Antonius Tarigan *)
Pengantar
Masalah kelestarian (atau lebih tepatnya, kerusakan) terumbu karang merupakan salah
satu masalah lingkungan yang serius. Hal itu minimal berkaitan dengan tiga hal pokok, yaitu
pertama, bahwa kualitas dan kuantitas ketersediaan terumbu karang sebagai salah satu
sumberdaya penting sangat terbatas. Kedua, terhadap sumberdaya yang terbatas itu diajukan
klaim publik, yaitu bahwa setiap orang memiliki akses yang sama untuk menggunakannya,
bahkan kalau perlu mengontrolnya (open access). Ketiga, karena adanya klaim publik maka
sumberdaya tersebut potensial menimbulkan masalah publik pula. Ketiga bayangan kelam
tersebut memeiliki similaritas dengan apa yang menginspirasi lahirnya hipotesis the tragedy
of the common (Hardin, 1986). Substansi utama hipotesis tersebut adalah sebuah peringatan
bahwa jika tidak terdapat kesepakatan publik, termasuk berbagai pembatasan dalam
mengelola sumberdaya alam, maka suatu ketika pasti akan terjadi malapetaka yang
dampaknya melanda semua anggota komunitas bersangkutan.
Skenario pertama dikenal sebagai skenario Hard Path. Skenario tersebut mengacu
pada penggunaan teknologi canggih untuk memecahkan berbagai persoalan lingkungan,
termasuk dalam pengelolaan terumbu karang yang berkelanjutan. Skenario ini cenderung
mengeksklusi kelompok masyarakat tertentu yang tidak memiliki akses teknologi serta
membuka ruang bagi dominasi aktor lainnya yang jumlahnya lebih terbatas. Kecenderungan
dominasi negara di satu sisi dan minimnya partisipasi masyarakat dalam upaya pelestarian
lingkungan di sisi lain dapat dijelaskan dengan merujuk pada skenario tersebut.
Skenario kedua, skenario Soft Path, yaitu suatu moda pengelolaan lingkungan
dengan menggunakan teknologi yang terdesentralisasi. Jenis teknologi ini biasanya kurang
canggih, luwes, mudah menyesuaikan diri, berkelanjutan dan tidak mengganngu lingkungan
atau hanya memberikan dampak minimal bagi lingkungannya (eco-sensitive). Skenario ini
mengakui adanya dan memperkenalkan peranan faktor-faktor penting di luar teknologi dalam
proses pengelolaan (masalah) lingkungan seperti matra sosial, budaya dan politik.
Poin terakhir ini dapat digunakan sebagai titik masuk untuk secara cermat melihat
kembali format kebijakan penanganan masalah kelestarian (atau kerusakan) terumbu karang
yang dijalankan selama ini. Perhatian utama akan diberikan pada sejauh mana kebijakan-
kebijakan tersebut telah memperhitungkan dan memanfaatkan berbagai nilai positif lokal,
yaitu pengetahuan dan institusi lokal, dalam upaya pelestarian lingkungan secara umum dan
pelestarian ekosistem terumbu karang secara khusus. Fokus itu mengantar kita untuk, mau
tidak mau, mengkaji secara mendalam 3 tema penting berikut, yaitu (1) bagaimana format
umum kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang selama ini, (2) sejauh mana format
tersebut sensitif (atau tidak sensitif) terhadap berbagai aspek kearifan lokal, dan (3)
bagaimana berbagai aspek lokalitas itu diberdayakan kembali dalam kerangka besar
pengelolaan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan.
Permasalahan
Akhir-akhir ini semakin banyak keluhan yang muncul berkaitan dengan kelestarian
ekosistem terumbu karang akibat moda pengelolaan sumberdaya alam yang tidak bertanggung
jawab. Hasil observasi Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI terhadap 324
tapak terumbu karang di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 43% terumbu karang rusak
atau bahkan dapat dianggap berada di ambang kepunahan, sedangkan yang masih baik hanya
sekitar 6,48% (Sukarno, 1995). Sementara itu, data tahun 1993 menunjukkan bahwa sekitar
14% terumbu karang diperkirakan dalam keadaan kritis, 46% mengalami kerusakan, sekitar
33% lainnnya dalam keadaan baik, dan hanya 7% yang berkondisi bagus (Kantor Meneg LH,
1997).
