Anda di halaman 1dari 9

KEHAMILAN POSTTERM

Pembimbing

dr. Moch. Maroef, Sp.OG

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2016

TINJAUAN PUSTAKA
1
DEFINISI
Kehamilan postterm disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan lewat waktu,
kehamilan lewat bulan, prolonged pregnancy, extended pregnancy, postdate/ post
datisme atau pascamaturitas. Menurut definisi yang dirumuskan oleh American
College of Obstetricians and Gynecologists (2004), kehamilan postterm adalah
kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu yang terhitung sejak hari
pertama siklus haid terakhir (HPHT).
EPIDEMIOLOGI
Insiden kehamilan postterm adalah sekitar 7% dari
semua kehamilan (Martin et al., 2007). Prevalensi
bervariasi tergantung pada karakteristik populasi yang mempengaruhi prevalensi
meliputi: persentase primigravida, prevalensi obesitas, faktor predisposisi seperti
genetik, frekuensi kelahiran preterm.
ETIOLOGI
Pertanyaan yang patut diajukan ialah mengapa terjadi penundaan partus
melewati aterm. Kini difahami bahwa menjelang partus terjadi penurunan hormon
progesteron, peningkatan oksitosin serta peningkatan reseptor oksitosin, tetapi
yang paling menentukan adalah terjadinya produksi prostaglandin yang
menyebabkan his yang kuat. Prostaglandin telah dibuktikan berperan paling
penting dalam menimbulkan kontraksi uterus. Nwosu dan kawan-kawan
menemukan perbedaan dalam rendahnya kadar kortisol pada darah bayi sehingga
menimbulkan kerentanan akan stress merupakan faktor tidak timbulnya his, selain
kurangnya air ketuban dan insufisiensi plasenta.

RESIKO PADA KEHAMILAN POSTTERM


Resiko pada Bayi
Peningkatan angka kematian bayi dalam 1000 kelahiran hidup. Hal ini
termasuk adanya sindrom aspirasi mekonium, makrosomia
dan dismaturitas. Pasca kehamilan meningkatkan faktor risiko untuk tingkat pH
tali pusat yang rendah(Asidemia neonatal), Apgar skor yang rendah (Kitlinski et

2
al., 2003), ensefalopati neonatal(Badawi et al., 1998), dan meningkatnya kematian
bayi di tahun pertama kehidupan.

Gambar 1. Angka Kematian Bayi

Resiko Ibu
Kehamilan postterm dikaitkan dengan peningkatan risiko:
1) Distosia persalinan (9-12%);
2) Laserasi perineum yang parah (Derajat 3 & 4),berhubungan dengan
makrosomia
3) Operatif, terjadi peningkatan operasi caesar sebanyak dua kali lipat (Rand
et al, 2000; Campbell et al, 1997; Alexander et al., 2000; Treger et al.,
2002). Persalinan melalui caesar dikaitkan dengan tingginya angka kejadian
endometritis, perdarahan, dan tromboemboli.
DIAGNOSIS
Diagnosis kehamilan lewat waktu bisanya dari perhitungan rumus
Naegele setelah mempertimbangkan siklus haid dan keadaan klinis. Bila
terdapat keraguan, maka pengukuran tinggi fundus uteri serial dengan

3
sentimenter akan memberikan informasi mengenai usia gestasi lebih tepat.
Keadaan klinis yang yang mungkin ditemukan ialah 1) air ketuban yang
berkurang; 2) gerakan janin yang jarang.
Bila telah dilakukan pemeriksaan ultrasonografi serial terutama
sejak trimester pertama maka hampir dapat dipastikan usia kehamilan.
Sebaliknya pemeriksaan yang sesaat setelah trimester III sukar untuk
memastikan usia kehamilan.
Pemeriksaan sitologi vagina (indeks kariotokografik > 20%)
mempunyai sensitifitas 75% dan tes tanpa tekanan dengan kardiotokografi
mempunyai spesifisitas 100% dalam menentukan adanya disfungsi janin
plasenta atau postterm. Perlu diingat bahwa kematangan serviks tidak dapat
dipakai untuk menentukan usia gestasi.
PENGELOLAAN ANTEPARTUM
Dalam pengelolan antepartum diperhatikan tentang umur kehamilan.
Menentukan umur kehamilan dapat dengan menghitung dari tanggal menstruasi
terakhir, atau dari hasil pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan 12-20 minggu.
Pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan postterm tidak akurat untuk
menentukan umur kehamilan. Tetapi untuk menentukan volume cairan amnion
(AFI), ukuran janin, malformasi janin dan tingkat kematangan plasenta.
Untuk menilai kesejahteraan janin dimulai dari umur kehamilan 40 minggu
dengan pemeriksaan Non Stess Test (NST). Pemeriksaan ini untuk mendeteksi
terjadinya insufisiensi plasenta tetapi tidak adekuat untuk mendiagnosis
oligohidramnion, atau memprediksi trauma janin.
Secara teori pemeriksaan profil biofisik janin lebih baik. Selain NST juga
menilai volume cairan amnion, gerakan nafas janin, tonus janin dan gerakan janin.
Pemeriksaan lain yaitu Oxytocin Challenge Test (OCT) menilai kesejahteraan
janin dengan serangkaian kejadian asidosis, hipoksia janin dan deselerasi lambat.
Penilaian ini dikerjakan pada umur kehamilan 40 dan 41 minggu. Setelah umur
kehamilan 41 minggu pemeriksaan dikerjakan 2 kali seminggu. Pemeriksaan
tersebut juga untuk menentukan pengelolaan. Penulis lain melaporkan bahwa
kematian janin secara bermakna meningkat mulai umur kehamilan 41 minggu.

