Anda di halaman 1dari 48

BAB 1

PENDAHULUAN

Apendisitis akut merupakan keadaan yang sering terjadi dan membutuhkan


operasi kegawatan perut. Diagnosis apendisitis akut sulit pada anak, tetapi dapat
memberikan angka perforata 30-60%. Lima puluh persen anak dengan apendisitis
perforata diketahui oleh dokter sebelum didiagnosis. Risiko untuk perforata terbanyak
pada umur 1-4 tahun (70-75%) dan terendah pada remaja 30-40% (Hartman, 2000).

Individu memiliki risiko sekitar 7% untuk apendisitis selama hidup mereka.


Insidensi apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang.
Walaupun alasan untuk perbedaan ini tidak diketahui, faktor risiko yang potensial
adalah diet rendah serat dan tinggi gula, riwayat keluarga, serta infeksi (Mazziotti,
2008).

Sekitar 80.000 anak pernah menderita apendisitis di Amerika Serikat setiap


tahun, di mana terjadi 4 per 1000 anak di bawah 14 tahun. Kejadian apendisitis
meningkat dengan bertambahnya umur, memuncak pada remaja, dan jarang terjadi
pada anak kurang dari 1 tahun (Hartman, 2000). Berdasarkan World Health
Organization (2002), angka mortalitas akibat apendisitis adalah 21.000 jiwa, di mana
populasi laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Angka mortalitas
apendisitis sekitar 12.000 jiwa pada laki-laki dan pada perempuan sekitar 10.000
jiwa. Menurut Craig (2010), apendisitis perforata sering terjadi pada umur di bawah
18 tahun ataupun di atas 50 tahun. Insidensi apendisitis pada laki-laki lebih besar 1,4
kali dari perempuan. Rasio laki-laki dan wanita sekitar 2:1.

Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Banyak hal dapat sebagai faktor
pencetusnya, diantaranya sumbatan lumen apendiks, hiperplasia jaringan limfa,
fekalit (faex = tinja, lithos = batu), tumor apendiks, dan berupa erosi mukosa oleh
cacing Ascaris dan E. histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran
kebiasaan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya

1
apendisitis. Konstipasi menaikkan tekanan intrasekal, menyebabkan sumbatan
fungsional apendiks, dan meningkatkan pertumbuhan flora kolon. Semuanya ini akan
mempermudah timbulnya apendisitis akut (Pieter, 2005).
Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan
pembungkus visera dalam rongga perut yang disebabkan oleh iritasi kimiawi atau
invasi bakteri. Peritonitis biasanya terjadi local atau general dan menghasilkan infeksi
(sering terjadi rupture pada organ pada trauma abdominal atau appendicitis) atau dari
proses non-infeksi (Wim de jong, 2011).
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi
dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi
tifus abdominalis, perdarahan pada trauma abdomen (Schrock,2000).
Abdomen akut atau acute abdominal pain adalah suatu keadaan klinis akibat
kegawatan di rongga perut, timbul mendadak, dengan nyeri sebagai keluhan
utama.Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera berupa tindakan bedah
(Schwartz, 2000).
Banyak penyakit menimbulkan gejala nyeri , namun belum membutuhkan
tindakan pembedahan.Hal ini memerlukan evaluasi dengan methode dan pemeriksaan
yang sangat berhati-hati. Abdomen akut berkisar antara 5 10 % dari semua kasus
emergency dari 5 10.000 pasien di United States. Penelitian lain mendapatkan
sekitar 25 % (Wim de Jong, 2011).
Keterlambatan melakukan tindakan pembedahan berakibat meningkatnya
morbiditas dan mortalitas.untuk itu evaluasi riwayat penyakit pasien, pemeriksaan
fisik yang didapat, data laboratorium, dan test imaging sangat menentukan keputusan
seorang ahli bedah (Schwartz, 2000).

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1. Anatomi dan Histologi Apendiks

Apendiks merupakan suatu evaginasi dari sekum yang ditandai dengan


sebuah lumen kecil, sempit, dan tidak teratur. Struktur tersebut disebabkan oleh
folikel limfoid yang banyak pada apendiks (Junqueira dan Carneiro, 2007).
Apendiks memiliki panjang sekitar 3-15 cm dan diameter 0,5-1 cm. Pada
bagian proksimal, lumen apendiks sempit dan melebar di bagian distal. Pada
bayi,apendiks berbentuk kerucut, di mana bagian pangkal melebar dan semakin
menyempit ke arah ujung. Hal ini merupakan salah satu faktor insidensi apendisitis
yang rendah pada umur tersebut (Pieter, 2005).
Sekitar 65% apendiks terletak di intraperitoneal. Kedudukan ini menyebabkan
apendiks dapat bergerak sesuai dengan panjang mesoapendiks yang menggantungnya.
Apendiks juga dapat terletak di retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang

3
kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Letak apendiks dapat menentukan
manifestasi klinis apendisitis (Pieter, 2005).
Appendiks tampak pertama kali saat minggu ke-8 perkembangan embriologi
yaitu bagian ujung protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal,
pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi apendiks, kemudian berpindah
dari medial menuju katup ileosekal (Pieter, 2005).
Apendiks memiliki 4 lapisan yaitu, mukosa, submukosa, muskularis eksterna/
propria (otot longitudinal dan sirkuler), dan serosa. Apendiks dapat tidak terlihat
karena membran Jackson (lapisan peritoneum) yang menyebar dari bagian lateral
abdomen ke ileum terminal, menutup sekum dan apendiks. Lapisan mukosa terdiri
dari satu lapis epitel bertingkat dan crypta lieberkuhn. Dinding dalam (inner circular
layer) berhubungan dengan sekum dan dinding luar (outer longitudinal muscle)
dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia coli pada pertemuan sekum dan apendiks.
Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari apendiks. diantara
mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Lapisan submukosa terdiri dari
jaringan ikat longgar dan jaringan elastik yang membentuk jaringan saraf, pembuluh
darah dan limfe (Pieter, 2005).
Persarafan parasimpatis apendiks berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a. mesenterika superior dan a. apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari n. torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar
umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari a. apendikularis yang merupakan arteri
tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi,
apendiks akan mengalami gangren (Pieter, 2005).

2.2. Fisiologi Apendiks


Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara apendiks
tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis (Pieter, 2005). Imunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang
terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA. Imunoglobulin ini
sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan

4
apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini
kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan diseluruh tubuh
(Pieter, 2005).
Jaringan limfoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah
lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian
berkurang mengikuti umur. Setelah umur 60 tahun, tidak ada jaringan limfoid lagi di
apendiks dan terjadi penghancuran lumen apendiks komplit. Immunoglobulin
sekretorius dihasilkan sebagai bagian dari jaringan limfoid yang berhubungan dengan
usus untuk melindungi lingkungan anterior. Apendiks bermanfaat tetapi tidak
diperlukan (Schwartz, 2000).

2.3. Apendisitis
2.3.1. Definisi
Apendiks adalah ujung seperti jari-jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm
(4 inci), melekat pada sekum tepat dibawah katup ilosekal (Smeltzer dan Bare, 2002).
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks dan merupakan penyebab abdomen akut
yang paling sering (Mansjoer dkk., 2000). Apendisitis akut adalah penyebab paling
umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, dan bedah
abdomen darurat (Smeltzer dan Bare, 2002).

2.3.2. Etiologi
Pada penelitian, ligasi (obstruksi) apendiks menyebabkan peningkatan
mencolok tekanan intralumen, yang dengan cepat melebihi tekanan darah sistolik.
Pada awalnya kongesti darah vena menjelek menjadi trombosis, nekrosis dan
perforata. Secara klinis, obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis.
Obstruksi ini disebabkan oleh pengerasan bahan tinja (fekolit). Fekalit merupakan
penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Bahan yang mengeras ini bisa mengapur,
terlihat dalam foto rontgen sebagai apendikolit (15-20%).

5
Obstruksi akibat dari edema mukosa dapat disertai dengan infeksi virus atau
bakteri (Yersinia, Salmonella, Shigella) sistemik. Mukus yang tidak normal terkesan
sebagai penyebab meningkatnya insidens apendisitis pada anak dengan kistik fibrosis.
Tumor karsinoid, benda asing, dan ascaris jarang menjadi penyebab apendisitis
(Hartman, 2000). Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah
erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi
menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi
terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal,
yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya
apendisitis akut (Pieter, 2005).

2.3.3. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur pada fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma (Mansjoer dkk., 2000). Obstruksi lumen
yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimal. Selanjutnya, terjadi
peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi secara terus menerus
karena multiplikasi cepat dari bakteri. Obstruksi iga menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa terbendung. semakin lama, mukus tersebut semakin banyak.
Namun, elastisitas dinding apendiks terbatas sehingga meningkatkan tekanan
intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml (Schwartz, 2000).
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia,
hambatan aliran limfe, ulserasi mukosa, dan invasi bakteri. Infeksi memperberat
pembengkakan apendiks (edema). Trombosis pada pembuluh darah intramural
(dinding apendiks) menyebabkan iskemik. Pada saat ini, terjadi apendisitis akut fokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium (Mansjoer dkk., 2000).
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang meluas dan mengenai peritoneum setempat menimbulkan nyeri

6
didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut
(Mansjoer dkk., 2000). Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding
apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa.
Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforata
(Mansjoer dkk., 2000). Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus
yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi
abses atau menghilang (Mansjoer dkk., 2000). Infiltrat apendikularis merupakan
tahap patologi apendisitis yang dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan
dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Ini merupakan usaha pertahanan
tubuh yang membatasi proses radang melalui penutupan apendiks dengan omentum,
usus halus, atau adneksa. Akibatnya, terbentuk massa periapendikular. Di dalamnya,
dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforata. Jika
tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan
menjadi tenang, dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat (Pieter, 2005).
Pada anak-anak, perforata mudah terjadi karena omentum lebih pendek,
apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis, dan daya tahan tubuh yang
masih kurang. Pada orang tua, perforata mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah (Mansjoer dkk., 2000). Apendiks yang pernah meradang tidak akan
sembuh sempurna, tetapi membentuk jaringan parut dan menyebabkan perlengketan
denganjaringan sekitar. Perlengketan ini menimbulkan keluhan berulang diperut
kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi akut (Pieter, 2005).

7
2.3.4. Manifestasi Klinis
Pada permulaan timbulnya penyakit, belum ada keluhan abdomen yang
menetap. Keluhan apendisitis akut biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus
atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam, nyeri beralih
ke kuadran kanan, menetap, dan diperberat saat berjalan atau batuk. Terdapat juga
keluhan anoreksia, malaise, demam yang tidak terlalu tinggi, konstipasi, kadang-
kadang diare, mual dan muntah. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan
bawah akan semakin progresif (Mansjoer dkk., 2000).

8
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai
rangsang peritoneum lokal. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam
nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney. Di sini nyeri dirasakan
lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan somatik setempat. Kadang
tidak ada nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforata.
Bila terdapat perangsangan peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut
bila berjalan atau batuk (Pieter, 2005). Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga
perut, karena letaknya terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah
tidakbegitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut
sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayor
yang menegang dari dorsal (Pieter, 2005). Apendiks yang terletak di rongga pelvis,
bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum
sehingga peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi
peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya (Pieter,2005).
Perburukan dari awal mulainya gejala sampai perforata biasanya terjadi
setelah 36-48 jam. Jika diagnosis terlambat setelah 36-48 jam, angka perforata
menjadi 65% (Hartman, 2000). Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit
didiagnosis sehingga tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi.
Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya
rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya dalam
beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak akan menjadi lemah
dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering apendisitis diketahui setelah
perforata. Pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforata
(Pieter, 2005).

9
Manifestasi klinis apendisitis akut (Pieter, 2005) :
Tanda awal nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikus disertai mual dan
anoreksi
Nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan
peritoneum lokal di titik McBurney
Nyeri tekan
Nyeri lepas
Defans muskuler
Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
Nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)
Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan,
batuk, mengedan

2.3.5. Diagnosis
Riwayat klasik apendisitis akut, yang diikuti massa yang nyeri di regio iliaka
kanan dan demam, mengarahkan diagnosis pada massa atau abses apendikuler.
Diagnosis didukung dengan pemeriksaan fisik maupun penunjang. Kesalahan
diagnosis lebih sering pada perempuan disbanding laki-laki. Hal ini terjadi karena
perempuan, terutama yang masih muda, sering mengalami gangguan yang mirip
apendisitis akut. Keluhan dapat berasal dari genitalia interna karena ovulasi,
menstruasi, radang di pelvis atau penyakit.
Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis yang meragukan dilanjutkan
dengan observasi penderita di rumah sakit, dengan pengamatan setiap 1-2 jam
(Pieter, 2005).

2.3.6. Pemeriksaan
2.3.6.1. Pemeriksaan Fisik

10
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforata. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan
rektal sampai 1C. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung
sering terlihat pada penderita
dengan komplikasi perforata. Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler
terlihat dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah (Pieter, 2005).
Apendisitis yang tidak terobati berlanjut dengan perforata dalam 48-72 jam;
karenanya, lamanya gejalanya sangat penting dalam mengintepretasi tanda fisik
dalam menentukan strategi pengobatan (Pieter, 2005).
Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan inspeksi tingkah laku anak dan
keadaan perutnya. Anak dengan apendisitis sering bergerak perlahan dan terbatas,
membungkuk kedepan, dan sering dengan sedikit pincang. Anak tersebut akan
memegang kuadran kanan bawah dengan
tangan dan enggan untuk naik ke meja periksa. Apendisitis dini perut rata. Perubahan
warna dan bekas luka memar harus dipikirkan trauma perut. Perut kembung
menunjukkan suatu komplikasi seperti perforata atau obstruksi. Auskultasi bisa
menunjukkan suara usus normal atau hiperaktif
pada apendisitis dini diganti dengan suara usus hipoaktif ketika menjelek menjadi
perforata (Hartman, 2000).
Palpasi abdomen harus dilakukan dengan lembut setelah pelaporan dan
dibantu dengan selingan pembicaraan atau bantuan orangtua. Kuadran kanan bawah
(titik Mcburney) harus dipalpasi terakhir setelah pemeriksa telah mempunyai
kesempatan mempertimbangkan respons terhadap pemeriksaan kuadran yang
seharusnya tidak nyeri. Titik Mcburney adalah perpotongan lateral dan duapertiga
dari garis yang menghubungkan spina iliaka superior anterior kanan dan umbilikus.

