Anda di halaman 1dari 22

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Trigeminal Neuralgia terdiri dari dua kata yaitu trigeminal dan neuralgia.
Neuralgia berasal dari bahasa Yunani yaitu neuron dan algia (nyeri). Penyakit syaraf yang
ditandai oleh nyeri hebat paroksismal, singkat, unilateral pada satu atau lebih cabang nervus
(1,2)
trigeminus. Nervus Trigeminus adalah saraf kranial terbesar dan merupakan saraf otak
motorik dan sensorik. Serabut motoriknya mempersarafi muskulus maseter, temporalis,
pterigoideus internus dan eksternus, tensor timpani, omohioideus dan bagian anterior dari
muskulus digastrikus. Inti motoriknya terletak di pons. Serabut-serabut motoriknya bergabung
dengan serabut-serabut sensorik nervus trigeminus yang berasal dari ganglion Gasseri. Serabut-
serabut sensoriknya menghantarkan impuls nyeri, suhu, raba, dan perasaan proprioseptif.
Kawasannya ialah wajah, dan selaput lendir lidah dan rongga mulut serta gusi dan rongga
hidung. Impuls proprioseptif, terutama berasal dari otot-otot yang disarafi oleh cabang
mandibular, dihantarkan oleh serabut sensorik cabang mandibular sampai ke ganglion Gasseri.

Anatomi

Nervus trigeminus adalah syaraf kranial kelima yang punya tiga cabang yaitu
ophthalmik,maxilla dan mandibular mempunyai serabut sensorik pada ophthalmik dan maxilla
serta serabut motorik dan sensorik pada cabang mandibular. Inti motoriknya terletak di pons
yang mempersyarafi masseter , temporalis, pterigoideus internus et eksternus. Serabut motorik
(3,4,5)
bergabung dengan serabut sensorik nervus trigeminus yang berasal dari ganglion Gasseri.
Serabut sensorik menghantar impuls nyeri, suhu, raba dan perasaan proprio septif.

Trigeminal Neuralgia mempunyai lima tanda klinis utama : (2,3)

1. Nyeri paroksismal

2. Nyeri terbatas pada region nervus trigeminal .

3. Unilateral

4. Secara klinis pemeriksaan sensory normal.

5. Nyeri mungkin terprovokasi oleh sentuhan ringan di wajah .(trigger zone)


Nervus Trigeminus
Saraf trigeminal atau saraf kranial ke 5 memberi persarafan pada kulit wajah, konjungtiva
dan kornea, mukosa dari hidung, sinus-sinus dan bagian froneuralgia trigeminalal dari rongga
mulut, juga sebagian besar dari duramater. Saraf ini keluar dari bagian lateral pons berupa akar
saraf motoris dan saraf sensoris.3,4

Akar saraf yang lebih kecil, yang disebut juga portio minor nervi trigemini, merupakan
akar saraf motoris. Berasal dari nukleus motoris dari saraf trigeminal dibatang otak terdiri dari
serabut-serabut motoris, terutama mensarafi otot-otot pengunyah. Akar-akar saraf sensoris ini
akan melalui ganglion trigeminal (ganglion gasseri) dan dari sini keluar tiga cabang saraf tepi
yaitu cabang optalmikus, cabang maksilaris dan cabang mandibularis. Cabang pertama yaitu
saraf optalmikus berjalan melewati fissura orbitalis superior dan memberi persarafan sensorik
pada kulit kepala mulai dari fissura palpebralis sampai bregma (terutama dari saraf frontal ) dan
suatu cabang yang lebih kecil ke bagian atas dan medial dari dorsum nasi. Konjungtiva, kornea
dan iris, mukosa dari sinus frontal dan sebagian dari hidung, juga sebagian dari duramater dan
pia-arakhnoid juga disarafi oleh serabut, saraf sensoris dari saraf ophtalmikus. Cabang kedua,
yaitu saraf maksilaris memasuki fossa pterygopalatina melalui foramen maksilaris superior
memberikan cabang saraf zygomatikus yang menuju ke orbita melewati fissura orbitalis inferior.
Batang utamanya yaitu saraf infra orbitalis menuju ke dasar orbita melewati fissura yang sama.
Sewaktu keluar dari foramen infra orbitalis, saraf ini terbagi menjadi beberapa cabang yang
menyebar di permukaan maksila bagian atas dari wajah bagian lateral dari hidung dan bibir
sebelah atas. Sebelum keluar dari foramen infra orbitalis, didapat beberapa cabang yang
mensarafi sinus maksilaris dan gigi-gigi molar dari rahang atas, ginggiva dan mukosa mulut yang
bersebelahan. Cabang yang ketiga, merupakan cabang yang terbesar yaitu saraf mandibularis.
Saraf ini keluar dari rongga kepala melalui foramen ovale dari os sphenoid, selain terdiri dari
akar-akar saraf motoris dari saraf trigeminal, juga membawa serabut-serabut sensoris
untukdaerah buccal, ke rahang bawah dan bagian depan dari lidah, gigi mandibularis, ginggiva.
Cabang aurikulo temporalis yang memisahkan diri sejak awal, mensarafi daearah didepan dan
diatas daun telinga maupun meatus akustikus eksternus dan membrana tympani. Serabutserabut
sensoris untuk duramater yang merupakan cabangcabang dari ketiga bagian saraf trigeminal
berperan dalam proyeksi rasa nyeri yang berasal dari intrakranial. Terdapat hubungan yang erat
dari saraf trigeminal dengan saraf otonomik/simpatis, dimana ganglia siliaris berhubungan
dengan saraf ophtalmikus, ganglion pterygopalatina dengan saraf maksilaris sedangkan ganglion
optikus dan submaksilaris berhubungan dengan cabang mandibularis.2

Patofisiologi. (2, 5)

Sampai saat ini patofisiologi dan etiologi belum ada penjelasan yang pasti. Ada dua pendapat
mengatakan gangguan mekanisme perifer sebagai penyebab trigeminal neuralgia dan kedua
mengatakan gangguan mekanisme sentral. Gangguan saraf tepi sebagai penyebab trigeminal
neuralgia dengan klinis sebagai berikut :
1. Ditemukannya peregangan atau kompresi nervus V.

2. Ditemukannya malformasi vaskular pada beberapa penderita trigeminal neuralgia.

3. Adanya tumor dengan pertumbuhan yang lambat.

4. Adanya proses inflamasi pada N.V.

Gangguan saraf sentral sebagai penyebab trigeminal neuralgia dengan klinis sebagai berikut :

1. Adanya periode laten yang dapat diukur antara waktu stimulus terhadap trigger point dan onset
trigeminal neuralgia.

2. Serangan tak dapat dihentikan apabila sudah berlangsung.

3. Setiap serangan selalu diikuti oleh periode refrakter dan selama periode ini pemicu apapun
tidak dapat menimbulkan serangan.

4. Serangan seringkali dipicu oleh stimulus ringan yang pada orang normal tidak menimbulkan
gejala nyeri.

5. Nyeri yang menyebar keluar daerah yang diberi stimulus.

Kriteria diagnostik. (5, 6)

A. Seranganserangan paroxysmal pada wajah atau nyeri di frontal yang berlangsung beberapa
detik tidak sampai 2 menit.

B. Nyeri setidaknya bercirikan 4 sifat berikut:

1. Menyebar sepanjang satu atau lebih cabang N trigeminus, tersering pada cabang mandibularis
atau maksilaris.

2. Onset dan terminasinya terjadi tiba-tiba, kuat, tajam, superficial, serasa menikam atau
membakar.

3. Intensitas nyeri hebat, biasanya unilateral, lebih sering disisi kanan.


4. Nyeri dapat timbul spontan atau dipicu oleh aktifitas sehari seperti makan, mencukur,
bercakap cakap, mambasuh wajah atau menggosok gigi, area picu dapat ipsilateral atau
kontralateral.

5. Diantara serangan, tidak ada gejala sama sekali.

C. Tidak ada kelainan neurologis.

D. Serangan bersifat stereotipik.

E. Tersingkirnya kasus-kasus nyeri wajah lainnya melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,


pemeriksaan khusus bila diperlukan.

Stimulasi atau perangsangan pada wajah, bibir, atau gusi seperti berbicara, makan

(mengunyah), bercukur, sikat gigi, sentuhan atau bahkan aliran angin dapat menimbulkan

neuralgia trigeminal dengan sifatnyeri seperti teriris atau tersengat listrik. Trigger zone dapat

berukuran beberapa milimeter persegi, atau besar dan diffus. Nyeri umumnya dimulai dari

zona trigger namun bisa juga di tempat lain. Sekitar 17% pasien mengalami nyeri tumpul

selama beberapa hari sebelum onset nyeri paroksismal dikenal sebagai pretrigemnal

neuralgia.1

Tidak ada tes spesifik terhadap neuralgia trigeminal. Studi pencitraan seperti

computed tomography(CT) scans ataumagnetic resonance imaging (MRI) dapat membantu

menegakkan diagnosis dengan mengeliminasi penyebab lain timbulnya nyeri. High-

definition MRI angiography dari nervus trigeminal dan batang otak dapat menyemukan

kompresi nervus trigeminal oleh arteri atau vena.Praktisi juga dapat menegakkan diagnosis

dengan pemberian Carbamazepine untuk melihat apakah nyerinya menghilang. Jika

menghilang, maka hal tersebut menjadi bukti positif untuk menegakkan diagnosis neuralgia

trigeminal.1
Differensial Diagnosa

Specific facial pains

Aspecific facial pains

Temperomandibular arthrose

Deviation teeth

Vascular migraine Managemen trigeminal neuralgia (1, 2, 3, 4, 5, 7)

a. Therapy Farmakologik.
Peneliti-peneliti dalam bidang nyeri neuropatik telah mengembangkan beberapa
pedoman terapi farmakologik. Disarankan therapy trigeminal neuralgia dengan
carbamazepin (200-1200mg sehari). Oxcarbazepin (600-1800mg sehari) sebagai terapi
lini pertama. Sedangkan terapai lini kedua adalah baclofen dan lamotrigin. Trigeminal
neuralgia sering mengalami remisi sehingga pasien dinasehatkan untuk mengatur dosis
obat sesuai dengan frekuensi serangannya. Studi open label telah melaporkan manfaat
terapi obat-obatan anti epilepsi yang lain seperti clonazepam, gabapentin, phenytoin dan
valproat. Therapy lini ketiga adalah lamotrigin dan baclofen. Pregabalin yang telah
terbukti efektif dalam terapi nyeri neuropatik mungkin juga bermanfaat pada terapi
trigeminal neuralgia.
b. Therapy minimal invasif dan surgery.
Therapy farmakologik umumnya efektif akan tetapi ada juga pasien yang tidak
bereaksi atau timbul efek samping yang tidak diinginkan maka diperlukan therapy
pembedahan. Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah prosedur ganglion gasseri,
terapi gamma knife dan dekompresi mikrovaskuler. Pada prosedur perifer dilakukan blok
pada trigeminus nervus bagian disatal ganglion gasseri yaitu dengan suntikan
streptomisin, lidokain, alkohol. Prosedur pada ganglion gasseri ialah rhizotomi melalui
foramen ovale dengan radiofrekwensi termoregulasi, suntikan gliserol atau kompresi
dengan balon ke dalam kavum Meckel. Therapy gamma knife merupakan therapy radiasi
yang difokuskan pada radiks trigeminus nervus di fossa posterior. Dekompresi
mikrovaskuler adalah kraniotomi sampai trigeminus nervus difossa posterior dengan
tujuan memisahkan pembuluh darah yang menekan trigeminus nervus.
Klasifikasi
Menurut klasifikasi IHS ( International Headache Society ) membedakan NT klasik

dan NT simptomatik. Termasuk NT klasik adalah semua kasus yang etiologinya belum

diketahui ( idiopatik ) Sedangkan NT simptomatik dapat akibat tumor, multipel sklerosis atau

kelainan di basis kranii. Sebagai indikator NT simptomatik adalah defisit sensorik n.

Trigeminus, terlibatnya nervus trigeminus bilateral atau kelainan refleks trigeminus. Tidak

dijumpai hubungan antara NT simptomatik dengan terlibatnya nervus trigeminus cabang

pertama, usia muda atau kegagalan terapi farmakologik.2


Perbedaan neuralgia trigeminus idiopatik dan simptomatik.

Neuralgia Trigeminus Idiopatik.

1. Nyeri bersifat paroxysmal dan terasa diwilayah sensorik cabang maksilaris, sensorik

cabang maksilaris dan atau mandibularis.

2. Timbulnya serangan bisa berlangsung 30 menit yang berikutnya menyusul antara

beberapa detik sampai menit.

3. Nyeri merupakan gejala tunggal dan utama.

4. Penderita berusia lebih dari 45 tahun, wanita lebih sering mengidap dibanding laki-laki.2,4

Neuralgia Trigeminus simptomatik.

1. Nyeri berlangsung terus menerus dan terasa dikawasan cabang optalmikus atau nervus

infra orbitalis.

2. Nyeri timbul terus menerus dengan puncak nyeri lalu hilang timbul kembali.

3. Disamping nyeri terdapat juga anethesia/hipestesia atau kelumpuhan saraf kranial, berupa

gangguan autonom ( Horner syndrom ).

4. Tidak memperlihatkan kecendrungan pada wanita atau pria dan tidak terbatas pada

golongan usia.2,4
RADIO FREQUENSI (3, 4)

Radiofrequensi pertama kali digunakan tahun 1931 ketika Krischner menggunakannya


untuk thermocoagulation pada kasus trigeminal neuralgia pada ganglion gasseri.

Arus tegangan tinggi yang dihasilkan oleh radiofrequensi melalui sebuah generator
dengan sebuah elektoda yang dihubungkan lewat grounding pad pada jaringan tubuh sehingga
terbentuk sistim sirkuit yang lengkap. Perbedaan diantara elektoda dan elekroda penerima
(receptive electroda) adalah perbedaan tegangan. Medan elektromagnetik disekitar ujung
elektoda menyebabkan jaringan disekitarnya menjadi panas dan terbentuk lesi jika temperatur
didalam jaringan neuron melebihi 40 C. Selanjutnya elektoda menyerap panas dan mencapai
keseimbangan membutuhkan waktu antara 30 sampai 60 detik. Temperatur yang dimonitor pada
elektroda adalah temperatur yang paling tinggi.

Ukuran dari elektrode, lama waktu radio frequensi temperatur yang dihasilkan
konfigurasi lesi dan karasteristik jaringan setempat menentukan ukuran lesi. Pada jaringan yang
kaya pembuluh darah keseimbangan temperatur yang dicapai membutuhkan waktu yang lebih
lama karena pembuluh darah sifatnya cenderung mentidakstabilkan keseimbangan ini,
dikarenakan panas yang dihasilkan banyak yang terlepas. Metoda yang paling tepat untuk
mengontrol ukuran lesi tersebut dengan mempertahankan temperatur ujung elektrode selama 1
sampai 2 menit. Ukuran lesi juga tergantung pada diameter elektroda dan panjang dari ujung
elekrode yang aktif (nonisulated). Cosman dan kawan kawan pada tahun 1984 pertama kali
mengenalkan ujung elektrode aktif yang dipanasi pada suhu 75 C, ukuran lesi bertambah
sekitar 20% setelah diinduksi selama 30 detik. Setelah dipanaskan selama 60 detik ukuran dari
lesi tidak bertambah lagi.

Bogduk dan rekan melaporkan dalam penelitiannya, lesi pada radiofrequensi tidak
menyebar ke arah distal dari elektrode melainkan ke arah radial disekitar ujung elektrode yang
aktif, dalam bentuk oblong spheroid dengan radius maksimum 2 mm, menggunakan elektrode
ukuran 21 gauge (G) dengan ujung aktifnya sepanjang 3 mm. Peneliti lainya telah menyimpulkan
bahwa ukuran lesi tidak bertambah bermakna setelah 20 detik ketika lamanya waktu membuat
lesi berbeda dengan menggunakan temperatur yang sama. lesi yang dihasilkan berbentuk oval
dan sejajar dengan jarum yang biasanya tidak melebihi dari ujung jarumnya, jadi idealnya jarum
sejajar dengan target sarafnya, lengkungan 15 mungkin akan lebih baik dalam mencapai target
saraf tersebut.

Setelah terjadi lesi diikuti dengan terbentuknya scar di jaringan lesi tersebut; pertama
terjadi koagulasi, diikuti reaksi inflamasi akut, nekrosis dan penumpukan kolagen. Proses
tersebut membutuhkan waktu sekitar 3 minggu. Lamina basalis seringkali terlindungi dan
memungkinkan untuk terjadinya regenerasi saraf .

Sudah menjadi wacana yang luas kalau radiofrequensi ablasi bekerja selektif pada serabut
saraf C dan A, sementara itu serabut saraf yang bermyelin serabut A dan AB masih tetap
intake, meskipun ini masih perdebatan dan ada juga yang ditolak pada penelitian penelitian
histological. Telah dinyatakan bahwa yang mempengaruhi mekanisme proses nyeri pada dorsal
root ganglion, dorsal horn dan level molekular melalui perubahan ekspresi gene pada neuron-
neuron yang memproses nyeri adalah medan listrik (electric field) bukan temperatur yang
dihasilkan oleh radio frequensi.

Pengelompokan Radiofrequensi (4)

Metoda radiofrequensi yang digunakan didalam manajemen nyeri saat ini dapat
dikelompokan melalui karasteristik masing masing berdasarkan bentuk physical dan
pertimbangan klinis :

1. Waveform / Set Temperature


Thermal radiofrequency (TRF) : temperatur jaringan dipertahankan lebih dari
42 C. Continuos radiofrequency (CRF) bentuk gelombang dan temperatur
jaringan biasanya berkisar antara 70-90 C. Tujuan klinis adalah ablasi saraf
dengan panas. Yang termasuk dalam katagori ini salah satunya adalah metoda "
cooled RF " dimana elektroda didalamnya terjadi pendinginan, tapi
menyebabkan neurolitik dengan menginduksi temperatur jaringan.
Pulsed radiofrequency (PRF) : temperatur jaringan dipertahankan rata-rata
dibawah 42 C. Arus yang dialirkan berupa ledakan yang mempunyai intensitas
tinggi dan pendek, sehingga kekuatan medan listriknya ditingkatkan tanpa
terbentunya panas. Tujuan secara klinis adalah modifikasi neural melalui medan
listrik dan suhu (Cosman and Cosman, 2005), tapi mekanisme dalam
menurunkan nyeri sampai saat ini masih dalam penelitian ilmiah.
2. Electode Polarity
Monopolar RF : Arus listrik lewat diantara jarum elektoda dan area disekitar
ground pad. Intensitas arus radiofrequensi paling tinggi didekat ujung jarum
elektrode yang aktif (uninsulated). Pada termal RF yang monopolar dibuat lesi
panas berbentuk ellips. gambar
Bipolar RF : arus listrik lewat diantara dua ujung jarum elektoda dan kekuatan
arus sangat tinggi pada kedua lokasi tersebut. olek karenanya bipolar thermal
RF lmenghasilkan lesi yang ditimbulkan oleh panas dekat kedua ujung
elektroda. Ketika jarum jarum elektroda didekatkan secara paralel maka medan
listrik yang dibentuk difokuskan diantara kedua ujung jarum tersebut dan
terbentuklah lesi berukuran lebih besar.

Monopolar thermal RF adalah yang paling sering dan merupakan dasar dari therapy
menggunakan radiofrequensi telah sering digunakan secara luas untuk pain management dan
neurosurgery sejak generator radiofrequensi pertama kali dibuat oleh B.J. Cosman, S. Aranow,
dan O.A Wyss pada awal tahun 1950 an. Pada tahun 1990 an monopolar Pulsed Radiofrquency
(PRF) telah diperkenalkan oleh Sluijter, Cosman, Rittman, dan Van Kleef (1998) dan digunakan
saat konvensional Thermal RF kontraindikasi digunakan untuk seperti neuropathic pain atau
berpotensi menyebabkan bahaya seperti lesi pada dorsal root ganglion. Bipolar Thermal RF telah
digunakan untuk pain management pada akhir dekade ini (Ferate at al, 2001; Burnham et al,
2007) tapi hanya yang terakhir ini yang bisa menghasilkan ukuran lesi lebih besar dan telah
diterima penggunaannya (Cosman dan Gonzales, 2011). RuizLopes tahun 2008 telah menjadi
pioner dan melaporkan penggunaan bipolar PRF khususnya pada penanganan nyeri carpal tunnel
syndrome.

Cosman dan Gonzales berpendapat dengan pengalaman klinisnya, ada beberapa aturan
dasar yang seharusnya diketahui saat menggunakan radiofrequensi yang dapat menimbulkan lesi.
Thermal RF seharusnya hanya digunakan untuk mengobati nyeri nosiseptif. Radiofrequensi
seharusnya tidak digunakan pada pasien yang memiliki beban psikologi yang berat dan
ketergantungan obat. Radiofrequensi juga seharusnya tidak digunakan pada pasien yang
mengalami nyeri diseluruh tubuh. Kita sebagai dokter seharusnya bisa menyakinkan kepada
pasien agar memilki harapan yang realistik karena untuk menghilangkan nyeri total adalah
sesuatu yang mustahil. Kita seharusnya mencari semua alternatif tindakan lainnya yang
nondestructive dan mencapai kemanfaatan yang jelas dengan menggunakan prognostic blocks.

Aplikasi radiofrequensi untuk trigeminal neuralgia (7)

Van Zundert et al mempunyai kasus berseri kecil sekitar lima pasien dengan idiopathic
trigeminal neuralgia yang telah ditherapy dengan PRF. Rata rata semua pasien di follow up
selama 19.2 bulan, dan dilaporkan sebanyak tiga pasien hasilnya sangat baik dan efek terapi
lama, efek yang sebagian sebanyak satu pasien, dan satu pasien memiliki efek therapy yang
singkat. Erdin et al melakukan penelitian acak (RCT), prospektif dan dibandingkan langsung
antara PRF dengan RF konvensional untuk gasserian ganglion. Penelitian yang dilakukan
melibatkan 40 pasien dengan diagnosa idiopatic trigeminal neuralgia. Pada grup RF
konvensional rata-rata nilai VAS pada bulan 0, 3, dan 6 adalah 1,0,5, dan 0,5. Sementara pada
grup PRF rata rata nilai VAS pada bulan 0 dan 3 adalah 8, dan hanya 2 pasien yang menurun
nyeri secara bermakna setelah 3 bulan. Semua pasien di dalam grup PRF mengalami nyeri
intractable pada 3 bulan pertama, dan RF konvensional dilakukan untuk meringankan. Dalam
penelitian ini untuk kasus trigeminal neuralgia RF konvensional jauh lebih unggul dibandingkan
PRF.

Convensional versus Pulsed Radiofrequensi (4, 7)

Pada type convensional RF memprokduksi lesi panas bisa di tingkatkan sampai 85 C


Pada Pulsed RF medan listrik menghasilkan lesi Pada Pulsed RF temperatur tidak lebih 42 C.
Medan listrik menghasilkan beberapa pukulan di kapasitor serat nociceptive berdiameter kecil,
sehingga sinyal transmisi dihentikan. Pada convensional RF priode bebas nyeri 3-4 tahun Pada
Pulsed RF priode bebas nyeri 4-24 bulan.

Pengertian Nyeri

Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari pada sensasi tunggal yang disebabkan
oleh stimulus tertentu. Nyeri bersifat subjektif dan individual. Selain itu nyeri juga bersifat tidak
menyenangkan, sesuatu kekuatan yang mendominasi, dan bersifat tidak berkesudahan. Stimulus
nyeri dapat bersifat fisik dan/atau mental, dan kerusakan dapat terjadi pada jaringan aktual atau
pada fungsi ego seseorang. Nyeri melelahkan dan menuntut energi seseorang sehingga dapat
mengganggu hubungan personal dan mempengaruhi makna kehidupan. Nyeri tidak dapat diukur
secara objektif, seperti menggunakan sinar-X atau pemeriksaan darah. Walaupun tipe nyeri
tertentu menimbulkan gejala yang dapat diprediksi, sering kali perawat mengkaji nyeri dari kata-
kata, prilaku ataupun respons yang diberikan oleh klien.hanya klien yang tahu apakah terdapat
nyeri dan seperti apa nyeri tersebut. Untuk membantu seorang klien dalam upaya menghilangkan
nyeri maka perawat harus yakin dahulu bahwa nyeri itu memang ada.
Nyeri merupakan mekanisme fisiologis yang bertujuan untuk melindungi diri. Apabila
seseorang merasakan nyeri , maka prilakunya akan berubah. Misalnya, seseorang yang kakinya
terkilir pasti akan menghindari aktivitas mengangkat barang yang memberikan beban penuh pada
kakinya untuk mencegah cedera lebih lanjut. Nyeri merupakan tanda peringatan bahwa telah
terjadi kerusakan jaringan, yang harus menjadi pertimbangan utama keperawatan saat mengkaji
nyeri.
Nyeri mengarah pada ketidakmampuan. Seiring dengan peningkatan usia harapan hidup,
lebih banyak orang mengalami penyakit kronik degan nyeri yang merupakan gejala umum.8

Fisiologi Nyeri

Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku. Cara yang paling baik
untuk memahami pengalaman nyeri, akan membantu untuk menjelaskan tiga komponen fisiologi
yaitu, resepsi, persepsi dan reaksi.

1 Resepsi

Semua kerusakan selular, yang disebabkan oleh stimulus termal, mekanik,


kimiawi atau stimulus listrik menyebabkan pelepasan substansi yang menyebabkan nyeri.
Pemaparan terhadap panas atau dingin, tekanan, friksi, dan zat-zat kimia menyebabkan
pelepasan substansi, seperti histamine, bradikinin dan kalium, yang bergabung dengan
lokasi reseptor di nosiseptor untuk memulai transmisi neural, yang ikaitkan dengan nyeri.
Tidak semua jaringan terdiri dari reseptor yang mentransmisikan tanda nyeri.
Otak dan alveoli paru contohnya.apabila kombinasi dengan reseptor nyeri mencapai
ambang nyeri(tingkat intensitas stimulus minimum yang dibutuhkan untuk meningkatkan
suatu impuls saraf), kemudian terjadilah neuron nyeri.
Impuls saraf, yang dihasilkan oleh stimulus nyeri, menyebar disepanjang serabut
saraf perifer aferen. Dua tipe serabut saraf perifer mengonduksi stimulus nyeri: serabut
A-delta yang bermelienasi dan cepat dan serabut C yang tidak bermielinasi dan berukuran
sangat kecil serta lambat. Serabut A mengirim sensasi yang tajam, terlokalisasi, dan jelas
yang melokalisasi umber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut tersebut
menghantarkan komponen suatu cedera akut dengan segera. Serabut C menyampaikan
impuls yang terlokalisasi buruk, visceral dan terus-menerus. Misalnya, setelah menginjak
sebuah paku, seorang individu mula-mula akan merasakan suatu nyeri yang terlokalisasi
dan tajam, yang merupakan hasil transmisi serabut A. dalam beberapa detik, nyeri
menjadi lebih difus dan menyebar sampai seluruh kaki terasa sakit karena persarafan
serabut-C. serabut-C tetap terpapar pada bahan-bahan kimia, yang dilepaskan ketika sel
mengalami kerusakan.

2 Persepsi

Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri. Stimulus nyeri


ditransmisikan naik ke medulla spinalis ke thalamus dan otak tengah. Dari thalamus,
serabut mentransmisikan pesan nyeri ke berbagai area otak, termasuk korteks sensori dan
korteks asosiasi, lobus frontalis dan system limbic. Ada sel-sel di dalam system limbic
yang diyakini mengontrol emosi, khususnya untuk ansietas. Demnag demikian system
limbic berperan aktif dalam memproses reaksi emosi terhadap nyeri. Setalah transmisi
syaraf berakhir di dalam pusat otak yang lebih tinggi, maka individu akan
mempersepsikan sensasi saraf.

