Anda di halaman 1dari 13

PENGARUH KEBIJAKAN KENAIKAN TARIF DASAR LISTRIK (TDL)

TERHADAP INFLASI DI INDONESIA

Abstrak

Listrik merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Ia tidak hanya berfungsi
memberi penerangan bagi kita terutama di malam hari, tapi banyak masyarakat yang
menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti memasak nasi menggunakan rice
cooker, menyimpan dan mengawetkan makanan dengan kulkas. Artinya, listrik sudah menjadi
kebutuhan primer masyarakat, atau setidaknya menjadi jembatan pemenuhan kebutuhan primer
hidup.
Demikian juga untuk menggerakkan sektor produksi dalam negeri, listrik memegang
peranan sangat penting disamping faktor produksi lainnya.Artinya, kondisi listrik, termasuk
tarifnya akan berpengaruh terhadap kondisi riil masyarakat, terutama persoalan harga barang.
Maka, kenaikan TDL (Tarif Dasar Listrik) bias dipastikan memicu inflasi. Walaupun tidak
berpengaruh besar terhadap inflasi di Indonesia secara keseluruhan. Dan hal ini akan berimbas
pada masyarakat kecil sebagai korban.
Walaupun bagi pelanggan listrik yang berdaya 450-900 kWh tidak akan dikenakan kenaikan tarif
dasar listrik, tetapi mereka akan merasakan dampak tidak langsung dari kenaikan tarif dasar
listrik tersebut. Hal ini pada mulanya akan ditandai dengan naiknya harga kebutuhan pokok
masyarakat sebagai akibat naiknya harga salah satu faktor produksi, yaitu listrik.

BAB I
PENDAHULUAN

Memang serba susah menjadi pelanggan listrik PLN di negeri ini.


Pasalnya, selainpelayanannya masih buruk dan kurang memuaskan masyarakat, ia seringkali ada
pemadaman listrik (byar pet).
Padahal listrik merupakan salah satu kebutuhan utama masyarakat Indonesia. Dengan
adanya listrik proses produksi yang dilakukan oleh industri-industri di Indonesia menjadi lebih
cepat, efektif dan efisien. Karena posisinya yang begitu sentral itu, maka apapun kondisi atau
sesuatu yang timbul dari listrik akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat, termasuk tarifnya.
Sehingga, kebijakan pemerintah menaikkan TDL sekitar 10% hingga 15%, seperti kebijakan yang
akan berlaku mulai awal Juli ini menambah beban bagi sebagian besar rakyat yang sebenarnya
sudah sangat berat. Hal ini terjadi sebagai akibat meningkatnya biaya produksi di dunia usaha dan
pada akhirnya akan memicu inflasi dalam negeri.
Walaupun kenaikan TDL tidak memberikan efek besar dalam inflasi, yaitu diperkirakan
hanya 0,36-0,4%, namun dengan adanya kenaikan TDL tersebut, kebutuhan masyarakat akan
berbagai jenis barang produksi, baik produksi makanan ataupun lainnya akan mengalami kenaikan
harga akibat produsen menaikkan harga jual. Hal ini akan terus berlanjut karena pertengahan bulan
Agustus sebagian besar warga negara Indonesia yang mayoritas muslim akan menjalani bulan
Ramadhan dan diikuti dengan hari raya Idul Fitri. Otomatis dengan berbagai kondisi tersebut,
kebutuhan akan barang-barang pokok akan melambung tinggi dan inflasi-pun akan semakin tak
terhindarkan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Fungsi Listrik Bagi Masyarakat


Listrik, dapat dikategorikan dalam barang yang menguasai hajat hidup orang
banyak, sebagaimana ketentuan pasal 33 UUD 1945. Di dalam ilmu ekonomi listrik bisa menjadi
barang publik atau barang swasta, karena ia bisa diproduksi oleh Negara atau perusahaan. Di negara
yang menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesiaini, menyebabkan listrik
diproduksi oleh Negara.
Di dalam sistem perekonomian sosialis, sebagian besar barang-barang swasta dihasilkan
oleh pemerintah. Berbeda dengan sistem perekonomian liberal dimana sebagian besar barang-
barang publik dihasilkan oleh sektor swasta. Sedangkan di dalam sistem ekonomi Indonesia yang
mengedepankan keadailan sosial, pemerintah beserta aparatur negara harus menghitung dititik
mana sumber-sumber ekonomi yang ada dihasilkan seoptimalkan mungkin sehingga tujuan
masyarakat adil dan makmur tercapai.
Memang listrik bukanlah barang yang murni bersifat public goods, dalam arti tidak ada
seorangpun yang mau membayar jika menggunakan barang tersebut. Jadi, jika sekian orang
menggunakan listrik kemudian ada satu orang lagi yang menggunakan listrik maka tambahan satu
orang ini tidak menambah biaya.
Maka dari pengertian di atas, listrik bisa dimasukkan kedalam kategori quasi public
goods yang artinya seseorang harus mengorbankan pendapatannya guna menikmatinya. Karena
biaya yang ditanggung sektor kelistrikan ini begitu besar, maka timbullah sifat monopoli ilmiah
dimana hanya perusahaan Negara yang mampu menyelenggarakannya.
Listrik merupakan komoditi yang mempunyai kekhususan-kekhususan tertentu yang tidak
semua orang atau perusahaan dapat melakukannya. Pertama, adalah vitalnya, sehingga merupakan
jasa publik yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Kedua, adalah sifatnya, yang
merupakan natural monopoly, karena distribusi dan transmisinya yang tidak dapat dilakukan oleh
banyak perusahaan sekaligus di dalam persaingan.
Makanya, PLN (Perusahaan Listrik Negara) menjadi salah satu BUMN (Badan Usaha Milik
Negara) yang bergerak dalam bidang kelistrikan dan bertujuan menjadikan tenaga listrik sebagai
media untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan mengupayakan agar tenaga listrik
menjadi pendorong kegiatan ekonomi.[1]
PLN adalah monopolis bidang kelistrikan yang diberikan hak oleh pemerintah untuk
melakukan monopoli. Monopoli jenis ini adalah monopoli yang tidak diusahakan untuk
mendapatkannya, melainkan adalah monopoli yang diberikan. [2]
Kebutuhan energi listrik dari waktu ke waktu makin bertambah, seiring dengan
pertambahan penduduk, perkembangan industri, perluasan wilayah, serta perkembangan teknologi
dan kemajuan peradaban manusia. Peningkatan kebutuhan energi tersebut tidak disertai dengan
peningkatan daya yang diproduksi pihak perusahaan, sehingga mengakibatkan banyak daerah tidak
mampu memenuhi kebutuhan energi sesuai dengan keperluannya. Hal ini kemudian menjadi sangat
ironis ketika pemerintah justru menaikkan TDL.

B. Kenaikan Tarif Dasar Listrik


Rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sudah mulai terdengar sejak awal bulan April 2010
melalui pernyataan Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, Jacobus Purwono. Beliau menyebutkan bahwa pemerintah berencana
menaikkan tarif dasar listrik (TDL) bagi golongan daya 450-900 VA sebesar 10%, sementara bagi
pelanggan di atas 900 VA atau menengah ke atas (konsumsi mulai dari 1.300 VA) akan terkena
kenaikan dengan rerata 14%-18%.
Kenaikan TDL yang rencananya diberlakukan mulai awal Juli 2010 tersebut tidak berlaku
bagi pelanggan kecil (450-900 VA) yang konsumsi listriknya di bawah 30 kWh per bulan. Sedangkan
bagi pelanggan menengah ke atas (di atas 900 VA) tanpa pengecualian konsumsi listriknya dikenakan
kenaikan.
Berikut lebih jelasnya rincian kenaikan TDL baru yang bakal diterima pelanggan listrik per 1
Juli 2010 mendatang:
I. Pelanggan Rumah Tangga (R)
1. Pelanggan R1 daya 1.300VA, rata-rata pemakaian listrik 200 kWh/bln, biaya pokok produksinya
Rp1.163 per kWh, TDL sebelum naik rata-rata Rp672 per kWh, rata-rata kenaikan TDL ditetapkan
sebesar 18%. Dengan demikian tarif baru yang mulai berlaku per 1 Juli mendatang rata-rata
mencapai Rp793 per kwh.
2. Pelanggan Rumah Tangga R1, daya 2.200 VA, pemakaian listrik rata-rata 355 kwh per bulan, besaran
biaya pokok produksi (BPP) Rp1.163 per kwh, TDL rata-rata sebelum naik Rp675 per kwh. Rata-rata
kenaikan 18%, sehingga tarif baru sesudah naik rata-rata jadi Rp797 per kwh.
3. Pelanggan Rumah Tangga R2, daya 3.500 VA sampai dengan 5.500VA, rata-rata pemakaian listrik 636
kwh/bln, BPP mencapai Rp1.163/kwh, harga sebelum naik Rp755 per kwh, dengan kenaikan sebesar
18%, maka tarif baru menjadi Rp891/kwh.
II. Kelompok Pelanggan Kelas Bisnis (B)
1. Untuk B1, daya 1.300 VA, rata-rata pemakaian 198kwh/bln, BPP Rp1.163/kwh, harga sebelum naik
Rp685/kwh, naik sebesar 16%, sehingga harga tarif baru menjadi Rp795/kwh.
2. Untuk B2, daya 2.200 VA-5.500VA. Rata-rata pemakaian 307 kwh/bulan, BPP Rp1.163/kwh, harga
sebelum naik Rp782/kwh, naik 16%, tarif sesudah naik menjadi Rp907/kwh.
3. Untuk B3, di atas 200 KVA, rata-rata pemakaian 212,249, BPP 839/kwh, harga sebelum Rp811/kwh,
naik 12%, tarif sesudah naik menjadi Rp908/kwh.
III. Kelompok Pelanggan Industri (I)
1. Pelanggan I1, daya 1.300 VA, rata-rata pemakaian 178kwh/bln, BPP 1.163/kwh, tarif sebelum
Rp724/kwh, dengan kenaikan 6%, maka tarif baru menjadi Rp767/kwh.
2. Pelanggan I2, daya 2.200 VA, rata-rata pemakaian 273 kwh per bulan, BPP Rp1.163/kwh, tarif
sebelum naik Rp746/kwh, kenaikan 6%, maka tarif sesudah naik menjadi Rp790/kwh.
3. Pelanggan I3, daya 2.200VA sampai dengan 14 KVA, rata-rata pemakaian 872/kwh/bln, BPP Rp1.163,
tarif sebelum naik Rp872/kwh, kenaikan 9%, maka tarif baru menjadi Rp916/kwh.
4. Pelanggan 14 KVA sampai dengan 200 KVA, rata-rata pemakaian per bulan 11.342, BPP Rp839/kwh,
tarif sebelum naik Rp805/kwh, kenaikan 9%, tarif baru Rp878/kwh.
5. Pelanggan di atas 200 KVA, rata-rata pemakaian per bulan 314.435, BPP Rp 839/kwh, TDL sebelum
naik Rp641/kwh, kenaikan 15%, tariff baru menjadi Rp737/kwh.
6. Pelanggan di atas 30.000, rata-rata pemakaian 16.592.651, BPP Rp718/kwh, tarif sebelum naik
529/kwh, kenaikan 15%, tarif baru menjadi Rp608/kwh.[3]
Persetujuan kenaikan TDL dicapai dalam rapat kerja Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM
Darwin Saleh yang dipimpin Ketua Komisi VII DPR Teuku Riefky Harsya di Jakarta hari Selasa tanggal
15/6/2010.
Persetujuan Komisi VII DPR tersebut merupakan tindak lanjut UU Nomor 2 Tahun 2010
tentang APBN Perubahan 2010. Sesuai Pasal 8 UU 2 Tahun 2010, alokasi anggaran subsidi listrik
ditetapkan Rp55,1 triliun dengan asumsi TDL dinaikkan rata-rata 10 persen mulai 1 Juli 2010 untuk
menutupi kekurangan subsidi Rp4,8 triliun.
Dengan kenaikan 15 persen saja, pemerintah masih harus menambah subsidi listrik dari Rp
37,8 triliun dalam APBN 2010 menjadi Rp 54,5 triliun dalam RAPBN-P 2010. Namun jika TDL batal
dinaikkan, maka subsidi akan bertambah Rp 7,3 triliun.

C. Dampak-Dampak Kenaikan Tarif Dasar Listrik


Hal yang menarik untuk dikaji berkenaan dengan kenaikan TDL adalah dampak yang akan
ditimbulkan terhadap kondisi ekonomi pelanggan kecil. Secara langsung, dampak kenaikan TDL
tercermin dari meningkatnya angka inflasi.
Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara
umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar. Ia dapat disebabkan
oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat atau adanya ketidak
lancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya
nilai mata uang secara kontinu.
Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga.
Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi dianggap
terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-
mempengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan
persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga. [4]
Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan, yaitu inflasi ringan, sedang, berat,
dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah angka 10%
setahun; inflasi sedang antara 10% - 30% setahun; inflasi berat antara 30% - 100% setahun;
dan hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada di atas 100%
setahun.
Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu tarikan permintaan dan desakan biaya
produksi.
1. Inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation) terjadi akibat adanya permintaan total yang
berlebihan sehingga terjadi perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya permintaan
terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor
produksi. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan
harga faktor produksi meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam
permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment.
2. Inflasi desakan biaya (cost push inflation) terjadi akibat meningkatnya biaya produksi (input)
sehingga mengakibatkan harga produk-produk (output) yang dihasilkan ikut naik.
Meningkatnya biaya produksi dapat disebabkan 2 hal, yaitu; kenaikan harga, misalnya bahan
baku; dan kenaikan upah/gaji, misalnya kenaikan gaji PNS akan mengakibatkan usaha-usaha
swasta menaikkan harga barang-barang.
Badan Pusat Statistik (BPS) menjelaskan sebenarnya kenaikan inflasi sebagai dampak
langsung kenaikan TDL yang akan diterapkan Juli 2010 diperkirakan hanya sebesar 0,36%. Namun
yang perlu dikhawatirkan adalah imbasnya terhadap sektor industri. Inflasi akan semakin
membengkak bila kenaikan TDL itu kemudian menyebabkan efek ganda dan memicu para produsen
menaikkan harga barang dan jasa secara sepihak.
Tambahan angka inflasi hingga 0,4%-0,5% tersebut telah dimasukkan dalam perhitungan
angka inflasi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (RABN-P) 2010 yang
dipatok di level 5,3%.
Jika tidak ada kenaikan TDL diperkirakan inflasi itu di kisaran 4,5-4,8%, namun untuk
mengamankan inflasi dari kenaikan TDL dan hal-hal lainnya maka asumsi angka inflasi dalam
RAPBNP 2010 dipasang di angka 5,3%.
Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) mulai 1 Juli 2010 mendatang akan memberikan dampak
besar pada berbagai sektor, baik makro maupun mikro. Secara makro, dampak kenaikan TDL
ditunjukkan dari menurunnya pertumbuhan ekonomi riil (GDP riil), menurunnya tingkat kesempatan
kerja, dan meningkatnya laju inflasi. Hal ini merupakan konsekuensi dari menurunnya sektor
produksi akibat naiknya ongkos produksi (cost of production).
Dalam sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang sedang menghadapi era pasar
bebas, kenaikan TDL pada Juli ini akan berdampak besar ke depannya. Apalagi Agustus 2010 sudah
memasuki bulan Ramadhan yang meski dampak kenaikan TDL terhadap peningkatan harga barang
kecil, namun tetap berdampak khususnya rakyat kecil.
Seharusnya kenaikan ini mempertimbangkan dampak terhadap kenaikan biaya/ongkos
produksi dan biaya barang dari UMKM, yang akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Sebab, harus
disadari kenaikan tarif dasar listrik (TDL) ini juga akan berdampak signifikan terhadap pelaku
industri terutama baja, tekstil, petrokimia serta usaha kecil dan menengah (UKM), menyebabkan
turunnya pendapatan riil rumah tangga golongan bawah yang notabene adalah sebagian besar
pelanggan kecil dari PLN. Turunnya pendapatan tersebut pada gilirannya juga akan menurunkan
permintaan akan barang dan jasa. Sektor ekonomi yang paling besar terkena dampaknya adalah
sektor industri makanan yang akan mengalami penurunan permintaan.
Karena terjadi penurunan permintaan, para produsen akan mengurangi produksinya. Hal itu
akan menyebabkan turunnya balas jasa atau insentif yang diterima para buruh. Sehingga pada
akhirnya kenaikan TDL akan mengurangi pendapatan institusi, yaitu kelompok masyarakat paling
bawah.
Sebenarnya, faktor penentu harga jual listrik yang terpenting adalah ketersediaan pasokan
energi pembangkit. Atas dasar itu, langkah PLN untuk memastikan terhentinya pemadaman listrik
(byar pet) pada 30 Juni 2010 harus dibayar dengan biaya energi yang tinggi.
Unbundling[5] juga bisa sebagai penyebab kenaikan harga tarif dasar listrik (HTDL) hingga
50 persen, karena setiap entitas (pembangkitan, transmisi dan distribusi) harus menanggung beban
administrasi dan operasional sendiri-sendiri. Belum lagi dengan misi profitisasi PLN yang
memprioritaskan laba daripada fungsinya sebagai public service obligation. Hal ini seiring dengan
keikutsertaan swasta yang tidak akan membuat tarif listrik semakin murah tetapi semakin mahal
karena swasta akan berupaya mendapat keuntungan lebih dari investasinya.
Selain itu, dampak negatif dari penurunan subsidi listrik pada sisi makro dan perdagangan
internasional, terutama menurunnya pertumbuhan ekonomi, menurunnya tingkat kesempatan
kerja, dan menurunnya daya saing perdagangan di pasar internasional, maka sebagai kompensasinya
pemerintah perlu menempuh kebijakan lain terutama di sektor riil dengan menciptakan iklim usaha
yang lebih kondusif dan efisien.
Kebijakan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) cukup memukul dunia usaha
Indonesia. Berikut ini contoh konkrit dampak TDL bagi kehidupan ekonomi. Misalnya,industri tekstil
yang selama ini menjadi primadona di dalam pasar ekspor mengalami pukulan yang cukup telak.
Apalagi saat ini pasaran tekstil internasional sedang mengalami kelesuan akibat melemahnya
perekonomian dunia dan melimpahnya produk tekstil di pasar internasional, terutama dari Korsel
dan Cina. Untuk mengantisipasi dan menyesuaikan kondisi ini, maka pengusaha tekstil dalam negeri
harus lebih efektif menggarap pasar baru dan efisien dalam berproduksi serta mempunyai daya
tawar dan daya jual yang lebih baik.
Kenaikan ini juga menjadi masalah yang cukup rumit bagi pengusaha tekstil karena
berkaitan dengan perhitungan cost dan harga jual dengan buyer. Selama ini kontrak pesanan
dilakukan tiga bulan sebelum produksi sehingga perhitungan harga jualnya masih menggunakan
perhitungan sebelum kenaikan TDL. Hal ini akhirnya mengakibatkan turunnya marjin keuntungan
yang diperoleh pengusaha tekstil karena tidak mungkin lagi menaikkan harga jualnya
terhadap buyer.
Berdasarkan data dari Assosiasi Pertekstilan Indonesia pada Juni 2010, biaya produksi
industri tekstil meningkat hingga 4,5 persen dimana komponen listrik menyumbang 30 persen dari
keseluruhan biaya produksi tekstil.
Ada beberapa pilihan tindakan penyesuaian yang dapat dilakukan oleh pengusaha tekstil
dalam menghadapi kenaikan TDL, antara lain :
1. Rasionalisasi karyawan (PHK); dengan melakukan PHK terutama untuk karyawan bagian produksi
(buruh) maka perusahaan bisa melakukan penghematan dalam hal upah buruh.
2. Penurunan marjin keuntungan; risiko yang dihadapi pengusaha adalah pengurangan keuntungan
perusahaan karena harga jual dengan buyer tidak bisa lagi dinaikkan sedangkan biaya produksi
untuk kenaikan TDL mengalami peningkatan. Bahkan keuntungan juga berkurang karena harga
bahan baku lokal ikut naik dengan rata-rata persentase kenaikan sebesar 10% - 15%. Perusahaan
tidak melakukan rasionalisasi karyawan tetapi membiarkan marjin keuntungannya menurun. Akan
tetapi hal ini tidak akan mampu bertahan lama karena pengusaha terutama PMA akan berpikir
bahwa investasi di Indonesia tidak akan menguntungkan sehingga ada kecenderungan untuk
mengalihkan atau memindahkan investasinya ke luar negeri. Apabila hal ini terjadi maka iklim
investasi di Indonesia akan terganggu dan dunia usaha akan semakin mengalami kemunduran.
3. Meningkatkan harga jual produk di pasar lokal; hal ini hanya bisa dilakukan oleh perusahaan lokal
karena tidak ada kontrak pesanan dengan buyer di luar negeri. Dengan melakukan penghitungan
ulang terhadap biaya produksi maka perusahaan bisa menaikkan harga jualnya sesuai dengan
kenaikan biaya. Tindakan ini lebih cenderung berhasil jika konsumen juga mengalami peningkatan
kemampuan daya beli. Kenyataan yang ada sekarang ini, walaupun daya beli konsumen meningkat
akan tetapi mereka juga harus menyesuaikan dengan kenaikan harga kebutuhannya, misalnya
kenaikan TDL untuk rumah tangga, kenaikan BBM, dan kenaikan harga barang-barang kebutuhan
pokok.
Ketiga alternatif pilihan tersebut sangat merugikan masyarakat. Apabila alternatif pertama
ditempuh, perusahaan akan sedikit berhemat dalam cost upah buruh, tetapi dampaknya adalah
terjadi PHK besar-besaran dan pengangguran dimana-mana. Hal ini jelas menambah beban
pengangguran Indonesia, dimana masih banyak masyarakat Indonesia belum mendapatkan
pekerjaan yang layak. Berdasarkan data yang diperoleh penulis, sekarang diperkirakan ada lebih
dari 10 juta penganggur terbuka (open unemployed) dan 31 juta setengah penganggur
(undremployed). Masalah pengangguran bukanlah persoalan kecil yang harus dihadapi oleh bangsa
Indonesia dewasa ini dan ke depan.
Alternatif kedua berdampak pada keuntungan yang diperoleh perusahaan menurun akibat
kenaikan TDL di satu sisi dan di sisi lain bahan baku juga mengalami kenaikan. Hal ini sangat
merugikan perusahaan dan lebih lanjut timbul kekhawatiran perusahaan akan mengalami
kebangkrutan atau malah gulung tikar.
Pilihan ketiga merupakan pilihan yang banyak ditempuh oleh perusahaan dalam bidang
apapun, kenaikan TDL berimbas pada peningkatan harga jual produk. Ketika harga barang naik,
secara ilmu ekonomi, maka permintaan akan barang tersebut akan menurun. Terlebih lagi apabila
kenikan harga barang tidak dibarengi dengan kenaikan gaji/pendapatan masyarakat di sisi
lain. Masyarakat golongan bawah yang akan benar-benar merasakan imbasnya.

D. Sikap Pemerintah Dalam Mengatasi Dampak Kenaikan TDL


Kebijakan deregulasi dan debirokratisasi perlu lebih ditajamkan hingga menyentuh pada
persoalan mendesak. Disamping itu, percepatan restrukturisasi sektor perbankan mutlak dilakukan
guna mendukung bergeraknya sektor riil. Dengan demikian, dampak negatif kenaikan TDL pada
perekonomian dapat direduksi dengan jalan penciptaan iklim usaha yang lebih favourable.
Hal yang perlu mendapat perhatian juga adalah perlunya PLN melakukan sosialisasi sebelum
kenaikan TDL diberlakukan kepada seluruh sektor, khususnya kepada sektor industri tekstil yang
paling banyak menggunakan tenaga listrik dan tenaga kerja. Sosialisasi tersebut sangat penting
untuk menghadapi masalah-masalah yang terjadi.
Selama ini kenaikan TDL lebih cenderung dilakukan secara mendadak bahkan tanpa ada
pemberitahuan terlebih dahulu. Beberapa pengusaha mengeluh karena mereka tidak bisa
melakukan antisipasi sebelumnya. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah terlebih dahulu
melakukan sosialisasi kenaikan TDL tersebut dengan mengadakan seminar/diskusi dengan dunia
usaha sehingga perusahaan bisa melakukan tindakan antisipasi untuk produk berikutnya.
Seharusnya, masalah krisis listrik bukan diatasi dengan menaikan tarif, tetapi secara bijak
mencari energi alternatif. Walaupun jalan yang harus ditempuh pada akhirnya adalah dengan
menaikkan tarif listrik, catatan penting bagi PLN selaku pemegang otoritas bidang kelistrikan
adalah pelayanan yang lebih baik dan tidak adanya byar pet yang akan menghambat jalannya
produksi dalam negeri, merugikan perusahaan khususnya dan masyarakat pada umumnya,
Dampak dari kenaikan TDL tersebut akan semakin menghimpit masyarakat kecil karena akan
memicu kenaikkan harga barang-barang. Sedangkan upah buruh maupun pegawai tidak mengalami
kenaikan untuk menyesuaikan dampak kenaikan tersebut.
Melihat fenomena tersebut di atas, semestinya pemerintah berperan dalam mengatur
kegiatan perekonomian sehingga ia dapat melakukan kegiatannya dengan lebih stabil dan selalu
menuju ke tingkat kesempatan kerja penuh. Seperti diketahui berdasarkan teori Keynes, tanpa
campur tangan pemerintah perekonomian suatu negara tidak akan mencapai tingkat kesempatan
kerja penuh dan kestabilan kegiatan ekonomi tidak dapat terwujud. Akan terjadi fluktuasi kegiatan
ekonomi yang lebar dari satu periode ke periode lainnya. Ini akan menimbulkan implikasi yang
serius kepada kesempatan kerja dan pengangguran dan tingkat harga. Untuk menghindari masalah
itu, Keynes menekankan perlunya campur tangan pemerintah.
Apabila kita flashback dan mencermati UU tentang ketenagalistrikan No. 20 Tahun 2002[6],
sebenarnya UU tersebut tidak hanya akan membuat tarif listrik mahal tetapi juga melemahkan
peran negara dalam mengatur urusan rakyat, sebab UU ini hanya mengizinkan pemerintah sebagai
regulator. UU ini melanggengkan penjarahan atas kekayaan negeri ini. Ujung semua ini adalah
pengalihan aset negara ke pihak asing. Pemerintah telah mentransaksikan nasib rakyat dengan
kepentingan kelompok. Kiranya mereka lupa bahwa BUMN itu dibangun dengan uang rakyat sudah
seharusnya berfungsi untuk menjamin pemenuhan kebutuhan hak dasar rakyat.
Sekali lagi, pemerintah perlu berhitung lebih cermat tiap kali akan menaikkan TDL.
Kebijakan menaikkan TDL perlu dibarengi dengan pelayanan yang lebih baik, tidak ada pemadaman
bergilir (byar pet), dan perbaikan usaha penyediaan lapangan kerja yang diharapkan berdampak
pada peningkatan pendapatan terutama pada masyarakat paling bawah. Tanpa usaha tersebut
kenaikan TDL akan berdampak negatif karena akan menurunkan pendapatan riil masyarakat.
Kenaikan TDL bukan satu-satunya solusi untuk mengurangi subsidi, tapi harus diikuti dengan
langkah-langkah terobosan berupa peningkatan efisiensi dari produk listrik, baik efisiensi
dalam overhead cost yang masih harus ditekan maupun direct cost.

BAB III
KESIMPULAN

Dari sedikit pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa kenaikan tarif dasar listrik
(TDL) dengan dalih apapun, tetap saja tidak memihak rakyat terutama golongan menengah
ke bawah. Dampak kenaikan tersebut secara langsung akan menggerus pendapatan masyarakat
kecil dan juga akan memicu inflasi di Indonesia walaupun tidak begitu besar.
Inflasi akan terjadi akibat dari kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok dan barang-
barang substitusi yang disebabkan kenaikan TDL yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2010.
Pemerintah hendaknya mempertimbangkan dampak tidak langsung dari kebijakan
menaikkan TDL, bukan hanya dampak langsung yang hanya diperhitungkan. Karena justru dampak
tidak langsung inilah yang cukup menyengsarakan rakyat kecil dan itu akan berlangsung lebih lama.

Pengaruh Kenaikan TDL Terhadap Inflasi Cuma 0,2 Persen


Eben Ezer Siadari

Sisi besaran inflasi akan tergantung bagaimana pemerintah melakukan penyesuaian tarif listrik.

JAKARTA, Jaringnews.com - Rencana Pemerintah menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) diakui akan memicu
kenaikan inflasi Namun tidak berpengaruh besar, hanya 0,2-0,3 persen.

"Memang tidak terlalu besar. Namun hal itu masih tergantung dari bagaimana kita melakukan hal itu (menaikkan
TDL)," kata Wakil Menteri Keuangan, Mahendra Siregar, ketika ditemui hari ini (18/9) di Hotel Four Season,
Jakarta.

Menurut Mahendra, Pemerintah telah melakukan beberapa simulasi perhitungan kenaikan TDL berikut cara
menaikkannya, secara bertahap atau tidak. "Berdasarkan simulasi kita, dari sisi besaran (inflasi) akan
tergantung bagaimana kita melakukan penyesuaian tarif itu (listrik)," kata Mahendra Siregar.

"Simulasi kami menunjukkan dampak inflasi lebih dapat dikelola dengan baik bila dinaikkan secara bertahap
dibandingkan dinaikkan sekaligus. Ini juga penting disamping menjaga agar subsidi tidak membengkak," tambah
Mahendra

Mahendra melanjutkan, kenaikan TDL dimaksudkan untuk menekan subsidi yang akan mengalami
pembengkakan bila tidak ada langkah nyata menekannya.

Mahendra tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai kapan waktu untuk menaikkan TDL tersebut. "Kapan
dinaikkan TDL itu saya rasa terlalu cepat disampaikan sekarang. Tentu nanti akan ada pembahasan lebih lanju,"
tutur Mahendra.
- See more at: http://www.jaringnews.com/ekonomi/sektor-riil/23268/pengaruh-kenaikan-tdl-terhadap-inflasi-
cuma-persen#sthash.q03UGK2q.dpuf

FAKTOR PENYEBAB DAN CARA MENGATASI INFLASI

Urang Kampung 08.39

Inflasi merupakan Kecenderungan naiknya harga barang-barang secara umum dan


terjadi secara terus menerus. Kenaikan harga satu atau beberapa barang tidak dapat
dikatakan bahwa terjadi inflasi. Selain itu, apabila kenaikan harga barang terjadi
secara temporer, seperti menjelang hari raya misalnya, maka hal itu tidak dapat
dikatakan sebagai inflasi. Dengan naiknya harga barang-barang di satu sisi, hal itu
mengandung arti terjadinya penurunan nilai uang di sisi lain.

Sehingga dapat dijabarkan mengenai jenis-jenis inflasi:

Dilihat dari tingkat keparahannya, inflasi dibedakan menjadi :

Inflasi Ringan, yaitu tingkat inflasi sampai dengan 10% atau 20% setahun;
Inflasi Sedang, yaitu antara 10% s/d 30% setahun;
Inflasi Berat, yaitu antara 30% s/d 100% setahun;
Hiper Inflasi, yaitu di atas 100% setahun.
Berdasar sebab terjadinya:

Demand Inflation, yaitu inflasi yang timbul karena desakan permintaan masyarakat
akan barang dan jasa begitu kuat. Inflasi ini muncul karena naiknya tingkat
pendapatan masyarakat, sehingga masyarakat cenderung membeli barang dan jasa
lebih banyak dari yang biasa mereka gunakan. Misalnya seseorang yang biasa
mengkonsumsi susu satu gelas sehari, karena pendapatnya meningkat, maka
konsumsi susunya juga meningkat menjadi 3 gelas sehari. Dengan meningkatnya
konsumsi atau pembelian, akan mendorong naiknya harga barang-barang.

Cost atau Cost-push Inflation, yaitu inflasi yang disebabkan karena naiknya biaya
produksi. Misalnya terjadi kenaikan bahan bakar atau tuntutan buruh akan kenaikan
upah, dimana kedua hal itu merupakan bagian dari biaya produksi, maka
perusahaan pun akan menaikkan harga jual barang dan jasanya.

Berdasar asal-usul terjadinya:

Domestic inflation, yaitu inflasi yang berasal atau bersumber dari dalam negeri;

Misalnya pemerintah mengalami defisit anggaran belanja kemudian pemerintah


mencetak uang baru, sehingga jumlah uang beredar bertambah. Keadaan ini akan
mendorong tingkat konsumsi masyarakat, bila penawaran barang tetap, maka hal ini
akan mendorong kenaikan harga barang-barang.

style="color: #009900;">Imported inflation, yaitu inflasi yang berasal dari luar


negeri.

Sebagai contoh adalah negara kita, dimana negara kita masih banyak mengimpor
bahan baku dan barang modal lainnya. Apabila harga barang-barang yang diimpor
itu naik, maka biaya produksi juga meningkat, yang akhirnya akan menaikkan harga
jual barang dan jasa.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya inflasi disuatu negara


diantarnya:

Dari sudut pandang ekonomi, pada prinsipnya inflasi itu terjadi karena tidak adanya
keserasian antara laju pertambahan uang dan tingkat pertumbuhan barang dan jasa.
Apabila jumlah uang beredar meningkat, sedangkan produksi barang dan jasa tetap,
maka hal ini cenderung akan mendorong terjadinya inflasi. Namun demikian, dari
uraian tentang jenis-jenis inflasi dapat diidentifikasikan faktor-faktor penyebab
terjadinya inflasi, yaitu antara lain :

Naiknya permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa

Ketika pemerintah menaikkan gaji pegawai negeri sipil(PNS), biasanya diikuti dengan
kenaikan permintaan barang dan jasa. Bila kenaikan besarnya permintaan ini tidak
diimbangi dengan penambahan volume barang dan jasa di pasar, maka hal ini akan
berakibat pada naiknya harga barang dan jasa. Kenaikan gaji PNS ini pada dasarnya
mengidikasikan adanya kenaikan jumlah uang yang beredar. Jenis inflasi ini disebut
demand-pull inflation

Kenaikan biaya produksi


Pada waktu pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), maka harga
barang-barang di pasar juga akan meningkat. Mengapa? Ka rena kenaikan harga
BBM berdampak pada kenaikan biaya produksi, akibatnya perusahaan juga
menaikkan harga jual barang dan jasanya. Disini terjadi cost-push inflation.

Defisit anggaran belanja (APBN)

Defisit APBN yang ditutup dengan percetakan uang baru oleh Bank Indonesia, akan
berakibat pada bertambahnya jumlah uang beredar,

Dimana hal ini akan berdampak pada kenaikan harga barang dan jasa.

Menurunnya nilai tukar rupiah

Menurunnya nilai tukar terhadap valuta asing, seperti US dollar, Yen, Deutche Mark,
akan berdampak pada semakin mahalnya barang-barang produksi impor. Hal ini
berakibat pada kenaikan biaya produksi.

Faktor uang dan barang/jasa seperti diuraikan diatas memang berdampak langsung
terhadap inflasi. Bla ditelusuri, maka sumber penyebab inflasi dapat juga bersal
faktor-faktor sosial dan politik. Sebagai contoh, adanya berbagai kerusuhan sosial
seperti yang terjadi akhir-akhir ini, juga memberikan dorongan terhadap laju inflasi.
Berbagai kerusuhan sosial yang terjadi menyebabkan rasa tidak aman pada
penduduk, sehingga mendorong mereka untuk membeli barang-barang dalam
jumlah besar dari kebutuhan.

Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang terjadi di seluruh negara di dunai. Inflasi
tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang saja, seperti Indonesia, tetapi
terjadi juga di negara-negara maju pada umumnya seperti Eropa Barat, Amerika
Serikat, dan Jepang, harga barang-barang secara umum relatif stabil, dimana tingkat
inflasi relatif rendah, berkisar antara 3% - 5% per tahun. Sedangkan di negara-
negara berkembang pada umumnya, tingkat inflasi sangat berfluktuatif dan relatif
lebih tinggi dari tingkat inflasi di negara-negara maju. Hal ini berkaitan juga dengan
keadaan ekonomi, dan sosial-politik yang relatif belum stabil.

Sehingga agar inflasi tidak semakin buruk, perlu adanya upaya untuk menekan
inflasi, diantaranya:
Menjaga keserasian antara laju penambahan uang beredar dengan laju
pertumbuhan barang dan jasa. Penambahan jumlah uang beredar harus dilakukan
secara proporsional dengan tingkat pertumbuhan penawaran barang dan jasa. Di
samping itu, jumlah uang beredar senantiasa harus dipantau dan dikendalikan.
Beberapa instrumen yang dapat digunakan oleh pemerintah (Bank Indonesia guna
mengendalikan jumlah uang beredar adalah: Politik operasi pasar terbuka (Open
Market Operation);
Politik diskonto dan bunga pinjaman; serta Politik mengubah cadangan
minimal bank-bank umum pada Bank Indonesia. Selain itu perlu dilakukan
pengawasan pinjaman secara selektif maupun Pembujukan moral (moral suation).
Menjaga kestabilan nilai tukar mata uang. Nilai tukar rupiah yang cenderung
merosot terhadap mata uang asing, akan mendorong laju inflasi. Mengapa? Sebab
negara kita masih banyak mengimpor barang-barang modal dan juga bahan baku
produksi. Jika mata uang rupiah meroset, maka harga barang-barang impor untuk
kebutuhan produksi menjadi lebih mahal. Hal ini berati akan menaikkan biaya
produksi, yang selanjutnya akan menaikkan harga barabf dan jasa di pasar.
Melakukan intervensi pasar. Pada masa-masa tertentu dapat terjadi lonjakan
terhadap permintaan barang-barang dipasar, seperti menjelang hari raya Idul Fitri
dan Natal. Keadaan ini tidak dapat dibiarkan terus, karena dapat menyulut
kenaikan harga barang-barang pada umunya. Kenaikan harga barang-barang
secara temporer memang tidak dapat disebut inflasi

Anda mungkin juga menyukai