Anda di halaman 1dari 35

REFRESHING

DERMATOMIKOSIS SUPERFISIAL

Pembimbing :
dr. Chadijah Rifai, Sp.KK

Oleh :
Gisni Luthviatul (2012730128)

STASE ILMU KULIT & KELAMIN


KEPANITERAAN KLINIK RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA
CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2017

BAB I
PENDAHULUAN

Kelainan kulit akibat jamur atau dermatomikosis umumnya digolongkan


menjadi 2 kelompok, yakni: mikosis superfisial dan mikosis subkutan Mikosis
superfisial adalah infeksi jamur yang mengenai jaringan mati pada kulit, kuku, dan
rambut. Dalam beberapa buku, infeksi jamur ini dibedakan lagi menjadi mikosis
superfisial dan mikosis kutan berdasarkan reaksi jaringan. Pada mikosis superfisial
tidak terjadi reaksi inflamasi atau terjadi inflamasi ringan, yakni pada pitiriasis
versikolor, folikuliitis Malassezia, piedra, dan tinea nigra, atau disebut juga sebagai
kelompok non-dermatofitosis. Pada mikosis kutan, meskipun yang diserang bukan
jaringan hidup, terjadi reaksi inflamasi yang diakibatkan metabolit jamur, yakni pada
kelompok dermatofitosis. Mikosis superfisial banyak ditemukan di dunia, terutama di
daerah tropis, termasuk Indonesia.1

Mikosis subkutan adalah kelainan akibat jamur yang melibatkan jaringan di


bawah kulit. Kelainan ini relatif jarang dijumpai. Beberapa di antaranya adalah:
misetoma, kromomikosis, zigomikosis subkutan, sporotrikosis, rinosporidiosis, yang
selanjutnya akan dibahas dalam bab ini. Kandidosis, satu penyakit jamur yang
banyak ditemukan dan disebabkan Candida spp, akan dibicarakan terpisah karena
bersifat oportunistik dan dapat memberi pelbagai bentuk klinis, baik superfisialis
maupun sistemik. Selain kelainan yang telah disebut di atas, penyakit jamur pada
kulit dapat merupakan manifestasi diseminasi kulit dari infeksi jamur sistemik atau
deep mycosis yang tidak akan dibahas di sini. Selanjutnya akan dibahas tentang
mikosis superfisialis yang dikelompokkan menjadi nondermatofitosis dan
dermatofitosis.1

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. NONDERMATOFITOSIS

Adapun yang termasuk ke dalam infeksi jamur non dermatofitosis


meliputi:

A. Pitriasis versikolor
B. Piedra
C. Tinea nigra

A. Pitiriasis Vesikolor

Definisi

Pitiriasis vesikolor (PV) adalah infeksi kulit superfisialis kronik,


disebabkan oleh ragi genus Malassezia , umumnya tidak memberikan
gejala subyektif, ditandai oleh area depigmentasi atau diskolorasi
berskuama halus, tersebar diskret atau konfluen, dan terutama terdapat
pada badan bagian atas.1

Epidemiologi

Pitiriasis vesikolor merupakan penyakit universal, terutama


ditemukan di daerah tropis, lebih banyak ditemukan pada remaja dan
dewasa muda, jarang pada anak dan orangtua. Di Indonesia, kelainan ini
merupakan penyakit yang terbbanyak ditemukan di antara berbagai
penyakit kulit akibat jamur.1

Prevalensi pitiriasis versikolor di Amerika adalah sekitar 2-8%


dari populasi. Insidensi pitiriasis versikolor sama pada semua ras, tetapi
erupsi lebih banyak ditemukan pada orang berkulit hitam. 2

Etiologi

3
Pitiriasis vesikolor disebabkan oleh Malassezia spp. Ragi bersifat
lipofilik yang merupakan flora normal pada kulit. Jamur ini bersifat
dimorfik, bentuk ragi dapat berubah menjadi hifa. Dahulu ragi ini
digolongkan sebagai genus Pityrosporum (terdiri atas sporum ovale dan
Pityrosporum orbi- culare), tetapi kemudian mengalami reklasifikasi
sebagai genus Malassezia. Berdasarkan analisis genetik, diidentifikasi 6
spesies lipofilik pada kulit manusia yakni M. furfur, M. sympodialis, M.
globosa, M. restricta, M. slooffiae, M. obtusa; dan satu spesies yang
kurang lipofilik dan biasa terdapat pada kulit hewan, M pachydermatis.
Selanjutnya dilapor kan spesies lain: M. dermatis, M yaponica, M. nana
M caprae, M equine. Sifat lipofilik menyebabkan ragi ini banyak
berkolonisasi pada area yang kaya sekresi kelenjar sebasea. Beberapa
studi terpisah menunjukkan bahwa M. globosa banyak berhubungan
dengan PV, tetapi studi lain menunjukkan bahwa M sympodialis dan M
furfur yang predominan pada PV1

