KELOMPOK
Dwi Handoko
Ihsan Syahputra
M.Angga Pratama Lubis
Prayogi Pangestu
Suharman
FAKULTAS PERTANIAN
MEDAN
2017
KATA PENGANTAR
Makalah ini dengan judul Muhammad bin abdul wahab. ini menyajikan
gambaran biografi serta pemikiran muhammad bin abdul wahab.
Harapan kami, hasil hasil makalah ini bermanfaat bagi pihak-pihak terkait,
terutama sebagai informasi para mahasiswa dan mahasiswi. Penulis menyadari, tanpa
bantuan dari berbagai pihak, rasanya mustahil dan sungguh terasa sangat berat untuk
bisa menyelesaikan makalah ini, karena itu pada kesempatan ini pemakalah
menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat :
Kedua orang tua ( ayah dan ibu ) yang telah memberi dukungan serta doa, materi
maupun moral.
Bapak Husein Hutagalung
Pemakalah
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
I. PENDAHULUAN...........................................................................................iii
A. Latar Belakang Masalah....................................................................................
B. Rumusan Masalah.............................................
C. Tujuan....................................................
II. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................
A. Biografi Muhammad Bin Abd Al-Wahhb............................................
1. MASA KECIL..........................................................................................
2. MASA AWAL DAKWAH.......................................................................
3. GERAKAN DAKWAH DI UYAINAH....................................................
4. GERAKAN DAKWAH ABDULWAHABDIRIYYAH...............................
Islam sebagai sebuah bentuk keyakinan memiliki umat yang besar. Hampir diseluruh
penjuru dunia terdapat umat islam. Hal ini disebabkan karena islam disebarkan dan
masuk kedalam suatu masyarakat dengan cara yang damai dan santun sehingga banyak
orang yang berminat masuk islam.
Akan tetapi, selain banyak orang senang dan bangga dengan islam, tidak sedikit
pula orang yang menyerang islam, yang disebabkan karena perbedaan keyakinan
terutama ketauhidan. Mereka yang tidak senang dengan islam selalu berusaha
menjatuhkan islam, baik melalui budaya, pola pikir, dsb. Untuk menghadapi hal ini,
ulama-ulama dahulu membalasnya dengan memberikan argumen yang berisi alasan-
alasan untuk mempertahankan keimanan mereka baik tentang keimanan kepada Tuhan,
malaikat, dan sebagainya. Dan hal yang sering kita sebut sebagai ilmu kalam.
Ilmu kalam merupakan produk pikir manusia. Sesuai dengan berjalannya waktu,
ilmu kalampun semakin berkembang. Banyak ulama terjun didalamnya.Untuk itu,
makalah ini akan membahas salah satu ulama abad ke-8 yang turut mencurahkan
pikirannya di dalam ilmu kalam, yaitu muhammad bin abdul wahhab. Hal-hal yang akan
dibahas dalam makalah ini yaitu bicara tentang biografi dan pemikiran kalam
muhammad bin abdul wahhab.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Ibnu Wahab
Islam sebagai sebuah bentuk keyakinan memiliki umat yang besar. Hampir
diseluruh penjuru dunia terdapat umat islam. Hal ini disebabkan karena islam
disebarkan dan masuk kedalam suatu masyarakat dengan cara yang damai dan santun
sehingga banyak orang yang berminat masuk islam.
Akan tetapi, selain banyak orang senang dan bangga dengan islam, tidak sedikit
pula orang yang menyerang islam, yang disebabkan karena perbedaan keyakinan
terutama ketauhidan. Mereka yang tidak senang dengan islam selalu berusaha
menjatuhkan islam, baik melalui budaya, pola pikir, dsb. Untuk menghadapi hal ini,
ulama-ulama dahulu membalasnya dengan memberikan argumen yang berisi alasan-
alasan untuk mempertahankan keimanan mereka baik tentang keimanan kepada Tuhan,
malaikat, dsb. Dan hal yang sering kita sebut sebagai ilmu kalam.
Ilmu kalam merupakan produk pikir manusia. Sesuai dengan berjalannya waktu,
ilmu kalam pun semakin berkembang. Banyak ulama terjun didalamnya.
Untuk itu, makalah ini akan membahas salah satu ulama abad ke-8 yang turut
mencurahkan pikirannya di dalam ilmu kalam, yaitu muhammad ibnu abdul wahhab.
Hal-hal yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu bicara tentang biografi dan
pemikiran kalam muhammad ibnu abdul wahhab.
