Anda di halaman 1dari 18

PEMBAHASAN

1. Penghasilan Neto PPh Wajib Pajak Badan


Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untuk
dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib
Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan
pembukuan. Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan
pembukuan. Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan
menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau
melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk
menyelenggarakan pembukuan.Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya
penghasilan neto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma
penghitungan. Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto,
dibuat /disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan
memperhatikan kewajaran. disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal :
a. Tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau
b. Pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara
tidak benar.
Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu
menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.
Syarat Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto Wajib Pajak yang menghitung
penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
a. Wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata
cara perpajakan. Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan
norma dalam menghitung penghasilan neto.
b. Memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan
pertama dalam tahun pajak yang bersangkutan.
c. Wajib Pajak memperoleh penghasilan bruto tidak melebihi jumlah sesuai ketentuan.
Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, Wajib Pajak tersebut dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan
pencatatan, atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi:
a. Tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau
pembukuan
1
b. Tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti
pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan sehingga mengakibatkan
peredaran bruto dan penghasilan neto yang sebenarnya tidak diketahui maka
peredaran bruto Wajib Pajak yang bersangkutan dihitung dengan cara lain yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan penghasilan
netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
2. Kompensasi Kerugian Fiskal
Apabila penghasilan bruto dikurangi biaya-biaya didapat kerugian, maka kerugian
tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 tahun
berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian
tersebut.
Contoh :
PT Anugerah dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp.1.200.000.000,00. Dalam
5 tahun berikutnya laba rugi fiskal PT Anugerah sebagai berikut :
2010 : laba fiskal Rp.200.000.000,00
2011 : laba fiskal (Rp.300.000.000,00)
2012 : laba fiskal Rp NIHIL
2013 : laba fiskal Rp.100.000.000,00
2014 : laba fiskal Rp.800.000.000,00
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 2009 (Rp.1.200.000.000 )
Laba fiskal tahun 2010 Rp. 200.000.000 +
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp.1.000.000.000)
Rugi fiskal tahun 2011 (Rp. 300.000.000)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp.1.000.000.000)
Laba fiskal tahun 2012 Rp NIHIL +
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp.1.000.000.000)
Laba fiskal tahun 2013 Rp. 100.000.000 +
Sisa rugi fiskal tahun 2009 Rp. 900.000.000)
Laba fiskal tahun 2014 Rp. 800.000.000 +
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp. 100.000.000)

Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp.100.000.000 yang masih tersisa pada akhir tahun 2014 tidak
boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi fiskal tahun 2011
sebesar Rp.300.000.000 hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun
2016, karena jangka waktu 5 tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada akhir tahun
2016.

2
3. Penghasilan Kena Pajak
Penghasilan Kena Pajak (PKP) merupakan dasar penghitungan untuk menentukan
besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang.
Bagi wajib pajak badan yang menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena
Pajaknya dihitung dengan menggunakan cara penghitungan biasa dengan contoh sebagai
berikut :
Peredaran bruto Rp. 6.000.000.000
Biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan (Rp.5.400.000.000)
Laba usaha (penghasilan netto usaha) Rp. 600.000.000
Penghasilan lainnya Rp.50.000.000
Biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara
penghasilan lainnya tersebut (Rp. 30.000.000)
Rp. 20.000.000
Kompensasi Kerugian (Rp. 10.000.000)
Penghasilan Kena Pajak Rp. 610.000.000

4. PPh Badan Terutang


Dasar Pengenaan Pajak. Untuk dapat menghitung PPh, terlebih dahulu harus diketahui dasar
pengenaan pajaknya. Untuk wajib pajak dalam negeri dan BUT yang menjadi dasar pengenaan
pajaknya adalah penghasilan kena pajak (PKP). Jika PKP untuk wajib pajak orang pribadi
adalah sebesar penghasilan neto dikurangi dengan PTKP maka lain halnya dengan perhitungan
Penghasilan Kena Pajak untuk wajib pajak badan. Besarnya Penghasilan Kena Pajak untuk
wajib pajak badan dihitung sebesar penghasilan netto nya.
Cara Menghitung PKP. Perhitungan besarnya penghasilan netto bagi wajib pajak badan
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan pembukuan atau menggunakan norma
perhitungan penghasilan netto.
Menghitung PKP dengan menggunakan pembukuan
Untuk wajib pajak badan besarnya PKP sama dengan penghasilan nettonya yaitu
penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang diperkenankan oleh Undang-Undang
PPh .
PKP WP Badan = Penghasilan Netto
= Penghasilan Bruto - Biaya yang diperkenankan UU PPh
Menghitung PKP dengan menggunakan norma perhitungan penghasilan netto
PKP WP Badan = Penghasilan Netto Kompensasi Kerugian
= ( Penghasilan Bruto biaya yang diperkenankan UU PPh ) kompensasi Kerugian

Apabila dalam menghitung PKP nya wajib pajak yang menggunakan norma perhitungan
penghasilan netto, besarnya penghasilan netto adalah sama besarnya dengan persentase norma
3
perhitungan penghasilan netto dikali dengan jumlah peredaran usahanya.Dalam hal terdapat rugi
tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan maka
5. Kredit Pajak PPh Badan
Ketentuan pasal 25 Undang-undang pajak penghasilan mengatur tentang penghitungan
besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak dalam tahun berjalan.
Pembayaran pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan:

1. Wajib pajak membayar sendiri pajaknya (PPh pasal 25).

2. Melalui pemotongan atau pemungutan pihak ketiga (PPh pasal 21, 22, 23, dan 24).
Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak
untuk setiap bulan adalah sebesar pajak penghasilan yang terutang menurut surat pemberitahuan
tahunan pajak penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:

a. Pajak penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 23,
serta pajak penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam pasal 22.

b. Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 24.
Dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak
Penghitungan Angsuran PPh pasal 25 Ayat (1) bagi Wajib Pajak Badan
PPh menurut SPT Tahunan PPh tahun lalu xxx
Pengurangan/Kredit pajak:
PPh pasal 22 xxx
PPh pasal 23 xxx
PPh pasal 24 xxx
Total kredit pajak xxx (-)
Dasar penghitungan angsuran xxx
Angsuran PPh pasal 25 = dasar penghitungan angsuran/12 (atau jumlah bulan dalam bagian
tahun pajak)
Contoh
Pajak penghasilan yang terutang untuk PT Perdana berdasarkan surat pemberitahuan tahunan
pajak penghasilan tahun 2009 sebesar Rp125.000.000.
Pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga serta yang terutang atau dibayar di
luar negeri dalam tahun 2009 adalah sebagai berikut:

Pajak penghasilan yang dipungut oleh pihak lain (PPh pasal 22) sebesar Rp30.000.000

Pajak penghasilan yang dipotong oleh pihak lain (PPh pasal 23) sebesar Rp15.000.000

4
Pajak penghasilan yang dibayar di luar negeri sebesar Rp42.500.000 tetapi berdasar
ketentuan yang dapat dikreditkan (PPh pasal 24) sebesar Rp40.000.000
Pajak penghasilan yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain, dan yang dibayarkan atau
terutang di luar negeri tersebut untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 8 bulan dalam
\tahun 2009.
Angsuran PPh pasal 25 untuk tahun 2010 adalah:
PPh terutang berdasar SPT Tahunan PPh tahun 2009 Rp 125.000.000
Kredit pajak:
PPh pasal 22 Rp30.000.000
PPh pasal 23 Rp15.000.000
PPh pasal 24 Rp40.000.000
Total kredit pajak Rp 85.000.000
Dasar penghitungan angsuran Rp 40.000.000
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak setiap bulan (PPh pasal
25) dalam tahun 2010 adalah:
Rp40.000.000 : 8 = Rp5.000.000
Tarif PPh Wajib Pajak Badan
Pada Pasal 17 ayat 1 huruf (b) UU Nomor 36 Tahun 2008 disebutkan :
b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh
delapan persen).
Pada Pasal 17 ayat 2 huruf (a) UU Nomor 36 Tahun 2008 disebutkan :
a. Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf (b) menjadi 25% (dua puluh lima persen)
yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
Kemudian pada pasal 17 (2b) Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 dikatakan :
Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40%
(empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa
efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar
5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan
ayat (2a) yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf b
Tarif ini diterapkan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, yaitu sebesar
28%.
PPh terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan penghasilan kena pajak.
Contoh:
Jumlah peredaran bruto dalam tahun pajak 2009 Rp 54.000.000.000
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dalam tahun pajak 2009 Rp 4.000.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang = 28% x Rp 4.000.000.000
= Rp 1.120.000.000
5
Tarif PPh Pasal 17 ayat (2b)
Tarif ini diterapkan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka
yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya. Wajib
Pajak tersebut dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif
sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008.
PPh terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan penghasilan kena pajak.
Contoh:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dalam tahun pajak 2009 Rp 1.250.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang = (28% - 5%) x Rp1.250.000.000
= Rp 287.500.000.
Lihat : Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2007 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan
bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka
Tarif PPh Pasal 31E
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000
(lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh
persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang
dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp
4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Penghitungan PPh terutang berdasarkan Pasal 31E dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Jika peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000, maka penghitungan PPh terutang
yaitu sebagai berikut:
PPh terutang = 50% X 28% X seluruh Penghasilan Kena Pajak
2) Jika peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000 sampai dengan Rp 50.000.000.000,
maka penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut:
PPh Terutang =(50% X 28%) X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
yang memperoleh fasilitas + 28% X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
yang tidak memperoleh fasilitas
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas
yaitu:
(Rp 4.800.000.000 / Peredaran bruto) X Penghasilan Kena Pajak
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh
fasilitas yaitu Penghasilan Kena Pajak - Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
yang memperoleh fasilitas.
Contoh 1
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 4.500.000.000 dengan Penghasilan
Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000
Penghitungan pajak yang terutang yaitu seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari
peredaran bruto tersebut dikenakan tarif sebesar 50% dari tarif Pajak Penghasilan badan yang

6
berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp 4.800.000.000.
Pajak Penghasilan yang terutang = 50% x 28% x Rp 500.000.000 = Rp 70.000.000
Contoh 2
Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 30.000.000.000 dengan Penghasilan
Kena Pajak sebesar Rp 3.000.000.000.
Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas
= (Rp 4.800.000.000 : Rp 30.000.000.000) x Rp 3.000.000.000
= Rp 480.000.000
jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas
= Rp 3.000.000.000 Rp 480.000.000 = Rp 2.520.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang
= (50%x 28% x Rp480.000.000) + (28% x Rp2.520.000.000)
= Rp 67.200.000 + Rp 705.600.000
= Rp772.800.000
6. PPh Kurang atau Lebih Bayar PPh Badan
Pajak Penghasilan pasal 29 akan terjadi apabila pajak terutang pada tahun pajak berjalan
melebihi jumlah kredit pajak yang telah dipotong atau dipungut pihak lain maupun yang telah
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak. Dengan kata lain PPh pasal 29 ini adalah Pajak Penghasilan
Kurang Bayar yang harus disetor oleh Wajib Pajak ke Kas Negara melalui Bank Persepsi atau
Kantor Pos dan Giro.

Sebaliknya apabila pajak terutang pada tahun berjalan kurang dari jumlah kredit yang
telah dipotong atau dipungut pihak lain maupun yang telah dibayar sendiri oleh wajib pajak,
maka akan timbul lebih bayar pajak dan lebih bayar pajak ini disebut sebagai Pajak Penghasilan
pasal 28A.

Untuk memberikan kepastian batas waktu pembayaran PPh kurang bayar pada SPT
Tahunan PPh untuk tahun pajak 2008 (PPh Pasal 29), maka Dirjen Pajak telah mengeluarkan
Surat Edaran Nomor SE-35/PJ/2009 Tentang Penegasan Mengenai Batas Waktu Penyampaian
dan Pelunasan Kekurangan Pembayaran Pajak Yang Terutang Berdasarkan SPT Tahunan PPh
Tahun Pajak 2008. Berdasarkan SE-35/PJ/2009 tersebut ditegaskan bahwa:

1. Batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang
Pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
2. Batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan,
paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
3. Pelunasan kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan terutang berdasarkan SPT

7
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan
harus dilakukan sebelum SPT Tahunan Pajak Penghasilan tersebut disampaikan, paling
lama sesuai dengan batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2.

Berarti untuk SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2008 maka kekurangannya
harus dilunasi tanggal 31 Maret 2009, sedangkan untuk SPT Tahunan PPh Badan tahun
2008 maka kekurangannya harus dilunasi paling lama tanggal 30 April 2008 (jika tahun
buku adalah Jan s.d.Des).
Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah
kredit pajak maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan
setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi sanksinya

Hal-hal yang harus menjadi pertimbangan sebelum dilakukan pengembalian atau


perhitungan kelebihan pajak adalah :

1. Kebenaran materiil tentang besarnya Pajak Penghasilan yang terutang;

2. Keabsahan bukti-bukti pungutan dan bukti-bukti potongan pajak serta bukti


pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri selama dan untuk tahun pajak yang
bersangkutan.

Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar dari pada kredit
pajak, maka kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.

Apabila tahun buku sama dengan tahun takwim maka kekurangan pajak tersebut wajib
dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 Maret setelah tahun pajak berakhir, sedangkan apabila
tahun buku tidak sama dengan tahun takwim, misalnya dimulai tanggal 1 Juli sampai dengan 30
Juni, maka kekurangan pajak wajib dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 September.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ( Pasal 13 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 )
SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak,
jumlah kredit pajak, jumlah pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah
yang masih harus dibayar.
SKPKB dapat diterbitkan dalam jangka waktu 10 tahun dalam hal:
1) Berdasarkan hasil pemeriksaan/keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang
dibayar. Atas pajak yang tidak/kurang dibayar tersebut ditambah sanksi administrasi
bunga sebesar 2% per bulan maksimum 24 bulan (berlaku baik atas PPh, PPN, maupun
PPn BM).
2) SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Tegoran. Atas
jumlah pajak yang terutang dikenakakan sanksi kenaikan sebagai berikut:
a. PPh Sendiri (Badan/Orang Pribadi/BUT), kenaikan sebesar 50%
8
b. PPh Pemotongan/Pemungutan, kenaikan sebesar 100%
c. PPN/PPn BM, kenaikan sebesar 100%.
d. Berdasarkan hasil pemeriksaan PPN/PPn BM disimpulkan bahwa ; terdapat PPN yang
seharusnya tidak dikompensasikan atau tidak dikenakan tarif 0%. Atas jumlah pajak
yang terutang dikenakan sanksi kenaikan sebesar 100%.
e. Kewajiban Pasal 28 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (perihal pembukuan) dan
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (berkenaan dengan pemeriksaan) tidak
dipenuhi. Atas jumlah pajak yang terutang dikenakan sanksi kenaikan sebesar:
a. 100% untuk PPh sendiri (PPh Orang Pribadi/Badan/BUT).
b. 50% untuk PPh Pemotongan/Pemungutan.
f. SKPKB dapat diterbitkan meskipun jangka waktu 10 tahun telah lewat, dalam hal wajib
pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan oleh pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Atas jumlah pajak yang terutang
dikenakan sanksi bunga 48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.

CONTOH :
PT Amanah mencatat peredaran bruto sebesar Rp 5.000.000.000,00 dan PKP nya sebesar Rp
100.000.000,00. Apabila pada tahun 2011 perusahaan telah dipotong dan dipungut PPh pasal 22
sebesar Rp 2.000.000,00, PPh pasal 23 sebesar Rp 3.000.000,00, maka bisa dilihat perhitungan
PPh pasal 25 dan PPh pasal 28A atau PPh pasal 29 nya sebagai berikut :
Penghasilan Kena Pajak Rp 100.000.000,00
PPh Terutang
25% x Rp 100.000.000,00 25.000.000,00
Kredit Pajak :
PPh pasal 22 Rp 2.000.000,00
PPh pasal 23 Rp 3.000.000,00
Total Kredit Pajak Rp 5.000.000,00
Pajak Kurang Bayar (PPh pasal 29) Rp 20.000.000,00
Apabila penghasilan yang diterima PT Amanah seluruh nya bersifat teratur, maka
angsuran PPh pasal 25 tahun 2012 sebesar Rp 1.666.667,00.
Diasumsikan pada contoh di atas selain transaksi yang terjadi dari peredaran bruto
tersebut terdapat pula penyerahan barang kena pajak ke Kementerian Sosial sebesar Rp
2.000.000.000,000, sehingga terdapat pemungutan PPh pasal 22 yang dilakukan oleh
Bendaharawan Kementerian sosial sebesar 1,5% x Rp 2.000.000.000,00 = Rp 30.000.000,00,
sehingga perhitungan Pajak Terutang Tahunan PT Amanah akan berubah menjadi sebagai
berikut :
Penghasilan Kena Pajak Rp 100.000.000,00
PPh Terutang
25% x Rp 100.000.000,00 25.000.000,00
Kredit Pajak :

9
PPh pasal 22 Rp 32.000.000,00
PPh pasal 23 Rp 3.000.000,00
Total Kredit Pajak Rp 35.000.000,00
Pajak Kurang Bayar (PPh pasal 29) Rp 10.000.000,00

7. Angsuran PPh pasal 25 pada Tahun Berjalan


Besarnya angsuran pajak penghasilan dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan untuk setiap bulan.
Angsuran Pajak PPh Pasal 25 dibayarkan setiap bulan paling lambat tanggal 15 bulan berikut,
dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 bulan berikut
Contoh :

Koperasi Unit Desa A bergerak dibidang simpan pinjam. Pada tahun 2010 memiliki
penerimaan bruto dalam setahun sebesar Rp 500.000.000 dan seluruh biaya-biaya yang
berkaitan dengan usaha (sesuai ketentuan perpajakan) sebesar Rp 4.250.000.000.

Dengan demikian, penghasilan netonya adalah :

Rp 500.000.000 Rp 425.000.000 = Rp 75.000.000


Pajak Penghasilan yang terutang :

Rp75.000.000 x 25% x 50% = Rp9.375.000


Tarif 50% di atas dikarenakan Koperasi Unit Desa A mendapat fasilitas.
PPh Pasal 25 (angsuran) yang harus dibayar KUD A setiap bulan:

Rp9.375.000 : 12 = Rp 781.250

Sanksi yang dikenakan jika telat membayar pajak telah ditentukan dapam pasal 9 ayat 2a UU
KUP. Apabila wajib pajak terlambat membayar, maka wajib pajak akan dikenai bunga sebesar
2% per bulan, dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran. Contohnya untuk
bulan Februari 2014, WP terlambat dan baru membayarnya pada 16 Maret. Jika membayar pajak
dilakukan secara tertib dan teratur maka keuangan negara akan semakin bertambah.
Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), dikenal adanya satu sistem
pembayaran Pajak Penghasilan yang dilakukan di awal tahun pajak, sebelum suatu penghasilan
yang menjadi objek pajak dapat ditentukan (baca: dihitung). Sistem ini diatur dalam Pasal 25
UU PPh. Pembayaran pajak yang diatur dalam pasal ini (biasanya diistilahkan sebagai PPh Pasal
25) akan diperlakukan sebagai pembayaran pajak di muka dan akan diperhitungkan sebagai
kredit pajak pengurang atas PPh terutang yang dihitung pada akhir tahun pajak.

Rumus untuk menentukan besarnya PPh Pasal 25 yang harus dibayar oleh Wajib Pajak
(baik orang pribadi maupun badan) setiap bulannya dalam tahun berjalan adalah besarnya PPh
10
terutang tahun pajak sebelumnya (PPh terutang tahun berjalan diasumsikan akan sama dengan
PPh terutang tahun sebelumnya) dikurangi dengan kredit pajak yang telah dipotong oleh pihak
ketiga (yaitu PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 24 dan PPh Pasal 26) dibagi
12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak (berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UU PPh).

PPh Pasal 25 ini harus disetorkan oleh Wajib Pajak paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya (misalkan untuk masa Januari, maka harus disetor paling lambat tanggal 15 Februari)
serta dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya (misal untuk masa Januari, maka
paling lambat lapor adalah tanggal 20 Februari).

Lebih lanjut dalam Pasal 25 ayat (2) UU PPh, ditegaskan bahwa besarnya angsuran
pajak (PPh Pasal 25) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum
batas waktu SPT Tahunan PPh disampaikan besarnya adalah sama dengan angsuran PPh Pasal
25 untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu (bulan Desember tahun sebelumnya).

Dengan adanya perbedaan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh antara orang pribadi
dengan badan di tahun 2009 ini, menyebabkan perlakuan Pasal 25 ayat (2) UU PPh ini akan
berbeda untuk orang pribadi dan badan.

Mulai tahun pajak 2009 ini, batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh orang pribadi tahun
pajak 2008 adalah tanggal 31 Maret 2009. Oleh sebab itu, untuk PPh Pasal 25 masa Januari
2009 (yang harus disetor paling lambat tanggal 15 Februari 2009) dan masa Februari 2009 (yang
harus disetor paling lambat tanggal 15 Maret 2009) batas waktu pelaporannya adalah sebelum
batas waktu SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2008 disampaikan, sehingga tidak dapat
dihitung besarnya angsuran PPh Pasal 25 dengan menggunakan Pasal 25 ayat (1) UU PPh. Maka
untuk kedua masa ini, dasar untuk menetapkan besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang harus
disetorkan adalah berdasarkan setoran untuk masa Desember 2008).

Untuk Wajib Pajak badan, selain PPh Pasal 25 masa Januari 2009 dan masa Februari 2009 yang
angsurannya tetap menggunakan angsuran berdasarkan masa Desember 2008, untuk masa Maret
2009 (yang harus disetorkan paling lambat tanggal 15 April 2009 dan batas penyetorannya ini
masih sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh badan) PPh Pasal 25-nya juga
mengikuti besarnya angsuran masa Desember 2008. Barulah untuk setoran PPh Pasal 25 masa
April 2009, Wajib Pajak badan harus menyesuaikannya berdasarkan perhitungan pada angsuran
Pasal 25 ayat (1).

1. Pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan

Pelunasan pajak penghasilan dalam tahun berjalan dilakukan oleh Wajib Pajak melalui
mekanisme pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain dan melalui pembayaran pajak
yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak. Pelunasan pajak dalam tahun berjalan merupakan
angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun
pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.

11
2. Pelunasan Pajak Penghasilan pada akhir tahun pajak.

Pelunasan Pajak Penghasilan pada akhir tahun pajak dilakukan melalui mekanisme
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan yang merupakan penghitungan Pajak Penghasilan
yang terutang, yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain maupun yang telah dibayar sendiri,
dan jumlah Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.

Pelunasan pajak dalam tahun berjalan atau angsuran pajak yang dilakukan sendiri oleh wajib
pajak merupakan pelunasan atau pembayaran atas perkiraan Pajak Penghasilan yang akan
terutang dalam suatu tahun pajak. Ketentuan mengenai angsuran Pajak Penghasilan diatur dalam
Pasal 25 UU PPh.. Secara umum PPh Pasal 25 yang harus dibayar sendiri oleh WP Badan dapat
dihitung sebagai berikut :

banyaknya bulandalam 1tahun pajak


12
PPh terutang menurut SPT tahun pajak yang laluPPh Ps .22,23,24

Penghitungan PPh Pasal 25 untuk Kondisi-Kondisi Tertentu

Ketentuan penghitungan PPh Pasal 25 dapat berbeda dari penghitungan PPh Pasal 25
secara umum. Perbedaan penghitungan terjadi apabila perusahaan dihadapkan pada kondisi-
kondisi tertentu, antara lain :

1) PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan
Besarnya anggsuran yang harus dibayar untuk bulan-bulan sebelum batas waktu
penyampaian SPT Tahunan PPh adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir
dari tahun pajak yang lalu.
2) Dalam tahun pajak berjalan WP menerima Surat Ketetapan Pajak (SKP)
Apabila WP menerima SKP untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak
akan dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut. Nilai PPh Pasal 25 yang baru, mulai
berlaku pada bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP.
3) WP berhak atas kompensasi kerugian.

Apabila Wajib Pajak Badan memiliki kompensasi kerugian fiskal, yang timbul pada
tahun pajak sebelumnya. Kerugian fiskal tersebut dapat dikompensasikan dengan
penghasilan neto, pada tahun pajak berikutnya sampai dengan 5 (lima) tahun. Dengan
demikian penghitungan PPh Pasal 25 bagi WP yang berhak atas kompensasi kerugian
tersebut adalah sebagai berikut:

12
4) WP memperoleh penghasilan tidak teratur.

