Anda di halaman 1dari 2

Globalisasi sebagai proses dimana dunia telah menjadi place yang

tunggal, place yang homogen tanpa ada sebuah ciri khas. Dunia menjadi
terasa lebih sempit akibat kemajuan teknologi, hubungan antar manusia
semakin mudah dilakukan, baik dalam keadaan jarak jauh maupun jarak
dekat. Semua kegiatan terasa cepat dilakukan dengan berbagai peralatan
teknologi mutakhir sehingga menimbulkanfast world. Menurut Knox Paul
dalam journal of urban design (2005: 3):
Fast world a world of restless landscapes in which the more places
change the more they seem to look alike, the less they are able to
retain a distinctive sense of place, and the less they are able to sustain
a public life
Fast world menjadikan kehidupan manusia berubah semakin cepat.
Manusia dan place yang terlibat dalam proses sosial mengalami sebuah
perubahan. Perubahan tersebut membuat sebuah place kehilangan sense
of place dan keunikannya. Hal ini yang terjadi di salah satu kota besar di
Indonesia yaitu Kota Yogyakarta.
Ritme keseharian masyarakat Yogyakarta yang terkesan lamban dan
tenang, kini semakin cepat dan padat dengan hiruk pikuk kota. Kecepatan
yang identik dengan terburu-buru juga menjadi pemandangan yang baru
di kota Yogyakarta (Nuraini Juliastuti, 2009). Kehidupan yang mengejar
kemajuan secara cepat ini telah masuk ke dalam budaya masyarakat di
Kecamatan Keraton. Pada masyarakat Jeron Beteng, sikap bersahaja
alon-alon waton kelakon terlihat mulai berkurang, digantikan dengan
semangat tinggi mengejar kemajuan (Endy Marlina, 2011). Orientasi pada
kemajuan yang ingin dicapai secara cepat atau instan terlihat dari cara
bicara yang ngotot dan kurang perhitungan.
Di sisi lain terdapat filosofi slow yang mengedepankan
keseimbangan dalam konsep kehidupan kota. Filosofi ini termuat dalam
manifesto slow city:
We are looking for towns brought to life by people who make time to
enjoy a quality of life. Towns blessed with quality public spaces,
theatres, shops, cafes, inns, historic buildings, and unspoiled
langdscapes.
Towns where traditional crafts skills are in daily use, and where the
slow, benefical succession of the seasons is reflected in the availability
of local produce, in season. Where healthy eating, healty living and
enjoying life are central to the community
Slow city bertujuan untuk melindungi dan memajukan sebuah kota yang
enak untuk ditinggali. Masyarakatnya memiliki kualitas hidup yang baik
dan layak dengan mengangkat kekhasan lokalitas sebagai jalan untuk
memajukan kota. Slow city menjadikan kota sustainable (Mayer Heyke and
Knox Paul, 2006).
Berdasarkan kondisi tersebut maka kota Yogyakarta perlu
mengimplementasikan filosofi slow city dengan konsep 3E (Environment,
Economic, and Equity). Bla bla bla bla bla

www.jurnal.ugm.ac.id/index.php/jurnal.../1018/847

Anda mungkin juga menyukai