1. MASA KECIL
Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin
Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin Barid bin Musyarraf at Tamimi
lahir pada tahun 1115 H/ 1703 M di daerah Uyainah yang merupakan bagian dari
Najd, terletak 70 km di utara Riyad [2]. Semenjak kecil ia belajar agama kepada para
ulama yang berada di Makkah dan Madinah serta ke beberapa daerah seperti Ihsa`
dan Basrah.[3]
Di Madinah, para ulama Makkah dan Madinah saat itu menganggap bahwa
banyak pernyataan-pernyataan yang dibawa Muhammad bin Abdul Wahab
bertentangan dan berlawan dengan ajaran ahlussunnah wal jamaah. Tidak heran,
bantahan dan sikap penolakan atas ajaran yang ditawarkan oleh Muhammad bin
Abdul Wahab inipun mengalir deras dari para ulama Makkah dan Madinah saat itu,
sampai akhirnya dia terusir ke daerah Najd pada tahun 1142 H, dan di daerah inilah
dia berusaha mengatur siasat dakwah yang dia yakini (Lihat: Al Maqlt Al
Wafiyyah Syekh Hasan Khazbik, hal: 128).[5]
Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman
bin Muammar. Amir Usman menyambut ide dan gagasan Muhammad ibn Abdil
Wahhab dan berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan tersebut meski
mendapat penolakan dari penduduk setempat. Suatu ketika, Muhammad bin Abdul
Wahab meminta kepada Amir Usman untuk menghancurkan sebuah bangunan yang
dibuat di atas makam Zaid bin al-Khattab.
Perlu diketahui, Zaid bin al-Khattab adalah saudara kandung sahabat Umar
bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Menurut pandangannya membuat
bangunan di atas kubur dapat menjerumuskan umat kepada kemusyrikan. Amir
Usman menjawab Silakan tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi
rencana yang mulia ini., Tetapi Muhamamd bin Abdul Wahab khawatir masalah itu
kelak akan dihalang-halangi oleh penduduk yang tinggal berdekatan dengan makam
tersebut. Lalu Amir menyediakan 600 orang tentara untuk tujuan tersebut bersama-
sama Muhammad ibn Abdil Wahhab merobohkan makam suci itu. Makam itu
kemudian dihancurkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab atas bantuan Amir
Uyainah, Usman bin Muammar.
Pertemuan Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ibnu Saud ini menjalinkan
kesepakatan dan persetujuan untuk membentuk agama baru secara resmi, di dalam
ranah kekuatan politik, ketenteraan dan peperangan pada 1165H / 1744M.
Pertemuan tersebut dirasa sangat tepat, karena keduanya saling membutuhkan; Ibnu
Saud membutuhkan agamawan untuk menguatkan basis dukungan politiknya,
sementara Ibnu Abdil Wahab membutuhkan penguasa untuk menjamin proses
penyebaran ideologinya (Lihat: Tarikh Ali Saud, hal: 9.). Amir Ibnu Saud yang
kemudian menjadi pengikut dan pendukung penuh Muhamamd bin Abdul Wahhab,
memanfaatkannya untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Dia sendiri sangat
patuh pada perintah Muhammad bin Abdul Wahab. Jika disuruh untuk membunuh
atau merampas harta seseorang, dia segera melaksanakannya dengan keyakinan
bahwa kaum muslimin telah kafir dan syirik selama 600 tahun lebih, dan membunuh
orang musyrik dijamin surga.
Sejak saat itu, Diriyyah telah menjadi penyebaran ajaran Muhammad ibn
Abdil Wahhab. Para pengikutnya pun terus bertambah berkat dukungan politik
kekuasan Amir Ibnu Saud, bahkan sampai di seluruh pelosok Diriyyah. Setelah
mendapat cukup dukungan dan kekuasaan, Muhammad bin Abdul Wahhab mulai
melancarkan serangan bersama pengikutnya barisan Muwahidin dan dia namakan
sebagai jihad. Dia pun menulis surat-surat ajakannya kepada tokoh-tokoh tertentu
untuk bergabung dengan gerakan barisan Muwahhidin yang dipimpin oleh dia
sendiri. Menurutnya, pergerakan ini merupakan pembaharuan tauhid demi
membasmi syirik, bidah dan khurafat di negeri mereka masing-masing. Untuk
langkah awal pergerakan itu, dia memulai di negeri Najed. Ia pun mula
mengirimkan surat-suratnya kepada ulama-ulama dan penguasa-penguasa di sana.