Jika dikaji lebih jauh maka diduga ada beberapa penyebab lain yang jauh lebih
mendasar yaitu (a) kurangnya kesadaran penduduk lokal dalam menjaga kelestarian ekosistem
terumbu karang; (b) kebijakan pemerintah yang belum menunjukkan perhatian optimal dalam
mempertahankan sistem alami dan kualitas lingkungan kawasan pesisir; (c) lemahnya
penegakan hukum terhadap perlindungan sumberdaya alam di kawasan pesisir, khususnya
ekosistem terumbu karang; dan (d) ketidakberdayaan penduduk lokal menghadapi tantangan
ekonomi yang demikian berat.
Ekosistem terumbu karang pada hakekatnya mempunyai sifat multi fungsi (Nybakken,
1992; Kantor KLH, 1992). Selain sebagai habitat berbagai jenis biota, ekosistem ini juga
berfungsi sebagai sumberdaya hayati, sumber keindahan dan pelindung fisik pulau. Sebagai
habitat, ekosistem terumbu karang merupakan tempat untuk tinggal, berlindung, mencari
makan dan berkembang biaknya biota, baik yang hidup di dalam terumbu karang maupun dari
perairan sekitarnya. Sebagai ekosistem dasar laut tropis, komunitas terumbu karang
didominasi oleh biota laut penghasil kapur, terutama karang batu (stony coral) dan algae
berkapur (calcareous algae). Dia mampu tumbuh secara pesat pada kedalaman rata-rata 2-
15 meter, dan cahaya merupakan faktor utama yang mempengaruhi distribusi vertikalnya
(Soewignyo, 1989; ).
Pentingnya peran dan fungsi ekosistem terumbu karang, sayangnya, belum diimbangi
dengan rasa tanggung jawab dalam upaya pengelolaannya. Salah satu di antaranya adalah
introduksi perangkat teknologi dalam bingkai semangat modernisasi di satu sisi dan
terabaikannya peran dan kontribusi masyarakat lokal dalam proses pengelolaan tersebut di sisi
lain. Bersamaan dengan itu terjadi pula marginalisasi berbagai varian pengetahuan lokal yang
dimiliki masyarakat setempat serta pranata sosial yang melingkunginya. Proses itu berjalan
dalam kerangka sistematis kebijakan nasional yang tidak saja terlalu berbau modernis dan
diwarnai dominasi negara tetapi juga ditandai oleh defisit partisipasi masyarakat lokal.
Sebagai contoh dapat dilihat pada proses reklamasi pantai yang secara paksa memindahkan
masyarakat setempat ke lokasi hunian baru yang sekaligus mencabut hubungan imanen
mereka dengan alam lingkungannya, dengan alasan untuk meningkatkan income daerah dalam
bentuk PAD, kegiatan-kegiatan objek wisata yang berkaitan dengan keindahan terumbu
karang, tanpa memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Disamping itu introduksi
berbagai pengetahuan modern seperti penggunaan bahan peledak (bom), bahan beracun, dan
teknik-teknik lainnya yang merusak dalam penangkapan ikan di kawasan terumbu karang
yang akhirnya membatasi keterlibatan langsung masyarakat lokal. Dalam iklim yang
demikian, sulit diharapkan (bahkan mustahil) bahwa upaya pelestarian ekosistem terumbu
karang akan dapat berjalan secara berkelanjutan.
Kondisi pertama terutama terjadi sepanjang dekade 1970 dan 1980-an. Pada masa itu,
pemerintah Orde Baru memiliki aliran modal pembangunan yang sangat besar dari dua
sumber utama, yaitu eksploitasi kekayaan alam yang ditopang sepenuhnya oleh investasi
asing dalam jumlah yang sangat besar. Jika awalnya eksploitasi kekayaan alam dipusatkan
pada pemanfaatan potensi hutan sebagai emas hijau, maka belakangan mulai ada upaya
untuk merambah kekayaan alam laut yang juga dikenal sebagai emas biru (Bailey, 1987).