Suatu perusahaan umumnya menerima penghasilan yang bersifat teratur dan tidak
teratur. Penghasilan teratur merupakan penghasilan yang lazimnya diterima atau
diperoleh secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam setiap tahun pajak, yang
bersumber dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan, harta dan atau modal, kecuali
penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Sedangkan
penghasilan tidak teratur dapat berupa keuntungan selisih kurs dari utang/piutang dalam
mata uang asing dan keuntungan dari pengalihan harta (capital gain) sepanjang bukan
merupakan penghasilan dari kegiatan usaha pokok, serta penghasilan lainnya yang
bersifat insidentil. Penghasilan tidak teratur ini dapat dipotong/dipungut pajak oleh pihak
yang memberikan penghasilan. Terkait dengan penghasilan teratur dan tidak teratur,
maka penghitungan angsuran pajak dalam tahun, maka penghitungan PPh Pasal 25 bagi
WP yang memperoleh penghasilan tidak teratur adalah sebagai berikut:

5) SPT Tahunan PPh disampaikan setelah batas waktu yang ditetapkan


Dalam kondisi tertentu, misalnya audit laporan keuangan perusahaan belum selesai
dilakukan, atau belum tersedianya dana untuk membayar pajak yang terutang. Sehingga
perusahaan menyampaikan SPT Tahunan PPh setelah jatuh tempo penyampaian SPT
Tahunan PPh yang telah ditetapkan. Bila kondisi tersebut dialami oleh WP Badan, maka
nilai angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayarkan setiap bulannya adalah sebagai
berikut:
Skema 1

13
Atas kondisi tersebut, terdapat dua konsekuensi terhadap PPh Pasal 25-nya, yaitu:
Bila nilai PPh Pasal 25 atas penghitungan lebih besar dari yang telah dibayarkan,
maka kekurangan setoran PPh Pasal 25 terutang sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% per-bulan sejak jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 25 sampai
dengan tanggal penyetoran.
Bila nilai PPh Pasal 25 atas penghitungan lebih kecil dari yang telah dibayarkan,
maka atas kelebihan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat dipindahbukukan
ke PPh Pasal 25 bulan-bulan berikutnya.
6) WP diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh
Dalam kondisi tertentu WP Badan dapat saja mengajukan permohonan perpanjangan
waktu penyampaian SPT Tahunan PPh. Apabila hal tersebut dilakukan oleh WP, maka
berikut ini merupakan ketentuan dalam menghitung besarnya nilai PPh Pasal 25.

Skema 2

Atas kondisi tersebut, terdapat dua konsekuensi terhadap PPh Pasal 25-nya, yaitu:
Bila nilai PPh Pasal 25 atas penghitungan lebih besar dari yang telah dibayarkan,
maka kekurangan setoran PPh Pasal 25 terutang sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% per-bulan sejak jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 25 sampai
dengan tanggal penyetoran.
Bila nilai PPh Pasal 25 atas penghitungan lebih kecil dari yang telah dibayarkan,
makaatas kelebihan setoran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat dipindahbukukan
ke PPh Pasal 25 bulan-bulan berikutnya.

14
7) WP melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh
Wajib Pajak membetulkan SPT PPh Tahun pajak lalu, maka besarnya PPh Pasal 25
dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan Pembetulan dan akan berlaku surut mulai
batas waktu penyampaian SPT Tahunan tersebut. SPT Tahunan yang dibetulkan, terdapat
dua konsekuensi terhadap PPh Pasal 25-nya, yaitu:
Bila nilai PPh Pasal 25 ternyata menjadi lebih besar dari PPh Pasal 25 sebelum
dilakukan pembetulan. Atas kekurangan setoran PPh Pasal 25 terutang sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% per-bulan sejak jatuh tempo penyetoran
PPh Pasal 25 sampai dengan tanggal penyetoran.
Bila nilai PPh Pasal 25 ternyata menjadi lebih kecil dari PPh Pasal 25 sebelum
dilakukan pembetulan. Atas kelebihan setoran PPh Pasal 25 dapat
dipindahbukukan ke PPh Pasal 25 bulan-bulan berikutnya setelah penyampaian
SPT PPh Pembetulan.
8) Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan WP
Perubahan keadaan kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh WP, merupakan hal yang
wajar. Dimana tidak jarang WP dihadapkan pada kondisi-kondisi tertentu, yang dapat
secara drastis meningkatkan laba ataupun sebaliknya. Perubahan penghasilan yang
diterima/diperoleh WP akan mempengaruhi kewajiban PPh Pasal 25. Jika dalam tahun
pajak berjalan terjadi penurunan omzet, maka WP Badan dapat mengajukan permohonan
pengurangan PPh Pasal 25. Namun jika kondisi yang terjadi adalah laba WP dalam tahun
pajak berjalan bertambah besar, maka besarnya nilai PPh Pasal 25 dapat dihitung
kembali. Apabila WP mengalami penurunan pendapatan dan ingin mengajukan
permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25, maka berikut adalah ketentuan yang
perlu diketahui:
WP dapat mengajukan permohonan tersebut, saat telah 3 (tiga) bulan atau lebih
berjalannya satu tahun pajak;
WP dapat memperlihatkan bahwa PPh yang terutang pada tahun pajak tersebut
kurang dari 75% dari dasar penghitungan PPh Pasal 25;
WP dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Terdaftar.
WP harus menyertakan penghitungan besarnya PPh yang akan terutang
(berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima atau diperoleh, serta
besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang
bersangkutan.

15
Bila dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan
tersebut, Kepala KPP tidak memberikan keputusan, maka permohonan WP
tersebut dianggap diterima.
Bila permohonan tersebut dikabulkan maka WP dapat melakukan pembayaran
PPh Pasal 25 sesuai dengan penghitungannya.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jika dalam tahun pajak berjalan WP
mengalami peningkatan usaha, dan diperkirakan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak
tersebut lebih dari 150% (serta lima puluh persen) dari dasar penghitungan PPh Pasal 25.
Besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak tersebut, harus dihitung
kembali oleh WP atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak dimana WP terdaftar.

Penghitungan PPh Pasal 25 untuk WP Tertentu

Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa angsuran dalam tahun berjalan dihitung
berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun lalu. Akan tetapi untuk WP tertentu, angsuran pajak
penghasilan dapat dihitung dengan ketentuan yang berbeda. Penghitungan yang berbeda ini
dimaksudkan untuk lebih mendekati kewajaran penghitungan besarnya angsuran pajak karena
didasarkan kepada data terkini dari kegiatan usaha tersebut. Berikut merupakan ketentuan
penghitungan angsuran, yang berbeda dan disesuaikan dengan kegiatan usaha tertentu.

1) WP Badan Baru:

2) Wajib Pajak bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi:

3) WP BUMN & BUMD


o WP BUMN & BUMD setelah Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP)
disahkan:

o WP BUMN & BUMD sebelum Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan


(RKAP) disahkan:
Sama dengan angsuran PPh Pasal 25 bulan terakhir pajak sebelumnya
4) WP masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan
membuat laporan
16
keuangan berkala:

Catatan: Tarif umum yang dimaksud adalah tarif penghitungan pajak penghasilan bagi WP
Badan menurut ketentuan perundang-undangan yag berlaku.

No Ketentuan Tarif
1 Berlaku sampai dengan a. s.d Rp 50.000.000 = 10%
tanggal 31 Desember 2008 b. diatas Rp 50.000.000 s.d Rp 100.000.00 = 15%

c. diatas Rp 100.000.00 = 30%


2 Berlaku pada tahun 2009 28%
3 Berlaku pada tahun 2010 25%

Untuk WP Badan masuk bursa diberikatn tarif 5% lebih rendah dari tarif yang berlaku,
sesuai dengan ketentuan serta syarat yang berlaku

Jatuh Tempo Pembayaran dan Pelaporan PPh Pasal 25:

No Deskripsi Jatuh Tempo


Pembayaran dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan takwin
1
berikutnya setelah masa pajak berakhir
2 Pelaporan paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir

Tata cara pembayaran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 25

Pembayaran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau
sarana lain yang dipersamakan dengan SSP. SSP dijadikan bukti pembayaran apabila telah
divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). NTPN itu sendiri merupakan
nomor yang tertera pada bukti penerimaan negara yang diterbitkan melalui Modul Penerimaan
Negara (MPN).

Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 dianggap telah disampaikan ke Kantor


Pelayanan Pajak sesuai dengan tanggal validasi yang tercantum pada SSP. Apabila SSP tersebut
telah mendapat validasi (NTPN). Akan tetapi, Wajib Pajak tetap harus menyampaikan SPM PPh
Pasal 25 apabila:

a. jumlah angsuran PPh Pasal 25 adalah nihil


17
b. bentuk satuan uang yang dibayarkan selain rupiah, atau

c. melakukan pembayaran tidak secara on-line dan tidak mendapat validasi dengan NTPN
tetap harus menyampaikan SPM PPh Pasa 25.

18

Anda mungkin juga menyukai