Anda di halaman 1dari 30

Pengaruh Kredit Sektoral Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

di Provinsi Sumatera Selatan

I. Latar Belakang

Industri perbankan mempunyai peranan penting dalam perekonomian sebagai


lembaga intermediasi yang menyalurkan dana masyakarat ke dalam investasi
aset produktif yang akan mendorong produktivitas sektor riil, akumulasi
kapital, dan pertumbuhan output agregat . Kredit perbankan tidak selalu dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi. Pengaruh positif kredit perbankan terhadap
perekonomian hanya akan terjadi, apabila kualitas fundamental di suatu negara -
seperti kapital fisik (gross capital formation) atau kualitas infrastruktur telah
mencapai tingkatan tertentu yang cukup untuk mendorong produktivitas dan
kompetitivitas sektor riil (Augier dan Soedarmono, 2011).
Pada tingkat individu bank, bank akan mendorong intermediasi finansial
secara optimal dengan memberikan suku bunga kredit yang lebih kompetitif
apabila manajemen bank telah mencapai tingkat efisiensi biaya tertentu dalam
memperoleh dan mengolah informasi dari debitur secara berkala. Dalam konteks
ini, teori menunjukkan bahwa terdapat efek ambang (threshold effect) tertentu
yang harus diatasi, sebelum sektor finansial berdampak positif terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Analisis pengaruh kredit perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi masih
relevan untuk dikaji lebih mendalam, khususnya di negara berkembang dengan
sistem finansial yang masih didominasi sektor perbankan. Selain itu, perbedaan
sampel, periode penelitian, maupun metode empiris yang digunakan dapat
mempengaruhi hubungan positif atau negatif antara perkembangan kredit dengan
pertumbuhan ekonomi.
Karakteristik industri perbankan di Indonesia sangat relevan untuk
topik penelitian, khususnya karena perbankan Indonesia dianggap relatif paling

1
rapuh di ASEAN (Soedarmono et al., 2015). Dilihat dari sisi rasio pendalaman
finansial baik dari pasar kredit maupun simpanan, posisi Indonesia berada di level
terendah di ASEAN. Perbankan Indonesia juga dipandang relatif kurang efisien di
ASEAN dalam biaya intermediasi, terlihat dari net interest margin yang tinggi.
Akibatnya, dampak kredit perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia
perlu dikaji lebih mendalam. Perbedaan kondisi masing-masing daerah perlu
dipertimbangkan karena setiap daerah mempunyai karakteristik institusional
dan kinerja perekonomian yang berbeda, sehingga dapat membuat hubungan
antara kredit sektoral dan pertumbuhan ekonomi regional yang tidak selalu
seragam.

II. Kredit Sektoral dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Sumatera Selatan

Analisis pada tingkat regional menggunakan data triwulanan dari provinsi


Sumatera Selatan yang diperoleh dari triwulan I tahun 2010 hingga triwulan IV 2015.
Data berasal dari Publikasi Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik.

II. 1. Profil Sektoral


Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, kredit adalah penyediaan

uang atau tagihan-tagihan yang disamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan

pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain, dalam hal mana pihak peminjam

berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga

yang telah ditentukan.

Kredit komersial adalah kredit yang diberikan oleh pihak bank kepada suatu

perusahaan atau perorangan untuk tujuan komersil. Kredit komersial ini merupakan

suatu kredit yang berperan penting dalam perputaran bank umum. Para debitur atau

peminjam terdiri atas badan usaha yang bergerak di bidang dan skala usaha yang

2
menggunakan kredit perbankan tersebut untuk membiayai kebutuhan modal kerja dan

investasi perusahaan. Di Indonesia, kredit komersil berdasarkan sektor usaha terbagi

dalam 9 sektor ekonomi. Sembilan sektor tersebut adalah : (Bank Indonesia, 2014)

1. Sektor pertanian.
2. Sektor pertambangan.
3. Sektor pengolahan.
4. Sektor listrik, gas, dan air.
5. Sektor kontruksi.
6. Sektor perdagangan, restoran, dan hotel.
7. Sektor pengangkutan, pergudangan, dan komunikasi.
8. Sektor keuangan, persewaan, jasa perusahaan.
9. Sektor jasa-jasa.

3
Sumber : BPS

4
1. Sektor Pertanian, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan

Indonesia merupakan negara agraris, sehingga sebagian besar rakyat


indonesia bermata pencarian sebagai petani dan peternak. Adapun kontribusi sektor
pertanian dan peternakan terhadap pertumbuhan dan perkembangan perekonomian di
Indonesia Sektor ini mencakup sub sector tanaman, bahan makanan, tanaman
perkebunan, peternakan, kehutanan dan periakanan. Sampai dengan tahun 2003 ini
sector pertanian masih merupakan andalan dalam membentuk perekonomian

5
Jombang, sekalipun peranannya cenderung mengecil. Pada tahun 2000 sektor
pertanian memberi kontribusi sebesar 42,05% dan pada tahun 2003 mengecil lagi
menjadi 38,16%. Subsektor terbesar dalam membentuk PDRB sector pertanian
adalah sub sector bahan makanan dengan memberikan peran sebesar 27,83% (tahun
2003) terhadap PDRB. Sedangkan subsektor lainnya seperti tanaman perkebunan,
peternakan kehutanan dan perikanan masing-masing memberikan peran sebesar
3,89%, 5,541 %, 0,62%, dan 0,40%.
Kontribusi Produk
Pertanian dan peternakan sangat berperan dalam kehidupan manusia terutama warga
Indonesia yang kebutuhan pangannya didominasi dengan bidang pertanian dan
peternakan seperti beras, sayuran, buah, daging, susu, kulit dan lain sebagainya.
Pertanian juga berperan sebagai penyuplai bahan baku yang nantinya akan diolah
oleh industri manufaktur.
Kontribusi Pasar
Dengan adanya pertanian dan peternakan dapat dibentuk sebuah sistem pasar bebas
yang di dalamnya terjadi berbagai pertukaran kebutuhan pokok dengan uang.
Dalam kondisi ini Pemerintah juga ikut serta dalam penetapan harga - harga yang
terjadi di pasar bebas.
Kontribusi devisa
Pertanian dan peternakan mampu memberikan devisa kepada negara apabila
pertanian dan peternakan mampu meningkatkan kapasitas produksi dan
meningkatkan daya saing produk pertanian ataupun peternakan. Hal ini harus
dilakukan agar para petani dan peternak Indonesia mampu meningkatkan ekpor dan
mengurangi impor. Dalam proses perubahan ini, pemerintah harus ikut seta
membantu para petani dengan cara menyediakan lahan yang di gunakan para
petani, memberi pelatihan dasar, memberikan subsidi mesin - mesin dan bibit
unggul, serta menghimbau masyarakat untuk menggunakan produk pertanian dan
peternakan dalam negeri. Hal tersebut bermanfaat untuk mengurangi impor dan
menambah ekspor.

