Saya tidak tahu, apa kekurangan wanita yang berdiri di hadapan saya. Wajah dan
senyumnya manis. Tutur katanya lembut dan santun. Tubuhnya? jangan Tanya. Untuk
perempuan yang telah melahirkan dua orang anak, sosoknya lebih dari sempurnah.
Dan saya sama sekali tidak berlebihan dalam menilai. Sebab perempuan berwajah ayu itu
jauh lebih ramping dan bagus tubuhnya, bahkan bila dibandingkan rata-rata gadis SMA sekarang.
Mengenalnya selama lebih dari dua puluh tahun ternyata tidak juga memberikan jawaban
bagi saya, atas sebuah pertanyaan kenapa?
Dua puluh tahun tanpa saya mampu menemukan deretan kekurangannya. Padahal kami
terbilang dekat.
Usianya masih muda ketika menikah dengan seorang pengusaha. Lelaki yang diharapkan
perempuan ini, bisa menuntunnya ke surga.
Kehidupan pernikahan bisa dibilang baik. Satu dua pertengkaran atau ketidakcocokan
rasanya biasa dalam romansa pernikahan. Perempuan ini melahirkan dua orang anak, yang
dididiknya dengan baik. Kedua anaknya penurut dan tidak banyak menyusahkan.
Hingga tanpa ada permasalahan yang jelas, suaminya menjatuhkan talak. Cerai. Begitu
saja. Tidak ada pertengkaran hebat, tidak ada perempuan lain, setidaknya dalam pengetahuan
saya ini.
Saya tidak tahu, bisiknya lirih, sebagai seorang istri rasanya saya tidak banyak
menuntut, tidak minta dibelikan ini dan itu. Sejak kecil orang tua selalu mengajarkan saya untuk
tetap bersyukur dalam keadaan apapun. Bersyukur dengan pemberian suami.
Saya bukan tidak pernah bertanya kepada diri saya sendiri, San. Saya pikir, apa karena
saya terlalu menadahkan tangan pada suami?
Istri menadahkan tangan pada suami sendiri rasanya bukan hal yang aneh dan wajar saja.
Selama tidak meminta yang aneh-aneh. Tapi dia yang saya kenal, tidak begitu.
Omongan tetangga kiri kanan sungguh tidak mengenakkan. Apalagi sang suami sering
mengisi ceramah yang dianggap berilmu. Otomatis kesalahan dibebankan pada sang istri.
Wah, kalau didengarkan omongan orang, tidak ada habisnya. Panas kuping. Tapi mau
apa?
Setidaknya itulah yang akan saya lakukan, jika hal serupa terjadi pada saya. Tapi
perempuan ini menggelengkan kepala.
Hanya satu kalimat yang bermain di matanya, saat menatap kedua buah hatinya yang
semakin besar, dan dewasa dalam kasih tanpa ayah. Ketegaran yang tidak pernah menguap oleh
waktu.