Patogenesis

Malassezia spp. yang semula berbentuk ragi saprofitakan berubah


menjadi bentuk miselia yang menyebabkan kelainan kulit PV. Faktor
predisposisi yang diduga dapat menyebabkan perubahan berupa suhu,
kelembaban lingkungan yang tinggi, dan tegangan CO2 tinggi permukaan
kulit akibat oklusi, faktor genetik, kondisi imunosupresif, dan malnutrisi.1

Beberapa mekanisme dianggap merupakan penyebab perubahan


warna pada lesi kulit, yakni Malassezia sp. memproduksi asam
dikarboksilat yang menggangu pembentukan pigmen melanin, dan
memproduksi metabolit (pityriacirin) yang mempunyai kemampuan
absorbsi sinar ultraviolet sehingga menyebabkan lesi hipopigmentasi.
Mekanisme terjadinya lesi hiperpigmentasi belum jelas, tetapi satu studi
menunjukan pada pemeriksaan mikriskop elektron didapati ukuran

4
melanosom yang lebih besar dari normal. Lapisan keratin yang lebih tebal
juga dijumpai pada lesi hiperpigmentasi. 1

Gambaran Klinis

Lesi terutama dijumpai di bagian dada, punggung, perut, lengan,


dan tungkai atas. Kadang dijumpai lesi di wajah, kulit kepala, dan
genitalia. Lesi berupa perubahan warna berbatas tegas dan bervariasi, dari
hipopigmentasi (gambar 1), hiperpigmentasi (Gambar 2), atau kemerahan
(Gambar 3), dengan skuama halus diatasnya. Ukuran lesi bervariasi dari
miliar sampai plakat, dengan bentuk yang juga bervariasi. Pada beberapa
kasus tampak lesi miliar di folikel rambut ( Gambar 4).3

Gambar 1. Gambar 2.

Pitiriasis vesikolor (hipopigmentasi) Pitiriasis Vesikolor (hiperpigmentasi)

5
Gambar 3. Gambar 4.

Pitiriasis vesikolor (eritematosa) pitiriasis vesikolor (folikular)

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan dengan lampu Wood memberikan fluoresensi


kekuningan akibat metabolit asam dikarboksilat.1

Pemeriksaan mikroskopik kerokan skuama menunjukkan


kelompok sel ragi berbentuk bulat dan hifa pendek (meatball and
spaghetti appearance,gambar 5). Elemen jamur akan terlihat lebih jelas
jika ditambahkan tinta Parker biru-hitam pada sediaan KOH.3

Meatball and spaghetti appearance

(sediaan dengan larutan KOH 20%)

6
Pada pemeriksaan dengan KOH 10-20% tampak dermatofit yang
memiliki septa dan percabangan hifa.4

Diagnosis Banding

Vitiligo, melasma, eritrasma, kusta.3

Tatalaksana

Menghilangkan tau menghindari faktor predisposisi merupakan


hal penting, misalnya keringat berlebihan dan suhu panas.3

Sebagai obat topikal dapat digunakan antara lain selenium sulfide


bentuk sampo 1,8% atau bentuk losio 2,5 % yang dioleskan tiap hari
selama 15-30 menit dan kemudian dibilas. Pengolessan dianjurkan di
seluruh badan selain kepala dan genitalia. Ketokonazol 2% bentuk sampo
juga dapat digunakan serupa dengan sampo selenium sulfid.1

Untuk lesi terbatas, berbagai krim derivat azol misalnya,


mikonazol, klotrimazol, isokonazol, ekonazol. Obat topikal sebaiknya
diteruskan 2 minggu setelah pemeriksaan dengan lampu Wood. Obat
sistemik dipertimbangkan pada lesi luas, kambuhan, dan gagal dengan
terapi topikal, antar lain dengan ketokonazol 200mg/hari selama 5-10 hari
atau itrakonazol 200mg/hari selama 5-7 hari.1

Prognosis

Prognosis baik jika pengobatan dilakukan secara tekun dan


konsisten, serta faktor predisposisi dapat dihindari. Lesi hipopigmentasi
dapat bertahan sampai beberapa bulan setlah jamur negatif, hal ini perlu
dijelaskan kepada pasien.1

B. Piedra

Definisi

7
Piedra adalah infeksi jamur pada helai rambut, ditandai dengan
benjolan (nodul) sepanjang rambut. Dikenal 2 jenis, piedra hitam, yang
disebabkan jamur Piedraia hortae, dan piedra putih yang dulu dianggap
disebabkan oleh Trichosporon beigelli, ternyata kemudian terbukti
disebabkan oleh beberapa spesies genus Trichosporon antara lain T
ovoides, T. inkin, T asahii..2

Epidemiologi

Piedra hitam terutama menyerang rambut kepala, meskipun


pernah dilaporkan pada area tubuh lain yakni jenggot, kumis, dan pubis.
Kelainan ini terutama ditemui di daerah tropis di Amerika Selatan,
kepulauan Pasifik, dan Timur Jauh; di Asia dan Afrika jarang. Selain pada
manusia, kelainan ini dapat ditemui pada monyet dan primata lain. Di
Indonesia hingga sekarang hanya ditemui jenis piedra hitam. Piedra putih
terutama menyerang rambut aksila, genital, dan jenggot. Ditemukan di
daerah beriklim sedang atau subtropis, hanya kadang di daerah tropis.1

Etiologi

Piedra hitam disebabkan jamur Piedraia hortae yang ditemukan di


tanah dan air tergenang dan piedra putih disebabkan oleh beberapa spesies
genus Trichosporon antara lain T.ovoides, T.inkin, T.asahii, dapat
ditemukan baik di tanah, udara, air, tumbuhan, dan permukaan kulit.1

Patogenesis

Jamur penyebab masuk ke kutikula rambut, tumbuh mengelilingi


rambut membentuk benjolan-benjolan, dan dapat menimbulkan ruptur
atau trikoreksis dan patah rambut. Transmisi dari orang ke orang jarang,
meskipun piedra putih dilaporkan berhubungan dengan transmisi seksual.1

Gejala Klinis

Piedra hitam terutama pada rambut kepala, bersifat asimtomatik,


ditandai dengan benjolan atau nodul hitam lonjong, keras, multipel, yang

8
melekat erat pada rambut, berukuran mikroskopis sampai 1 milimeter.
Bila rambut disisir akan terdengar suara bergelitik, dan rambut sering
patah.1

Piedra putih terutama pada rambut aksila, genital, jenggot, berupa


benjolan lunak, multipel berukuran mikroskopik hingga 1 milimeter,
berwarna putih sampai coklat muda, dan tidak terlalu melekat erat pada
rambut, sehingga mudah dilepaskan. Kadang beniolan menyatu
membentuk selubung menggelilingi rambut. Rambut patah dapat terjadi,
tetapi lebih jarang dibandingkan dengan piedra hitam.1

Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan mikroskopik rambut piedra hitam dengan


larutan KOH tampak benjolan-benjolan terpisah yang terdiri atas
anyaman padat hifa berwarna coklat-hitam, tersusun reguler. Di bagian
tepi dapat ditemukan artokonidia berdiameter 4-8 um, dan di tengah dapat
ditemukan askus yang berisi 8 askospora berbentuk fusiformis (Gambar
6).1,3

Gambar 6. Piedra hitam (pemeriksaan dengan larutan KOH 20%)

Diagnosa Banding

9
Piedra perlu dibedakan anatar lain dengan pedikulosis kapitis,
trikoreksis nodosa, trikomikosis aksilaris, serta berbagai kelainan kulit
kepala dengan gambaranklinis berupa skuama.3

Tatalaksana

Menggunting rambut yang terkena infeksi adalah pengobatan terbaik


untuk piedra hitam maupun putih. Cara pengobatan lain dapat dengan
lauratan sublimat 1/2000 setiap hari atau sediaan azol topikal. Di
Indonesia pernah dilaporkan keberhasilan pengobatan piedra hitam
dengan sampo ketokonazol.1,3

C. Tinea Nigra Palmaris

Definisi

Tinea nigra adalah infeksi jamur superfisial yang asimptomatik pada


stratum korneum, biasanya pada telapak tangan, walaupun telapak kaki
dan permukaan kulit lain dapat terkena. Kelainan kulit berupa makula
coklat sampai hitam. Disebabkan oleh Phaeoannellomyces werneckii,
jamur ini termasuk nondermatofita, dengan predileksi di telapak tangan
atau telapak kaki.1

Epidemiologi

Kasus tinea nigra terjadi secara sporadik, di daerah tropis dan


subtropis, terutama Amerika Selatan dan Tengah, Afrika, Asia, termasuk
di Indonesia. Kadang-kadang ditemukan di Amerika Serikat dan Eropa.1

Etiologi

Organisme penyebab adalah jamur dematiaceae atau jamur berpigmen


hitam- Hortaea werneckiiatau Cladosporium werneckii (dulu disebut
Exophialia werneckii atau Phaeaeoannellomyces werneckii).1

Patogenesis

10
jamur ini biasa hidup di tanah, saluran pembuangan air, dan tanaman
busuk. Infeksi timbul akibat inoklusi jamur setelah trauma, dengan masa
inkubasi 2-7 minggu. Penularan dari orang lain jarang terjadi. Tidak ada
faktor predisposisi.1

Gejala Klinis

Kelainan berupa makula cokelat kehitaman yang asimtomatik


(tidak gatal, tidak nyeri), tanpa atau dengan sedikit skuama. Tepi lesi
dapat berwarna lebih gelap (Gambar 7).3,5

Gambar 7. Tinea nigra palmaris

Pemeriksaan Penunjang

Kerokan lesi untuk pemeriksaan mikroskopik dengan larutan


KOH menunjukkan hifa cokelat atau kehijauan dan sel ragi.3

Diagnosa Banding

Tinea nigra dapar menyerupai nevus junctional, dermatitis


kontak, kulit yang terkena zat kimia, pigmentasi pada penyakit Addison,
sifilis, pinta, dan melanom.1

Tatalaksana

11
Tidak ada pencegahan yang khusus. Pengobatan terhadap penyakit
ini dapat dilakukan dengan cara5:
Obat topikal
1. Obat keratolitik : Salep Whitfield(=AAV II, berisi asidum salisilikum
6%, asidum
benzoikum 12% dalam vaselin album ) dioleskan pagi dan malam.
2. Salep AAV I (half strengh Whitfield ointment) tidak efektif.
3. Krim asam Undesilenik 2-3 minggu
4. Krim Imidazol : mikonazol, klotrimazol, ketokonazol dioleskan 2 x
sehari.
5. Krim Terbinafin
6. Asam Retinoid
7. Ciclopirox
Obat topikal dilanjutkan selama 2-4 minggu sesudah sembuh
klinis untuk mencegah kambuh, minimal 3 minggu pengobatan.
Dianjurkan dikerok / dikupas dengan penempelan cellophane tape
(selotip) terlebih dahulu, baru diolesi obat topikal.5
Obat oral
Indikasi obat oral adalah bila setelah pengobatan topikal yang
adekuat tidak sembuh. Obat yang dapat diberikan1 :
1. Ketokonazol 200 mg/ hari selama 3 minggu.
2. Itrakonazol

Prognosa

Karena asimtomatik, tinea nigra tidak memberi keluhan pada


penderita kecuali keluhan estetik, apabila tidak diobati penyakit akan
menjadi kronik.1

II. DERMATOFITOSIS

PENDAHULUAN

12
Dermatofitosis adalah salah satu kelompok dermatomikosis
superfisialis yang disebabkan oleh jamur dermatofit, terjadi sebagai reaksi
pejamu terhadap produk metabolit jamur dan akibat invasi oleh suatu
organisme pada jaringan hidup. Terdapat tiga langkah utama terjadinya
infeksi dermatofi, yaitu perlengketan dermatofit pada keratin penetrasi
melalui dan diantara sel, serta terbentuknya respon pejamu.4

Patogenesis dermatofitosis tergantung pada faktor lingkungan,


antara lain iklim yang panas, higiene perseorangan, sumber penularan,
penggunaan obat-obatan steroid, antibiotik dan sitostatika, imunogenitas
dan kemampuan invasi organisme, lokasi infeksi serta respon imun dari
pasien.4

Definisi

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung


zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis (tinea korporis dan
kruris), rambut (tinea kapitis) dan kuku (tinea unguium) yang disebabkan
oleh jamur dermatofita. Tinea korporis dan kruris juga disebut tinea
glabrosa, yakni tinea yang menyerang kulit yang tidak berambut terminal.
Jamur ini dapat menginvasi seluruh lapisan stratum korneum dan
menghasilkan gejala melalui aktivasi respons imun pejamu.5

Epidemiologi

Usia, jenis kelami, ras merupkan faktor epidemiologi yang penting


dimana infeksi dermatofit pada laki-laki lima kali lebih banyak dari
wanita. Namun demikian tinea kapitis karena Trichophyton tonsurans
lebih sering pada wanita dewasa dibandingkan laki-laki dewasa, dan lebih
sering terjadi pada anak-anak Afrika Amerika. Hal ini terjadi karena
adanya pengaruh kebersihan perorangan, lingkungan yang kumuh dan
padat serta status sosial ekonomi dalam penyebaran infeksinya. Jamur

13
penyebab tnea kapitis ditemukan pada sisir, topi, sarung bantal, mainan
anaj-anak atau bahkan kursi di gedung teater.4

Perpindahan manusia dengan cepat mempengaruhi penyebaran


endemik jamur. Pemakaian bahan-bahan materil yang sifatnya oklusif,
adanya trauma, dan pemanasan dapat meningkatkan temperatur dan
kelembaban kulit meningkat kejadian tinea. Alas kaki yang tertutup,
berjalan, adanya tekanan temperatur, kebiasaan penggunaan pelembab,
dan kaos kaki yang berkeringat meningkatkan kejadian tinea pedis.4

Etilogi

Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan


dermatofitosis. Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan
keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi
menjadi tiga genus adalah Trichophyton, Epidermophyton, dan
Microsporum.5

Selain sifat keratofilik masih banyak sifat yang sama di antara


dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat
makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.5

Klasifikasi

Dermatofitosis disebut juga dengan istilah infeksi tinea yang


dikelompokkan
lebih lanjut berdasarkan lokasi infeksinya, yaitu 5:
1. Tinea Kapitis : dermatofitosis pada kulit kepala dan rambut kepala

2. Tinea Barbe : dermatofitosis pada dagu dan jenggot

3. Tinea Kruris : dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar


anus, bokong, dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah

14
4. Tinea Pedis et Manum : dermatofitosis pada kaki dan tangan

5. Tinea Unguium : dermatofitosis pada jari tangan dan kaki

6. Tinea Korporis : dermatofitosis pada bagian lain yang tidak


termasuk bentuk 5 diatas.

1. Tinea Kapitis
Kelainan pada kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh
spesies dermatofita. Kelianan ini ditandai dengan lesi bersisik,
kemerah-merahan, alopesia, dan kadang-kadang terjadi gambaran
klinis yang lebih berat, yang disebut korion. Di klinik tinea
kapitis dapat dilihat sebagai 3 bentuk yang jelas,5 yaitu:
a. Gray patch ringworm merupakan tinea kapitis yang biasanya
disebabkan Microsporum dan sering ditemukan pada anak-
anak. Penyakit ini mulai dengan papul merah kecil di sekitar
rambut. Papul ini melebar dan membentuk bercak, yang
menjadi pucat dan bersisik. Keluhan penderita adalah rasa
gatal. Rambut menjadi abu-abu dan tidak berkilat lagi. Rambut
mudah patah dan terlepas dari akarnya, sehingga mudah
dicabut dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua rambut di
daerah tersebut terserang oleh jamur, sehingga dapat terbentuk
alopesia setempat. Tempat-tempat ini terlihat sebagai grey
patch (Gambar 8). Pada pemeriksaan dengan lampu Wood
dapat dilihat flouresensi hijau kekuning-kuningan pada rambut
yang sakit melampaui batas-batas grey patch tersebut. 5

15
Gambar 8. Grey patch

b. Black dot ringworm adalah rambut yang terkena infeksi patah,


tepat pada muara folikel, dan yang tertinggal adalah ujung
rambut yang penuh spora. Ujung rambut yang hitam di dalam
folikel rambut ini memberi gambaran khas, yaitu black dot
(Gambar 9). Ujung rambut yang patah, apabila tumbuh
kadang-kadang masuk ke bawah permukaan kulit.5

Gambar 9. Balck dot


c. Kerion adalah reaksi peradangan berat pada tinea kapitis,
berupa pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan
sebukan sel radang yang padat disekitarnya (Gambar 10).
Kelainan ini dapat menimbulkan jaringan parut dan berakibat

16
alopesia yang menetap. Jaringan parut yang menonjol kadang-
kadang dapat terbentuk.5

Gambar 10. Keroin

2. Tinea Pedis
Tinea pedis adalah dermatofitosis pada kaki, terutama pada
sela-sela jari dan telapak kaki.5
1. Tinea pedis yang tersering dilihat adalah bentuk
interdigitalis. Di antara jari IV dan V terlihat fisura yang
dilingkari sisik halus dan tipis (Gambar 11). Oleh karena
daerah ini lembab, maka sering dilihat maserasi. Aspek
klinis maserasi kulit putih dan rapuh. Cenderung meluas
ke sela jari lain.5

17
Gambar 11. Tinea interdigitalis
2. Bentuk lain ialah yang disebut moccasin foot. Pada
seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai punggung kaki
terlihat kulit menebal dan bersisik (Gambar 12). Eritema
biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi
lesi. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul dan
kadang-kadang vesikel.5

18
Gambar 12. Moccasin foot.

3. Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-pustul dan


kadang-kadang bula. Kelainan ini dapat mulai pada
daerah sela jari, kemudian meluas ke punggung kaki dan
telapak kaki. Setelah bula pecah meninggalkan sisik yang
berbentuk lingkaran yang disebut koleret (Gambar 13). 5,7

Gambar 13. Tinea pedis (koleret)

19
3. Tinea Unguium
Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh jamur
dermatofita. Terdapat beberapa bentuk klinis5,7:
1. Subungual distalis
Bentuk ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku.
Proses ini mejalar ke proksimal dan di bawah kuku
terbentuk sisa kuku rapuh. Apabila proses berjalan terus,
maka permukaan kuku bagian distal akan hancur dan
terlihat hanya kuku rapuh yang menyerupai kapur
(Gambar 14).5,7

Gambar 14. Subungual distalis

2. Leukonikia trikofita
Kelainan kuku pada bentuk ini merupakan leukonikia atau
keputihan di permukaan kuku yang dapat dikerok untuk
dibuktikan adanya elemen jamur (Gambar 15). Kelainan
ini dihubungkan dengan Trichophyton mentagrophytes
sebagai penyebabnya. 1,6

Gambar 15. Leukonikia trikofita

3. Subungual proksimal

20
Bentuk ini mulai dari pangkal kuku bagian proksimal
terutama menyerang kuku dan membentuk gambaran
klinis yang khas, yaitu terlihat kuku di bagian distal masih
utuh, sedangkan proksimal rusak (Gambar 16).5,7

Gambar 16. Subungual proksimal

4. Tinea Kruris
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah
perineum, dan sekitar anus. Kelianan ini bersifat akut atau
menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung
seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah sekitar anus,
daerah gluteus dan perut bagian bawah. Lesi berbatas tegas,
peradangan pada tepi lebih nyata dari pada daerah tengahnya.
Apabila penyakit ini menahun, dapat berupa bercak hitam disertai
sedikit sisik (Gambar 17).5,7

21
Gambar 17. Tinea kruris

5. Tinea Korporis
Tinea korporis merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh
tidak berambut. Kelainan yang dilihat dalam klik merupakan lesi
bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritem, skuama,
kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah
tengahnya biasanya lebih tenang, kadang terlihat erosi akibat
garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak
terpisah dengan yang lainnya. Lesi di pinggir polisiklik, karena
beberapa lesi kulit menjadi satu (Gambar 18).5

Gambar 18. Tinea korporis

22
Tatalaksana

Tersedia bermacam pengobatan topikal maupun sistemik untuk


berbagai tipe dermatofitosis. Sejalan dengan penetrasi dermatofita ke
dalam folikel rambut, maja infeksi yang mengenai daerah berambut
memerlukan pengobatan oral.5

Terapi Oral
- Griseofulvin : dewasa (0,5-1 gr/hari)
Anak-anak (0,25-0,5 gr/hari atau 10-25mg/kgBB/hari)
Setelah sembuh klinis pengobatan dilanjutkan hingga 2 minggu.
- Ketokonazol 200mg/hari selama 10 hari- 2 minggu.
Kontraindikasi pada penderita kelainan hepar.
- Itrakonazol 2x100-200mg/hari selama 3 hari.
- Terbinafin, dosis 62,5mg-250mg selama 2-3 minggu. Efek
samping gangguan gastrointestinal track.1
Topikal
- Asam salisil 2-4%
- Asam benzoate 6-12%
- Sulfur 4-6%
- Vioform 3%
- Asam undesilenat 2-5%
- Zat warna hijau brilian 1%
- siklopiroksamin

23
III. Dermatomikosis Profunda
1. Misetoma
Misetoma adalah penyakit kronik, supuratif, dan granulomatosa yang
dapat disebabkan bakteri Actinomyces dan Nocardia yang termasuk
Schizomycetes dan Eumycetes atau jamur berfilamen. Terdapat 2
jenis misetoma, yaitu: misetoma aktinomikotik (bacterial mycetoma)
dan misetoma maduromikotik (fungal mycetoma/eumycetoma)
a. Misetoma aktinomikotik (bacterial mycetoma)
a) Definisi dan etiologi
Aktinomikosis adalah penyakit infeksi jamur kronik
dengan nodulus-nodulus supuratif, granulomatosa disertai
sinus-sinus yang mengeluarkan eksudat purulen. Jamur
penyebabnya adalah Actinomadura pelletieri, Nocardia
brasiliensis dan Streptomyces somaliensis.
b) Gambaran klinis
Aktinomikosis servikofasialis merupakan infeksi primer
yang terjadi secaraendogen, karena adanya faktor predisposisi
berupa trauma pada jaringan,misalnya setelah pencabutan gigi.
Mikroorganisme penyebab dapat menjalar ke jaringan lunak di
sekitar perkotinuitatum, terutama pada mandibula.
Aktinomikosis servikofasialis menyebabkan
pembengkakan yang pada mulanya tidak khas pada bagian
mandibula, namun dapat berubah menjadi keras seperti papan
dengan permukaan yang berbenjol (lampy jaw), diikuti
dengan pembentukan abses dan fistul ekstra oral. Bila infeksi
mengenai otot yang berperan dalam fungsi pengunyahan dapat
menyebabkan gejala trismus. Diagnosis laboratoris dilakukan
dengan memeriksa pus dari lesi berupa granula aktinomikotik.
c) Diagnosis : Pemeriksaan pus dari lesi yang berupa granula
aktinomikotik (sulfur granules)
d. Terapi : Aktinomikosis memiliki prognosis yang baik, obat
penicilin masih merupakan terapi untuk aktinomikosis

b. Misetoma maduromikotik (fungal mycetoma/ eumycetoma)


a) Pengertian

24
Maduromikosis merupakan penyakit jamur sistemik yang
mengenai tungkai atau kaki, unilateral, menahun, granulomatous
dengan pembentukan fistula yang disebabkan oleh jamur golongan
Madurella mycetomatis, Scedosporium apiospermum
(Pseudoallscheria boydii), Madurella grisea, Leptosphaeria
sinegalensis.
b) Gambaran klinis
Sakit dibedakan dari aktinomikotik yang disebabkan oleh
Actinomyces aerob. Pada tempat terjadinya trauma pada kaki atau
tungkai, mula-mula terjadi benjolan atau satu daerah yang
mengeras dengan pembentukan vesikula-vesikula disekelilingnya
yang kemudian berubah menjadi abses dibagian dalamnya, yang
sering tidak diketahui dari luar.
Abses dapat pecah dan mengeluarkan cairan serous berisi
butir-butir jamurnya. Butir-butir ini disebut granula
maduromikotik berwarna putih, kuning, merah atau hitam
c) Diagnosa
Dengan pemeriksaan mikroskopik, pembiakan dan biopsy.
Pada pemeriksaan mikroskopik granula maduromikotik berbentuk
oval, penuh dengan potongan-potongan hifa, bercabang,
bersegmen dan lebar-lebar. pada biakan dengan menggunakan
media SGA akan tumbuh koloni berfilamen yang khas untuk
masing-masing spesies jamurnya. Pada potongan jaringan
misetoma dapat berwarna-warni. Dengan pewarnaan HE dan PAS
akan tempak granula yang lonjong dikelilingi oleh nanah dan sel
makrofag atau sel-sel datia.
d) Pengobatan
Maduromikosis esisten terhadap pengobatan. Bila tulang
telah terkena, pengobatannya deilakukan secara amputasi tetapi
bila tulang terkena dapatdiberika amfoterisin A. bila ada infeksi
sekunder dari bakteri dapat diberikan antibiotic.

Gejala klinis
Biasanya terdiri atas pembengkakan,abses, sinus, dan fistel
multiple. Di dalam sinus ditemukan butir-butir (granules)

25
yang berpigmen yang kemudian dikeluarkan melalui
eksudat.Berhubungan dengan penyebabnya, misetoma yang
disebabkan Actinomyces disebut Actinomycotic mycetoma yang
disebabkan bakteri botryomycosis dan yang disebabkan jamur
berfilamen dinamakan maduromycosis biasanya merupakan lesi kulit
yang sirkumskrip dengan pembengkakan seperti tumor jinak dan
harus disertai butir-butir. Inflamasi dapat menjalar dari permukaan
sampai ke bagian dalam dapat menyerang subkutis, fasia, otot, dan
tulang. Sering berbentuk fistel yang mengeluarkan eksudat.

Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan klinis morfologik sesuai dengan
urain di atas. Namun bila disokong dengan gambaran histologik dan
hasil biakan, diagnosis akan lebih meyakinkan. Lagi pula penentuan
spesies penyebab sangat penting artinya untuk terapi dan prognosis.

Pengobatan
Pengobatan misetoma biasanya harus disertai reseksi radikal,
bahkan amputasi kadang-kadang perlu dipertimbangkan. Obat-obat
misalnya kombinasi kotrimoksazol dengan streptomisin dapat
bermanfaat, bila penyakit yang dihadapi adalah misetoma
aktinomikotik, tetapi pengobatan memerlukan waktu lama (9 bulan-
1tahun) dan bila kelainan belum meluas benar. Obat-obat baru
antifungal misalnya itrakonazol dapat dipertimbangkan untuk
misetoma maduromikotik.

Prognosis
Prognosis quo ad vitam umumnya baik. Pada maduromikosis
prognosis quo adsanationam tidak begitu baik tidak begitu baik bila
dibandingkan aktinomikosis atau botriomikosis. Diseminasi limfogen
atau hematogen dengan lesi pada alat-alat dalam merupakan
pengecualian.

26
2. Kromomikosis
Kromomikosis adalah infeksi jamur kronis pada kulit dan subkutan,
yang berbentuk noduli verukosa. Penyakit ini disebabkan oleh jamur
golongan dermatiaceae, yaitu jamur yang berwarna gelap. Ada
beberapa jenis, yaitu Cladosporium carionii, Phialophora
verrucosa, Fonsecae perdrosoi, H.compactum.
Penyakit ini ditandai dengan pembentukan nodus verukosa kutan yang
perlahan-lahan sehinggaakhirnya membentuk vegetasi papilomatosa
yang besar. Pertumbuhan ini dapat menjadi ulkus atau tidak, biasanya
ada di kaki dan tungkai, namun lokalisasi di tempat lain
pernahditemukan, misalnya pada tangan, muka, leher, dada, dan
bokong.

27
3. Sporotrikosis
Sporotrikosis adalah infeksi kronis yang disebabkan oleh
Sporotrichium schenkii dan ditandai dengan pembesaran kelenjar
getah bening. Kulit dan jaringan subkutis diatas nodus bening sering
melunak dan pecah membentuk ulkus yang indolen.
Umumnya mudah dibuat berdasarkan kelainan kulit yang
multiple yang umunya khas. Penyakit ini umumnya ditemukan pada
pekjerja hutan maupun petani. Selain gejala klinis, yang dapat
menyokong diagnosis adalah pembiakan terutama pada mencit atau
tikus dan pemeriksaan histopatologik.
- Tipe limfokutan
Bentuk ini paling sering dijumpai. Bentuk klasik dimulai dengan
papula merah muda dan tidak sakit, pustula dan nodus yang
kemudian mengalami ulserasi dengan dasar nekrosis di daerah
inokulasi, disebut sebagai Sporotrikosis chancre. Infeksi kemudian
meluas mengikuti aliran getah bening secara asenden dan