3 Reaksi

Reaksi terhadap nyeri merupakan respons fisiologis dan perilaku yang terjadi
setelah mempersepsikan nyeri.
a Respon Fisiologis

Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan
thalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon
stress. Stimulasi pada cabang simpatis pada system saraf otonom menghasilkan
respon fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus menerus, berat, atau dalam, dan
secara tipikal melibatkan organ-organ visceral, system saraf parasimpatis
menghasilkan suatu aksi. Respon fisiologis terhadap nyeri dapat sangat
membahayakan inividu. Kecuali pada kasus-kasus nyeri traumatic yang berat,
yang menyebabkan individu mengalami syok, kebanyakan individu mencapai
tingkat adaptasi, yaitu tanda fisik kembali normal. Dengan demikian, klien yang
mengalami nyeri tidak akan selalu memperlihatkan tanda-tanda fisik.

b Respon Perilaku

Pada saat nyeri dirasakan, pada saat itu juga dimulai suatu siklus, yang
apabila tidak diobati atau tidak dilakukan upaya untuk menghilangkannya, dapat
mengubah kualitas kehidupan individu secara bermakna. Sensasi nyeri terjadi
ketika merasakan nyeri. Individu bereaksi terhadap nyeri dengan cara yang
berbeda-beda. Toleransi individu terhadap nyeri merupakan titik yaitu terdapat
suatu ketidakinginan untuk menerima nyeri dengan tingkat keparahan yang lebih
tinggi dan durasi yang lebih lama. Toleransi bergantung pada sikap, motivasi, dan
nilai yang diyakini orang.
Gerakan tubuh yang khas an ekspresi wajah yang mengindikasikan nyeri
meliputi menggeretakkan gigi, memegang bagian tubuh yang terasa nyeri, postur
tubuh membengkok, dan ekspresi wajah yang menyeringai.8

Klasifikasi Nyeri

1 Menurut Tempat
a Periferal Pain
1 Superfisial Pain (Nyeri Permukaan)
2 Deep Pain (Nyeri Dalam)
3 Reffered Pain (Nyeri Alihan) ; nyeri yang dirasakan pada area yang bukan
merupakan sumber nyerinya.
b Central Pain
Terjadi karena perangsangan pada susunan saraf pusat, spinal cord, batang otak
dll.
c Psychogenic Pain
Nyeri dirasakan tanpa penyebab organik, tetapi akibat dari trauma psikologis.
d Phantom Pain
Phantom Pain merupakan perasaan pada bagian tubuh yang sudah tak ada lagi,
contohnya pada amputasi. Phantom pain timbul akibat dari stimulasi dendrit yang
berat dibandingkan dengan stimulasi reseptor biasanya. Oleh karena itu, orang
tersebut akan merasa nyeri pada area yang telah diangkat.
e Radiating Pain
Nyeri yang dirasakan pada sumbernya yang meluas ke jaringan sekitar.

2 Menurut Sifat
a Insidentil : timbul sewaktu-waktu dan kemudian menghilang
b Steady : nyeri timbul menetap dan dirasakan dalam waktu yang lama
c Paroxysmal : nyeri dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali dan biasanya
menetap10 15 menit, lalu menghilang dan kemudian timbul kembali.
d Intractable Pain : nyeri yang resisten dengan diobati atau dikurangi. Contoh pada
arthritis, pemberian analgetik narkotik merupakan kontraindikasi akibat dari lamanya
penyakit yang dapat mengakibatkan kecanduan.

3 Menurut Berat Ringannya


a Nyeri ringan : dalam intensitas rendah
b Nyeri sedang : menimbulkan suatu reaksi fisiologis dan psikologis
c Nyeri Berat : dalam intensitas tinggi

4 Menurut Waktu Serangan


Terdapat beberapa cara untuk mengklasifikasikan tipe nyeri. Pada tahun 1986,
The National Institutes of Health Concencus Conference of Pain mengkategorikan nyeri
menurut penyebabnya. Partisipan dari konferensi tersebut mengidentifikasi 3 (tiga) tipe
dari nyeri : akut, Kronik Malignan dan Kronik Nonmalignan.
Nyeri akut timbul akibat dari cedera akut, penyakit atau pembedahan. Nyeri
Kronik Nonmalignan diasosiasikan dengan cedera jaringan yang tidak progresif atau yang
menyembuh. Nyeri yang berhubungan dengan kanker atau penyakit progresif disebut
Chronic Malignant Pain. Meskipun demikian, perawat biasanya berpegangan terhadap
dua tipe nyeri dalam prakteknya yaitu akut dan kronis.8

Faktor Yang Mempengaruhi Respon Nyeri

1 Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri
pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami
kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka
mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami
penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.

2 Jenis Kelamin

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam
merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas jika laki-laki mengeluh
nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri)

3 Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri.
(ex: suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena
mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri)

4 Makna nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan


bagaimana mengatasinya.

5 Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi
persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang
meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik
relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.

6 Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang
cemas.

7 Pengalaman Masa Lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang
sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang
mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.

8 Pola Koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola
koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.

9 Dukungan Keluarga Dan Sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau
teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan dan perlindungan.

Patofisiologi Nyeri

Antara stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses
tersendiri yaitu: transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.
Transduksi nyeri adalah proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan
aktivitas listrik di reseptor nyeri. Transmisi nyeri melibatkan proses penyaluran impuls nyeri dari
tempat transduksi melewati saraf perifer sampai ke terminal di medulla spinalis dan jaringan
neuron-neuron pemancar yang naik dari medulla spinalis ke otak. Modulasi nyeri melibatkan
aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desendens dari otak yang dapat mempengaruhi transmisi
nyeri setinggi medulla spinalis. Modulasi juga melibatkan faktor-faktor kimia yang menimbulkan
atau meningkatkan aktivitas di reseptor nyeri aferen primer. Akhirnya, persepsi nyeri adalah
pengalaman subjektif nyeri yang bagaimanapun juga dihasilkan oleh aktivitas transmisi nyeri
oleh saraf.
Ada tiga tingkatan tempat informasi saraf yang dapat dimodifikasi sebagai respon
terhadap nyeri yaitu luas dan durasi respon terhadap stimulus nyeri di sumbernya dapat
dimodifikasi, perubahan kimiawi dapat terjadi di dalam setiap neuron atau bahkan dapat
menyebabkan perubahan pada karakteristik anatomi neuron-neuron di sepanjang jalur
penghantar nyeri, dan pemanjangan stimulus dapat menyebabkan modulasi neurotransmitter yng
mengendalikan arus informasi dari neuron ke reseptornya
Fenomena nyeri timbul karena adanya kemampuan system saraf untuk mengubah
berbagai stimuli mekanik, kimia, termal, elektris menjadi potensial aksi yang dijalarkan ke
system saraf pusat.

Berdasarkan patofisiologinya nyeri terbagi dalam:

Nyeri nosiseptif atau nyeri inflamasi, yaitu nyeri yang timbul akibat adanya stimulus
mekanis terhadap nosiseptor.
Nyeri neuropatik, yaitu nyeri yang timbul akibat disfungsi primer pada system saraf
Nyeri idiopatik, nyeri di mana kelainan patologik tidak dapat ditemukan.
Nyeri psikologik

Berdasarkan factor penyebab rasa nyeri ada yang sering dipakai dalam istilah nyeri
osteoneuromuskuler, yaitu :

Nociceptor mechanism.
Nerve or root compression.
Trauma ( deafferentation pain ).
Inappropiate function in the control of muscle contraction.
Psychosomatic mechanism.
Apabila elektroterapi ditujukan untuk menghambat mekanisme aktivasi nosiseptor baik pada
tingkat perifer maupun tingkat supra spinal. TENS sebagai salah satu cara/upaya dalam aplikasi
elektroterapi terhadap nyeri.

Interpretasi Skala Nyeri

Interpretasi skala nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri
dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran
nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik
tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat
memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :

1 Skala intensitas nyeri deskriptif

2 Skala identitas nyeri numerik

3 Skala analog visual


Keterangan :

0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi
nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih
respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
Menurut Wong-Bakers :

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri
tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau
parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu
informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif.
Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri
dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang
garis. Pendeskripsi ini diranking dari tidak terasa nyeri sampai nyeri yang tidak tertahankan.
Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri
trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan
dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien
memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical
rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini,
klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat
mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala
untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu
garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada
setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan
nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka
(Potter, 2005).

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak
mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan
memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja
dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien.
Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai
apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).8

Tekhnik-tekhnik mengurangi nyeri :

a) Kompres hangat/dingin
b) Latihan nafas dalam
c) Musik
d) Aromatherapi
e) Reiki
f) Imajinasi terbimbing
g) Hipnosis
h) Relaksasi
DAFTAR PUSTAKA

1. Joshi, Muralidar, Pain Management, 2rd edition, 2009.


2. Benzon. Honorio T, Rathmell. James P, Rajs Paractical Management Of Pain, 4th
edition, 2008.
3. Charles A. Gauci, Manual of RF Techniques, 3rd edition, 2011
4. Steven D. Waldman, Pain Management, second edition, Elseiver Saunders copyright
2011.
5. Spencer C.J, Neubert J.K, Gremillion H, et al : Toothache or Trigeminal Neuralgia :
Treatment Dilemmas, The Journal of Pain, 2008 ; vol 9, 9 : 767 770.
6. Erdine S, Ozyalcin NS, Cimen A, et al. Comparison of pulsed radiofrequency with
conventional radifrequency in the treatment of idiopath ic trigeminal neuralgia. Eur J
Pain 2007; 11 (3) : 309-313
7. Wiffen PJ , Collins S, McQuay HJ caroll D, Jadad A, Moore RA. Anticonvulsant
drugs for acute and chornic pain. Cochrane database Syst Rev. 2010
8. Tamsuri, Anas. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC. 2007

Anda mungkin juga menyukai