6
Pandangan negatif pada sektor pertanian dan peternakan

1. Rendahnya ouput bidang pertanian di wilayah Indonesia disebabkan adanya :


Perubahan Iklim
Dengan perubahan iklim kemarau para petani sangat membutuhkan pasokan air
untuk mengirigrasi daerahnya, maka oleh karena itu harus ditemukan sebuah
inovasi untuk menangani masalah tersebut.
2. Lahan Pertanian
Dewasa ini lahan pertanian di Indonesia sudah semakin berkurang, hal itu
disebabkan karena adanya pembangunan gedung - gedung dan sebagainnya.
Dalam menanggapi hal ini sebaiknya pemerintah menetapkan undang - undang
pengkhususan lahan pertanian.
3. Kualiatas SDM rendah
Petani di Indonesia pada umumnya masih tradisional, belum menggunakan
mesin - mesin pembantu yang dialakukan seperti negara -negara maju lainnya,
hal inilah yang menyebabkan output pertanian belum bisa menyaingi hasil
output dari luar negeri.
4. Rendahnya penggunaan Teknologi

Langkah - langkah yang dapat di lakukan oleh pemerintah dalam menangani


permasalahan bidang pertanian dan peternakan antara lain :
Melakukan penyediaan berbagai sarana pendukung sektor pertanian dan
peternakan untuk membuka lahan baru sebagai tempat yang dapat membuka
lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat Indonesia.
Keberpihakan bagi sektor pertanian, seperti ketersediaan pupuk dan sumber daya
yang memberikan konsultasi bagi petani dalam meningkatkan produktivitasnya,
perlu dioptimalkan kinerjanya.
Keberpihakan ini adalah insentif bagi petani untuk tetap mempertahankan
usahanya dalam pertanian. Karena tanpa keberpihakan ini akan semakin banyak
tenaga kerja dan lahan yang akan beralih ke sektor-sektor lain yang insentifnya
lebih menarik.

7
2. Sektor Pertambangan dan Penggalian

Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah. Indonesia


dapat menjadi negara maju apabila memiliki sumber daya manusia yang unggul
dalam menangani masalah sumber daya alam. Banyak pertambangan di Indonesia
dimiliki oleh perusahaan asing sehingga kurang membantu untuk sebagai
penambahan devisa ekonomi negara. Peran industri pertambangan semakin penting
bagi perekonomian negara-negara di dunia termasuk di Indonesia. Dewan
Internasional Pertambangan dan Mineral (ICMM) melaporkan bahwa pada 2010
nilai nominal produksi mineral dunia meningkat empat kali dibanding tahun 2002
senilai $474 miliar. Peningkatan ini sebagian besar didorong oleh pertumbuhan yang
tinggi dalam perekonomian China, India dan kekuatan ekonomi berkembang
lainnya.
Ada 20 negara dengan nilai produksi pertambangan terbesar di dunia yang
menguasai 88% produksi mineral dunia dan Indonesia duduk pada urutan ke-11
dengan nilai produksi mineral $12,22 miliar. Posisi 5 teratas adalah Australia ($71,95
M), China ($69,28 M), Brasil ($47,02 M), Chile ($31,27 M), dan Rusia ($28,68 M).
Indonesia dengan nilai produksi mineral $12,22 miliar atau setara dengan Rp109,98
triliun menyumbang 10,6% dari total ekspor barang pada 2010.
Ada 40 negara yang tergantung kepada ekspor non-migas lebih dari 25%
ekspor barang negara tersebut. Tiga perempat dari 40 negara tersebut merupakan
negara berpenghasilan menengah dan rendah. Banyak dari 40 negara ini memiliki
Indeks Pembangunan Manusia yang rendah. Di banyak negara dengan sektor
pertambangan seperti Chile, Ghana dan Brasil, pertambangan telah banyak berperan
besar dalam pengentasan kemiskinan dan kinerja pembangunan sosial dibanding
negara-negara tanpa sektor pertambangan.
Laporan ini menegaskan pandangan bahwa produksi dan penciptaan
pendapatan merupakan kekuatan utama dalam pengentasan kemiskinan di mana
industri pertambangan memiliki peran penting yang semakin meningkat. Realitas ini
telah dipahami dan dicerminkan dalam agenda beberapa perusahaan pertambangan

