Pembimbing:
Oleh:
Robi Fahlepi
2012730092
STATUS PASIEN
IDENTITAS
Nama :Nn. I
Pekerjaan :Pelajar
No RM :760xxx
ANAMNESIS
Keluhan utama:
PRIMARY SURVEY
Respon: verbal
E (Exposure/environmental control)
Suhu: 36,7C
o Tampak luka pada regio parietalis sinistra
o Look: tampak luka lecet berwarna merah, batas tegas, ukuran panjang 3cm,
perdarahan (-), deformitas (-)
o Feel: nyeri tekan (-), krepitasi (-)
o MANAGEMENT: wound toilet, ATS 1x1500 IU
SECONDARY SURVEY
Allergies : (-)
Kepala: perdarahan (-), laserasi (-), VE parietalis sinistra (+), krepitasi (-)
Hidung: perdarahan (-), laserasi (-), deformitas (-), edema (-/-), krepitasi (-)
Mulut: perdarahan (-), laserasi (-), sianosis (-)
Inspeksi: jejas (-), hematom (-), deviasi trakea (-), penggunaan otot bantu
napas (-)
Palpasi: deformitas (-), nyeri tekan (-), pembengkakan (-), deviasi trakea (-)
THORAX
Inspeksi: jejas (-), hematom (-), penggunaan otot bantu napas (-), dada yang
tertinggal (-)
ABDOMEN
Perkusi: timpani
EKSTREMITAS
SUPERIOR
INFERIOR
NEUROLOGIC
GCS: E4M6V5
STATUS LOKALIS
Tampak luka pada regio parietalis sinistra
Look: tampak luka lecet berwarna merah, batas tegas, ukuran panjang 3cm,
perdarahan (-), deformitas (-)
DIAGNOSIS
TATALAKSANA
Infus RL 20 tpm
Ondancentron 1x8mg
Wound toilet
Observasi 6 jam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi
Berdasarkan Advanced Trauma Life Support (ATLS-2004), anatomi yang
bersangkutan antara lain :
Tulang tengkorak atau kranium terdiri dari kalvarium dan basis kranii, di regio
temporal tulang tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii
berbentuk tidak rata dan tidak teratur sehingga cedera pada kepala dapat
menyebabkan kerusakan pada bagian dasar otak yang bergerak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas tiga fosa yaitu
anterior, media dan posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media
tempat lobus temporalis dan fosa posterior adalah ruang bagi batang otak bawah dan
serebelum.
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri
atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang
potensial (ruang subdural) yang terletak antara duramater dan araknoid, dimana
sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari
sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan
laserasi pada arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang
paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada
fosa temporalis (fosa media).
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus
pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat
pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang sub
araknoid.
4. Otak
Otak manusia terdiri dari Cerebrum, Cerebellum dan batang otak. Cerebrum
terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh Falx Cerebri yaitu lipatan
duramater dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer cerebri kiri
terdapat pusat bicara manusia. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering
disebut sebagai hemisfer dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi
dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan
fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus
oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan.
Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medulla oblongata.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi
dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi
yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang
berat,
5. Liquid Cerebrospinal
6. Tentorium
Tentorium Cerebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial (terdiri atas
fossa cranii anterior dan fossa cranii media) dan ruang infratentorial (berisi fossa cranii
posterior).
II. Klasifikasi
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek.
Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan
morfologi.
A. Berdasarkan mekanisme
Berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi atas, yaitu:
1. Cedera Tumpul
Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh
atau pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi
yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan
kontak pada protuberans tulang tengkorak. Cedera tumpul biasanya berkaitan
dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.
a. Commutio Cerebri
Gangguan fungsi otak traumatik yang mendadak, bersifat sementara tanpa
kelainan patologis yang nyata pada jaringan otak. Geger otak berasal dari
benturan kepala yang menghasilkan getaran keras atau menggoyangkan otak,
menyebabkan perubahan cepat pada fungsi otak, termasuk kemungkinan
kehilangan kesadaran lebih 10 menit yang disebabkan cedera pada kepala.
Tanda-tanda/gejala geger otak, yaitu: hilang kesadaran, sakit kepala berat,
hilang ingatan (amnesia), mata berkunang-kunang, pening, lemah, pandangan
ganda
a. Contusio Cerebri
Gangguan fungsi otak traumatik yang disertai kelainan patologis yang nyata
pada jaringan otak. Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya
dapat diakibatkan oleh pukulan atau benturan pada kepala. Memar otak
menimbulkan memar dan pembengkakan pada otak, dengan pembuluh darah
dalam otak pecah dan perdarahan pasien pingsan, pada keadaan berat dapat
berlangsung berhari-hari hingga berminggu-minggu. Terdapat amnesia
retrograde, amnesia pascatraumatik, dan terdapat kelainan neurologis,
tergantung pada daerah yang luka dan luasnya lesi:
Gangguan pada batang otak menimbulkan peningkatan tekanan intracranial
yang dapat menyebabkan kematian.
Gangguan pada diensefalon, pernafasan baik atau bersifat Cheyne-Stokes,
pupil mengecil, reaksi cahaya baik, mungkin terjadi rigiditas dekortikal
(kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam
sikap fleksi)
Gangguan pada mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun
hingga koma, pernafasan hiperventilasi, pupil melebar, refleks cahaya tidak
ada, gerakan mata diskonjugat (tidak teratur), regiditasdesebrasi (tungkai
dan lengan kaku dalam sikap ekstensi).
2. Cedera Tembus
Cedera tembus, disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
B. Berdasarkan berat
Berdasarkan beratnya, cedera kepala dikelompokkan menjadi, yaitu:
1. Cedera Kepala Ringan (CKR)
Cedera Kepala Ringan (CKR), termasuk didalamnya Laseratio dan Commotio
Cerebri
Skor GCS 13-15
Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10 menit
Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan neurologis
C. Berdasarkan morfologi
Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi, yaitu:
1. Fraktur Tengkorak
a. Fraktur Cranii
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur
dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik bone
window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur
dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan
lebih rinci.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara
laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura.
Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa
benturan yang terjadi cukup berat.
Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut :
i. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
ii. Lokasi anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium/ Konveksitas (kubah/ atap tengkorak)
b. Basis Cranii (dasar tengkorak)
iii. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup
Fraktur basis kranii dapat dilakukan tanpa diikuti kehilangan kesadaran, kecuali memang
diserta adanya komosio ataupun kontusio serebri. Gejala tergantung letak frakturnya.
III. Penatalaksanaan
Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui subkutan membuat luka mudah
dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan benda asing dan
miminimalkan masuknya infeksi sebelum laserasi ditutup.
Penanganan emergensi sesuai dengan beratnya trauma kapitis (ringan, sedang, berat)
berdasarkan urutan:
a. Survei primer
Survei primer gunanya untuk menstabilkan kondisi pasien meliputi tindakan
seperti berikut, yaitu:
a. Menilai jalan nafas (airway): membersihkan jalan nafas dari debris dan
muntahan, lepaskan gigi palsu, mempertahankan tulang servikal segaris dengan
badan dengan memasang collar cervikal, memasang guedel atau mayo bila dapat
ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas, maka pasien harus di
intubasi.
b. Menilai pernafasan (breathing), menentukan apakah pasien bernafas
spontan/tidak. Jika tidak beri O2 melalui masker O2. Jika pasien bernafas spontan
selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks tensif,
hemopneumotoraks. Memasang oksimeter nadi untuk menjaga saturasi O2
minimum 95%. Jika jalan nafas pasien tidak terlindungi bahkan terancam atau
memperoleh O2 yg adekuat (Pa O2>95% dan Pa CO2<40% mmHg serta saturasi
O2 >95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahli
anestesi.
c. Menilai sirkulasi (circulation): otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi.
Menghentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Memperhatikan
adanya cedera intra abdomen atau dada mengukur dan mencatat frekuensi denyut
jantung dan tekanan darah pasang EKG. Memasang jalur intravena yg besar dan
memberikan larutan koloid sedangkan larutan kristaloid menimbulkan
eksaserbasi edema.
d. Menilai disability untuk mengetahui lateralisasi dan kondisi umum dengan
pemeriksaan cepat status umum dan neurologi.
b. Survei sekunder
Survei sekunder, meliputi pemeriksaan, dan tindakan lanjutan setelah kondisi
pasien stabil.
e. Laboratorium
Darah: Hb, leukosit, hitung jenis lekosit, trombosit, ureum,
kreatinin, gula darah sewaktu, analisa gas darah dan elektrolit
Urin: perdarahan (+/-)
f. Radiologi
a. Foto polos kepalaAP/lateral
b. CT scan kepala
c. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
g. Manajemen terapi
Siapkan untuk operasi pada pasien yang mempunyai indikasi
Siapkan untuk masuk ruang rawat
Penanganan luka luka
Pemberian obat obatan sesuai kebutuhan
c. Penatalaksanaan Khusus
1. Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat
dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila
memenuhi kriteria berikut:
- Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya
berjalan) dalam batas normal
- Foto servikal jelas normal
- Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam
pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika
timbul gejala perburukan
Kriteria perawatan di rumah sakit:
- Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan
- Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
- Adanya tanda atau gejala neurologis fokal
- Intoksikasi obat atau alkohol
- Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
- Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah.
2. Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak),
dengan skala korna Glasgow 15 dan CT Scan normal, tidak pertu dirawat. Pasien
ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala,
mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbuInya lesi intrakranial lanjut
yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
3. Cedera kepala berat: Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan
segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf
segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera
dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera
kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif.
- Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi
- Monitor tekanan darah
- Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS
< 8, bila memungkinkan.
- Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan
Ringer laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air
bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W)
dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
- Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan
katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
- Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati
secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin.
- Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari
intravena. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan
setelah 7- 10 hari. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan
pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan risiko infeksi,
hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu, Steroid hanya dipakai sebagai
pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg
intravena sebap 4-6 jam selama 48-72 jam).
- Profflaksis trombosis vena dalam
- Profilaksis ulkus peptik
- Antibiotik masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi risiko
meningitis pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan
serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan risiko infeksi
dengan organisme yang lebih virulen.
CT Scan lanjutan
Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh kondisi
klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum
digunakan panduan sebagai berikut, yaitu:
1. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih
dari 20 cc di daerah infratentorial
2. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan
tanda fokal neurologis semakin berat
3. Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
4. Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
5. Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg
6. Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
7. Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
8. Terjadi kompresi atau obliterasi sisterna basalis
IV. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada cedera kepala berat :
V. Prognosis
Lebih kurang 80% penderita yang datang ke rung gawat darurat dengan cedera
kepala ringan, sebagian besar penderita sembuh dengan baik.
Sekitar 10% penderita dengan cedera kepala sedang, masih dapat mengikuti perintah
sederhana tetapi sering kali bingung dan somnolen, mungkin ada defisit neurologis
fokal seperti hemiparesis. Sekitar 10-20% di antaranya menurun dan koma. Bila gejala
neurologis membaik dan atau CT-scan.
Scan ulangan tidak memperlihatkan lesi massa yang memerlukan operasi, penderita
mungkin dapat dipulangkan dalam beberapa hari kemudian.
Penderita yang tergolong dalam cedera kepala berat, tidak dapat mengikuti perintah yang
sederhana, walaupun sudah dilakukan resusitasi kardiopulmoner. Semua penderita
mempunyai resiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi