Anda di halaman 1dari 10

2.

1 Konsep Fraktur Ekstremitas Bawah


Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas tulang sesuai jenis dan
luasnya. Salah satu penyebab fraktur adalah akibat trauma, sedang anggota tubuh
yang sering mengalami fraktur adalah tulang vertebra dan tulang ekstremitas
antara lain fraktur pada lengan, tungkai, dan femur. Fraktur ekstremitas bawah
memiliki insiden yang cukup tinggi terutama pada batang femur 1/3 tengah.
Fraktur ekstremitas bawah merupakan terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang terjadi pada ekstremitas bawah yang umumnya
disebabkan oleh ruda paksa (Smeltzer, 2010). Salah satu penyebab terjadinya
fraktur ekstremitas bawah yaitu adanya pergerseran condilius lateralis tibia yang
disebabkan oleh pukulan yang membengkokkan sendi lutut dan merobek
ligamentum medialis sendi tersebut (Smeltzer, 2010). Menurut Lewis (2000),
terdapat beberapa penyebab terjadinya fraktur terkait ekstremitas bawah yaitu
1. Trauma langsung ( direct )
Fraktur yang disebabkan oleh benturan langsung pada jaringan tulang
seperti pada kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan benturan
benda keras oleh kekuatan langsung. Benturan yang terjadi pada
fraktur ekstremitas bawah menyebabkan fraktur pada tibia dan fibula.
2. Trauma tidak langsung ( indirect )
Fraktur yang bukan disebabkan oleh benturan langsung, tapi lebih
disebabkan oleh adanya beban yang berlebihan pada jaringan tulang
atau otot, contohnya seperti pada olahragawan atau pesenam yang
menggunakan hanya satu tangannya untuk menumpu beban badannya
sehingga menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.
3. Trauma pathologis
Fraktur yang disebabkan oleh proses penyakit seperti osteomielitis,
osteosarkoma, osteomalacia, cushing syndrome, komplikasi kortison /
ACTH, osteogenesis imperfecta (gangguan kongenital yang
mempengaruhi pembentukan osteoblast). Terjadi karena struktur tulang
yang lemah dan mudah patah.

Proses penyembuhan fraktur bervariasi sesuai dengan ukuran tulang dan


umur pasien. Faktor lainnya adalah tingkat kesehatan pasien secara keseluruhan,
atau kebutuhan nutrisi yang cukup. Menurut Pakpahan (2014), proses
penyembuhan fraktur diklasifikasikan sebagai berikut
1. Proses hematom
Proses terjadinya pengeluaran darah hingga terbentuk hematom
(bekuan darah) pada daerah terjadinya fraktur tersebut, dan yang
mengelilingi bagian dasar fragmen.
2. Proses proliferasi
Saat proses ini, terdapat perubahan pertumbuhan pembuluh darah
menjadi memadat, dan terjadi perbaikan aliran pembuluh darah. Pada
proses ini juga terjadi pembentukan callus, yang merupakan proses
pembentukan tulang baru dan dapat terbentuk diluar tulang (subperiosteal
callus) serta di dalam tulang (endosteal callus) (Smeltzer, 2010).
3. Proses konsolidasi (penggabungan)
Perkembangan callus secara terus-menerus, dan terjadi pemadatan
tulang seperti sebelum terjadi fraktur, konsolidasi terbentuk antara 6-12
minggu (ossificasi) dan antara 12-26 minggu (matur). Tahap ini disebut
dengan penggabungan secara terus-menerus (Pakpahan, 2014).
4. Proses remodeling
Proses remodeling adalah tahap terakhir dalam penyembuhan tulang
dan proses pengembalian bentuk awal. Proses terjadinya remodeling
antara 1-2 tahun setelah terjadinya callus dan konsolidasi (Pakpahan,
2014).
2.2 Jenis dan Prosedur Dressing pada Klien Fraktur Tibia serta Luka
Laserasi