Proses tersebut dijalankan dengan dukungan penuh kekuatan negara, dari berbagai kebijakan
normal, penegakan mekanisme korporatisme negara hingga introduksi perangkat-perangkat
koersif.
Sementara itu kondisi kedua ditandai oleh sebaran kekuatan masyarakat sipil dalam
berbagai kategori parokial sehingga gagal memberikan tekanan efektif terhadap negara
(Uhlin, 1995). Sebaliknya, dalam sebaran perbedaan yang sangat luas itu negara mampu
menunjukkan diri sebagai aktor yang semakin dominan di bawah label kepentingan nasional
dengan memanfaatkan kekuatan-kekuatan sosial politik sipil yang terpecah-pecah itu.
Kedua kondisi di atas memberikan dampak yang relatif sama, yaitu semakin tidak
berdayanya masyarakat sipil berhadapan dengan negara. Dalam bingkai institusional yang
demikian, semua produk kebijakan sangat sulit menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat.
Sebaliknya, pemerintah dapat dengan mudah membelokkan berbagai isu sektarian
kelompoknya menjadi isu publik. Dalam kondisi itu pula pemerintah dapat lebih
berkonsentrasi untuk untuk membangun sensi-sendi otonomi, kapasitas finansial, jangkauan
dan tingkat daya tanggap serta basis legitimasi yang kuat. Otonomi berkaitan dengan
kemampaun untuk bertindak secara independen dan mengkooptasi aktor-aktor yang potensial
menjadi penghambat kebijakan pemerintah; kapasitas finansial ditunjukkan oleh adanya aliran
dana dan pendapatan yang dapat mengimbangi (atau melebihi) tingkat permintaan (demand
side); jangkauan dan daya tanggap merupakan suatu tingkat sampai sejauh mana negara
berhasil meluaskan sayap ideologi, struktur sosial politik dan aparat administratif pada
seluruh lapisan masyarakat, serta respons struktur dan aparat tersebut terhadap kebutuhan dan
tuntutan masyarakat; sedangkan legitimasi berkaitan dengan kekuatan otoritas moral negara,
yaitu sampai sejauh mana tingkat penerimaan dan ketaatan warga masyarakat tanpa adanya
koersi atau insentif-insentif ekonomi lainnya (Barber, 2000).
Transformasi yang dijalankan itu nampaknya cukup berhasil. Hal itu ditunjukkan,
misalnya, oleh semakin kuatnya struktur birokrasi pemerintahan: pengaruhnya mencapai
hampir semua elemen masyarakat, aparat birokrasi kian loyal dan koheren, dan pemerintah
semakin mampu mengimplementasikan semua kebijakannya secara efektif.
Keberhasilan tersebut tidak serta merta menempatkan negara sebagai aktor monolitik
dalam struktur politik di Indonesia. Sebaliknya, sebagai respons terhadap pola kebijakan yang
eksploitatif sekaligus sebagai salah satu buah keberhasilan pembangunan, muncullah aktor
dan kelompok-kelompok di luar negara dengan ragam kepentingan yang sangat variatif.
Perkembangan tersebut mengedepankan tuntutan lain yang harus dipenuhi pemerintah, dan itu
berarti dibutuhkannya sumberdaya tambahan. Tetapi frustrasi dan kemarahan dalam kerangka
logika rising expectation semakin sulit dikendalikan sehingga letupan-letupan konflik dalam
berbagai skala dan implikasi mulai bermunculan. Dalam laporannya di Far Eastern Economic
Review yang berjudul Indonesia: Asias Smoldering Volcano?, seorang analis menyatakan
bahwa kondisi Indonesia saat ini jauh lebih matang dan siap bagi meletusnya konflik dan
kekerasan (McBeth, 1996: 20-22). Pemicunya tidak lain adalah karena ketidakmerataan
distribusi kemakmuran akibat ketimpangan akses. Singkatnya, those who lost access to
resources faced policy-induced scarcities, while those who obtained access gained new
wealth and power (Barber, 2000: 1).
Luasnya hegemoni negara terhadap masyarakat lokal dan kekayaan tradisional yang
dimilikinya tidak terlepas dari ideologi yang dianutnya. Pilihan ideologi yang state-centric
hanya menyisakan sedikit ruang partisipasi bagi warga masyarakat. Selanjutnya, hegemoni
ideologi tersebut diwujudkan dalam hegemoni pemaknaan atas pembangunan yang sedang
dijalankan. Pembangunan dilihat sebagai domain negara guna memperjuangkan kepentingan
nasional dan harus dijalankan dengan Pancasila sebagai dasarnya. Resistensi masyarakat
lokal terhadap inisiatif pembangunan akan dilihat sebagai simbol keterbelakangan dan
gangguan terhadap kepentingan nasional.
Akibat lanjut dari cara pandang semacam itu adalah terjadinya perampasan hak-hak
masyarakat lokal. Dalam konteks yang spesifik, terjadi delegitimasi hak masyarakat lokal atas
praktek manajemen sumberdaya lokal di sekitarnya. Delegitimasi itu dilembagakan dalam
berbagai peraturan yang dijalankan selama ini. Seperti sudah disebutkan sebelumnya,
pemerintah tidak dapat mentolerir masyarakat tradisional dan adat yang menghambat jalannya
pembangunan.
Jelas terlihat bahwa berbagai peraturan yang ditegakkan selama ini sangat berpihak
pada pemerintah dan klien-klien bisnisnya. Pola tersebut selanjutnya telah menciptakan
konflik berkepanjangan, baik antara masyarakat lokal versus pemerintah, masyarakat lokal
dengan para investor yang melakukan kegiatan usaha di wilayahnya, serta antar elit politik
sendiri. Misalnya konflik yang terjadi di Pulau Panggung (Sumatera Selatan), di Pulau
Yamdena (Maluku), di Bentian (Kalimantan Timur), Sugapa (Sumatera Utara), Benakat
(Sumatera Selatan) serta konflik di tubuh pemerintahan sebagai reaksi penyalahgunaan dana
reboisasi yang berbuntut pada dicabutnya SIUPP majalah Tempo beberapa tahun silam.
Minimnya peran masyarakat lokal sebagaimana terjadi selama ini sebenarnya sudah
terjadi sejak masa pemerintahan kolonial Belanda. Sejak itu terjadi politisasi praktek
pengelolaan sumberdaya alam yang ditandai oleh marginalisasi kepentingan masyarakat lokal
serta hegemoni kepentingan negara. Barber (1999) melihat bahwa sejak lama berbagai
sumberdaya alam telah dijadikan komoditas politik yang berfungsi menopang legitimasi
rezim penguasa. Semua persoalan di seputar pengelolaannya berhasil diredam dengan
berbagai perangkat koersif-korporatis negara sampai datangnya perubahan fundamental pada
pertengahan dekade 1990-an. Konflik horisontal maupun vertikal semakin tak terhindarkan
yang memaksa pemerintah menata kembali ideologi pembangunan yang digunakannya,
khususnya ideologi pengelolaan sumberdaya alam termasuk dalam pengelolaan ekosistem
terumbu karang dan segala potensinya. Reformasi menjadi kredo nasional dengan suatu titik
simpul bersama bahwa pengelolaan kekayaan alam harus juga melibatkan masyarakat lokal
karena kelompok ini tidak saja menjadi pemilik yang asli tetapi juga kelompok inilah yang
paling merasakan dampak negatif yang timbul sebagai akibat mismanajemen berbagai
kekayaan alam tersebut. Dalam konteks yang lebih spesifik, hal itu dapat dilakukan dengan
pemberdayaan masyarakat. Sasaran utamanya adalah meningkatkan daya atau kemampuan
mereka untuk dapat secara mandiri mengelola kekayaan alam. Basis pengelolaan tersebut
dapat ditemukenali, antara lain, di dalam berbagai pengetahuan dan institusi lokal.
Selama beberapa tahun terakhir ini, pengetahuan lokal dan pranata sosial/institusi
lokal semakin mendapatkan tempat dan perhatian dalam wacana pembangunan kontemporer.