11
Tanda fisik yang paling penting pada apendisitis adalah nyeri tekan menetap
pada saat palpasi dan kekakuan lapisan otot rektus. Jika anak takut atau agitasi saat
pemeriksaan sebelumnya, maka otot perut mungkin tegang keseluruhan, membuat
interpretasi temuan ini tidak dimungkinkan (Hartman, 2000).
Pemeriksaan nyeri lepas harus dikerjakan dengan hati-hati supaya bermakna.
Palpasi perut yang dalam dan kemudian dilepaskan dengan tiba-tiba akan
menyebabkan nyeri dan rasa takut pada semua anak dan hal ini tidak dianjurkan.
Perkusi jari dengan lembut pada semua kuadran merupakan pemeriksaan yang lebih
baik dari iritasi peritoneum berulang pada semua kelompok umur tetapi terutama
pada anak yang takut (Hartman, 2000).
Peristalsis usus sering normal, peristalsis dapat hilang karena ileus paralitik
pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Pemeriksaan colok dubur
menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya
pada apendisitis pelvika (Pieter,2005). Pada apendisitis pelvika tanda perut sering
meragukan, maka kunci diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok
dubur. Colok dubur pada anak tidak dianjurkan.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih
ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan
m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang meradang
menempel di m. psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator

12
digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator
internus yang merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada apendisitis pelvika akan
menimbulkan nyeri (Pieter, 2005).

2.3.6.2. Pemeriksaan Penunjang


2.3.6.2.1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada darah lengkap didapatkan leukosit ringan umumnya pada apendisitis
sederhana. Lebih dari 13.000/mm3 umumnya pada apendisitis perforata. Tidak
adanya leukositosis tidak menyingkirkan apendisitis. Hitung jenis leukosit terdapat
pergeseran kekiri. Pada pemeriksaan urin, sedimen dapat normal atau terdapat
leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada
ureter atau vesika (Kartono, 1995).

2.3.6.2.2. Pemeriksaan Radiologi


Pemeriksaan pencitraan yang mungkin membantu dalam mengevaluasi anak
dengan kecurigaan apendisitis adalah foto polos perut atau dada, ultrasonogram,
enema barium, dan kadang-kadang CT scan. Temuan apendisitis pada foto perut
meliputi apendikolit yang mengalami kalsifikasi, usus halus yang distensi atau
obstruksi, dan efek massa jaringan lunak (Hartman, 2000). Menurut Darmawan
Kartono, 1995 foto polos abdomen dikerjakan apabila hasil anamnesa atau
pemeriksaan fisik meragukan. Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah.
Gambaran perselubungan mungkin terlihat ileal atau caecal ileus (gambaran garis
permukaan air-udara disekum atau ileum).
Foto polos pada apendisitis perforata:
1. Gambaran perselubungan lebih jelas dan dapat tidak terbatas di kuadran
kanan bawah
2. Penebalan dinding usus disekitar letak apendiks, sperti sekum dan ileum.
3. Garis lemak pra peritoneal menghilang
4. Skoliosis ke kanan

13
5. Tanda-tanda obstruksi usus seperti garis-garis permukaan cairan- cairan
akibat paralisis usus-usus lokal di daerah proses infeksi

CT scan telah menjadi modalitas pilihan untuk mendiagnosis apendisitis


pada anak-anak. CT scan telah terbukti memiliki akurasi 97% dalam mendiagnosis
apendisitis. Keuntungan lainnya adalah kemampuan untuk mengevaluasi seluruh
perut dan menemukan abses dan phlegmon, kurangnya ketergantungan pada
keterampilan operator, dan keakraban dokter dengan membaca CT scan.
Kerugian meliputi paparan radiasi tersebut, kebutuhan akan kontras oral dan
intravena dan kerugian yang terkait, dan kebutuhan pasien untuk diam, yang sering
sulit untuk anak- anak kecil. Karena keuntungan CT scan, 62% dari dokter bedah
anak yang disurvei di Amerika Utara lebih suka untuk evaluasi apendisitis. CT scan
paling disukai, dengan 51-58% pasien dengan apendisitis diduga menjalani CT scan.
Namun, walaupun sekarang penggunaan luas CT scan untuk evaluasi apendisitis
dengan sensitivitas dan spesifisitas unggul, tingkat apendisitis negatif pada anak-anak
belum menunjukkan penurunan signifikan secara statistik (Katz, 2009).
Temuan pada barium enema adalah temuan pengaruh massa pada sekum
karena proses radang dan lumen apendiks tidak terisi atau terisi sebagian (Hartman,
2000).

2.3.7. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer dkk. (2000), penatalaksanaan apendisitis terdiri dari:
a. Sebelum operasi
1. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi
2. Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin
3. Rehidrasi
4. Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena

14
5. Obat obatan penurun panas, phenergan sebagai anti mengigil, largaktil untuk
membuka pembuluh pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi
tercapai
6. Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi
b. Operasi
1. Apendiktomi
2. Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforata bebas, maka abdomen
dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika
3. Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massa mungkin mengecil, atau
abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari.
Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif sesudah 6 minggu
sampai 3 bulan
c. Pasca Operasi
1. Observasi Tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di dalam,
syok, hipertermia atau gangguan pernafasan.
2. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung
dapat dicegah
3. Baringkan pasien dalam posisi semi fowler
4. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama pasien
dipuasakan
5. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforata, puasa dilanjutkan
sampai fungsi usus kembali normal.
6. Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4 5 jam lalu naikkan menjadi 30
ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya
diberikan makanan lunak
7. Satu hari pascar operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur
selama 2x30 menit
8. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar
9. Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang

15
Apendiktomi harus dilakukan dalam beberapa jam setelah diagnosis
ditegakkan (Pieter,2005). Jika apendiks telah perforata, terutama dengan peritonitis
menyeluruh, resusitasi cairan yang cukup dan antibiotik spektrum luas mungkin
diperlukan beberapa jam sebelum apendiktomi. Pengisapan nasogastrik harus
digunakan jika ada muntah yang berat atau perut kembung.
Antibiotik harus mencakup organisme yang sering ditemukan (Bacteroides,
Escherichia coli, Klebsiella, dan pseudomonas spesies). Regimen yang sering
digunakan secara intravena adalah ampisilin (100 mg/kg/24 jam), gentamisin (5
mg/kg/24 jam), dan klindamisin (40mg/kg/24 jam), atau metronidazole (Flagyl) (30
mg/kg/24 jam).
Apendiktomi dilakukan dengan atau tanpa drainase cairan peritoneum, dan
antibiotik diteruskan sampai 7-10 hari (Hartman, 2000). Massa apendiks terjadi bila
terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforata ditutupi atau dibungkus oleh
omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikular yang
pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga
peritoneum jika perforata diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu,
massa periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah
penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah.
Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Bila sudah
tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh
pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan
akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforata, akan
terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi,
bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka
leukosit (Pieter, 2005). Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja.
Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita umur lanjut, jika secara konservatif
tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya
(Pieter, 2005).

2.3.8. Komplikasi

16
Komplikasi apendisitis terjadi pada 25-30% anak dengan apendisitis, terutama
komplikasi yang dengan perforata (Hartman, 2000). Menurut Smeltzer dan Bare
(2002), komplikasi potensial setelah apendiktomi antara lain:
1. Peritonitis
Observasi terhadap nyeri tekan abdomen, demam, muntah, kekakuan
abdomen, dan takikardia. Lakukan penghisapan nasogastrik konstan. Perbaiki
dehidrasi sesuai program. Berikan preparat antibiotik sesuai program.
2. Abses pelvis atau lumbal
Evaluasi adanya anoreksi, menggigil, demam, dan diaforesis. Observasi
adanya diare, yang dapat menunjukkan abses pelvis, siapkan pasien untuk
pemeriksaan rektal. Siapkan pasien untuk prosedur drainase operatif.
3. Abses Subfrenik (abses dibawah diafragma)
Kaji pasien terhadap adanya menggigil, demam, diaforesis. Siapkan untuk
pemeriksaan sinar-x. Siapkan drainase bedah terhadap abses.
4. Ileus
Kaji bising usus. Lakukan intubasi dan pengisapan nasogastrik. Ganti cairan
dan elektrolit dengan rute intravena sesuai program. Siapkan untuk
pembedahan, bila diagnosis ileus mekanis ditegakkan.

2.3.9. Prognosis
Prognosis baik bila dilakukan diagnosis dini sebelum ruptur, dan diberi
antibiotik yang lebih baik. Apendisitis akut tanpa perforata memiliki mortalitas
sekitar 0,1%, dan mencapai 15% pada orang tua dengan perforata. Umumnya,
mortalitas berhubungan dengan sepsis, emboli paru, ataupun aspirasi (Schwartz,
2000).

2.4. Peritonitis

17
2.4.1. Definisi
Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus
visera dalam rongga perut yang disebabkan oleh iritasi kimiawi atau invasi bakteri
(Schwartz, 2000). Peritonitis biasanya terjadi local atau general dan menghasilkan
infeksi (sering terjadi rupture pada organ pada trauma abdominal atau appendicitis)
atau dari proses non-infeksi (Wim de Jong, 2011).
Suatu peritonitis dapat terjadi oleh karena kontaminasi yang terus menerus
oleh kuman, kontaminasi dari kuman dengan strain yang ganas, adanya benda asing
ataupun cairan bebas seperti cairan ascites akan mengurangi daya tahan peritoneum
terhadap bakteri. Omentum juga merupakan jaringan yang penting dalam
penmgontrolan infeksi dalam rongga perut (Schwartz, 2000).

2.4.2. Etiologi dan Klasifikasi


Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi
dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi
tifus abdominalis, perdarahan pada trauma abdomen (Schrock, 2000).
Peritonitis dapat digolongkan menjadi 3 kelompok berdasarkan dari penyebabnya.
1. Peritonitis Primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari
rongga peritoneum. Banyak terjadi pada penderita (Wim de Jong, 2011):
- Tb peritoneum
- nefrosis
- bronkopnemonia dan TBC paru
- pyelonefritis

2. Peritonitis Sekunder (Supurativa)


Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan
menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat
memperberat terjadinya infeksi ini (Schrock,2000). Bakterii anaerob, khususnya
spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan

18
infeksi. Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat
suatu peritonitis (Phillips, 1997).
Peritonitis sekunder dapat disebabkan oleh infeksi akut dari organ intraperitoneal
seperti (Schrock, 2000):
- Iritasi Kimiawi : Perforasi gaster, pankreas, kandung empedu, hepar, lien,
kehamilan extra tuba yang pecah.
- Iritasi bakteri : Perforasi kolon, usus halus, appendix, kista ovarii pecah, ruptur
buli dan ginjal.
- Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum
peritoneal.

Tabel 3.1. penyebab peritonitis sekunder


Regio Asal Penyebab
Esophagus Boerhaave syndrome
Malignancy Trauma (mostly
penetrating)
Iatrogenic*
Stomach Peptic ulcer perforation
Malignancy (eg, adenocarcinoma,
lymphoma, gastrointestinal stromal
tumor)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Duodenum Peptic ulcer perforation
Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*
Biliary tract Cholecystitis Stone perforation from
gallbladder (ie, gallstone ileus) or
common duct
Malignancy Choledochal cyst (rare)
Trauma (mostly penetrating)

19
Iatrogenic*

Pancreas Pancreatitis (eg, alcohol, drugs,


gallstones)
Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*
Small bowel Ischemic bowel
Incarcerated hernia (internal and
external)
Crohn disease
Malignancy (rare)
Meckel diverticulum
Trauma (mostly penetrating)
Large bowel and appendix Ischemic bowel
Diverticulitis Malignancy Ulcerative
colitis and Crohn disease
Appendicitis Colonic volvulus
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic
Uterus, salpinx, and ovaries Pelvic inflammatory disease (eg,
salpingo-oophoritis,tuba-ovarian
abscess, ovarian cyst)
Malignancy (rare)
Trauma (uncommon)

3. Peritonitis Tersier
Peritonitis yang mendapat terapi adekuat, dan akibat timbul kembali
peritonitis. (Schwartz, 2000).

2.4.3. Patofisiologi

20
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa,
yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstruksi usus
(Schrock, 2000).
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa
ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba
untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk
buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi
ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia (Wim de Jong, 2011).
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan
lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding
abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia
bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah
(Philips,1997).
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi
sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas
pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis
umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang
sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan
elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus

21
yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan
obstruksi usus (Rasad, 1999).
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus
karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik
usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana
yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat
total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau gangren dan
akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen
sehingga dapat terjadi peritonitis (Philips, 1997).
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan
kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang
tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk
keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang
mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal
dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam
selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang
disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang
merosot karena toksemia (Schwartz, 2000).
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang mulai
di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata.
Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut.
Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di
perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena
rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas.
Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal
perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia,
adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritonium berupa mengenceran zat
asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai
kemudian terjadi peritonitis bacteria (Schrock, 2000).

22
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas
dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem,
diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah
kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi
dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general (Philips, 1997).
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ
yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi
dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan
kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling
lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan
terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat
sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena
mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam
timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum (Rotstein, 1997).

2.4.4. Manifestasi Klinis


Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda -
tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan
defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma.
Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus
(Schwartz, 2000)
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan
terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini
menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium

23
dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti
jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan
seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya (Schrock, 2000).

2.4.5. Diagnosis
1. Gambaran klinis
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan
jenis organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau
umum. Gambaran klinis yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu
adanya nyeri abdomen, demam, nyeri lepas tekan dan bising usus yang menurun atau
menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu
adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan pada penderita
perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya menjadi menyebar keseluruh bagian
abdomen. Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mula-mula dikarenakan
penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari fokus infeksi.
Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea,
vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam, distensi abdominal,
nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara klasik
bising usus melemah atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non
bakterial akut sama dengan peritonitis bacterial (Wim de Jong, 2011).
Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis adanya
keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi abdominal; sedang
peritonitis granulomatosa menunjukkan gambaran klinis nyeri abdomen yang hebat,
demam dan adanya tanda-tanda peritonitis lain yang muncul 2 minggu pasca bedah
(Schrock, 2000).

2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Pada peritonitis biasanya akan ditemukan perut yang membuncit dan tegang
atau distended (Wim de Jong, 2011).
b. Palpasi

24
Ditemukan nyeri tekan setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans
muskular secara refleks untuk melindungi bagian yang meradang dan
menghindari gerakan atau tekanan setempat (Philips, 1997).
c. Perkusi.
Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya udara bebas
atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui pemeriksaan
pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis, pekak hepar
akan menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena adanya udara
bebas (Rasad, 1999).
d. Auskultasi
Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau menghilang
sama sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh sehingga
menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik). Sedangkan
pada peritonitis lokal bising usus dapat terdengar normal (Rotstein,1997).

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit
yang meningkat dan asidosis metabolic (Rotstein, 1997).
b. Pemeriksaan Radiologi
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus dan
usus besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus perforasi
(Rasad, 1999).

2.4.6. Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis,


gastroenteritis, kolesistitis, salpingitis, kehamilan ektopik terganggu, tifoid
perforasi, gaster perforasi dan lain-lain (Schwartz, 2000)

2.4.7. Penatalaksanaan

25
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang
yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi
saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus
septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan
nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri (Schrock, 2000).
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri
dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah
jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme
mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga
merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat
pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi (Philips, 1997).
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan
jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis
terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan
untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari
saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus
dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi
(Rotstein, 1997).
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan
menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi
ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika (misal
sefalosporin) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila
peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena
tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain (Schrock,
2000).

2.4.8. Komplikasi

26
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu (Rotstein,
1999):
1. Komplikasi dini
a. Septikemia dan syok septik
b. Syok hipovolemik
c. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan
multi sistem
d. Abses residual intraperitoneal
e. Portal Pyemia (misal abses hepar)
2. Komplikasi lanjut
a. Adhesi
b. Obstruksi intestinal rekuren

2.4.9. Prognosis
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada
peritonitis umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen (Rotstein, 1997).

2.5. Akut Abdomen


2.5.1. Definisi
Abdomen akut atau acute abdominal pain adalah suatu keadaan klinis akibat
kegawatan di rongga perut, timbul mendadak, dengan nyeri sebagai keluhan
utama.Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera berupa tindakan bedah
(Schwartz, 2000).
Banyak penyakit menimbulkan gejala nyeri , namun belum membutuhkan
tindakan pembedahan.Hal ini memerlukan evaluasi dengan methode dan pemeriksaan
yang sangat berhati-hati. Abdomen akut berkisar antara 5 10 % dari semua kasus
emergency dari 5 10.000 pasien di United States. Penelitian lain mendapatkan
sekitar 25 % (Wim de Jong, 2011).
Keterlambatan melakukan tindakan pembedahan berakibat meningkatnya
morbiditas dan mortalitas.untuk itu evaluasi riwayat penyakit pasien, pemeriksaan
fisik yang didapat, data laboratorium, dan test imaging sangat menentukan keputusan
seorang ahli bedah (Schwartz, 2000).

27
2.5.2. Evaluasi Klinis
Keluhan yang menonjol pada abdomen akut adalah nyeri.Nyeri perut dapat
berupa nyeri viseral maupun nyeri somatik. Dalam diagnosa klinik, rasa nyeri yang
berasal dari bermacam-macam organ visera dalam abdomen merupakan salah satu
kriteria yang dapat dipakai untuk mendiagnosa peradangan visera , penyakit dan
kelainan lain dari visera. Pada umumnya visera tidak mempunyai reseptor-reseptor
sensorik untuk modalitas sensasi lain kecuali untuk rasa nyeri (Schrock, 2000).
Setiap stimulus yang dapat merangsang ujung serabut nyeri yang terdapat
didaerah visera yang luas dapat menimbulkan rasa nyeri visera.
Pada dasarnya , semua nyeri visera yang murni dalam rongga abdomen dijalarkan
melalui serabut saraf sensorik yang berjalan dalam saraf otonom, terutama saraf
simpatis. Serabut serabut ini adalah serabut kecil tipe C (Schwartz, 2000).
Bila nyeri viseral dialihkan kepermukaan tubuh, biasanya nyeri itu akan
dilokalisasikan sesuai segmen dermatom dari mana organ visera itu berasal pada
weaktu embrio, dan tidak memperhatikan dimana organ itu sekarang berada.
Misalnya, semasa embrio lambung kira-kira berasal darisegmen torakal ketujuh
sampai kesembilan.Karena itu nyeri lambung dialihkan ke epigastrium anterior diatas
umbilikus, yaitu daerah permukaan tubuh yang diinervasi oleh segmen torasika ke
tujuh sampai kesembilan. Nyeri dari visera seringkali secara bersamaan dilokalisasi di
dua daerah permukaan tubuh karena nyeri dijalarkan melalui jaras alih viseral dan
parietal.Misalnya pada apendisitis yang meradang, impuls nyeri yang berasal dari
apendik akan melewati sertabut-serabut nyeri viseral saraf simpatis dan selanjutnya
akan masuk ke medula spinalis kira-kira setinggi T-10 atau T-11; nyeri ini akan
dialihkan ke daerah sekeliling umbilikius .Sebaliknya impuls nyeri seringkali juga
dimulai di peritoneum parietale tempat apendiks yang meradang menyentuh atau
melekat pada dinding abdomen.hal ini menyebabkan nyeri tajam disekitar
periotoneum yang teriritasi di kuadran kanan bawah abdomen (Rasad, 1999).
Nyeri viseral dari suatu organ biasanya sesuai letaknya dengan asal organ
tersebut pada masa embrional.Sedangkan letak nyeri somatik biasanya dekat dengan
organ nyeri sehingga relatif mudah menentukan penyebabnya (Schwartz, 2000).

28
Nyeri alih(referred pain)
Seringkali seseorang merasakan nyeri di bagian tubuh yang letaknya jauh dari
jaringan yang menyebabkan rasa nyeri.Biasnya nyeri ini mula-mula timbul didalam
salah satu daerah di permukaan tubuh. Juga nyeri ini mungkin dialihkan ke daerah
dalam tubuh yang tidak tepat betul dengan daerah organ yang menimbulkan nyeri
(Schwartz, 2000).
Nyeri iskemik
Iskemik menyebabkan nyeri viseral dengan cara yang tepat sama seperti timbulnya
rasa nyeri di jaringan lain, hal ini mungkin karena terbentuknya produk akhir
metabolik yang asam atau produk yang dihasilkan oleh jaringan degeneratif seperti
bradikinin, enzim proteolitik, atau bahan lain yang merangsang ujung serabut nyeri
(Schrock, 2000).
Nyeri pula bisa bersifat intermiten atau kontinyu. Intermiten atau cramping
pain atau kolik adalah nyeri yang timbul dengan periode pendek, yang diikuti
periode panjang dan disertai fase bebas nyeri (Schrock, 2000).

Dalam melakukan evaluasi dari nyeri abdomen, penjalaran nyeri menjadi


sangat penting.Kelainan diregio subdiafragma menyebabkan penjalaran nyeri ke
daerah bahu.Penyakit biliar menyebabkan penjalaran nyeri ke bahu kanan atau
kebelakang. Nyeri abdomen bagian atas oleh karena ulkus peptikum, kolekistitis akut
dan pankreatitis.Lihat gambar 4,5,6 dan 7. Nyeri abdomen bagian bawah sering
disebabkan oleh karena di bidang obstetri dan gynecology seperti cyste ovarium,
divertikulitis, dan ruptur tubo-ovarial abses.Obstruksi pada usus halus menyebabkan
nyeri pertengahan abdomen dengan penjalaran nyeri ke bagian belakang
(Rotstein,1997).

29
Nyeri dari organ visceral

Penyebab tersering nyeri abdomen

30
Nyeri menyeluruh pada abdomen

31
Pembagian berdasarkan kuadran
2.5.3. Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
Sebelum dilakukan pemeriksaan fisik, harus sudah dapat dipastikan kira-kira
organ mana yang mkengalami kelainan berdasarkan hasil pemeriksaan anamnesa
(history).Pemeriksaan fisik ditujukan untuk mempertegas dan meyakinkan organ
tersebut yang mengalami kelainan. Pemeriksa sebaiknya menggunakan satu jari
tangan untuk menunjukkan rasa nyeri tersebut.Disamping itu pemeriksaan vital sign
harus dipantau dan dipertahan kan tretap stabil.Kondisi pasien nyang menunjukkan
tanda syok, hipotermi, takipnea, takikardia dan kemungkinan hipotensi ,
menunjukkan adanya masalah intra abdomen dan memerlukan tindakan pembedahan
berupa laparatomi (Schwartz, 2000).

32
Di dalam memulai pemeriksaan fisik, seorang ahli bedah menempatkan pasien
dalam posisi supinasi, melakukan pemeriksaan inspeksi,auskultasi,palpasi dan
perkusi diseluruh daerah abdomen.Dilanjutkan pemeriksaan didaerah flank, inguinal
dan pemeriksaan genetalia maupun rectal (Schwartz, 2000).
Langkah awal,pemeriksaan pada daerah abdomen adalah melakukan inspeksi
yang berhati-hati pada dinding anterior maupun bagian posterior dari abdomnen,
flank,perineum dan genetalia untuk mencari kemungkinan kelainan-kelainan seperti
tanda bekas tindakan operasi (scars), kemungkinan adhesi, hernia(jenis inkarserata
atau strangulasi), Distensi kemungkinan adanya obstruksi, mencari massa dengan
menemukan distensi pada gall blader, abses atau tumor.Ekimosis atau abrasi oleh
karena tumor, tanda-tanda peningkatan intraabdominal ( eversi umbilikus), adanya
aneurisma dan tanda peritonitis (Philips, 1997) .
Langkah selanjutnya adalah melakukan auskultasi, bila dalam evaluasi
ditemukan bisisng usus negatif,menunjukkan suatu ileus paralitik, bila hiperaktif atau
hipoaktif sering merupakan suatu kondisi normal, dan apabila didapatkan bisisng usus
berupa metalik sound merupakan indikasi obstruksi mechanical (Win de Jong, 2011).
Langkah ketiga yaitu pemeriksaan perkusi, ditemukannya daerah dullnes
adanya cairan bebas, atau udara bebas dibawah dinding abdomen.Timpany
menunjukkan gambaran obstruksi atau perforasi usus (Schwartz, 2000).
Langkah terakhir adalah palpasi, harus dilakukan secara gently.Dimulai dari
area yang paling jauh dari regio nyeri yang dikeluhkan oleh pasien.Tanda-tanda
seperti Rovsing sign (sesuai dengan akut appendisitis), Murphy sign untuk akut
kholecystitis.Begitu juga dengan ditemukannya Kehr sign(diafragma iritasi) (Philips,
1997).
Pemeriksaan yang tidak kalah pentingnya pada abdomen akut adalah rectal
examination,untuk menilai tonus sfingter ani, nyeri tekanterlokalisir, adanya
hemoroid,massa dan darah (Schrock, 2000).

Pemeriksaan Laboratorium

33
Pemeriksaan rutin berupa,darah lengkap, kimia darah dan pemeriksaan urin
sebaiknya dikerjakan.Terjadi peningkatan sel darah putih adalah indikasi proses
inflamasi dengan ditemukannya pergeseran hitung jenis ke kiri.Begitu juga bila
leukosist menurun menandakan adanya infeksi virus, gastroenteritis (Philips, 1997).
Serum elektrolit, Blood Urea Nitrogen dan kreatinin dipergunakanuntuk
mengevaluasi kehilangan cairan .Gula darah dan kimia darah sangat membantu dan
test fungsi hepar sepertii serum bilirubin, alkali fosfatase dan transaminase
merupakan pemeriksaan untuk menilai adanya kelainan hepatobilier.Kecurigaan
adanya pankreatitis diperiksa dengan amilase dan kadar lipase.Namun perlu diingat
bahwa bisa terjadi penurunan atau normal kadar amilase pada pasien dengan
pankreatitis, dan mungki98n justru meningkat pada pasien dengan kondisi lain seperti
obstruksi intestinal, trombosis mesenterium, dan ulkus perforasi(Win de Jong, 2011).

Pemeriksaan Radiologi
Pada pasien dengan abdomen akut ,pemeriksaan radiologi dengan foto polos
abdomen, dalam posisi supinasi dan posisi berdiri serta thoraks foto. Tetapi apabila
pasien tidak dapat berdiri dilakukan pemeriksaan Left Lateral Decubitus.
Evaluasi terhadap hasil foto harus tetap didasari atau dikonfirmasi dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang didapat sebelumnya.Bila
ditemukan adanya gambaran udara bebas dan dilatasi usus kemungkinan terjadi
obstruksi intestinum, bila ada gambaran pneumoperitoneum menunjukkan adanya
perforasi, gambaran kalsifikasi bila ditemukan batu pada sistem biliar, ginjal maupun
uretra (Rotstein, 1997).
Adanya gambaran udara pada vena porta menunjukkan adanya kerusakan dari
mesenterium dan lain sebagainya (Win de Jong, 2011).
2.5.4. Diagnosis Kerja
Didalam menegakkan diagnosa kerja, pemeriksaan history (anamnesa),
pemeriksaan fisik, laboratorium dan radiologis serta diferential diagnosa harus
menjadi pertimbangan utama.

34
Dan harus diingat bahwa secara umum pasien dengan abdomen akut
mengikuti four basic pathways yaitu (Schwartz, 2000):
1.Pasien memerlukan tindakan laparatomy
2.Keyakinan bahwa merupakan kondisi yang memerlukan tindakan pembedahan
3.Kepastian diagnosa
4.Keyakinan tidak memerlukan tindakan pembedahan cukup dengan observasi ( non
surgical)

35
BAB 3
LAPORAN KASUS

Nama : IM
Umur : 29 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jalan sudirman gg setia no.17
Pekerjaan : Pegawai swasta
Tanggal Masuk : 30 Januari 2014
Waktu : 15.00 WIB

Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri pada seluruh lapangan perut
Telaah : Hal ini dirasakan pasien dalam 1 hari ini. Sebelumnya, 4 hari
yang lalu, pasien mengeluhkan nyeri perut kanan bawah. Nyeri bersifat terus
menerus. Pasien dibawa ke RSUPHAM untuk penanganan lebih lanjut. BAB terakhir
3 hari yang lalu, pasien tidak bisa flatus sudah 2 hari ini. BAK(+) normal.

Pemeriksaan Umum
Kesadaran : Compos mentis
TD : 110/70 mmHg
HR : 90 x/i
RR : 22 x/i
Temperatur : 37,5oC

Lokasi Nyeri : abdomen.

Pemeriksaan Fisik Kepala/Leher : Tidak dijumpai kelainan


Toraks : Inspeksi : simetris

36
Palpasi : SF kiri = kanan
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : SP: Vesikuler
ST: Tidak dijumpai
Abdomen : Inspeksi : simetris
Palpasi : distensi (-), nyeri tekan (+) pada seluruh lapangan
perut, defans muskular (+)
Perkusi : timpani, nyeri ketok(+) di seluruh lapangan perut
Auskultasi : peristaltik (-) menghilang
Ekstremitas : dalam batas normal
Digital Rectal Examination : perineum licin, sfingter ani ketat, mukosa licin, feses
(+), darah (-), lender (-).
Pemeriksaan Laboratorium: 30 Januari 2014

Parameter Hasil Nilai Normal

Darah Lengkap
Hemoglobin (Hb) 13,40 g% 13,2 17,3 g %

Eritrosit (RBC) 4,11 x 106/mm3 4,20-4.87 x103/mm3

Leukocyte (WBC) 19,73 x 103/mm3 4.5 11.0 x103/mm3

Hematocrite 38,2% 43 - 49 %

Trombocyte (PLT) 190 x 103/mm3 150 450 x103/mm3

MCV 92,90 fL 85-95 fL

MCH 32,600 pg 28-32 pg

MCHC 35,10 g% 33-35 g%

RDW 14,40 % 11,6-14,8 %

MPV 10,60 fL 7,2-10,2 fL

PCT 0,20 %

RDW 13,0 fL

37
Hitung jenis

Netrofil 90,00 % 37 80 %

Limfosit 4,70 % 20-40 %

Monosit 4,40 % 2-8 %

Eosinofil 0,10 % 1-6 %

Basofil 0.300 % 0-1 %

Neutrofil absolute 17,67 x 103/L 2,4- 7,3 x 103/L

Limfosit absolute 0,02x 103/L 1,7-5,1 x 103/L

Monosit absolute 0,80 x 103/L 0,2-0,6 x 103/L

Eosinofil absolute 0,02 x 103/L 0,10-0,30 x 103/L

Basofil absolute 0,06 x 103/L 0-0,1 x 103/L

Pemeriksaan Penunjang

Foto Thoraks AP erect

38
Diagnosis Kerja : Diffuse peritonitis d/t suspect apendisitis perforasi
Diagnosis Banding :-
Pengobatan : Puasa sementara
IVFD RL 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxon 500 mg/12 jam
Inj. Ketorolac 15 mg/8 jam
Inj. Ranitidin 25 mg/8 jam
Pasang NGT
Pasang kateter urin

39
Plan: Laparotomy dan Appendicectomy Emergency di Kamar Bedah Emergensi
RSHAM.

Post Operasi

Tanggal S O A P
31 Nyeri Sens: CM Pro Puasa
Januari bekas TD: 110/80 eksploratory IVFD RL 20 gtt/i
2014 operasi mmHg laparotomy + Diet NSS (Minum air
(+) HR: 80 x/i appendicectom putih 5 sendok setiap 2
RR: 20 x/i y d/t jam)
T: 37,2oC appendicitis Inj Metronidazole 500
HD stabil perforasi (H-1) mg/8 jam
Abdomen: Inj. Gentamycin 80 mg/12
I: Distensi (-) jam
P: Nyeri Inj. Ketorolac 1 Amp /8
didaerah jam
sekitar luka Inj. Ranitidin 1 Amp/8
operasi. jam
P: Timpani
A: Peristaltik
lemah.
Terpasang
kateter urin

40
Hasil Laboratorium tanggal 31 januari 2014
Parameter Hasil Nilai Normal

Analisa gas darah

pH 7,474 7,35-7,45 mmHg

pCO2 38,8 mmHg 38-42mmHg

pO2 150,6 mmHg 85-100 mmol/L

Bikarbonat (HCO3) 27,9 mmol/L 22-26 mmol/L

Total CO2 29,0 mmol/L 19-25 mmol/L

Kelebihan basa 4,0 mmol/L (-2)- (+2)

Saturasi O2 99,4 % 95-100%

1 Nyeri Sens: CM Post IVFD RL 20 gtt/i


Februari bekas TD: 120/80 eksploratory NGT
2013 luka mmHg laparotomy + Inj Metronidazole 500
operasi HR: 80 x/i appendicectom mg/8 jam drips
(+), BAB RR: 16 x/i y d/t Inj Ceftriaxon 1 gr/12 jam
(+)N, T: 37,5oC appendicitis Inj. Gentamycin 80 mg/12
BAK on HD stabil perforasi (H-2) jam
Cath Abdomen: Inj. Ketorolac 30 mg/8
I: Distensi (-) jam
P: Nyeri Inj. Ranitidin 1 Amp/8
didaerah jam
sekitar luka Diet MI
operasi. Cek darah lengkap,
P: Timpani Elektrolit dan Albumin
A: Peristaltik post operasi
lemah.
Terpasang
NGT dan

41
kateter urin
Hasil lab 1 Februari 2014
Parameter Hasil Nilai Normal

Darah Lengkap
Hemoglobin (Hb) 12,40 g% 13,2 17,3 g %

Eritrosit (RBC) 3,94 x 106/mm3 4,20-4.87 x103/mm3

Leukocyte (WBC) 20,06 x 103/mm3 4.5 11.0 x103/mm3

Hematocrite 37,2% 43 - 49 %

Trombocyte (PLT) 239 x 103/mm3 150 450 x103/mm3

MCV 94,40 fL 85-95 fL

MCH 31,50 pg 28-32 pg

MCHC 33,30 g% 33-35 g%

RDW 13,50 % 11,6-14,8 %

MPV 10,70 fL 7,2-10,2 fL

PCT 0,26 %

RDW 12,9 fL

Hitung jenis

Netrofil 80,10 % 37 80 %

Limfosit 17,30 % 20-40 %

Monosit 6,30 % 2-8 %

Eosinofil 0,50 % 1-6 %

Basofil 0.500 % 0-1 %

Neutrofil absolute 16,06 x 103/L 2,4- 7,3 x 103/L

Limfosit absolute 2,51 103/L 1,7-5,1 x 103/L

Monosit absolute 1,22 x 103/L 0,2-0,6 x 103/L

Eosinofil absolute 0,11 x 103/L 0,10-0,30 x 103/L

42
Basofil absolute 0,16 x 103/L 0-0,1 x 103/L

Parameter Hasil Nilai Normal

Albumin 2,5 g/dL 3,8-3,4 g/dL

Natrium (Na) 137 mEq/L 135 155 mEq/L

Kalium (K) 4.7 mEq/L 3,6 5,5 mEq/L

Chloride (Cl) 98 mEq/L 96 106 mEq/L

2 Nyeri Sens: CM Post


Februari bekas TD: 110/80 eksploratory IVFD RL 20 gtt/i
2013 luka mmHg laparotomy + Inj Metronidazole 500
operasi HR: 88 x/i appendicectom mg/8 jam drips
(+),BAB RR: 16 x/i y d/t Inj Ceftriaxon 1 gr/12 jam
(+)N, T: 37,3oC appendicitis Inj. Gentamycin 80 mg/12
BAK on HD stabil perforasi (H-3) jam
Cath Abdomen: Inj. Ketorolac 30 mg/8
I: Distensi (-) jam
P: Nyeri Inj. Ranitidin 1 Amp/8
didaerah jam
sekitar luka Diet MI
operasi. Cek Hb, Elektrolit dan
P: Timpani Albumin post operasi
A: Peristaltik
lemah.
Terpasang
NGT dan
kateter urin
3 Nyeri Sens: CM Post

43
Februari bekas TD: 110/80 eksploratory IVFD RL 20 gtt/i
2014 luka mmHg laparotomy + Inj Metronidazole 500
operasi HR: 100 x/i appendicectom mg/8 jam drips
(+), BAB RR: 16 x/i y d/t Inj Daryacef 1 gr/12 jam
(+)N, T: 37,4oC appendicitis (skin test terlabih dahulu)
BAK on HD stabil perforasi (H-4) Inj. Gentamycin 80 mg/8
Cath Abdomen: jam
I: Distensi (-) Inj. Ketorolac 30 mg/8
P: Nyeri jam
didaerah Inj. Ranitidin 50 mg/12
sekitar luka jam
operasi. Diet MI
P: Timpani Koreksi albumin:
A: Peristaltik (3-1,9) x 60 x 0,8= 52,8 gr
lemah. ( 3 flash albumin 20%)
Terpasang Albumin 1 flash (H-1)
NGT dan
kateter urin
4 Nyeri Sens: CM Post
Februari bekas TD: 110/70 eksploratory IVFD RL 20 gtt/i
2013 luka mmHg laparotomy + Inj Metronidazole 500
operasi HR: 100 x/i appendicectom mg/8 jam drips
(+), BAB RR: 16 x/i y d/t Inj Daryacef 1 gr/12 jam
(+)N, T: 37,4oC appendicitis (skin test terlabih dahulu)
BAK on HD stabil perforasi (H-4) Inj. Gentamycin 80 mg/8
Cath Abdomen: jam
I: Distensi (-) Inj. Ketorolac 30 mg/8
P: Nyeri jam
didaerah Inj. Ranitidin 50 mg/12
sekitar luka jam

44
operasi. Diet MI
P: Timpani Albumin 1 flash (H-2)
A: Peristaltik
lemah.
Terpasang
NGT dan
kateter urin

45
46
DAFTAR PUSTAKA

Birnbaum and Wilson S. Appendicitis At the Millenium. 2006. Available from:


http://radiology.rsnajnls.org/cgi/content/full/215/2/337 [Accessed on
January 28th, 2014].
Craig, S., 2010. Acute Appendicitis. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview [Accessed on
January, 28th 2014].
Ghazali, M. V., Sastromihardjo, S., Soedjarwo, S. R., Soelaryo, T., dan Pramulyo,
H.S., 2010. Studi Cross-Sectional. In: Sastroasmoro, S. and Ismael, S.
Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 3. Jakarta: Sagung
Seto, 112-126. Hartman, G. E., 2000. Apendisitis Akut. In: Nelson,
W.E., Behrman, R.E.,Kliegman, R.M., and Arvin, A.M., ed. Ilmu
Kesehatan Anak Nelson Vol. 2. Edisi 15. Jakarta: EGC, 1364-1366.
Itskowits, M. S., and Jones, S. M., 2010. Appendicitis. Available from:
http://www.emedmag.com/html/pre/gic/consults/101504.asp [Accessed
on January, 29th 2014].
Junqueira, L. C. and Carneiro, J., 2007. Histologi Dasar Teks dan Atlas. Edisi
10.Jakarta: EGC.
Kartono. D., 1995. Apendisitis Akuta. In: Reksoprodjo, S., dkk., ed. Kumpulan
Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara, 109-113.
Katz, M. S., dkk., 2009. Appendicitis. Medscape. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/926795-overview [Accessed on
January, 29th 2014].
Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W. I., and Setiowulan, W., 2000. Kapita
Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.
Mazziotti, M. V., dkk., 2008. Appendicitis: Surgery Perspective. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/773896-overview [Accessed on
January, 28th 2014]. Philips Thorek, Surgical Diagnosis,Toronto
University of Illnois College of Medicine,third edition,1997, Toronto.

47
Philips Thorek, Surgical Diagnosis,Toronto University of Illnois College of
Medicine,third edition,1997, Toronto.
Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik,
Hal 256-257, Gaya Baru, Jakarta. 1999
Rotstein. O. D., Simmins. R. L., 1997, Peritonitis dan Abses Intra-abdomen
dalam Terapi Bedah Mutakhir, Jilid 2, Ed.4, alih bahasa dr. Widjaja
Kusuma, Binarupa Aksara, Jakarta.
Sacher, R. A. and McPherson, R.A., 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Edisi 11. Jakarta: EGC, 673-677. Schrock. T. R..
Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah, Ed.7, alih bahasa
dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta. 2000.
Schrock. T. R.. Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah, Ed.7, alih
bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta. 2000.
Universitas Sumatera UtaraSantacroce R, Craig S. 2007. Appendicitis. Available
from: http://www.emedicine.com [Accessed on January, 28th 2014].
Schwartz, S. I., dkk., 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta:
EGC.
Silent W. Acute Appendicitis and Peritonitis. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo
DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrisons Prinsiple
of Internal Medicine. 16th ed. New York: The Mc Graw-Hill
Companies, 2005. P. 1806-1807.
Smeltzer, S.C. and Bare, B. G., 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner dan Suddarth Vol. 2. Edisi 8. Jakarta: EGC.
World Health Organization, 2004. The World Health Report 2004.
Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta : EGC.
2011.

48

Anda mungkin juga menyukai