8
dunia yang bertanggung jawab, namun belum dipahami secara konsisten oleh
pemerintah, perusahaan, masyarakat madani dan pemangku kepentingan lain di
negara-negara yang memiliki investasi pertambangan yang besar.
ICMM bekerjasama dengan perusahaan konsultan Oxford Policy
Management telah melakukan studi kasus di 10 negara untuk mengetahui kontribusi
pertambangan terhadap ekonomi makro negara-negara tersebut. Fokus kajian ini
adalah melihat kontribusi pertambangan terhadap investasi langsung asing (FDI),
investasi dalam negeri, ekspor, penerimaan devisa, pendapatan negara, produk
domestik bruto, serta lapangan kerja dan upah. Hasilnya beragam, dalam aspek
investasi langsung asing, kontribusi pertambangan sangat tinggi, lebih dari setengah
dari total FDI tahunan. Pertambangan memberikan kontribusi besar bagi investasi
dalam negeri. Pertambangan juga berkontribusi besar bagi ekspor sampai 78% di
Tanzania, 66% di Chile dan 19% di Brazil. Pertambangan juga mendatangkan
banyak devisa bagi negara terutama pada masa operasi. Penerimaan negara dari
pertambangan berbeda-beda di masing-masing negara. Di Tanzania, pertambangan
menyumbangkan 8% dari keseluruhan penerimaan negara. Sumbangan pertambangan
bagi produk domestik bruto sekitar 2 - 4%.
Lapangan kerja baru langsung yang tercipta dari pertambangan sekitar 1,5%
namun dengan tingkat upah yang lebih tinggi dari rata-rata. Namun penciptaan
tenaga kerja tidak langsung (multiplier effect) melalui rantai pasokan, pemasok dan
lain-lain, mencapai 3 - 4 orang untuk setiap tenaga kerja langsung. Bila dilihat dari
pertumbuhannya, sektor ini setiap tahun terus mengalami pertumbuhan yang negatif
Pada tahun 2000 sektor pertambangan dan penggalian mengalami pertumbuhan
sebesar 1,24 persen, namun pada tahun 2001 sampai dengan 2003 mengalami
pertumbuhan berturut-turut sebesar -4,46 persen; -8,06 persen dan -9,90 persen.

Pandangan positif terhadap sektor pertambangan dan penggalian:


Membuka lapangan pekerjaan untuk warga Indonesia. Meningkatkan pendapatan
negara.

9
Menambah para penambang dan peneliti yang datang ke indonesia, karena
banyak di temukannya material - material pertambangan.
Membuka lahan investasi yang nantinya akan dijadikan sebagai pendapatan
negara.

Pandangan Negatif terhadap pertambangan dan penggalian.


Ekploitasi yang berlebihan dapat merusak kesimbangan ekosistem lingkungan.
Menyisakan ampas - ampas pertambangan yang akan mencemari alam.
Ketidakmampuan Pemerintah dalam menyikapi perusahaan asing yang
menanamkan modalnya di Indonesia. Seharusnya pemerintah mempunyai
batasan quota yang tegas kepada perusahaan asing agar tidak merugikan
penduduk Indonesia.

Upaya yang dapat dilakukan pemerintah beserta warganya :


Pemerintah memberikan batasan kepada para penambang dalam mengeksploisasi
agar sumber daya alam tidak cepat habis.
Mencari cara agar hasil tambang yang ada di Indonesia dapat digunakan
seminim mungkin.

3. Sektor Industri Pengolahan (manufaktur)

Sektor industri yang berkembang sampai saat ini ternyata masih didominasi
oleh industri padat tenaga kerja, yang biasanya memiliki mata rantai relatif pendek,
sehingga penciptaan nilai tambah juga relatif kecil. Akan tetapi karena besarnya
populasi unit usaha maka kontribusi terhadap perekonomian tetap besar. Terdapat tiga
unsur pelaku ekonomi yang mendukung perkembangan sektor industri, yaitu Badan
Usaha Milik Swasta (BUMS), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pengusaha
kecil I menengah, serta koperasi ( PKMK ). Mencermati hasil pembangunan dan
perkembangan industri selama 30 tahun dan juga dalam rangka mencari jalan keluar
akibat krisis ekonomi pada tahun 1998, maka sasaran pembangunan industri untuk
masa 2005 sampai dengan 2009 ditetapkan sebagai berikut :

10
Sektor industri manufaktur (nonmigas) ditargetkan tumbuh dengan laju rata -
rata 8,56 persen per tahun. Target peningkatan kapasitas utilasi khususnya
subsektor yang masih berdaya asing sekitar 80 persen.
Target penyerapan tenaga kerja dalam lima tahun mendatang adalah sekitar
500 ribu per tahun (termasuk industri pengolahan migas).
Terciptanya iklim usaha yang lebih kondusif baik bagi industri yang
sudah ada maupun investasi baru dalam bentuk tersedianya layanan
umum yang baik dan bersih dari KKN, sumber - sumber pendanaan
yang terjangkau, dan kebijakan fiskal yang menunjang.
Peningkatan pangsa sektor industri manufaktur di pasar domestik,
baik untuk bahan baku maupun produk akhir.
Meningkatnya volume ekspor produk manufaktur dalam total ekspor
nasional.
Meningkatnya proses alih teknologi dari foreign direct investment
(FDI)
Meningkatnya penerapan standarisasi produk industri manufaktur
sebagai faktor penguat daya saing produk nasional.
Meningkatnya penyebaran sektor industri manufaktur ke luar Pulau
Jawa, terutama industri pengolahan hasil sumber daya alam.

Program pokok pengembangan industri manufaktur, meliputi:


1. Program pengembangan industri kecil dan menengah. Dalam hal ini, secara
alami IKM memiliki kelemahan dalam menghadapi ketidakpastian pasar,
mencapai skala ekonomi, dan memenuhi sumber daya yang diperlukan
sehingga untuk mencapai tujuan program ini, pemerintah membantu IKM
dalam mengatasi permasalahan yang muncul akibar dari kelemahan alami
tersebut.
2. Program peningkatan kemampuan teknologi industri. Hal ini mengingat,
secara umum pengelola industri nasional belum memandang kegiatan
pengembangan dan penerapan teknologi layak dilakukan karena dianggap
memiliki eksternalitas yang tinggi berjangka panjang dan dengan tingkat
kegagalan yang tinggi. Ini dapat ditunjukkan dari masih miskinnya industri
nasional dalam kepemilikan sumber daya teknologi.

11
3. Program penataan struktur industri. Tujuan program ini adalah untuk
memperbaiki struktur industri nasional, baik dalam hal penguasaan pasar
maupun dalam hal kedalaman jaringan pemasok bahan baku dan bahan
pendukung, komponen, dan barang setengah jadi bagi industri hilir.