Hal itu merupakan cerminan dari tidak memadainya berbagai varian modal pembangunan
yang digunakan selama ini di satu sisi serta adanya pengakuan akan beberapa kekuatan
inheren yang terdapat di dalam aspek-aspek lokal itu di sisi lain. Juga merefleksikan kritik dan
penolakan terhadap hegemoni pengetahuan modern yang sering dihubungkan dengan
pengetahuan barat atau saintifik. Upaya di atas sekaligus merupakan wujud perombakan
terhadap pandangan sebelumnya bahwa aspek-aspek lokal yang bersifat tradisional itu
merupakan hambatan serius bagi jalannya pembangunan (Agrawal, 1998: 14). Dalam alur
semangat pembangunan baru itu, pengetahuan lokal serta institusi yang mewadahinya
merupakan kontributor penting bagi keberhasilan pembangunan yang seimbang serta
pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan, dan oleh karenanya, perlu diangkat
kembali serta didayagunakan.
Mencuatnya kembali wacana pengetahuan lokal tidak dapat dilepaskan dari gejala
terlalu dominannya pengaruh pengetahuan yang diproduksi institusi-institusi pendidikan
tinggi di negara-negara maju. Jenis pengetahuan tersebut sering dilihat sebagai varietas
unggul yang melampui semua bentuk pengetahuan lain yang dinilai tradisional. Dengan
tipikal karakter yang demikian, pengetahuan-pengetahuan modern yang diadopsi secara
serampangan dalam pembangunan dan diterapkan secara generik tidak saja mengalami
loncatan normatif atau yang lebih dikenal sebagai ecological fallacy tetapi terutama
mereka tidak sensitif terhadap kaum marjinal yang umumnya menghuni negara-negara miskin
dan sedang berkembang (Agrawal, 1998: 19). Karenanya diperlukan upaya advokasi,
konservasi, proteksi, fasilitasi dan upaya-upaya semacamnya dengan fokus utama untuk
kembali meletakkan nilai-nilai lokal itu sebagai jantung manajemen pembangunan. Upaya-
upaya itu merupakan prakondisi awal bagi terjalinnya dialog dan kerjasama sehingga
pembangunan dapat menyentuh esensi terdalamnya, yaitu mengakomodasi aspirasi dan
kepentingan masyarakat. Dengan kata lain, terhadap berbagai persoalan lokal harus pula
ditemukan solusi lokal (Hess dalam Agrawal, 1998:38).
Selain pengetahuan lokal, aspek lain yang juga perlu diperhatikan adalah
pengembangan institusi lokal (local institutional building). Hal itu perlu diperhatikan minimal
dengan 2 alasan berikut. Pertama, pendekatan institusional merupakan pendekatan yang
dinilai cukup efektif dalam mengintroduksi suatu perubahan, termasuk dalam konteks
pembangunan masyarakat lokal. Sebagaimana diungkapkan Rubin dan Rubin (1986),
penetrasi institusional lewat pembentukan organisasi-organisasi masyarakat memiliki
beberapa keunggulan seperti : (1) lembaga atau organisasi adalah kekuatan (power). Dalam
sebuah kebersamaan, suatu aspirasi lebih mudah diperjuangkan karena organisasi adalah
wadah kolektif yang benar-benar mempresentasikan power secara lebih otoritatif; (2) lembaga
atau organisasi dapat memperkuat dan menjamin kontinuitas dan sustainabilitas; (3) lembaga
atau organisasi sangat membantu para anggotanya dengan mengumpulkan dan
mendistribusikan informasi dan pengetahuan yang menjadikan mereka semakin memahami
dan sadar tentang apa yang sedang mereka perjuangkan, serta menambah kapasitas mereka
untuk mewujudkan tujuannya; (4) Lembaga atau organisasi dapat merespons berbagai
perkembangan dan kompleksitas di sekitarnya secara lebih cepat dan efektif.
