Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN PERITONITIS

DAN ASUHAN KEPERAWATAN Tn.T

DI RSUD dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Oleh:

CLARA DESTANIA KE

NIM. 16143149011007

STIKES MAHARANI MALANG

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

TAHUN 2016
HALAMAN PERSETUJUAN

LAPORAN PENDAHULUAN PERITONITIS


DAN ASUHAN KEPERAWATAN Tn.T

DI RSUD dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Oleh:

CLARA DESTANIA KE

NIM. 16143149011007

Menyetujui:

Pembimbing Institusi Pembimbing Lahan

(..............................................) (..............................................)
LAPORAN PENDAHULUAN PERITONITIS

A. Pengertian
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum-lapisan membran mukosa serosa ronga
abdomen dan meliputi viresela. Biasanya akibat dari infeksi bakteri. Organisme berasal
dari penyakit saluran gastrointestinal atau pada wanita dari organ reproduktif internal.
Klasifikasi:
1. Peritonitis primer
Terjadi umumnya pada anak-anak dengan syndrome nefritis atau sirosis hati lebih
banyak terdapat pada anak-anak perempuan daripada laki-laki. Peritonitis terjadi
tanpa adanya sumber infeksi di rongga peritoneum melalui aliran darah atau pada
pasien perempuan melalui saluran genital.
2. Peritonitis sekunder
Peritonitis terjadi apabila kuman masuk ke rongga peritoneum dalam jumlah yang
cukup banyak. Biasanya ddari lumen saluran cerna. Peritonium sekunder ini bisa juga
karena masuknya bakteri melalui saluran getah bening diagfragma. Tetapi apabila
banyak kuman masuk secara terus-menerus akan terjadi peritonitis. Apabila ada
rangsangan kimiawi karena masuknya asam lambun, makanan, tinja, Hb, dan jaringan
nekrotik atau bila imunitas menurun biasanya terdapat campuran jenis kuman yang
menyebabkan peritonitis. Seringnya adalah kuman-kuman aerob dan an aerob.
Peritonitis juga sering terjadi apabila ada sumber intra peritoneal seperti appendiksitis,
diverticulitis, salpingitis, kolesitits, pangkreatitis, dan lain sebagainya.
Trauma bisa menyebabkan perforasi dan akhirnya menyebabkan peritonitis.
Penyebab perforasi/ yang menyebabkan rupture pada saluran cerna adalah perforasi
setelah endoskopi, katerisasi. Selain itu peritonitis bisa terjadi setelah perforasi
spontan pada tukak peptic atau pengganasan saluran cerna, tertelannya benda asing
yang tajam.
3. Peritonitis karena pemasangan benda asing ke dalam rongga peritoneum.
Yang menimbulkan peritonitis adalah:
a. Kateter ventrikulo peritoneal yang dipasang pada pengobatan hidrosefalus
b. Kateter peritoneal jugular untuk mengurangi asites
c. Continous ambulatory peritoneal dialysis.

B. Etiologi
1. Infeksi bakteri
a. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
b. Apendisitis yang meradang dan perforasi
c. Tukak peptik (lambung/ duodenum)
d. Tukak thypoid
e. Tukak disentri amuba/ colitis
f. Tukak pada tumor
g. Salpingitis
h. Divertikulis
Kuman yang paling hemolitik, stapilokokus aureus, dan yang sering adalah bakteri
colli, streptokokus enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii.
2. Secara langsung dari luar
a. Operasi yang tidak steril
b. Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamide, terjadi peritonitis
yang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda
asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
c. Trauma pada kecelakaan seperti rupture limpa, rupture hati.
d. Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula
peritonitis granulomatosa.
3. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran
pernafasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama
adalah streptokokus atau pneumokokus.
4. Infeksi pada abdomen dikelompokkan menjadi peritonitis infeksi (umum) dan abses
abdomen (lokal infeksi peritonitis relative sulit ditegakkan dan sangat bergantung
pada penyakit yang mendasarinya. Penyebab peritonitis ialah spontaneous bacterial
peritonitis (SBP) akibat penyakit hati yang kronik. SBP terjadi bukan karena infeksi
intra abdomen, tetapi biasanya terjadi pada pasien yang asites terjadi kontaminasi
hingga ke rongga peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri menuju dinding
perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika
terjadi bakterimia dan penyebab penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar
protein cairan asites, semakin tinggi resiko terjadinya peritonitis dan abses. Ini terjadi
karena ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul. Komponen asites pathogen yang
sering menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E. coli 40%, klebsiela
pneumonia 7%, spesies pseudomonas, proteus, dan gram lainnya 20% dan gram
positif yaitu streptokokus pneumonia 15%, jenis streptokokus lain 15% dan golongan
staphylokokus 3%. Selain itu juga terdapat anaerob dan infeksi campur bakteri.

C. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.
Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai
pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami
kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat
menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin,
dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan
selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi
dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut
menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu
terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ
tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen
usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk
jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan
adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di
cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen,
membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian
menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus,
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat
terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu
pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena
adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai
usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi
usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial,
pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi
iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi
usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi
peritonitis.
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S.
Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar.
Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan
mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi
ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum
pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu
yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan,
defans muskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di
epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi
lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang
mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul
mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh
asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut
menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang
fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan
peritoneum berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi
keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan
neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi
mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu
akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding
apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik
lokal maupun general.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen
dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang
berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ
berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi
feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi
terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera
sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah
seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu
untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena
perangsangan peritoneum.

D. Tanda dan gejala


Tanda dan gejala yang lazim muncul pada penderita peritonitis adalah:
Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau
pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, tatikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi.
Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu
sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi
penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang
karena iritasi peritoneum.
Manifestasi klinis:
1. Syok (neurogenik, hipovolemik, atau septic) terjadi beberapa penderita peritonitis
umum
2. Demam
3. Distensi abdomen
4. Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus, atrofi umum, tergantung pada
perluasan iritasi peritonitis
5. Nausea
6. Vomiting

E. Komplikasi

Komplikasi dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:

a. Komplikasi dini

1) Septikemia dan syok septic

2) Syok hipovolemik

3) Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi
system

4) Abses residual intraperitoneal

5) Portal Pyemia (misal abses hepar)


b. Komplikasi lanjut

1) Adhesi

2) Obstruksi intestinal rekuren

F. Pemeriksaan khusus dan penunjang


Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran klinis, pemeriksaan
laboratorium dan X-Ray

a. Gambaran klinis

Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan jenis
organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau umum.
Gambaran klinis yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu adanya nyeri
abdomen, demam, nyeri lepas tekan dan bising usus yang menurun atau menghilang.
Sedangkan gambaran klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu adanya nyeri
abdominal yang akut. Nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan pada penderita perforasi (misal
perforasi ulkus), nyerinya menjadi menyebar keseluruh bagian abdomen. Pada keadaan
lain (misal apendisitis), nyerinya mula-mula dikarenakan penyebab utamanya, dan
kemudian menyebar secara gradual dari fokus infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya
menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik,
dan neurogenik), demam, distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang
lokal, difus atau umum, dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang.
Gambaran klinis untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial.

Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis adanya


keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi abdominal; sedang
peritonitis granulomatosa menunjukkan gambaran klinis nyeri abdomen yang hebat,
demam dan adanya tanda-tanda peritonitis lain yang muncul 2 minggu pasca bedah. 5

b. Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit yang


meningkat dan asidosis metabolik.
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih
dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur.
Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma
tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan
didapat.

c. Pemeriksaan X-Ray

Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus dan usus
besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus perforasi.

Gambaran Radiologis

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan


dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto
polos abdomen 3 posisi, yaitu : (rasad)

1. Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior
( AP ).

2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP.

3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal,
proyeksi AP.

Gambaran radiologis pada peritonitis secara umum yaitu adanya kekaburan pada
cavum abdomen,preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas
subdiafragma atau intra peritoneal.

G. Terapi

1. Prinsip umum terapi:


Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang
dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran
cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik
(apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah
keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.

2. Resusitasi cairan

Resusitasi dengan larutan saline isotonik sangat penting. Pengembalian volume


intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan
mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus
dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.

3. Terapi antibiotika

Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat.


Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian diubah jenisnya
setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang
dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan
drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena
bakteremia akan berkembang selama operasi.

4. Laparotomi

Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan
jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis
terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan
untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari
saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus
dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.

5. Lavase peritoneum

Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan
larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak
terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik
(misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya
tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan
bakteria menyebar ketempat lain.

6. Tidak dianjurkan melakukan rrainase (pengaliran)

Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu
dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi
tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana
terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk
peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi
Daftar Pustaka

Herdman, Heather. Nanda International Nursing Diagnoses: Definition


Classification 2012-2014. United State of America: Sheridan Books,
Inc.

McCloskey, Joanne et al. 2008. Nursing Intervention Classification (NIC).


United State of America: Mosby

Moorhead, Sue et al. 2008. Nursing Outcome Clasification (NOC). United


State of America: Mosby

Seputar Kedokteran. 2013. Penanganan Peritonitis. Diakses dari


http://medlinux.blogspot.com/2009/03/penanganan-peritonitis.html
pada tanggal 1 oktober 2016

Smeltzer, Suzanna. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.


Brunner&Suddart edisi 8

Anda mungkin juga menyukai