4
Oleh karena itu pemeriksaan kesejahteraan janin dimulai dari umur kehamilan 41
minggu.
PENGELOLAAN INTRAPARTUM
Persalinan pada kehamilan postterm mempunyai risiko terjadi bahaya
pada janin. Sebelum menentukan jenis pengelolaan harus dipastikan adakah
disporposi kepala panggul, profil biofisik janin baik. Induksi kehamilan 42
minggu menjadi satu putusan bila serviks belum matang dengan monitoring janin
secara serial. Pilihan persalinan tergantung dari tanda adanya fetal compromise.
Bila tidak ada kelainan kehamilan 41 minggu atau lebih dilakukan dua
pengelolaan. Pengelolaan tersebut adalah induksi persalinan dan monitoring janin.
Dilakukan pemeriksaan pola denyut jantung janin.
Selama persalinan dapat terjadi fetal distress yang disebabkan kompresi
tali pusat oleh karena oligohidramnion. Fetal distress dimonitor dengan
memeriksa pola denyut jantung janin. Sebaiknya seksio dilakukan bila terdapat
deselerasi lambat berulang, variabilitas yang abnormal (<5 dpm) pewarnaan
mekonium, dan gerakan janin yang abnormal (<5/20 menit). Kelainan obstetri
(berat bayi > 4000 gr, kelainan posisi, partus > 18 jam) perlu diperhatikan untuk
indikasi seksio sesarea.
Bila cairan amnion kental dan terdapat mekonium maka kemungkinan
terjadi aspirasi sangat besar. Aspirasi mekonium dapat menyebabkan disfungsi
paru berat dan kematian janin. Keadaan ini dapat dikurangi tetapi tidak dapat
menghilangkan dengan penghisapan yang efektif pada faring setelah kepala lahir
dan sebelum dada lahir. Jika didapatkan mekonium, trakea harus diaspirasi segera
mungkin setelah lahir. Selanjutnya janin memerlukan ventilasi. Bayi dengan tanda
postmatur mungkin mengalami hipovolemia, hipoksia, asidosis, sindrom gawat
nafas, hipoglikemia, dan hipofungsi afrenal. Dalam hal ini perlutindakan yang
adekuat sesuai dengan kausa tersebut.
The American College of Obstetricians and Gynecologist
mempertimbangkan bahwa kehamilan postterm (42 minggu) adalah indikasi
induksi persalinan. Penelitian menyarankan induksi persalinan antara umur