Menurut Kozier (2008), pembalutan atau dressing bertujuan untuk


melindungi luka dari trauma mekanik dan kontaminasi mikroba, mempertahankan
kelembapan, menyerap drainase, dan memberikan suhu yang cukup pada luka,
mencegah perdarahan, pergerakan pada area luka untuk meningkatkan proses
penyembuhan luka, dan trauma. Jenis pemberian balutan terhadap luka
bergantung pada lokasi, ukuran, jenis luka, jumlah eksudat dan apakah luka
membutuhkan debridemen atau luka infeksi, serta beberapa pertimbangan seperti
frekuensi pergantian balutan. Menurut Kozier (2008) jenis balutan luka, yaitu:
1) Barier luka transparan (Balutan transparan lekat)
Barier luka transparan merupakan jenis balutan yang sering
digunakan umumya pada luka ulserasi atau terbakar. Balutan transparan
lekat terbuat dari plastik, semipermeabel, dan tidak dapat tertembus bakteri
dan air sehingga memungkinkan pertukaran oksigen antara udara luar
dengan jaringan luka. Balutan ini hanya melekat pada kulit di sekitar luka
dan tidak pada area luka itu sendiri. Contoh dari barier luka transparan
yaitu Op-Site, tegaderm, dan bioclusive.
2) Balutan tidak lekat (Gauze)
Baluran tidak lekat umumnya terbuat dari tenun atau bahan
sintesis. Penggunaan balutan ini memerlukan balutan tambahan untuk
menjaga balutan tidak lepas, memberi pertahanan kelembapan, dan
perlindungan terhadap luka. Pemberian balutan tidak lekat ini bertujuan
untuk menutup, melembabkan, dan melindungi luka yang dalam tanpa
adanya eksudat.
3) Hidrokoloid
Balutan hidrokaloid dirancang elastis, merekat, dan terkandung
agen-agen gell dan bahan penyerap lainnya. Bila dikenakan pada luka,
drainase dari luka berinteraksi dengan komponen balutan untuk mementuk
gel dan mempertahankan kelembaban luka. Balutan ini dapat digunakan
selama 57 hari tergantung pada metode aplikasinya, lokasi luka, dan
derajat luka. Balutan hidrokoloid bertujuan untuk menyerap cairan
eksudat, mempertahankan kelembapan, mencegah kontaminasi bakteri.
Balutan ini tidak cocok digunakan pada luka yang terinfeksi. Contoh
balutan hidrokoloid seperti DuoDerm, Comfeel, Tegasorb, Restore,
Replicare.
4) Hidrogel
Balutan hidrogel berupa gliserin atau lembaran seperti agar tidak
lekat yang berbahan dasar air, bergranula atau mengandung gel. Gel yang
terkandung dalam balutan tersebut memberikan rasa dingin sehingga
membuat pasien lebih nyaman. Balutan ini merupakan balutan yang
dilewati oleh oksigen, dan memerlukan balutan tambahan. Tujuan dari
balutan hidrogel ini yaitu untuk mencairkan jaringan nekrotik atau
jaringan mati. contoh dari balitan ini yaitu aquasorb, elasto-gel, dan
vigilon.
5) Busa poliuretan
Busa poliuretan merupakan balutan hidrokoloid yang tidak lekat
sehingga membutuhkan balutan tambahan dalam pemberian balutan ini.
Balutan busa poliuretan bertujuan untuk mengabsorbsi eksudat dalam
jumlah sedikit sampai banyak dan dapat membersihkan luka. Contoh dari
usa poliuretan yaitu Lyofoam, Allevyn, vigifoam, dan flexzan.
6) Alginate
Balutan alginate tidak melekat dan mengandung bedak, butiran
kecil atau granula, benang, lapisan atau salep. Balutan ini untuk menutup
dan menyerap eksudat pada luka. Penggunaan balutan alginate
memerlukan balutan tambahan. Balutan alginate bertujuan untuk
memberikan kelembapan yang cukup pada luka, menyerap eksudat luka,
menghilangkan jaringan nekrotik. Contoh dari baluran alginate yaitu
debrison, sorbsan, kaltostat, algiderm.

Luka laserasi adalah luka dengan karakteristik jaringan terbuka luas,


sering kali akibat kecelakaan (Kozier, 2008). Luka laserasi ini memungkinkan
untuk terkontaminasi oleh bakteri. Jenis balutan yang baik untuk luka laserasi ini
yaitu barier luka transparan. Barier luka trasnparan cocok untuk luka laserasi
karena barier luka transparan tidak melekat pada luka laserasi akan tetapi
memungkinkan oksigen masuk sehingga penyembuhan luka akan semakin cepat.
Selain itu balutan ini juga dapat mencegah kontaminasi oleh bakteri.

Prosedur pemasangan balutan yaitu;

1. Kaji luka berupa penampilan luka, ukuran, lokasi, kedalaman.


2. Persiapkan peralatan berupa universal precaution, gunting, alkohol, kasa
steril dan agen pembersih luka seperti salin steril, balutan luka, plester.
3. Fase kerja
a. Jelaskan pada klien tentang pemasangan barier luka trasnparan.
b. Mencuci tangan,
c. Jaga privasi klien,
d. Gunakan sarung tangan,
e. Bersihkan area kulit sekitar luka menggunakan kapas dan larutan salin
steril,
f. Berikan balutan luka secara perlahan mulai dari satu sisi,
g. Kuatkan balutan dengan plester atau gauze jika perlu;
4. Evaluasi luka setiap hari.
5. Dokumentasikan intervensi yang telah dilakukan.
2.3 Prosedur Bathing dan Hygiene pada Klien dengan Fraktur Tibia Kanan

Higiene adalah ilmu pengetahuan tentang kesehatan dan


pemeliharaannya. Higiene personal adalah perawatan diri yang dilakukan individu
seperti mandi, eliminasi, higiene tubuh secara umum, dan berhias. Higiene
personal mempengaruhi kenyamanan, keamanan, dan kesejahteraan klien (Kozier,
Erb, Berman, & Snyder, 2004). Higiene meliputi perawatan kulit, rambut, kuku,
gigi, mulut da hidung, mata, telinga, dan area perineum dan genital. Higiene
personal ini tidak hanya penting untuk individu yang sehat, tetapi juga penting
untuk individu yang sedang sakit. Individu yang sedang sakit memiliki hambatan
fisik untuk melakukan kebersihan diri sehingga perawat perlu membantu individu
tersebut untuk memenuhi kebersihan dirinya.
Higiene personal dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor pribadi,
faktor social, dan faktor budaya (Potter & Perry, 2005). Faktor pribadi
mempengaruhi higiene karena higiene individu yang satu dengan yang lainnya
berbeda-beda. Faktor sosial mempengaruhi higiene pribadi karena faktor sosial
merupakan faktor yang membentuk higiene pribadi seorang individu. Faktor
budaya mempengaruhi higiene pribadi karena latar belakang individu yang
berbeda memiliki higiene pribadi yang berbeda pula.
Menurut Potter & Perry (2010), perawat yang memberikan perawatan
higiene kepada klien membutuhkan pemahaman mengenai anatomi dan fisiologi
tubuh manusia. Hal tersebut dikarenakan klien yang sakit dan tidak mampu
melakukan higiene pribadi memiliki gangguan di bagian tubuhnya, sehingga
perawat diharapkan mengerti mengenai anatomi dan fisiologi tubuh manusia agar
pada saat perawat memberikan perawatan higiene, perawat tidak memperburuk
gangguan pada fisik klien. Menurut Kozier, Erb, Berman, & Snyder (2004)
perawat secara umum menggunakan istilah-istilah berikut untuk menggambarkan
jenis-jenis perawatan higienik:
a. Perawatan awal pagi hari (early morning care), diberikan kepada
klien saat bangun di pagi hari. Perawatan ini terdiri dari
menyediakan urinal atau bedpan pada klien tirah baring, mencuci
muka dan tangan, dan memberikan perawatan mulut.
b. Perawatan pagi hari, seringkali diberikan setelah klien selesai
sarapan, meskipun dapat juga diberikan sebelum sarapan.
Perawatan ini biasanya mencakup menyediakan kebutuhan untuk
eliminasi, mandi, perawatan perineum, masase punggung, dan
perawatan mulut, kuku, serta rambut. Merapikan tempat tidur klien
merupakan bagian dari perawatan di pagi hari.
c. Perawatan siang hari, sering meliputi menyediakan bedpan atau
urinal, mencuci tangan dan wajah, dan membantu perawatan mulut
untuk menyegarkan klien.
d. Perawatan jam tidur (hour of sleep [HS] care), diberikan sebelum
klien beristirahat di malah hari. Perawatan ini biasanya mencakup
menyediakan kebutuhan untuk eliminasi, mencuci wajah dan
tangan, memberikan perawatan mulut, dan memberikan masase
punggung.
e. Perawatan jika perlu, dilakukan sesuai dengan kebutuhan klien.
Menurut Berman (2009) prosedur memandikan klien di tempat tidur
adalah:
1. Atur posisi tempat tidur pada ketinggian yang nyaman untuk klien dan untuk
perawat pada saat memberikan perawatan higiene.
2. Letakan selimut mandi di atas seprai teratas.
3. Lepaskan gaun rumah sakit klien sementara klien tetap tertutup selimut
mandi.
4. Gunakan waslap untuk membasuh tubuh klien mulai dari wajah hingga ke
kaki. Minta ketersediaan klien pada saat melakukan tindakan seperti
5. Setelah tubuh dibasuh, keringkan tubuh klien menggunakan waslap kering.
6. Pakaikan kembali gaun rumah sakit klien yang bersih.
Adanya bantuan perawatan higiene dari perawat dapat meningkatkan
higiene pribadi klien yang sedang mengalami hambatan fisik. Hal ini dilakukan
dengan harapan dapat meningkatkan kenyamanan klien terhadap dirinya sendiri.
2.4 Prosedur Toileting pada Klien dengan Fraktur Tibia Kanan

Perawatan diri pada klien untuk prosedur toileting dipengaruhi beberapa


hal. Salah satunya tingkat pengetahuan klien mengenai modifikasi cairan dan
asupan makanan untuk mengontrol pola normal pembuangan air kecil dan besar.
Serta teknik spesifik mengenai perawatan untuk berdiamnya kateter jika memakai.
Selain itu, alat bantu yang dibutuhkan klien juga akan membantu prosedur
toileting, seperti kursi roda. Tata letak dan fasilitas toilet mempengaruhi, adanya
alat bantu mobilisasi, serta ketinggian toilet yang bisa disesuaikan memungkinkan
klien yang lebih tua atau lanjut usia untuk bangun setelah buang air. Faktor lain
yang mengganggu salah satunya adalah jarak kamar mandi dari kamar tidur yang
terlalu jauh, hambatan adanya tangga, karpet, pintu sempit yang menggangu akses
ke kamar mandi, serta penerangan yang kurang (Potter & Perry, 2009).

Pada saat perawat memberikan prosedur toileting ada beberapa hal yang
harus dilakukan. Pertama, memantau retensi urin pada klien, tawarkan bedpan
secara teratur atau letakkan dekat pasien untuk mudah dijangkaum perbanyak
masukkan airan sampai 2500 ml/hari bila tidak ada indikasi, berikan privasi pada
klien, observasi terhadap penurunan bising dan distensi (paralitik ileus), serta
hindari kontipasi dengan pelunak feses (Tucker, Canobbio, Paquette, & Wells,
1999). Perawat harus mengontrol kondisi kateter pada klien agar tidak infeksi.

Prosedur toileting dilakukan oleh klien sesuai dengan kemampuannya.


Perawat dapat membantu klien sesuai dengan tingkatan ketidakmampuan klien
untuk beraktivitas. Tingkatan tersebut ada tiga yaitu,semi-dependent, moderately
dependent, dan totally dependent. Tingkatan tersebut menentukan intervensi yang
akan dilakukan perawat kepada klien.

2.5 Farmakologi dan Nonfarmakologi Nyeri pada Fraktur


Mengobati nyeri pada fraktur dapat dilakukan melalui pengobatan
farmakologi dan nonfarmakologi. Pengobatan nyeri pada tulang dapat terdiri dari
analgesic (narkotik dan nonnarkotik) dan obat-obatan adjuvans atau koanalgesik.
Analgesic, baik narkotik maupun nonnarkotik, diberikan kepada klien penderita
sesuai dari beratnya nyeri. Nyeri ringan dapat diredakan cukup dengan
nonnarkotik, seperti asetaminofen, AINS (Anti inflamasi nonsteroid: aspirin,
Motrin, dan Advi), nyeri sedang diredakan dengan kombinasi nonnarkotik dan
narkotik (kodein dan asetaminofen), sementara nyeri berat diredakan dengan
analgesic narkotik. (Hayes & Kee, 1996)
Pengobatan nyeri pada fraktur secara nonfarmakologi menurut Bare dan
Smeltzer (2002) dapat diterapkan dengan berbagai cara, seperti:
1. Terapi es dan panas
Terapi es dapat menghambat proses inflamasi. Sementara terapi panas
dapat meningkatkan aliran darah pada suatu area yang menyebabkan
dapat menurunnya rasa nyeri. Terapi ini harus dilakukan secara hati-
hati sebab dapat menyebabkan cedera kulit.
2. Stimulasi dan masase kutaneus
masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum dan sering
dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase membuat pasien lebih
nyaman karena menyebabkan relaksasi otot. Masase tidak spesifik
menstimulasi reseptor yang tidak nyeri pada bagian yang sama seperti
reseptor nyeri, namun berdampak pada sistem kontrol desenden.
3. Distraksi
Distraksi merupakan strategi pengalihan fokus klien pada hal lain
selain nyeri yang sedang ia rasakan. Distraksi menurunkan persepsi
nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desenden, kemudian
menyebabkan sedikitnya stimulus nyeri yang ditransmisikan otak.
4. Relaksasi
Menurunkan rasa nyeri dengan merelaksasikan ketegangan otot.
5. Hypnosis
Hypnosis dapat dengan efektif dalam meredakan nyeri dan
menurunkan jumlah analgesic yang dibutuhkan dengan bergantung
pada kemudahan hipnotik klien itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Bare, B., & Smeltzer, S. C. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. 8th Ed. Jakarta: EGC.

Berman, A. & Snyder, S.J. (2012). Kozier & Erbs Fundamentals of Nursing:
Concepts, Process, and Practice, 9th Ed. New Jersey: Pearson
Education, Inc.

Borley, N. R., & Grace, P. A. (2007). At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga.
Jakarta: Penerbit Erlangga.

DeLaune, S.C., & Ladner, P.K. (2011). Fundamental of nursing: Standards &
Practice, 4th Ed. US: Delmar, Cengage Learning
Dicson, R.A & Wright, V. (2012). Integrated Clinical Science: Musculoskeletal
Disease. London. William Heincman Medical Books Ltd.

Hayes, E. R., & Kee, J. L. (1996). Farmakologi : Pendekatan Proses


Keperawatan. Jakarta: PenerbitBuku Kedokteran EGC .

Herdman, T. H. (2012). Nursing diagnoses: Definitions & classification 2012-


2014. USA: NANDA International Inc.

International, NANDA. (2015). Nursing Diagnoses: Definitions & Classification


2015-1017 Tenth Edition. UK: Wiley Blackwell.

Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. J. (2004). Fundamentals of
Nursing: Concepts, Process, and Practice, 7th Ed. New Jersey: Pearson
Education, Inc.

Lewis et al. (2000). Medical Surgical Nursing: Assesment and Management of


Clinical Problem. 5th Ed. Phi ladelphia: Mosby.

Pakpahan, R.H. (2014). Penyembuhan Fraktur dan Gambaran Histologinya:


Bagian Ilmu Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Medan.

Potter, P. A., & Perry, A. G. (2009). Fundamentals of Nursing, 7th Edition.


Singapore: Elsevier Inc.

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: EGC.

Tambayong, Jan. (2000). Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.

Tirtayasa, N. B., & Adiputra, L. M. (2014). Studi Kasus: Aspek Ergonomi


Terhadap Fasilitas Penyandang Cacat di Hotel Komaneka. E-jurnal
Medika Udayana, 2.

Tucker, S. M., Canobbio, M. M., Paquette, E. V., & Wells, M. F. (1999). standar
perawatan pasien: proses keperawatan, diagnosis, dan evaluasi. Jakarta:
EGC.
Wilkinson, J. M., Ahren, N. R. (2009). Prentice hall nursing diagnosis book. 9th
Ed. New Jersey: Pearson Education Inc.

Anda mungkin juga menyukai