28
membentuk satu rantai nodus subkutan yang keras seperti tali
dalam waktu beberapa minggu.
Pada tipe ini infeksi terbatas pada kulit, pembuluh getah bening dan
jaringan subkutan. Bila terjadi penurunan imunitas akan terjadi
infeksi sistemik. Infeksi primer terjadi pada daerah ekstremitas dan
letaknya unilateral. Bila inokulasi primer terjadi pada daerah wajah,
akan terbentuk nodus satelit akibat penyebaran melalui pembukuh
getah bening yang arahnya berbeda-beda. Lesi ini selalu
melibatkan ekstremitas, khususnya tangan dan lengan.1,5,8
- Fixed cutaneous sporotrichosis
Biasanya terlihat pada area geofrafis dimana sporotrikosis endemis
dan orang mempunyai derajat imunitas yang tinggi. Infeksi hanya
terbatas pada daerah inokulasi dan tidak melibatkan pembuluh
getah bening. Gambaran klinis sangat bervariasi, antara lain dapat
berupa krusta tebal yang menutupi ulkus, erosi, pioderma, papula
yang mengalami infiltrasi dan plak menyerupai sarkoid, plak
verukosa, plak psoriasis dan selulitis muka. Sering dijumpai lesi
satelit kecil-kecil. Daerah yang paling sering terkena infeksi adalah
muka, leher dan badan.
- Sporotrikosis diseminata
Bentuk ini jarang dijumpai dan dapat mengenai tulang, sendi,
mukosa (mulut, hidung, mata), susunan saraf pusat (meningen),
ginjal, hati, usus dan genitalia. Pada beberapa kasus Sporothrix
schenckii menyebar dari lesi kutan, sementara peyebaran yag lain
muncul tanpa tanda-tanda kutan.

29
4. Rinosporidosis
Rinospoidiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh
organisme Rhinosporidium seeberi yang dulunya dianggap sebagai
jamur namun kini diyakini menjadi protistan perairan langka parasite
ikan.
Rhinosporidiosis paling mudah dan secara definitive didiagnosis
melalui pengamata mikroskopik organisme pada slide-slide dari
jaringan dibawah mikroskop. Berbentuk oval sporangia, berisi ratusan
endospore, mudah diamati dan diidentifikasi dibawah mikroskop.

KLASIFIKASI DERMATOFITOSIS

TINEA ETIOLOGI

30
Trichophyton rubrum
Interdigitalis Trichophyton interdigitale
Epidermophyton floccosum
Tinea pedis Trichophyton rubrum
Moccasin Foot
Epidermophyton floccosum
Subakut Trichophyton interdigitale
Microsporum auduoinii
Gray Patch Microsporum canis
Ringworm Microsporum ferrugineum
Trichophyton tonsurans
Trichophyton tonsurans
Black Dot Ringworm
Trichophyton violaceum
Microsporum auduoinii
Tinea kapitis Microsporum canis
Microsporum gypseum
Microsporum nanum
Kerion
Trichophyton interdigitale
Trichophyton schoenleinii
Trichophyton tonsurans
Trichophyton verrucosum
Trichophyton rubrum
Trichophyton concentrikum
Tinea korporis Trichophyton schoenleinii
Trichophyton violaceum
Microsporum gypseum
Trichophyton rubrum
Tinea kruris
Epidermophyton floccosum
Trichophyton rubrum
Subungual distalis
Trichophyton interdigitale
Tinea ungium Subungual Trichophyton rubrum
proksimalis Trichophyton megnini
Leukonikia trikofita Trichophyton mentagrophytes
OBAT ANTI JAMUR TOPIKAL

Golongan Jenis Fungisidal Fungistatik

Poliene Nystatin
Azole - Klotrimazole

31
Ekonazole

Mikonazole

Ketokonazole

Sulkonazole
Imidazole
Oksikonazol

Terkonazol

Tiokonazol

Sertakonazol

Naftifin

Alilamin/
Terbinafin (Candida
benzilamin (dermatofit)
albicans)
Butenafin

Amorolfin
Obat anti jamur
Siklopiroks
topikal lain
Haloprogin

OBAT ANTI JAMUR SISTEMIK

Jenis Fungisidal Fungistatik

Griseofulvin

Ketokonazole

32
Itrakonazol

Flukonazol

Vorikonazol

Terbinafin

Caspofungin

33
34
DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja, Unandar, Bramono, Kusmarinah. Nonderermatoitosis


Dalam: Menaldi, Sri Linuwih SW. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi ketujuh. Jakarta. Penerbit FK-UI. 2016.
2. V Kundu, Roopal. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatricks dermatology in general
medicine. Edisi ke-8.New York: McGraw-Hill.2008.h.2307
3. Menaldi Sri Linuwih, Sampurna T. Adhimukti, Novianto Endi.
Dermatofitosis. Penyakit Kulit dan Kelmain. Jakarta. Penerbit FK-UI.
2015.
4. Kurniati, Rosita Cita. Etiopathogenesis of Dermatophytoses. FK
UNAIR/RSU Dr. SoetomoSurabaya,2008.
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/BIKKK_vol%2020%20no
%203_des%202008_Acc_3.pdf Diunduh tanggal 19 Januari 2017.
5. Budimulja, U. Dermatofitosis. Dalam : Djuanda, A. Hamzah, N.
Aisah, S. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2016.
6. Sondakh E.E.J Cyndi, Pandaleke A. Thigita, Mawu O. Ferra. Profil
Dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin. FK.Sam Ratulangi.
Manado, 2016.
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/viewFile/12134/1
1715 diunduh tanggal 19 Januari 2017.
7. Gambar Tinea pedis, tinea korporis
http://www.dermnet.com/images/Tinea-Ringworm-Foot-Dorsum
diunduh tanggal 19 Januari 2017.

35

Anda mungkin juga menyukai