Vonis takfir merupakan legalisasi awal bagi para pengikutnya untuk membantai
kaum muslimin yang tidak sepaham dalam banyak peperangan yang terjadi antara
kelompok wahabi dengan kaum muslimin. Takfir dan perang ibarat dua sisi mata
uang yang tidak bisa dipisahkan dan menjadi pilihan IAW dalam menyebarkan
ideologinya. Hal ini sangat kentara jika kita membaca pesan-pesannya dalam
beberapa tulisannya, seperti Al Qawaaid Al Arbaah, Kasyfu Asy Syubhat, Kitab
Tauhid dan lain-lain. Dalam kitabkitabnya tersebut, setiap kali ia selesai
mensejajarkan identitas kaum muslimin (non-wahabi) dengan kaum musyrikin di
zaman Nabi, ia senantiasa menutupnya dengan informasi bahwa Nabi SAW.
memerangi kaum musyrikin tersebut. Hal ini untuk mendoktrin para pengikutnya
agar tidak gentar untuk memerangi kaum muslimin yang tidak seideologi. Karena
dalam pandangannya, hakekat perang tersebut adalah jihad di jalan Allah demi
menegakkan agama-Nya . Sikap ekstrim tersebut mendapat kecaman dari berbagai
kalangan ulama, baik yang menentang maupun yang mendukung dakwahnya secara
umum.
Kitab Kasyfu asy Syubhaat adalah salah satu kitab Ibnu Abdil Wahab yang
sangat gamblang menjelaskan kerangka berpikirnya. Meskipun kitab ini sangat
kecil, namun berisi detail mengenai doktrin ideologi IAW kepada para pengikutnya.
Secara global buku ini didiktekan kepada para pengikutnya agar mereka memahami
sifat-sifat kaum musyrikin dan sifat-sifat kaum muslimin menurut versinya sendiri.
Dalam buku ini ia berusaha mensejajarkan kaum muslimin yang mengamalkan
tabarruk, tawasul dan sejenisnya dengan kaum musyrikin di era Nabi saw..
Pensejajaran ini merupakan langkah awal untuk menghalalkan darah dan harta kaum
muslimin, sebagaimana halalnya darah dan harta kaum musyrikin yang menentang
dakwah Nabi saw.. Oleh karena itu, IAW tidak segan-segan memakai jalur
kekerasan atau perang untuk menyebarkan dakwahnya ini di kalangan kaum
muslimin. Dalam permulaan kitab Kasyfu Syubhaat ini Ibnu Abdil Wahab
berkata: Ketahuilah semoga Allah merahmatimu- bahwa tauhid adalah
mengesakan Allah dalam beribadah. Itu adalah agama para rasul yang telah diutus
oleh Allah kepada para hamba-Nya. Rasul pertama adalah Nuh a.s. yang telah Allah
utus kepada kaumnya tatkala kaumnyaghuluww (berlebihan) pada kaum shalihin;
Waddan, Suwaan, Yaghuts, Yauq dan Nasr.[6]
Pernyataan pembuka ini begitu sangat manis dan halus untuk dijadikan langkah
awal takfir kaum muslimin yang berbeda ideologi, sebagaimana dalam statemen-
statemen setelahnya. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa aktivitas
seperti tabaruk, tawasul dan sejenisnya dalam pandangan IAW merupakan
bentuk ghuluww kepada kaum shalihin. Bahkan ia menganggapnya sebagai
bentuk ibadah kepada mereka. Oleh karenanya hal itu ia vonis sebagai sebuah
kesyirikan. Terkait dengan statemen IAW di atas, ia berusaha memberikan sebuah
doktrin perdana kepada para pengikutnya bahwa Nabi Nuh a.s. mendakwahkan
tauhid kepada suatu kaum yang berbuat ghuluww kepada kaum shalihin. Dari
doktrin perdana ini ia berharap tercipta sebuah gambaran yang sama di benak setiap
pengikutnya bahwa keberadaanya di tengah kaum muslimin (yang tidak seideologi)
saat itu sama persis dengan keberadaan Nuh a.s. di tengah kaum musyrikin di
masanya. Jika harapan itu terwujud maka dengan sangat mudah sekali para
pengikutnya dapat digerakkan untuk memerangi kaum muslimin yang tidak
sepaham dengannya, karena kaum muslimin saat itu akan secara otomatis tervonis
musyrik dan halal untuk diperangi.