5
kehamilan 41-42 minggu menurunkan angka kematian janin dan biaya monitoring
janin lebih rendah.
1. Induksi persalinan
Kehamilan postterm merupakan keadaan klinis yang sering menjadi
indikasi untuk pelaksanaan induksi persalinan dengan pertimbangan
kondisi bayi yang cukup baik atau optimal. Induksi persalinan menjadi
salah satu prosedur medis yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat
dengan proporsi yang meningkat dari 9% pada tahun 1989 menjadi 19% di
tahun 1998.
Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang
belum inpartu, baik secara tindakan atau medisinal, untuk merangsang
timbulnya kontraksi uterus. Pematangan serviks adalah tindakan
farmakologik atau cara lain untuk memperlunak atau meningkatkan
dilatasi serviks dengan tujuan untuk meningkatkan keberhasilan induksi
persalinan. Tindakan induksi persalinan ini adalah untuk keselamatan ibu
dan anak, tetapi walaupun dilakukan dengan terencana dan hati-hati,
kemungkinan untuk menimbulkan risiko terhadap ibu dan janin tetap ada.
Kemungkinan keberhasilan induksi persalinan ditentukan oleh
beberapa keadaan sebelum dilakukan induksi, salah satunya dari
kematangan serviks (favorable). Penilainan kematangan serviks ini dapat
dilakukan dengan menggunakan skor Bishop. Skor ini dinilai berdasarkan
lima faktor yang didapatkan dari pemeriksaan dalam dan akan digunakan
untuk memperkirakan keberhasilan induksi persalainan. Lima faktor yang
diperiksa adalah (1) dilatasi serviks, (2) penipisan serviks/effacement, (3)
konsistensi serviks, (4) posisi serviks, dan (5) station dari bagian terbawah
janin.

6
Tabel :Pelviks skor menurut Bishop. (Cunningham, et al., 2014)

Skor Bishop >8 memberikan kemungkinan keberhasilan induksi


persalinan yang tinggi. Sementara itu, skor Bishop 4 biasanya menunjukkan
keadaan serviks yang belum matang (unfavorable) sehingga membutuhkan
pematangan serviks yang bisa dilakukan secara farmakologis (prostaglandin,
nitrit oksida) ataupun teknik (kateter transervikal, dilator higroskopis,
stripping).
Pada kehamilan postterm, harus diperhatikan nilai pematangan serviks
(Skor Bishop) karena akan mempengaruhi tindakan induksi. Apabila skor
bishop > 5 maka di induksi dengan infus oksitosin,tetapi bila skor bishop 5
maka diberikan misoprostol 25 g per vaginam. Dievaluasi 6 jam kemudian,
apabila skor bishop sudah >5 maka dilanjutkan infus oksitosin, namun
apabila setelah 6 jam masih sama atau 5 maka dilanjutkan misoprostol
dengan cara pemberian yang sama. Bila dalam 6 jam kemudian belum
inpartu maka dilanjutkan infus oksitosin.
Oksitosin adalah zat yang paling sering digunakan untuk induksi
persalinan dalam bidang obstetri. Oksitosin mempunyai efek yang poten
terhadap otot polos uterus dan kelenjar mammae. Kepekaan terhadap
oksitosin meningkat pada saat persalinan. Induksi persalinan dengan oksitosin
yang diberikan melalui infus secara titrasi ternyata efektif dan banyak
dipakai. Titrasi ini biasanya dilakukan dengan cara memberikan 10-20 unit
oksitosin (10.000-20.000 mU) yang dilarutkan dalam 1000 cc larutan Ringer
laktat. Rejimen ini akan menghasilkan kadar oksitosin 10-20 mU/mL.

7
Terdapat berbagai macam metode induksi dengan menggunakan drip
oksitosin, baik yang menggunakan dosis rendah maupun dosis tinggi.
Tabel :Regimen drip induksi dengan oksitosin. (Cunningham, et al., 2014)

Biasanya, kontraksi yang adekuat akan dicapai dengan dosis oksitosin 20


mU/menit. Apabila dengan pemberian dosis oksitosin 30-40 mU/menit masih
tidak didapatkan his yang adakuat, maka indusi tak perlu lagi dilanjutkan.
Pemberian dengan dosis yang lebih besar akan menyebabkan ikatan oksitosin
dengan reseptor vasopresin sehingga akan menimbulkan kontraksi yang tetanik
atau hipertonik. Selain itu, dapat juga muncul efek antidiuretik sehingga
zmeningkatkan risiko terhadap keracunan air. Induksi dianggap berhasil kalau
didapatkan kontraksi uterus yang adekuat, yaitu his sekitar 3 kali dalam 10
menit dengan kekuatan sekitar 40 mmHg atau lebih (200 Montevidio).
KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu seperti korioamnionitis, laserasi
perineum, perdarahan post partum, endomiometritis dan penyakit tromboemboli.
Komplikasi terjadi pada bayi seperti hipoksia, hipovolemia, asidosis, sindrom
gawatnafas,hipoglikemia,hipofungsiadrenal.

8
DAFTAR PUSTAKA

Galal M, Symonds I, Murray H. 2012. Postterm Pregnancy. FVV in


ObGyn. Vol : 4 (3): 175-187
Cunningham, FG., et al. (2013). Obstetri Williams (Williams Obstetri) .
Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai