pasien yang menggunakan NSAID. Terapi penggantian NSAID menjadi
penghambat selektif COX-2 sering dilakukan dalam upaya pencegahan
ulkus.2
Modifikasi gaya hidup sangatlah penting untuk pasien dalam upaya
mencegah terjadinya peptik ulkus. Perubahan gaya hidup yang dapat
dilakukan meliputi pengurangan stress fisiologis dan penghentian kebiasaan
merokok. Terapi tindakan pembedahan sangat diperlukan untuk pasien PUD
yang telah mengalami perdarahan lambung atau komplikasi lainnya seperti
terjadinya perforasi (perlubangan) di area lambung.2
1. TERAPI NONFARMAKOLOGI
Terapi nonfarmakologi dapat dilakukan oleh pasien PUD dengan cara
menghilangkan atau mengurangi stress fisiologis, menghentikan konsumsi
rokok dan alcohol serta menghentikan pmakaian NSAID yang tidak selektif
(termasuk aspirin) jika memungkinkan. Walaupun tidak ada diet khusus untuk
mencegah penyakit peptik ulkus tetapi pasien harus diberikan edukasi untuk
menghindari makanan atau minuman yang dapat memicu dyspepsia atau
memperburuk gejala peptik ulkus. Jika memungkinkan dilakukan
penggantian terapi analgetik NSAID dengan analgetik yang cenderung lebih
aman untuk lambung seperti paracetamol, non asetilsalisilat (salsalate) atau
analgetik penghambat selektif enzim COX-2.2
2. TERAPI FARMAKOLOGI
Terapi tahap pertama untuk pengatasan peptik ulkus dengan paparan
bakteri H. pylori diawali dengan tripel regimen (PPI based three drug
regimen) selama minimal 7 hari tetapi dapat dilanjutkan hingga 10-14 hari.
Jika terapi dengan menggunakan tahap pertama gagal atau tidak mencapai
goal terapi maka dapat digunakan terapi tahap kedua yakni dengan tripel
regimen tetapi menggunakan antibakteri yang berbeda dengan sebelumnya
atau dapat diganti dengan quadripel regimen (bismuth based four drug
regimen) yang terdiri atas bismuth subsalisilat, metronidazol, tetrasiklin dan
PPI (Proton Pump Inhibitor).2
Terapi konvensional dengan menggunakan obat antilkus (H2RA, PPI,
sukralfat) merupakan alternatif terapi dalam mengeradikasi bakteri H. pylori
tetapi tidak disarankan mengingat tingginya risiko kekambuhan peptik ulkus
dan komplikasinya. Kombinasi terapi antara H2RA dengan PPI atau H2RA
dengan sukralfat tidak disarankan untuk mengobati ulkus karena hanya akan
menambah biaya pengobatan tetapi tidak diimbangi dengan efikasi yang
diharapkan. Terapi pemeliharaan dengan PPI atau H2RA direkomendasikan
untuk pasien dengan faktor risiko komplikasi peptik ulkus yang tinggi, pasien
yang gagal menerima terapi eradikasi dan pada pasien dengan status negatif
H. pylori.2
Pasien peptik ulkus akibat penggunaan NSAID harus diperiksa status
paparan bakteri H. pylori terlebih dahulu. Jika pasien memiliki status H.
pylori positif maka terapi harus dimulai dengan tripel regimen. Jika status
pasien adalah H. pylori negatif maka terapi peptik ulkus dimulai dengan
pemberian PPI atau H2RA atau sukralfat. Jika penggunaan NSAID tidak
dapat dihentikan maka terapi harus diawali dengan pemberian PPI secara
monoterapi untuk pasien dengan status H. pylori negatif atau tripel regimen
untuk pasien dengan status H. pylori positif. Terapi profilaksis dengan PPI,
misoprostol atau penggantian terapi NSAID dengan penghambat selektif
enzim COX-2 sangat direkomendasikan pada pasien yang memiliki faktor
risiko tinggi terkena komplikasi akibat penyakit peptik ulkus.2
rendahnya pH intragastrik
dan tingginya jumlah bakteri di lambung. Kepatuhan pasien terhadap
terapi yang digunakan sangat mempengaruhi kesuksesan eradikasi H.
pylori. Kepatuhan akan menurun pada pasien yang menerima terapi
secara polifarmasi, frekuensi penggunaan yang sering, durasi pengobatan
yang panjang, timbulnya ADR yang tidak dapat ditoleransi oleh pasien
dan regimen obat yang mahal. Panjangnya terapi yang dijalankan oleh
pasien dengan peptik ulkus dapat menyebabkan menurunnya kepatuhan
pasien dalam menggunakan obat, namun demikian durasi terapi peptik
ulkus yang tidak adekuat juga dapat menyebabkan gagalnya eradikasi
H.pylori. Antibakteri metronidazol yang digunakan > 1g/ hari dapat
menyebabkan meningkatnya frekuensi terjadinya ADR yang ditandai
dengan menurunnya kemampuan indra pengecapan, mual, muntah, nyeri
abdomen dan diare. Resistensi antibakteri metronidazol lebih sering
muncul (10-16%) tergantung pada jumlah paparan antibakteri
sebelumnya serta kondisi di suatu daerah. Resistensi antibakteri
klaritromisin dilaporkan lebih rendah (10-15%) dibandingkan
metronidazol tetapi jika klaritromisin telah mengalami resistensi maka
akan sangat mempengaruhi efektifitas eradikasi H. pylori. Resistensi
antibakteri amoksisilin dan tetrasiklin juga dilaporkan jarang terjadi pada
terapi eradikasi H. pylori.2
c) Terapi Penyakit Peptik Ulkus akibat Penggunaan NSAID (Non
Steroid Antiinflamatory Disease)
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
III.2 Saran
(2) Joseph DiPiro, Robert L.Talbert, Gary Yee, Gary Matzke, Barbara Wells,
L.Michael Posey et al. Pharmacotherapy: A Phatophysiology Approach. 7th
ed. Columbus: McGraw-Hill Company; 2008.