Alasan kedua akan pentingnya pengembangan institusi lokal adalah adanya realitas
kontradiktif dalam praktek pembangunan di tanah air yang sangat bertolak belakang dengan
berbagai preskripsi teoritis pendekatan institusional. Di luar berbagai keunggulan yang
inheren dalam institusi lokal, pemerintah Indonesia sejak lama justru menerapkan langkah-
langkah kebijakan homogenisasi. Dengan demikian, upaya pengembangan kelembgaan yang
dilakukan selama ini lebih merupakan upaya pemerintah memasukkan negara ke dalam
masyarakat daripada memasukkan masyarakat ke dalam mesin pembuatan keputusan negara
(Masoed, 1997). Oleh karenanya, lembaga-lembaga bentukan negara lebih
merepresentasikan kepentingan dan aspirasi pemerintah dan kliennya daripada kepentingan
riil masyarakat. Lebih buruk lagi, lembaga-lembaga tersebut menjadi perangkat patronase
negara dalam kerangka penegakan kerangka kerja korporatis negara. Dalam format yang
demikian, kepentingan dan aspirasi masyarakat, terutama kaum marginal, sangat sulit diterima
apalagi diperjuangkan.
Sadar akan kekeliruan tersebut, maka diperlukan upaya yang serius serta niat yang
teguh untuk kembali menempatkan pendekatan kelembagaan pada jalurnya. Yang
dimaksudkan di sini adalah bagaimana pendekatan kelembagaan diarahkan untuk melibatkan
masyarakat melalui perombakan struktural yakni dengan membentuk unit-unit organisasional
lokal yang dapat dengan mudah diakses (easily accessible) oleh rakyat lapis bawah dan dapat
memainkan peran positif untuk merangsang keterlibatan dan minat kelompok setempat
(Elcock, 1986). Sejalan dengan harapan tersebut serta semangat otonomi daerah, maka
institusi-institusi lokal yang ada dalam suatu masyarakat perlu dikembangkan dan
didayagunakan sebagai salah satu modal dasar pembangunan.
Kendati menjanjikan optimisme baru, pengetahuan lokal maupun institusi lokal juga
tidak terlepas dari berbagai kekurangan sehingga memerlukan pengayaan atau adaptasi. Yang
paling dirasakan adalah bagaimana mengatasi berbagai dilema yang mengiringi
perkembangannya. Dilema partisipasi masyarakat versus efektivitas, pemberdayaan versus
rutinisasi (apakah harus membangun kapasitas atau sekedar memenuhi kebutuhan sosial
masyarakat), adalah dua persoalan dilematis yang tidak gampang dicarikan jalan keluarnya.
Demikian halnya, upaya transformasi struktural masih dihadapkan pada tarik-menarik antara
dua kepentingan, yakni kontrol pusat untuk menjamin provisi public goods yang relatif
merata dengan demokrasi lokal sebagai ekspresi preferensi masyarakat setempat.
Persoalan yang paling pelik timbul dari karakter tipikal pengetahuan dan institusi lokal,
yaitu sifat spesifik, unik dan lokalnya. Karakter bawaan tersebut menuntut adanya variasi
dalam berbagai inisiatif yang dijalankan. Replikasi juga sulit dilakukan dengan alasan
perbedaan konteks tersebut. Tarik menarik antara pelestarian in situ dengan pengembangan ex
situ sebagaimana dikemukakan oleh Agrawal (1998) sangat dirasakan di sini.
Beberapa dilema di atas tidak cukup menjadi alasan untuk mengendurkan optimisme
awal bahwa pengembangan aspek-aspek lokal menjadi garansi minimal bagi keberhasilan
pembangunan secara umum dan pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan
secara khusus. Masyarakat lokal yang sering dituduh sebagai penyebab utama kerusakan
terumbu karang ini adalah kelompok yang paling tahu tentang persoalan terumbu karang
dengan mengembangkan pengetahuan dan pranata sosial tertentu. Kedua dimensi ini
memainkan peran yang sangat penting bagi upaya pelestarian ekosistem, termasuk ekosistem
terumbu karang (Winarto & Choesin, 2001). Pada tahap awal, aspek-aspek tersebut perlu
diberdayakan terlebih dahulu dengan melakukan eksplorasi, reproduksi serta revitalisasi.
