PENDAHULUAN
1
Bronkopneumonia digunakan unutk menggambarkan pneumonia yang
mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area
terlokalisasi didalam bronki dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di
sekitarnya. Pada bronkopneumonia terjadi konsolidasi area berbercak.
(Smeltzer,2001).
2
adalah bakteri, virus, jamur, aspirasi makanan, pneumonia hipostatik dan
sindrom Loefler.
1.3 Tujuan
1. Megetahui perjalanan penyakit bronkopneumonia.
2. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan bronkopneumonia.
BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN
3
2.1 Pengertian Penyakit Bronkopneumonia
Bronchopneumonia merupakan suatu peradangan paru yang biasanya
menyerang di bronkeoli terminal. Penyakit ini sering bersifat sekunder,
menyertai infeksi saluran pernafasan atas, demam infeksi yang spesifik dan
penyakit yang melemahkan daya tahan tubuh. Penyakit ini biasa terjadi pada
anak dan bayi, yang biasanya disebabkan oleh virus penyebab
Bronchopneumonia yang masuk kesaluran pernafasan sehingga terjadi
peradangan broncus dan alveolus. Pneumonia merupakan peradangan akut
parenkim paru-paru yang biasanya berasal dari suatu infeksi. (Price, 1995)
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan Reeves (2001) :
4
Streptococal merupakan organisme penyebab umum. Tipe pneumonia
ini biasanya menimpa kalangan anak-anak atau kalangan orang tua.
2) Hospital Acquired Pneumonia dikenal sebagai pneumonia nosokomial.
Organisme seperti ini aeruginisa pseudomonas. Klibseilla atau aureus
stapilococcus, merupakan bakteri umum penyebab hospital acquired
pneumonia.
3) Lobar dan Bronkopneumonia dikategorikan berdasarkan lokasi
anatomi infeksi. Sekarang ini pneumonia diklasifikasikan menurut
organisme, bukan hanya menurut lokasi anatominya saja.
4) Pneumonia viral, bakterial dan fungi dikategorikan berdasarkan pada
agen penyebabnya, kultur sensifitas dilakukan untuk
mengidentifikasikan organisme perusak.
1. Pneumonia komunitas
2. Pneumonia nosokomial
3. Pneumonia rekurens
4. Pneumonia aspirasi
5. Pneumonia pada gangguan imun
6. Pneumonia hipostatik
5
2. Pneumonia non bakterial, dikenal pneumonia atipikal yang
disebabkan Mycoplasma, Chlamydia pneumoniae atau Legionella.
2.3 Etiologi
Penyebab bronkopneumonia :
1. Bakteri
2. Virus
3. Jamur
4. Protozoa
6
Faktor resiko meningkatnya kematian karena pneumonia
1. Umur 0-2 bulan jauh lebih tinggi (morbiditas & mortalitas) dari anak
usia sekolah (bayi muda belum bisa batuk, masih belum banyak
terdapat immunoglobulin yang spesifik)
2. Tingkat sosio ekonomi rendah
3. Kurang gizi
4. BBLR
5. Tingkat pendidikan ibu yang rendah
6. Tingkat jangkauan pelayanan kesehatan yang rendah
7. Kepadatan tempat tinggal
8. Imunisasi yang tidak memadai
9. Menderita penyakit kronis
10. Aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan
yang salah
2.4 Patofisiologi
7
Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada respon
peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang
terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat
pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah
pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator
tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel
mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja
sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot
polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam
ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan
alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen
dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
2. Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)
Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu
alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang
dihasilkan oleh penjamu (host) Universitas Sumatera Utara sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat
oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan
sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti
hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 8 hari)
Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel
darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat
ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan
terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli
mulai di reabsorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
8
dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah
tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV/Resolusi (7 11 hari)
Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan
diabsorpsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya
semula.
2.5 Manifestasi Klinis
1. Menggigil mendadak, demam yang tinggi dengan cepat dan
berkeringat banyak
2. Nyeri dada seperti ditusuk yang diperburuk dengan pernafasan dan
batuk.
3. Sakit parah dengan takipnea jelas (25 45/menit) dan dispnea.
4. Nadi cepat dan bersambung
5. Bradikardia relatif ketika demam menunjukkan infeksi virus, infeksi
mycoplasma atau spesies legionella.
6. Sputum purulen, kemerahan, bersemu darah, kental atau hijau relatif
terhadap preparat etiologis.
7. Tanda-tanda lain: demam, krakles, dan tanda-tanda konsolidasi lebar
(Baughman, Diane C,)
9
4. Pemeriksaan sputum Bahan pemeriksaan yang terbaik diperoleh dari
batuk yang spontan dan dalam. Digunakan untuk pemeriksaan
mikroskopis dan untuk kultur serta tes sensitifitas untuk mendeteksi
agen infeksius. (Barbara C, Long, 1996 : 435)
5. Analisa gas darah untuk mengevaluasi status oksigenasi dan status
asam basa. (Sandra M. Nettina, 2001 : 684)
6. Kultur darah untuk mendeteksi bakteremia
7. Sampel darah, sputum, dan urin untuk tes imunologi untuk mendeteksi
antigen mikroba. (Sandra M. Nettina, 2001 : 684)
8. Pemeriksaan Radiologi
9. Rontgenogram Thoraks Menunjukkan konsolidasi lobar yang
seringkali dijumpai pada infeksi pneumokokal atau klebsiella. Infiltrat
multiple seringkali dijumpai pada infeksi stafilokokus dan haemofilus.
(Barbara C, Long, 1996 : 435)
10. Laringoskopi/ bronkoskopi untuk menentukan apakah jalan nafas
tersumbat oleh benda padat. (Sandra M, Nettina, 2001)
2.7 Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer Arif 2000, penatalaksanaan medis bronkopneumonia
adalah:
2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita bronkopneumonia adalah
sebagai berikut:
1. Empiema torasis
1
0
2. Adanya penimbunan pus/nanah di dalam rongga pleura
3. Pneumothorax
4. Akumulasi udara di dalam rongga pleura karena terdapat hubungan
langsung rongga pleura dengan atmosfir akibat defek pada dinding
dada atau pecahnya alveoli atau keduanya.
5. Efusi pleura yang disebabkan oleh H. Influenza
6. Abses paru
7. Bronkiektase
8. Perikarditis purulenta
9. Miokarditis
1
1
2.9 WOC
FAKTOR RESIKO
ETIOLOGI
Disfungsional
silia Penyebaran kuman ke
alveoli
Inflamasi
bronkhus
Pearadangan alveoli
Peningkatan sel PMN
Penumpukan eksudat serosa di Edema antara kapiler dan
bronchial dan bronkhiolus alveoli
terminal
Pergerakan dinding
Ekstrapasasi eksudat serosa kedalam paru
alveoli
BRONKOPNEUMONIA
B1 B2 B3 B4
RESTI CIDERA
B5 B6 B7