Di Indonesia jumlah industri pengolahan besar dan sedang pada tahun 2001
berjumlah 21,396 yang tersebar di jawa sebanyak 17.413 (81,38%) dan di luar jawa
sebanyak 3,983 (18.62%). Pada tahun 2002 berjumlah 21,396 yang tersebar di pulau
Jawa 17,118 (80.95%) dan di luar pulau Jawa 4,028 (19.05%). Pada tahun 2003
berjumlah 20,324 yaitu di pulau Jawa 16,607 (81.71 %) dan diluar pulau Jawa 3.717
(18.29%). Pada tahun 2004 berjumlah 20,685 yaitu di pulau Jawa berjumlah 16,901
(81.71 %) dan diluar pulau jawa 3,784 (18.29%). Dan pada tahun 2005 berjumlah
20,729 yaitu di pulau Jawa 16,995 (81.99%) dan di luar pulau Jawa 3,734 (18.01 %).
Jika dilihat dari tahun 2001 sampai tahun 2005 jumlah industri di pulau Jawa
masih dominan, sedangkan jumlah industri di luar pulau Jawa dari tahun 2001
sampai tahun 2005 jumlahnya kurang dari 20%. Ini menunjukkan bahwa di Indonesia
terjadi ketidak merataan di sektor industri. Sektor industri di Indonesia masih
terkonsentrasi di pulau Jawa.
Indeks produksi industri besar dan sedang pada tahun 2003 sampai 2009.
Pada tahun 2003 indeks produksi industri sebesar 113.56, pada tahun 2004 sebesar
117.34, pada tahun 2005 sebesar 118.85, pada tahun 2006 sebesar 116.92, pada
tahun 2007 sebesar 123.44, pada tahun 2008 sebesar 127.15, dan pada tahun 2009
sebesar 129.00. lndeks produksi industri dari tahun ketahun mengalami kenaikan
dan penurunan. Pertumbuhan indeks produksi industri besar dan sedang pada tahun
2003 sampai tahun 2009. Pada tahun 2003 indeks produksi industri sebesar 5.46,
pada tahun 2004 sebesar 3.33, pada tahun 2005 sebesar 1.29, pada tahun 2006
sebesar -1.63, pada tahun 2007 sebesar 5.57, dan pada tahun 2008 sebesar 3.01,
serta pada tahun 2009 sebesar 1.45. Sama halnya dengan indeks produksi,
pertumbuhan indeks produksi ini juga mengalami naik turun dari tahun 2003 sampai
tahun 2009.

12
Pandangan Positif mengenai sektor Industri:
Membuka lapangan pekerjaan sehingga mengurangi pengangguran di
Indonesia, khususnya di Ibu kota.
Menigkatkan SDM yang berkualitas karena bidang industri membutuhkan
pengetahuan - pengetahuan mengenai perkembangan dan pertumbuhan
industri.
Dapat bersaing dengan negara luar dengan meningkatkan kuaitas ouptut
industri.

Pandangan negatif terhadap sektor Industri :


Diperlukannya kemampuan untuk peningkatan pemikiran tentang industri.
Dibutuhkannya modal yang sangat besar dalam menciptakan suatu industri

4. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran

Di masa sekarang, di setiap daerah yang ada di Indonesia memiliki hotel dan
restoran atau rumah makan. Dan tidak dapat di ragukan lagi, sebagian besar yang
mempengaruhi perekonomian di Indonesia adalah kegiatan perdagangan, namun
tingkat konsumsi di Indonesia juga cukup besar.

Pandangan positif terhadap sektor perdagangan, hotel dan restoran:


Membuka lapangan kerja baru bagi warga Indonesia.
Meningkatkan kerjasama terhadap warga asing untuk penambahan pelatihan
kemampuan di bidang tersebut.
Menambah pendapatan nasional Negara
Menciptakan bibit- bibit uggul dalam inovasi-inovasi terbaru di bidang hotel
dan restoran maupun perdagangan.

Pandangan negatif terhadap sektor perdagangan, hotel dan restoran.

13
Karena kurangnya pemikiran dan perhitungan yang matang sehingga banyak
usaha perdagangan, hotel maupun restoran negeri kalah saing dengan usaha
asing yang di tanamkan di Indonesia.

Upaya yang dapat dilakukan pemerintah dan perusahaan :


Membutuhkan keahlian khusus dalam pengembangan kemampuan di bidang
tersebut.
Mampu melihat peluang - peluang yang ada sehingga dapat mengikuti
perkembangan zaman.
mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung bagi sektor lain yang akan
menyerap pertumbuhan tenaga kerja Indonesia. Sarana pendukung seperti
jalan, pelabuhan, listrik adalah sarana utama yang dapat mengakselerasi
pertumbuhan di sektor ini.Sektor ini juga merupakan sektor yang jumlah
tenaga kerjanya banyak.
Pemerintah berperan dalam mempromosikan sektor - sektor yang ada di
dalam negeri, sehingga para konsumen lebih memilih usaha di dalam negeri.

5. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi


Pemerintah tetap optimistis sektor komunikasi dan transportasi dapat menjadi
penyumbang pertumbuhan tertinggi tahun depan, meskipun pertumbuhan sektor
komunikasi diperkirakan mengalami kejenuhan. Pemerintah melihat kedua sektor
tersebut masih menjadi penyumbang pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berjalan
seiringan.
Seiring dengan perkembangan zaman, komunikasi dan informasi menjadi
faktor utama perluasan globalisasi. Hal tersebut mengakibatkan banyaknya dibentuk
perusahaan di bidang komunikasi. Indonesiapun banyak mengahasilkan perusahaan-
perusahaan di bidang komunikasi, seperti telepon, program televisi, iklan ataupun
internet.
Pandangan positif terhadap perusahaan komunikasi:
Menjadikan Indonesia sebagai negara global dengan mengetahui informasi-
informasi dari luar

14
Meningkatkan kualitas intelegensi sumber daya manusia di bidang IPTEK.
Membuka lapangan pekerja untuk mengurangi pengangguran.
Menciptakan persaingan yang berunsur pengetahuan dan teknolgi.
Semakin mudah mencari informasi- informasi yang tersebar di pelosok dunia.
Menambah pendapatan negara.

Pandangan Negatif terhadap perusahaan komunikasi:


Banyak orang yang menggunakan informasi untuk sesuatu yang merugikan
orang lain, seperti penipuan, pembobolan data dan lain-lain.
Banyak informasi yang tidak bermoral yang tersebar, namun perusahaan
komunikasi tidak menyaring informasi- informasi tersebut.

6. Sektor Jasa

Tidak hanya barang yang dapat diperdagangkan namun jasa atau


kemampuan pun dapat diperjual belikan misalnya seperti, perusahaan asuransi,
travel, akuntan publik, guru, dan masih banyak lagi.

Pandangan positif terhadap sektor jasa :


Mampu meningkatkan kulitas SDM Indonesia.
Banyaknya usaha - usaha di bidang jasa sehingga membuka lapangan
pekerjaan. Mempermudah kegiatan manusia
Menambah pendapatan Negara
Banyak membutuhkan tenaga kerja manusia sehingga mengurangi
pengangguran.

Pandangan negatif terhadap sektor jasa :


Manusia menjadi saling bersaing melakukan segala cara untuk mendapat
posisi terbaik.
Membuat manusia malas berusaha karena adanya kemudahan yang diberikan
oleh peusahaan jasa.

15
7. Sektor Listrik, Gas dan Air bersih

Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih yang merupakan sektor penunjang seluruh
kegiatan ekonomi, dan sebagai infrastruktur yang mendorong aktivitas seluruh
sector kegiatan industri, ternyata perkembangannya cukup pesat. Hampir seluruh
kegiatan di sektor listrik dan air bersih dimonopoli oleh pemerintah, sehingga sektor
ini bisa bebas dari persaingan bisnis apapun.
Pada tahun 2003 sektor Listrik, Gas dan Air bersih tumbuh sebesar 6,33
persen. Sumbangan sektor Listrik, Gas dan Air bersih terhadap perekonomian tidak
terlalu besar dan hanya menduduki posisi ketujuh, namun dengan perkembangan
yang cukup pesat paling tidak masih mapu mendongkrak pertumbuhan ekonomi
keseluruhan
Subsektor listrik yang memberikan peran terbesar belakangan ini
perkembangannya cukup menggembirakan. Sekalipun gebrakan kenaikan tarip
bertubi-tubi, namun kebutuhan akan energi tetap meningkat. Pada tahun 2002 lalu
subsektor listrik tumbuh sebesar 4,45 persen, sedangkan pada tahun 2003 tumbuh
menjadi 6,22 persen. Demikian juga halnya dengan subsektor air bersih yang
memberikan sumbangan kedua terbesar dalam membentuk PDRB sektor listrik, Gas
dan Air Bersih. Pada tahun 2000 subsektror ini tumbuh sebesar 6,42 persen, tahun
2001 tumbuh sebesar 7,52 persen, tahun 2002 tumbuh sebesar 8,91 persen dan pada
tahun 2003 tumbuh sebesar 10,80 persen. (BPS)

8. Sektor Konstruksi

Sektor konstruksi menjadi salah satu prioritas pembangunan untuk


meningkatkan produktivitas dan daya saing produk di pasar internasional.
Keterbatasan infrastruktur saat ini menyebabkan biaya logistik relatif mahal
sehingga faktor ini menjadi hambatan dalam upaya peningkatan investasi. Pada
tahun 2010 kontribusi sektor tersebut sebesar 2,4% dan sebesar 1% pada 2014
(BPS). Terdapat peluang untuk pembiayaan di sektor konstruksi, namun jumlah

16
kredit bank umum di sektor konstruksi per triwulan ke tiga tahun 2015 baru
sebesar hanya 3,60% dari total kredit. Rendahnya pembiayaan di sektor konstruksi
dipengaruhi oleh karakteristik sektor konstruksi yang memerlukan dana dalam jumlah
besar serta jangka waktu pengembalian ( pay back Period ) yang relatif panjang.
Sektor konstruksi juga dipandang beresiko oleh perbankan mengingat bahwa
perusahaan-perusahaan di sektor ini tidak mempunyai natural hedge, khususnya jika
terjadi depresiasi nilai tukar sementara (misalnya) utang luar negeri pada sektor ini
cukup signifikan. hal ini karena struktur pendapatan dari perusahaan di sektor
konstruksi sebagian besar berasal dari pendapatan rupiah sementara financingya
terkonfirmasi NPL sektor konstruksi relatif tinggi dengan tren meningkat serta
tercatat sebesar 4,61% pada akhir tahun 2014.

9. Sektor Keuangan, Real estate dan Jasa Perusahaan


PDB di Indonesia pada tahun 2013 turun terutama adalah di sektor
pertambangan, Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan. Sektor ini mencatat
pertumbuhan 7.56% di tahun 2013, cukup jauh diatas sektor-sektor lainnya.
Pertumbuhan ini menandai meningkatnya peran sektor tersebut dalam perekonomian
Indonesia saat ini. Pada Oktober 2013 Sektor Properti Indonesia, New York Times
telah membahas mengenai kebangkitan real estate di Indonesia. Harga sewa real
estate grade B telah meningkat dua kali lipat dalam tiga tahun terakhir, dan untuk
grade A bahkan sudah hampir tiga kali lipatnya. Pembangunan gedung dan
perumahan baru, khususnya perumahan kelas menengah keatas, juga terus meluas
seiring pertumbuhan pesat golongan ekonomi menengah.
Perkembangan real estate ini cukup impresif, mengingat banyaknya isu dan
pro-kontra di sektor ini. Pertama adalah regulasi Bank Indonesia. Sejak krisis 97/98,
Bank Indonesia telah menetapkan aturan yang tergolong ketat di bidang kredit
perumahan. Ini diperkuat lagi oleh kebijakan Loan to Value (LTV) yang dirilis
September 2013 lalu. Kebijakan tersebut melarang kredit pada uang muka dan
membatasi kredit yang bisa diberikan untuk rumah kedua. Regulasi tersebut

17
membuat penyaluran kredit rumah melambat di kuartal keempat tahun 2013. (Bank
Indonesia).
II.2 Analisis Pengaruh Kredit Sektor Ekonomi terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Provinsi Sumatera Selatan
Grafik 1.
Kredit Sektor Ekonomi

Tabel 1.
Laju Pertumbuhan Sektoral Tahunan Kumulatif PDRB Provinsi Sumatera
Selatan ADHK 2000 (%)

18
Sumber : BPS, diolah
Tabel 2.
Laju Pertumbuhan Tahunan Sektoral
PDRB Provinsi Sumatera Selatan ADHK 2010 (%)

Tabel 3
Kredit Sektor Ekonomi (2010-2014)

19
Tabel 4.
Rasio Kredit Sektoral terhadap Total Kredit

1. Sektor Pertanian, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan

20
Salah satu sektor andalan yaitu sektor pertanian masih menunjukkan
perlambatan. Bahkan trendnya cenderung menurun sepanjang tahun 2015. Penurunan
ini diyakini akibatmenurunnya harga komoditas unggulan Sumsel di pasar global.
Subsektor pertanian yang mengalami pertumbuhan negatif di akhir tahun 2015 adalah
subsektor perkebunan tahunan yang mengalami kontraksi sebesar 0,44% (yoy).
turunnya kinerja subsektor ini disebabkan oleh ekspor komoditas karet yang turun
akibat turunnya permintaan global. Namun demikian berbeda dengan komoditas
unggulan kelapa sawit yang menunjukkan perbaikan dan menjadi penahan agar
subsektor ini tidak turun lebih dalam lagi. Nilai ekspor yang meningkat menunjukkan
bahwa pasar komoditas ini mulai mengalami perbaikan. Secara tahunan sektor
pertanian tumbuh sebesar 3,47% atau melambat daritahun 2014 yang tercatat 4,06%.
Data BPS menunjukkan bahwa Sektor Pertanian memberikan andil yang relatif besar
dalam PDB agregat Indonesia, meskipun andilnya terhadap PDRB Sumatera Selatan
cenderung menurun seiring harga komoditas yang tidak stabil dan cenderung
menurun. Pada akhir 2010 sektor pertanian memiliki andil 4,4 % dalam PDRB
seperti terlihat pada tabel 1 dan 2. Namun kontribusi sektor ini melambat, yaitu
sebesar 0,66% di akhir tahun 2015, seperti terlihat pada tabel tersebut. Ke depan,
kinerja ekspor sektor pertanian relatif tidak terlalu optimistis, pertumbuhan ekspor
tidak dapat mengimbangi pertumbuhan impor.
Hambatan yang dihadapi produk pertanian dapat dalam bentuk tarif maupun
non-tarif, Hambatan tarif dapat terlihat dari kebijakan anti dumping oleh negara
tujuan ekspor untuk melindungi produknya di pasar domestik, sehingga bea
masuk terhadap produk-produk pertanian dari luar (misalkan dari Indonesia)
cenderung dinaikkan. Sementara itu, hambatan non tarif antara lain meliputi
batasan kuota dari negara tujuan ekspor, subsidi produk-produk pertanian dari negara
tujuan ekspor, anti dumping policy, serta hambatan non tarif lainnya. Jika dilihat
dari kontribusi kredit, kredit ke sektor pertanian,peternakan, perikanan dan
kehutanan relatif meningkat. Pada akhir tahun 2015, porsi penyaluran kredit ke
sektor pertanian tersebut sebesar Rp16,58 triliun atau 17,54% dari total kredit akhir

21
2015. Salah satu upaya Pemerintah untuk meningkatkan akses keuangan bagi petani
diantaranya melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR).

2. Sektor Pertambangan dan Penggalian

Grafik 2.

Neraca perdagangan Indonesia menunjukkan bahwa ekspor tambang dan


mineral berkontribusi sebesar 15.6% dari total ekspor pada tahun 2014. Namun
jika dilihat dari pertumbuhannya, ekspor tambang dan mineral justru mengalami
penurunan sebesar 10,6 % pada tahun 2014 dibandingkan tahun 2010. Hal yang
menggembirakan adalah bahwa sektor pertambangan dan penggalian selalu
mengalami surplus perdagangan yang signifikan, meskipun laju pertumbuhan impor
Indonesia dari 2010 sampai 2014 telah mencapai 55,7%. Pada tahun 2014, surplus
perdagangan tambang dan mineral tercatat sebesar USD 21.3 miliar.
Jika ditinjau dari sisi penyaluran kredit, porsi kredit pertambangan
dan penggalian terhadap total kredit hanya sebesar 4,98% pada akhir
2014 dan kembali melambat di akhir 2015 yakni sebesar 4,93%. Sektor pertambangan
dipandang cukup berisiko karena bersifat cyclical atau dipengaruhi oleh kondisi
ekonomi. Tekanan ini membuat perbankan menurunkan supply kredit dari perbankan
ke sektor pertambangan dan penggalian. Selain itu, sifat bisnis sektor
pertambangan dan penggalian sendiri juga berisiko, karena perusahaan perlu

22
melakukan investasi modal awal yang cukup besar untuk melakukan eksplorasi,
meski belum tentu eksplorasi tersebut menghasilkan. Hal itu juga terkonfirmasi
dari NPL sektor pertambangan dan penggalian yang tercatat sebesar 2.30% atau di
atas NPL agregat industri yang tercatat sebesar 2.16% di akhir tahun 2014.
Ketidakpastian perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir pasca
krisis global 2008 membuat prospek sektor pertambangan dan penggalian
menghadapi tekanan.

3. Sektor Konstruksi

Kinerja sektor konstruksi di akhir 2015 mulai membaik dengan mencatat


peningkatan yang lebih besar dari tahun sebelumnya. Sektor konstruksi tumbuh
sebesar 4,58%, dan memberikan andil 0,55% terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan infrastruktur yang didorong oleh pemerintah mulai memperlihatkan
hasil yang positif. Namun demikian secara keseluruhan 2015, sektor konstruksi hanya
tumbuh 0,07% dari 4,29%. ini disebabkan oleh rendahnya pertumbuhan sektor
konstruksi periode sebelumnya.
Sektor konstruksi menjadi salah satu prioritas pembangunan untuk
meningkatkan produktivitas dan daya saing produk di pasar internasional.
Keterbatasan infrastruktur saat ini menyebabkan biaya logistik relatif mahal
sehingga faktor ini menjadi hambatan dalam upaya peningkatan investasi. Pada
tahun 2010 kontribusi sektor tersebut sebesar 2,4% dan sebesar 1% pada 2014
(BPS). Terdapat peluang untuk pembiayaan di sektor konstruksi, namun jumlah
kredit bank umum di sektor konstruksi per triwulan ke tiga tahun 2015 baru
sebesar hanya 3,60% dari total kredit. Rendahnya pembiayaan di sektor konstruksi
dipengaruhi oleh karakteristik sektor konstruksi yang memerlukan dana dalam jumlah
besar serta jangka waktu pengembalian ( pay back Period ) yang relatif panjang.
Sektor konstruksi juga dipandang beresiko oleh perbankan mengingat bahwa
perusahaan-perusahaan di sektor ini tidak mempunyai natural hedge, khususnya jika
terjadi depresiasi nilai tukar sementara (misalnya) utang luar negeri pada sektor ini

23
cukup signifikan. hal ini karena struktur pendapatan dari perusahaan di sektor
konstruksi sebagian besar berasal dari pendapatan rupiah sementara financingya
terkonfirmasi NPL sektor konstruksi relatif tinggi dengan tren meningkat serta
tercatat sebesar 4,61% pada akhir tahun 2014.

4. Sektor Industri Pengolahan

Industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar pada PDB Indonesia,


tercatat pada akhir tahun 2015 kontribusi sektor ini sebesar Rp.1.856 triliun atau
21,67% dari total PDB. Di Sumatera Selatan, Pada triwulan pertama tahun 2015,
kontribusi sektor ini terhadap PDRB tercatat sebesar 0,84% dari total PDRB. Namun
demikian, terdapat kendala yang dihadapi ekspor sektor industri pengolahan, antara
lain kesulitan memperoleh bahan baku, tingginya biaya produksi dan kualitas produk
yang dianggap negara tujuan belum memenuhi standar internasional. Sedangkan,
kinerja industri makanan dan minuman masih menjadi salah satu subsektor yang
menyumbang andil terbesar yaitu sebesar 0,67.
Kredit industri pengolahan di Sumatera Selatan meningkat sedikit dibanding
tahun 2014 sebesar 13,71% menjadi sebesar 16,47% atau 0,2% saja dari seluruh total
penyaluran kredit. Namun kredit sektor industri pengolahan ini relatif tidak
berdampak positif bagi pertumbuhan PDRB di wilayah Sumatera Selatan, karena
kontribusinya masih sangat kecil.

Grafik 3.

24
5. Sektor Listrik, Gas dan Air

Sebagaimana tercatat pada tabel 1 dan 2 diatas, bahwa sektor ini pada tahun
2010 berkontribusi sebesar 6,3% terhadap PDRB Sumatera Selatan, namun di
sepanjang 2015 sektor ini cenderung pasif terhadap pertumbuhan ekonomi Sumatera
Selatan. Dalam penyaluran kredit, sektor listrik, air dan gas ini cenderung stabil di
kisaran 6% dari keseluruhan penyaluran kredit, hal ini terjadi karena adanya
kebijakan dari Bank Indonesia yang sejak akhir tahun 2013 memperketat penyaluran
kredit untuk menghindari kemungkinan kredit macet dari beberapa sektor, termasuk
sektor Listrik,air dan gas. Apalagi sektor ini didominasi pemerintah dan beberapa
tahun terakhir masih sering dilakukan pemadaman listrik dan air di wilayah provinsi
Sumsel sehingga belum banyak pengusaha swasta yang tertarik karena dibatasi oleh
kebijakan pemerintah

6. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran

Sejak awal tahun 2015 Sektor Perdagangan dipisahkan dengan sektor hotel
dan restoran. Pada tahun 2015 Sektor perdagangan memberikan kontribusi terhadap
PDRB Sumatera Selatan sebesar 0,34% yang cenderung melambat dibanding tahun
sebelumnya sedangkan sektor hotel dan restoran berkontribusi sebesar 0,12%
cenderung mengalami peningkatan seiring dengan penyaluran kredit di sektor hotel

25
dan restoran yang terus meningkat dan mencapai 16,82% dari total keseluruhan
penyaluran kredit.
Sektor perdagangan biasanya mengalami peningkatan di akhir tahun maupun
di hari-hari besar keagamaan dikarenakan pengaruh permintaan pasar yang melonjak.
sedangkan pada sektor hotel dan restoran menjadi semakin berkembang karena
banyak acara-acara bertaraf internasional yang sudah atau akan dilaksanakan di
provinsi Sumatera selatan dan terpusat di kota Palembang. Hal ini condong
memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi Sumsel.

7. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi, Sektor Keuangan, real estate dan jasa
Perusahaan serta Sektor Jasa-jasa
Tiga Kategori sektor ekonomi ini merupakan sektor yang relatif memberi
kontribusi yang positif terhadap PDRB Sumatera Selatan, seperti tercatat dalam tabel
1 dan 2, Sektor transportasi yang sejak awal tahun 2015 berada dalam kategori
terpisah dengan sektor komunikasi memberi kontribusi terhadap pertumbuhan
ekonomi yang cenderung meningkat, untuk tahun 2015 Sektor Transportasi
berkontribusi sebesar 0,19 sedangkan sektor Komunikasi sebesar 0,27 yang terus
mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya.
Sama halnya dengan sektor tersebut, untuk sektor keuangan dan real estate
pun terus berkontribusi secara stabil terhadap PDRB Sumsel, untuk sektor keuangan
diatas 0,10 sedangkan sektor real estate diatas 0,20, untuk sektor jasa-jasa belum ada
pergerakan yang berarti.
Dalam penyaluran kredit, keseluruhan sektor tersebut memiliki rasio dibawah
4% dari total keseluruhan penyaluran kredit (tabel 2). Sektor ini merupakan sektor
yang tumbuh cukup pesat seiring perkembangan tekhnologi yang semakin maju
sehingga bisa memberikan kontribusi terusmenerus terhadap PDRB di Sumatera
Selatan.

Grafik 4.
Jumlah Pelanggan Telepon menurut jenis penyelenggaraan jaringan
(2010-2013)

26
sumber: Kementerian Komunikasi dan Informatika

III. Kesimpulan
Diwilayah Sumatera Selatan terdapat dampak positif kredit terhadap
pertumbuhan ekonomi provinsi sebagaimana terlihat ketika kredit mengalir ke
sektor pertanian, maka perekonomian wilayah ini juga terangkat. Terdapat pola
umum mengapa di sebuah daerah kredit ke sektor tertentu dapat mendorong
pertumbuhan PDRB. Setidaknya terdapat tiga faktor utama. Yaitu:
1. Pangsa atau pertumbuhan PDRB di sebuah sektor merupakan kontributor
terbesar dari PDRB atau pertumbuhan PDRB secara umum, sehingga kredit
yang mengalir ke sektor dominan tersebut cenderung dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.
2. Terdapat peran pemerintah yang efektif khususnya dalam merealisasikan belanja
modal di APBD, sehingga berdampak positif bagi kepercayaan dunia usaha
dan perbankan.
3. Terdapat potensi jangka panjang di sektor-sektor tersebut di suatu daerah,
sehingga dorongan kredit perbankan akan membantu memaksimalkan
potensin tersebut untuk mendorong produktivitas dan pertumbuhan PDRB.
Sumatera Selatan.
Sumber pertumbuhan ekonomi didominasi oleh pertambangan dan
penggalian (1.93%, yoy) dan industri pengolahan (0.93%), sementara pertanian,
kehutanan dan perikanan menyumbang 0.32% (yoy). Untuk sektor pertanian,
penyerapan produksi CPO oleh pasar domestik masih sangat tinggi, sementara

27
harga CPO dan inti sawit di akhir 2014 meningkat masing-masing 16,3% dan
46,3%.
Pertumbuhan sektoral tertinggi adalah pertanian, serta pertambangan dan
penggalian. Sektor pertanian, kehutanan dan perikanan tumbuh 4.1 % (yoy) di
2014. Dan, pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian mencapai 2.9%
(yoy) di 2014. Pada sektor pertambangan dan penggalian, dampak turunnya
harga batubara internasional dan pelemahan ekspor ke Tiongkok dapat diminimalisasi
dengan pembukaan pasar baru ke India, Vietnam, Jepang, Malaysia, Kamboja,
Thailand dan Taiwan.
Permintaan domestik akan batubara dari Sumatera Selatan juga meningkat
untuk kebutuhan PLTU Oleh karena itu, kredit ke sektor pertanian, maupun
sektor pertambangan dan penggalian akan memperkuat basis pertumbuhan
ekonomi. Sektor industri terkena imbas penurunan, khususnya industri kimia dan
karet seiring berlanjutnya tren penurunan harga komoditas dunia dan permintaan
karet alam melemah.

DAFTAR PUSTAKA
Akapansung, A. O. Dan Babalola, S. J. (2009). Banking Sector Credit and Economic
Growth in Nigeria : An Empirical Investigation. CBN Journal of Applied
Statistics.Retrievedfrom http://www.cenbank.org

28
Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan. (2014). Produk Domestik
regional Bruto Provinsi Sumatera Selatan 2009-2013. Badan Pusat Statistik.

Bank Indonesia. (n.d.). Bank Indonesia. Retrieved November 17, 2014, from Bank
Indonesia:http://www.bi.go.id/id/moneter/birate/penjelasan/Contents/Default.asp
x

Bayoumi, T., & Melander, O. (2008). Empirical Evidence on U.S. Macro-Financial


Linkages. IMF Working Paper .

Case, E. K. dan Fair, C. R. (2006). Prinsip-Prinsip Ekonomi (8th ed). Jakarta:


Erlangga.

Fisman, R., & Love, I. (2003). Trade Credit,


FinancialIntermediary Development,and Industry Growth. Journal ofFinance ,
353-374.

Irawan dan Suparmoko, M. (2002). Ekonomika Pembangunan (6th ed). Yogyakarta:


BPFE.

Kurniasari, W. (2012). Analisis Pengaruh Kredit Perbankan Dan Tenaga Kerja .

Meier, S. (2005). How Global is Good Corporate Governance. Ethical Investment


Research Services. Retrieved from http://www.eiris.org

Mukhopadhay, & Pradhan. (2010). An Investigation of the Finance-Growth


Nexus: Study of Asian Developing Countries Using Multivariate VAR Model.
I , 134-140.

Rodrigue, J.-P., & Theo, N. (2013). Transportation and Economic Development 3rd
edition . New York: Routledge.

The World Bank. (n.d.). The World Bank. Retrieved November 11, 2014, from The
World Bank: http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD

Santoso, R. T. (1993) Mengenal Dunia Perbankan. Yogyakarta: Andi Offset.

Sukirno, Sadono. (2006).Ekonomi Pembangunan. Jakarta:Fakultas Ekonomi UI.

Suta, I.P. G. A. dan Musa, S. (2003). BPPN. Jakarta: Satria Bhakti.

Suyatno, T., Sukada, M., Chalik, Ananda, T. Y., & Marala, D. (1995). Dasar-Dasar
Perkreditan Edisi Keempat. In T. Suyatno, M. Sukada, Chalik, T. Y. Ananda, & D.

29
Marala, Dasar-Dasar Perkreditan Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.

Timsina, N. (2014). Impact of Bank Credit on Economic Growth in Nepal. NRB


Working Paper No. 22 .

30

Anda mungkin juga menyukai