Pengkafiran yang acap kali dilontarkan oleh Syekh Ibnu Abdil Wahab tidak
terlepas dari klasifikasi tauhid yang ia terapkan. Klasifikasi tauhid menjadi tiga;
rububiyyah, uluhiyyah dan asma` sifat, sebenarnya bukan merupakan ijtihad IAW.
Akan tetapi ia hanya sekedar mengikuti apa yang telah digagas oleh Ibnu Taimiyah
jauh hari sebelumnya. Bahkan ia bukanlah orang pertama yang mengikuti gagasan
pembagian tauhid tersebut. Sebelumnya sudah ada Ibnu Qayyim yang bisa
dikatakan adalah foto copyIbnu Taimiyah karena hampir tidak ditemukan
pendapatnya yang bertentangan dengan gurunya tersebut. Demikian juga, Ibnu Abil
Izz dalam syarah akidah tahawiyahnya.
Dengan pembagian tauhid menjadi tiga ini, Ibnu Taimiyah sebagai bapak dari
pembagian ini -yang selanjutkan diikuti oleh IAW- menyatakan bahwa kaum
musyrikin Quraisy sebenarnya mengakui tauhid rububiyah, yaitu mengakui bahwa
Allah adalah Sang Pencipta. Hal ia buktikan dengan beberapa ayat, seperti firman
Allah swt. yang artinya, Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah
akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang pendusta
dan sangat kafir (ingkar). (az Zumar: 3). Satu hal penting yang ingin ditegaskan
oleh Ibnu Taimiyah bahwa kaum musyrikin telah meyakini bahwa Allah sebagai
Tuhan (Pencipta). Dengan demikian, dalam tataran ini kaum muslimin dan
musyrikin tidak ada bedanya. Oleh sebab itu, kaum muslimin membutuhkan dua
kriteria tauhid yang lain agar benar-benar bisa dikatakan telah masuk Islam. Kedua
tauhid itu adalah tauhid uluhiyyah dan tauhid asma` sifat. Pendapat inilah yang pada
gilirannya melahirkan sikap takfir terhadap kaum muslimin yang dipandang telah
berbuat kesyirikan karena aktivitas tabaruk dan sejenisnya.
Yang paling sangat mashur dalam pembagian bidah menjadi dua ini adalah
Imam Syafii rahimahullah-. Pendapat Imam Syafii ini dinukil oleh Imam Baihaqi
dengan sanad muttasil dalam manaqib Syafii. Juga oleh Al Hafidz Ibnu Asakir
dalam tabyinnya dan Imam Suyuthi dalam husnul maqsid . Pembagian yang
dilakukan oleh Imam Syafii ini berlandaskan pada perkataan Sayyidina Umar r.a
dalam permasalahan shalat tarawih berjamaah . Pembagian pengertian seperti yang
dipahami oleh Imam Syafii inipun banyak sekali dianut oleh jumhur ulama umat ini
seperti Imam Al Ghazali, Ibnu Atsir , Al Hafidz Badruddin Al Aini , Al Hafidz Ibnu
Hajar Al Asqalani , Imam Al Karmani.
Selain itu, Ibnu Abdul Wahhab juga mendapat julukan rajul ad-
dawah (pejuang dakwah), bahkan dia termasuk orang terdepan dalam pasukan
kerajaan yang daerahnya meluas sampai meliput timur Jazirah dan sebagian Yaman,
Makkah, Madinah, dan Hijaz.
Pembaruan Ibnu Abdul Wahhab dan ijtihadnya lebih banyak berupa pemilihan
yang masih dalam lingkup mazhab Hambali serta mengajak kepada nash dan
ucapan para tokohnya-khususnya ucapan pendiri mazhab, Imam Ahmad bin
Hambal (164-241 H/780-855 M) dan Ibnu Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M)
daripada kreasi pemikiran, penemuan, dan hal-hal baru. Ijtihadnya adalah pilihan
dalam lingkup mazhab, mengajak kepada nash dan pendapat yang memurnikan
akidah tauhid dari tanda-tanda kesyirikan, bidah, dan khurafat. [5]
Di samping itu, dari beberapa hal yang dikemukakannya di atas yang sangat
diperhatikannya adalah masalah tauhid yang menjadi tiang agama; yang
terkristalisasi dalam ungkapan la ilah illa Allah. Menurutnya, tauhid telah dirasuki
berbagai hal yang hampir menyamai syirik, seperti mengunjungi para wali,
mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa mereka mampu mendatangkan
keuntungan atau kesusahan, mengunjungi kuburan mereka dikunjungi oleh orang
dari berbagai penjuru dunia dan di usap-usap. Seakan-akan Allah sama dengan
penguasa dunia yang dapat didekati melalui para tokoh mereka, dan orang-orang
dekat-Nya. Bahkan manusia telah melakukan syirik apabila mereka percaya bahwa
pohon kurma, pepohonan yang lain, sandal atau juru kunci makam dapat diambil
berkahnya, dengan tujuan agar mereka dapat memperoleh keuntungan. Bagaimana
menyelamatkan dari keyakinan-keyakinan seperti ini?
Itulah dasar dakwah Muhammad bin Abd al-Wahhab. Dia mengikuti ajaran Ibn
Taimiyah. Atas dasar itu pula dibangunlah hal-hal yang parsial. Menurutnya,
manusia bebas berpikir tentang batas-batas yang telah ditetapkan oleh al-quran dan
sunah. Dia memerangi segala macam bentuk bidah, dan mengarahkan orang agar
beribadah dan berdoa hanya untuk Allah, bukan untuk para wali, syeikh, atau
kuburan.
Menurutnya, kita harus kembali pada islam pada zaman awal, yang suci dan
bersih. Dia berkeyakinan bahwa kelemahan kaum Muslim hari ini terletak pada
akidah mereka yang tidak benar. Jika akidah mereka bersih seperti akidah para
pendahulunya yang menjunjung tinggi kalimat la ilah illa Allah (yang berarti tidak
menganggap hal-hal lain sebagai Tuhan selain Allah, tidak takut mati, atau tidak
takut miskin dijalan yang benar), maka kaum Muslim pasti dapat meraih kembali
kemuliaan dan kehormatan yang pernah diraih oleh para pendahulu mereka.[6]
C. Muhammad bin Abdu Wahab
1. Riwayat hidup
Syeikh Muhammad bin Abd al-Wahhb dilahirkan pada tahun 1115 H (1701
M) di kampung Uyainah (Najd), lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh,
ibukota Arab Saudi sekarang. Dia tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan keluarga
terpelajar. Ayahnya adalah seorang tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan kakak
laki-lakinya adalah seorang qadhi (mufti besar), sumber rujukan di mana masyarakat
Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama.
Sebagaimana lazimnya keluarga ulama, maka Syeikh Muhammad bin Abd al-Wahhb
sejak masih kanak-kanak telah dididik dengan pendidikan agama yang diajar sendiri
oleh ayahnya, Syeikh Abd al-Wahhb. Berkat bimbingan orangtuanya, ditambah
dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, Syeikh Muhammad bin Abd al-Wahhb
berhasil menghafal 30 juz al-Quran sebelum berusia sepuluh tahun. Setelah itu, dia
diserahkan oleh orangtuanya kepada para ulama setempat sebelum akhirnya mereka
mengirimnya untuk belajar ke luar daerah .
3. pemikiran pembaharuannya
PENUTUP
Oleh sebab itu, para pengikut aliran wahabi seharusnya lebih kritis lagi dalam
melihat pemahaman-pemahaman ektrim yang terkandung di dalam literatur-literatur
wahabi, baik klasik maupun kontemporer. Demikian juga penulis tidak sepakat dengan
ektrimisme yang juga diperagakan oleh sebagian kalangan sunni sehingga mengkafirkan
aliran wahabi ini. Hal yang perlu kita yakini bersama bahwa Syekh Muhammad bin
Abdil Wahab berpendapat dan berperilaku sedemikian rupa tidak lepas dari ijtihad
beliau. Sepanjang pembacaan penulis, IAW tidak mempunyai kepentingan politis dalam
dakwahnya melainkan hanya ingin membebaskan umat ini dari perbuatan yang ia
anggap sebuah kesyirikan. Kewajiban kita sebagai generasi sekarang adalah belajar dari
semangat IAW dalam menyerukan umat ini untuk kembali kepada Al Quran dan Sunnah
dengan pemahaman salaf shaleh. Semangat ini tentunya harus terus menyala dalam
sanubari setiap generasi muslim.
DAFTAR PUSTAKA
http://simplehipsters.blogspot.co.id/2016/01/gerakan-dakwah-muhammad-
ibn-abdul-wahab.html
http://yuliakurniawan.blogspot.co.id/2015/10/ibnu-taimiyah-dan-muhammad-bin-
abdul.html