Walaupun memiliki spiritualitas yang sangat ideal, konsep dan praksis pemberdayaan
juga tidak terlepas dari berbagai kelemahan. Kelemahan utama adalah diperlakukannya
konsep tersebut secara generik tanpa memperhatikan kondisi riil ketidakberdayaan yang
biasanya bersifat spesifik. Generalisasi yang demikian telah menjadi kekuatan internal yang
justru menggerogoti popularitas pemberdayaan. Begitu banyak kebijakan serta program yang
mengatasnamakan pemberdayaan. Tidak terkecuali dalam upaya pelestarian ekosistem
terumbu karang.
Ada beberapa hal yang perlu diidentifikasi terlebih dahulu dalam kaitan dengan upaya
pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan.
Di antaranya adalah pemahaman yang tepat tentang makna pemberdayaan itu sendiri,
substansi ketidakberdayaan (dan keberdayaan) masyarakat lokal, serta bagaimana melakukan
pemberdayaan.
Intervensi matra sosial merupakan strategi budaya untuk mengekang atau lebih tepat
mengarahkan naluri eksploitasi manusia terhadap alamnya dengan memanfaatkan berbagai
pengetahuan dan institusi lokal yang ada yang esensinya adalah kearifan. Sedangkan
intervensi politik diperlukan untuk menambah muatan otoritas sebuah inisiatif sehingga dapat
lebih memiliki daya paksa. Kedua jenis intervensi tersebut diarahkan untuk menegakkan
sistem insentif sekaligus disinsentif sehingga ada penghargaan yang jelas terhadap inisiatif
positif serta hukuman yang tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan. Dalam kerangka kerja
yang demikian, inisiatif pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan akan
dapat lebih mengakar.
Dalam hubungan dengan poin di atas, matra sosial budaya perlu mendapat perhatian
khusus. Kedua matra tersebut diperlukan karena berbagai kekuatan inheren yang terdapat di
dalamnya, terutama yang terdapat dalam pengetahuan dan institusi lokal sebagaimana sudah
diuraikan sebelumnya. Sebaliknya, penduduk lokal yang sudah tidak tergantung pada
pengetahuan dan institusi lokal dalam menjalankan aktivitasnya akan melihat ekosistem di
sekitarnya murni dari kacamata ekonomi. Dalam penilaian Sukarno (1995), bagi masyarakat
dengan tingkat kehidupan subsisten, ekosistem terumbu karang merupakan segalanya. Dalam
kondisi yang demikian, etika atau norma tradisional selalu ditundukkan di bawah kalkulasi
ekonomi. Dengan demikian, nilai-nilai lain yang sebenarnya sudah disepakati dan dijunjung
tinggi oleh masyarakat setempat tidak ditaati (White, 1991). Repotnya lagi, kalkulasi tersebut
adalah murni kalkulasi sesaat atau jangka pendek karena memang tingkat kehidupan mereka
masih susbsisten.
Optimisme di atas akan dapat terwujud jika ada komitmen dan kemauan politik yang
kuat dari level birokrasi pemerintahan untuk benar-benar melibatkan masyarakat dengan
segala potensinya. Hegemoni negara yang didukung oleh produksi pengetahuan modern oleh
kalangan universitas menjadi ancaman paling serius terhadap fisibilitas pendekatan dan
agenda tersebut. Dengan berbagai keunggulan yang dimilikinya, negara dapat menundukkan
masyarakat lokal dan kekayaan tradisional yang dimilikinya di bawah payung ideologinya
sebagai wujud overestimasi kemampuan negara atas masyarakat (Korten, 1987: 1). Ideologi
yang state centric ini ditegakkan dengan berbagai perangkat pemerintahan, termasuk melalui
penggunaan kekerasan atas nama kepentingan nasional. Taruhan terbesarnya adalah
delegitimasi hak dan potensi masyarakat dan itu adalah ancaman paling serius terhadap upaya
pelestarian sumberdaya alam termasuk ekosistem terumbu karang.
Penutup
Pertama, kinerja pemberdayaan masyarakat dalam upaya pelestarian ekosistem
terumbu karang sangat ditentukan oleh sensitivitasnya terhadap aspek-aspek pengetahuan dan
institusi lokal yang ada dan dimiliki oleh masyarakat setempat.
Kedua, kinerja upaya pemberdayaan juga ditentukan oleh sejauh mana upaya tersebut
mampu mengeksplorasi, mereproduksi dan merevitalisasi aspek-aspek pengetahuan dan
institusi lokal. Hal itu disebabkan oleh begitu kuatnya hegemoni negara selama ini.
Ketiga, sensitivitas terhadap pengetahuan dan institusi lokal sangat menentukan tinggi
rendahnya derajat kesadaran, partisipasi, dan komitmen masyarakat lokal dalam upaya
pelestarian ekosistem terumbu karang. Dengan kata lain, tingkat kesadaran, partisipasi dan
komitmen masyarakat lokal berbanding lurus dengan tingkat sensitivitas suatu upaya
pemberdayaan terhadap pengetahuan dan institusi lokal.
Keempat, dengan asumsi bahwa penyebab utama kerusakan ekosistem terumbu karang
adalah akibat eksploitasi yang dilakukan masyarakat lokal, maka kegagalan memperhatikan
dimensi pengetahuan dan institusi lokal akan berakibat pada semakin terancamnya kelestarian
ekosistem tersebut.
Kelima, faktor-faktor ekonomi dan politik turut memberikan pengaruh terhadap upaya
pelestarian ekosistem terumbu karang. Dengan demikian, format ekonomi politik yang keliru
akan menjadi pendorong tambahan bagi kerusakan ekosistem terumbu karang
Daftar Pustaka
Agrawal, Arun, 1998. Indigenous and Scientific Knowledge: Some Critical Comments,
dalam Jurnal Antropologi Indonesia, No. 55, Tahun XXII, Hal. 14-43.
Bailey, Conner, 1986. Government Protection of Traditional Resource Use Rights The
Case of Indonesian Fisheries, dalam David Korten (ed.), Community Management:
Asian Experiences and Perspectives, New Heaven: Kumarian Press, Pp. 292-308.
Barber, Charles Victor, 1999. The Case Study for Indonesia, Http://www.library.
utoronto.ca/pcs/indon/indonsum.htm., Pp.1-4.
Barber, Charles Victor, 2000. New Order Capacity: Growth, Strengths and Weaknesses
(Section III), Http://www.envconflict/indon3.htm. Pp. 1-18
Blakely, Edward J., 1989. Planning Local Economic Development: Theory and Practice,
California: Sage Publications
BPS Pusat (1997a). Statistik Lingkungan Hidup Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
Dahuri, H. Rochmin, 1992 An Approach to Coastal Resources Utilization: The Nature and
Role of Sustainable Development in East Kalimantan, Indonesia, PhD Dissertation,
Canada: Dalhcusie University.
Dahuri, H. Rochmin, Jacob Rais, Sapta Putra Ginting, 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Jakarta: Pradnya Paramita.
Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1992. Strategi Konservasi
dan Pengelolaan Terumbu Karang, Makalah Seminar Kelautan, Kerjasama Menteri
Negara KLH, EMDI dan WWF, Jakarta.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997. Agenda 21: Strategi Nasional untuk
Pembangunan Berkelanjutan, Kantor Menteri Negara LH, Jakarta.
Mas'oed, Mochtar, 1997. Politik, Birokrasi, dan Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
McBeth, J., 1996. "Social Dynamite," Far Eastern Economic Review (February 15), Pp. 20-
22.
Nybakken, James W., 1992. Biota Laut: Suatu Pendekatan Ekologis (terjemahan), Jakarta:
Gramedia.
Pakpahan, Agus, 1996. Tuntutan IPTEK dan SDM di Abad 21 untuk Menunjang
Pembangunan Benua Maritim, Makalah pada Lokakarya III Konvensi Nasional
tentang Pengembangan Benua Maritim Indonesia, Jakarta
Prijono & Pranarka, 1996, "Pendahuluan," dalam Onny S. Prijono dan A.M.W. Pranarka
(eds.), Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan, dan Implementasi, Jakarta: CSIS
Rubin & Rubin, 1986, Organization Theory: Structure, Design and Applications, New Jersey:
Prentice Hall.