Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Fixed drug eruption (FDE) adalah reaksi alergi dengan manifestasi berupa lesi
kulit yang muncul di tempat yang sama dan dapat bertambah akibat pemberian atau
pemakaian jenis obat-obatan tertentu.1,2
Beberapa penelitian tentang morfologi dan agen pencetus pada pasien-pasien
dengan erupsi obat dirumah sakit atau bagian kulit kelamin pada tahun 1986-1990
dilaporkan pada 135 kasus terdapat kasus FDE sebanyak 16%.3
Gambaran klinik dari FDE berupa timbulnya satu atau beberapa lesi kulit
yang eritematous berbentuk bulat atau oval. Pada mulanya terbentuk efloresensi
berupa makula berbatas tegas berwarna ungu atau coklat.2
Diagnosis FDE ditegakkan berdasarkan anamnesa adanya riwayat penggunaan
obat sebelum timbulnya lesi dan gambaran klinik yang ditemukan. Namun jika
diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan jaringan
kulit secara patologi anatomi dimana akan didapatkan gambaran mikroskopis berupa
terdapatnya makrofag-makrofag dan adanya penumpukan pigmen melanin.1,4
Penatalaksanaan yang dipakai adalah dengan pengobatan kausal berupa
mengetahui dan menghindari terpaparnya kembali dengan obat-obatan penyebab dan
pengobatan simptomatis berupa pemberian obat-obatan secara sistemis seperti
kortikosteroid dan antihistamin maupun secara topikal.4
FDE bukan merupakan kasus yang mengancam jiwa dimana akan
menyembuh bila obat penyebab dapat diketahui dan disingkirkan. Namun demikian
dilihat dari sudut pandang kosmetik sangat mengganggu dan menimbulkan perasaan
tidak nyaman. Jika tidak diterapi secara kausal maka dapat bertambah parah dengan
adanya penambahan jumlah lesi.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Fixed drug eruption (FDE) adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah
mukokutan yang terjadi akibat pemberian atau pemakaian jenis obat-obatan tertentu
yang biasanya dikarakteristik dengan timbulnya lesi berulang pada tempat yang sama
dan tiap pemakaian obat akan menambah jumlah dari lokasi lesi.1,2
SINONIM
Eksantema fikstum, fixed exanthema.1

2.2. EPIDEMIOLOGI
Beberapa penelitian tentang morfologi dan agen pencetus pada pasien-pasien
dengan erupsi obat dirumah sakit atau bagian kulit dan kelamin pada tahun 1986-
1990 dilaporkan pada 135 kasus didapatkan perubahan morfologik akibat erupsi obat
yang paling sering adalah eksantematous (39%), urtikaria/angioedema (27%), FDE
(16%), eritema multiform (5,4%) dan reaksi kulit lainnya (18%). Sejak tahun 1956
proporsi dari reaksi erupsi obat berupa urtikaria menurun dan terjadi peningkatan
angka kejadian FDE.3

2.3. ETIOPATOGENESIS
Obat-obatan yang paling sering menyebabkan FDE adalah kontrasepsi oral,
barbiturat, fenolftalein, fenasetin, salisilat, naproksen, nistatin, minosiklin,
sulfonamide, tetrasiklin, metronidazol, doriden, sulindac, tolmetin, maolate,
bleomysin, busulfan, zidovudine, klorpromasin, hidantoin, cyclofosfamid, klofasimin,
antimalaria, prokarbasin, doksorubisin.2,3,4,5
Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik atau
non imunologik. Yang dimaksud dengan erupsi obat adalah alergi terhadap obat yang
terjadi melalui mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada pemberian obat kepada
pasien yang sudah mempunyai hipersesitivitas terhadap obat tersebut.disebabkan oleh
berat molekulnya yang rendah, biasanya obat itu berperan pada mulanya sebagai
antigen yang tidak lengkap atau hapten. Obat atau metaboliknya yang berupa hapten,
harus berkombinasi terlebih dahulu dengan protein, misalnya jaringan, serum atau
protein dari membran sel untuk membentuk kompleks antigen yaitu kompleks hapten
protein. Kekecualiannya ialah obat-obat dengan berat molekul yang tinggi yang dapat
berfungsi langsung sebagai antigen yang lengkap.

Bagan 1. Agen Penyebab FDE Paling Umum


Antimicrobial agents
Tetracyclines (tetracycline, minocycline)
Sulfonamides, including "nonabsorbable" drugs; cross-reactions with antidiabetic and diuretic
sulfa drug may occur
Metronidazole
Nystatin
Anti-inflammatory agents
Salicylates
NSAIDs
Phenylbutazone
Phenacetin
Psychoactive agents
Barbiturates including Fiorinal Quaalude, Doriden
Oral contraceptives
Quinine (including quinine in tonic water), quinidine
Phenolphthalein
Food coloring: in food or medications

Ada beberapa faktor yang berperan dalam menentukan sejauh mana kapasitas
dari sebuah obat dalam menimbulkan respon imun :
1. Karakteristik molekular dan sensitisasi. Sebuah molekul yang
imunogenik biasanya mempunyai berat molekul lebih dari 1000
dalton. Kebanyakan molekul obat tidak sebesar itu dan untuk
memberikan respon imun harus berikatan dengan makromolekul
jaringan yang berperan sebagai hapten. Hapten adalah sebuah
substansi yang tidak imunogenik tetapi menjadi imunogenik ketika
berikatan dengan karier makromolekul. Ikatan yang terjadi haruslah
sangat kuat dan biasanya bersifat kovalen. Untuk sebuah ikatan obat
dan makromolekul jaringan kompleks menjadi imunogenik harus
diproses oleh antigen dan sel yang bersangkutan (seperti sel
langerhans dari kulit). Bersama-sama dengan antigen
histokompatibiliti ke sebuah limfosit T sebagai hasil dari presentasi
terjadi aktivasi dari populasi sel T yang berbeda dan setiap populasi
sel T dapat menimbulkan reaksi klinik yang berbeda pada aktivasi
TH1 tipe sel T menyebabkan produksi dari interferon dan interleukin
2 yang akan diikuti dengan terjadinya reaksi obat morbiliform pada
kontak dermatitis atau mungkin nekrolisis epidermal toksis. Aktivasi
tipe sel TH2 menyebabkan terjadinya produksi interleukin -4, -5, atau
-13, yang akan menyebabkan terjadinya produksi dari antibodi IgE dan
reaksi klinik seperti urtikaria atau anafilaktik. Mekanisme yang
menentukan tipe terakhir dari aktivasi sel T belum diketahui.3

2. Variasi metabolik individu. Variasi metabolik individu merupakan


jalur yang dilewati oleh obat dimana dapat memberi reaksi intermediet
atau diekskresi. Reaktivasi intermediet berlaku sebagai hapten yang
dapat melakukan ikatan kovalen pada makromolekul sel yang dapat
menyebabkan kematian sel atau merangsang respon imun sekunder.3

3. Kemampuan imunogenetik. Respon imun dari antigen-antigen yang


bervariasi biasanya dikontrol secara genetik dan berbeda-beda pada
tiap individu. Beberapa observasi klinik mengatakan bahwa kontrol
genetik mempunyai suatu peranan yang besar dalam reaktivasi obat.
Mereka percaya bahwa reaksi anafilaktik lebih sering terjadi pada
individu atopik dibanding dengan non-atopik. Wanita memiliki angka
kejadian 35% lebih tinggi daripada pria. Sebagai tambahan pasien
dengan SLE dapat meningkatkan prevalensi dari reaksi alergi obat,
tetapi belum jelas apakah hal ini berhubungan dengan abnormalitas
imun atau frekuensi pemaparan obat-obatan. Demonstrasi yang paling
jelas tentang pentingnya sistem imun terhadap resiko obat adalah pada
kasus infeksi HIV. Reaksi obat pada pasien HIV 10 x lebih tinggi
daripada mereka yang tidak terinfeksi dan resiko ini meningkat seiring
dengan perjalanan penyakitnya. Demikian pula untuk pasien yang
melakukan transplantai sumsum tulang, dimana terjadi peningkatan
resiko reaksi obat.3

4. Usia. Usia dapat menentukan kemampuan respon imun dari pemberian


suatu obat, dimana dikatakan alergi lebih sering ditemukan pada anak-
anak dan pada manula, mungkin karena ketidakmatangan atau involusi
dari sistem imun.3

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya FDE :


1. Paparan obat. Pemberian obat dapat mengakibatkan terjadinya reaksi komplit
antigen antibodi dengan terbentuknya hapten. Yang penting juga adalah pola
morfologik yang spesifik yang dapat meningkat atau menurun pada pemberian
obat yang menyebabkan terjadinya reaksi kulit tersebut. Sebagai contoh FDE
lebih sering ditemukan pada pemberian barbiturat daripada penisilin,
walaupun penisilin memiliki kemungkinan menimbulkan reaksi kulit karena
obat yang lebih tinggi.3
2. Waktu kejadian. Kebanyakan reaksi obat pada kulit terjadi dalam 1 - 2 minggu
dari terapi pertama. Beberapa tipe reaksi terutama sindrom hipersensitivitas
dapat memberikan onset yang tertunda bahkan sampai lebih dari 2 bulan
setelah pemberian obat. Untuk beberapa reaksi yang lebih serius, resiko yang
berhubungan dengan pemberian obat lebih dari 2 bulan tampak lebih rendah.3
3. Uji eliminasi pemakaian obat. Kebanyakan reaksi kulit karena obat akan
berkurang dengan penghentian pemakaian obat tersebut. Sebuah reaksi kulit
tidak mungkin berhubungan dengan obat jika reksi terus berlanjut setelah
dilakukan penghentian pemakaian obat tersebut.3
4. Pemaparan obat ulangan. Pemberian obat ulangan memberikan informasi pasti
apakah obat tersebut menyebabkan terjadinya reaksi kulit walaupun
pemberian yang sering tidak dimungkinkan karena tidak menjamin
keselamatan dari pasien kecuali terjadi perubahan pola status imunologik
pasien

Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologi yang dikemukakan oleh Coombs &
Gell; suatu reaksi alergi terhadap obat dapat mengikuti salah satu dari ke empat jalur
berikut ini;
1. Tipe I Reaksi Anafilaktik
Reaksi obat yang diperantarai IgE biasanya terjadi karena penisilin atau
golongannya. Reaksi dapat terjadi dalam beberapa menit setelah pemakaian
obat. Gejala biasanya bervariasi seperti pruritus, urtikaria, spasme bronkus,
dan edema laring bahkan dapat menyebabkan terjadinya syok anafilaktik
dengan hipotensi dan kematian. Sel mast dan basofil yang tersentisisasi akan
melepaskan mediator-mediator kimia (histamin) atau lemak
(leukotriens/prostaglandin) yang akan menimbulkan gejala klinik yang
berbeda-beda tergantung dari interaksi organ target (kulit, sistim respirasi,
GIT atau sistim kardiovaskuler) dengan mediator kimia tersebut. Penelitian
terbaru mengatakan reaksi obat perantaraan IgE lebih diakibatkan peran
basofil daripada sel mast. Pelepasannya dipicu ketika terjadi konjugasi protein
obat polifalen yang terbentuk secara in vivo dan behubungan dengan molekul
IgE yang mensensitisasi sel-sel.3,6

2. Tipe II Reaksi Sitotoksik


Reaksi tipe ini dapat disebabkan oleh obat, dan memerlukan penggabungan
antara IgE dan IgM dengan antigen yang melekat pada sel. Jika sistem
komplemen teraktivasi akan dipacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan
lisis.1
3. Tipe III Reaksi Kompleks Imun Antibodi
Reaksi mengadakan reaksi dengan antigen membentuk kompleks antigen
antibodi yang kemudian mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan
tubuh dan mengakibatkan reaksi radang. Dengan adanya aktivasi sistim
komplemen terjadi pelepasan anafilaktosin yang merangsang pelepasan
berbagai mediator oleh mastosit. Dengan adanya aktivasi komplemen akan
terjadi kerusakan jaringan.1
4. Tipe IV Reaksi Alergi Selular
Tipe Lambat Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersentisisasi
mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini di sebut reaksi tipe lambat
karena baru timbul 12 - 48 jam setelah pajanan dengan antigen.1
FDE termasuk dalam reaksi tipe III dengan adanya reaksi kompleks antigen
antibodi.

2.4. MANIFESTASI KLINIS


FDE dikarakteristik dengan 1 atau beberapa lesi eritematous. Lesi ini
seringkali timbul pada wajah dan daerah genital dan menyebabkan terjadinya luka
seperti luka bakar walaupun inflamasi akut sembuh secara perlahan-lahan tapi
hiperpegmentasi lokal akan menetap dengan pemaparan obat yang berulang, lesi akan
muncul kembali pada tempat yang sama.3
Lesi baru berbentuk bulat atau oval dan berbentuk plak dengan gambaran
eritematous dan bula pada kulit akan berubah berwarna ungu atau coklat. Lesi
biasanya berkembang dalam waktu 30 menit - 8 jam setelah pemberian obat, kadang-
kadang lesi pada awalnya soliter tapi pada pemberian obat yang berulang lesi baru
dapat muncul lagi dan lesi lama yang sudah ada dapat bertambah besar. Lesi lebih
sering muncul pada anggota gerak daripada badan. tangan, kaki, genitalia (glans
penis) dan daerah perianal adalah tempat favorit munculnya lesi. Lesi juga dapat
muncul di sekeliling mulut dan mata. Daerah genital dapat terjadi berhubungan
dengan lesi pada kulit atau terjadi sendiri. Apabila terjadi penyembuhan timbul
pengelupasan yang diikuti dengan perubahan warna yang menetap pada daerah lesi
dimana warna berubah menjadi kecoklatan. Hal ini dapat menghilang seiring waktu
tapi sering menetap diantara pemaparan obat. Pigmentasi terjadi lebih lama pada
orang dengan kulit coklat. Pigmentasi dari FDE menghilang apabila penderita tidak
diberikan obat penyebab. FDE non pigmentasi dilaporkan pada pemberian
pseudoefedrin dan piroksikan bisa terdapat gejala-gejala lokal atau umum yang
menemani perjalanan penyakit fixed drug eruption yang berupa gejala ringan atau
tidak ada.2,4
Beberapa gambaran karakteristik ke arah dugaan adanya FDE :
1. Reaksi hanya terjadi setelah pajanan ulang dengan obat. Pada penggunaan
pertama kali, waktu reaksi berkisar antara 8-9 hari.4
2. Manifestasi erupsi obat tidak bergantung pada kegunaan farmakologik dan
kimiawi obat tersebut.4
3. Jumlah obat yang sangat sedikit dapat memacu reaksi yang berat meskipun
obat tersebut telah dipakai dalam jangka waktu lama.4
4. Obat yang sama dapat menyebabkan reaksi yang berbeda pada orang yang
sama pada waktu yang berlainan, sebaliknya berbagai obat dapat
menyebabkan reaksi atau manifestasi klinik yang sama.8

Gambar 1.
Fixed Drug Eruption
oleh:
A. Tetrasiklin.
Plak berbatas tegas dan jelas pada lutut, bergabung dengan tiga "lesi. Besar plak
menunjukkan kerutan epidermal, tanda pembentukan blister insipiedn. Ini adalah
episode kedua seperti ini setelah konsumsi tetrasiklin. Tidak ada lesi lain yang hadir.
B. Tylenol

Multiple violaceous lesions


Di kedua aksila setelah menelan Tylenol. Lesi mulut erosif juga hadir.7
Gambar 2.
Fixed drug eruption : fenolftalein. Daerah besar kehitaman, violaceous erythema
meliputi seluruh wilayah gluteal dan meluas ke paha atas. Ini diikuti konsumsi
fenolftalein laxatif.

Gambar 3.
Generalized fixed drug eruption : tetrasiklin. Multiple, confluent, violaceous-red, oval
erythematous area, beberapa di antaranya kemudian menjadi bulosa. Erupsi mungkin
sulit untuk membedakan dari nekrolisis epidermal toksik.

2.5. DIAGNOSIS
Diagnosis FDE berdasarkan :
1. Anamnesis :
Adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan obat dan
diketahui mengenai :
a. obat-obatan yang didapat
b. kelainan timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari sesudah
masuknya obat.
c. Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebril.
2. Kelainan Klinis : Adanya kelainan klinis berupa lesi yang selalu timbul pada
tempat yang sama akibat pemaparan obat. Penghentian obat yang diikuti
penurunan gejala klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan
oleh obat tersebut.
3. Pemeriksaan Khusus : Saat ini belum diketahui cara yang cukup sensitif dan
dapat dipercaya untuk mendeteksi obat penyebab FDE.1,4
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu memastikan diagnosa
FDE dengan pemeriksaan histopatologi. Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan
adanya degenarasi hidrotik pada lapisan sel basal yang akan menuju pada inkontinens
pagmentari, dimana dikarakteristik dengan adanya melanin dalam jumlah yang
banyak diantara makrofag yang terdapat pada lapisan atas kulit (Tarnowsky). Sebagai
tambahan terdapat penyebaran dari diskeratotik keratonicytes dengan sitoplasma yang
eosinifilik dan inti pignotik sering terlihat pada epidermis (Furuya, dkk). Pada
pemeriksaan dengan mengunakan mikroskop elektron diskeratotik keratonicytes terisi
dengan tonofilamen tipis yang homogen dan menunjukkan sedikit dari sisa-sisa
organel sel dan inti.8
Pola keseluruhan dapat meniru yang terlihat pada eritema multiforme.
Diskeratosis dan keratinosit nekrotik individual dalam epidermis mungkin fitur yang
menonjol (lihat gambar di bawah).
Gambar 4.
Dermatitis Interface, perubahan vakuolar, keratinosit nekrotik, dan pigmen
inkontinen di dermis.10

Pada Patch Test , obat yang dicurigai dapat ditempatkan sebagai tes patch di situs
yang terlibat sebelumnya; respon inflamasi terjadi pada hanya 30% kasus.7

2.6. PENATALAKSANAAN
Pengobatan FDE belum memuaskan, antara lain karena kesukaran dalam
memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau metabolitnya.
Pengobatan dibagi dalam :
1. Pengobatan kausal Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka (apabila
obat tersangka telah dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk menghindari
obat yang mempunyai struktur kimia mirip dengan obat tersangka (satu
golongan).
2. Pengobatan sistemik
a. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik.
Dosis standar untuk fixed drug eruption pada orang dewasa ialah 3 x
10 mg prednisone sehari. Untuk lesi mukosa luas, umum, dan sangat
menyakitkan, oral prednisone 1 mg / kg berat badan diturunkan selama
pemberian dari 2 minggu.
b. Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat
rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang bila dibandingkan
dengan kortikosteroid 3.
c. Pengobatan topical
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah
kering atau basah. Pada FDE, jika kelainan membasah dapat diberi
kompres dan jika kering dapat diberi krim kortikosteroid, misalnya
krim hidrokortison 1% atau 2 %.1,3,4,7

Identifikasi dari obat penyebab FDE dilakukan apabila hanya 1 obat yang
digunakan biasanya kita mencurigai beberapa obat sebagai petunjuk yang kita
gunakan adalah mengetahui kronologis pemberian obat-obatan tersebut. Hanya obat-
obatan yang baru digunakan (8-21 hari) yang dimasukkan dalam daftar yang
dicurigai. Identifikasi yang jelas dari obat penyebab dan catatan tertulis tentang obat-
obat penyebab yang diberikan pada pasien oleh dokter merupakan langkah
pencegahan yang sangat penting. Pemberian obat spesifik (kortikosteroid, obat-
obatan imunosupresif/ terapi anti sitokin, immunoglobulin) seharusnya tidak
diberikan sesuai standar pemberian obat sebelum terdapat bukti efisiensi
penggunaannya terhadap pasien, kadang-kadang penggunaan obat-obatan tersebut
dapat berbahaya bagi pasien.9

2.7. PROGNOSIS
Pada dasarnya FDE akan menyembuh bila penyebabnya dapat diketahui dan
segera disingkirkan. Akan tetapi beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan-
kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven Johnson, prognosis dapat menjadi
buruk bergantung pada luas kulit yang terkena.1

2.8. KOMPLIKASI
Hiperpigmentasi adalah komplikasi yang paling mungkin dari FDE. Potensi
untuk infeksi ada dalam kasus lesi multipel erosi. Erupsi generaliata telah dilaporkan
setelah pengujian provokasi topikal dan oral
BAB III
KESIMPULAN

Fixed drug eruption (FDE) adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah
mukokutan yang terjadi akibat pemberian atau pemakaian jenis obat-obatan tertentu
yang biasanya dikarakteristik dengan timbulnya lesi berulang pada tempat yang sama
dan tiap pemakaian obat akan menambah jumlah dari lokasi lesi. Obat-obatan yang
paling sering menyebabkan FDE adalah kontrasepsi oral, barbiturat, fenolftalein,
fenasetin, salisilat, naproksen, nistatin, minosiklin, sulfonamide, tetrasiklin,
metronidazol, doriden, sulindac, tolmetin, maolate, bleomysin, busulfan, zidovudine,
klorpromasin, hidantoin, cyclofosfamid, klofasimin, antimalaria, prokarbasin,
doksorubisin.
FDE termasuk dalam reaksi tipe III dengan adanya reaksi kompleks antigen
antibodi. FDE dikarakteristik dengan 1 atau beberapa lesi eritematous. Lesi ini
seringkali timbul pada wajah dan daerah genital dan menyebabkan terjadinya luka
seperti luka bakar walaupun inflamasi akut sembuh secara perlahan-lahan tapi
hiperpegmentasi lokal akan menetap dengan pemaparan obat yang berulang, lesi akan
muncul kembali pada tempat yang sama. Diagnosis FDE berdasarkan anamnesis,
kelainan klinis, dan dapat pula dilakukan pemeriksaan khusus sebagai penunjang
dengan pemeriksaan histopatologi atau Patch Test.
Pengobatan FDE belum memuaskan, antara lain karena kesukaran dalam
memastikan penyebabnya. Pengobatan dibagi dalam pengobatan kausal dengan
menghindari obat tersangka, pengobatan sistemik dengan kortikosteroid dan
antihistamin, serta pengobatan topical. Identifikasi yang jelas dari obat penyebab dan
catatan tertulis tentang obat-obat penyebab yang diberikan pada pasien oleh dokter
merupakan langkah pencegahan yang sangat penting. Pada dasarnya FDE akan
menyembuh bila penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan.
Hiperpigmentasi adalah komplikasi yang paling mungkin dari FDE.
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ketiga.
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1999:139-142
2. DermNet Editorial Board. Fixed Drug Eruption. Available from URL:
www.dermnetnz.org/reaction/fixed-drug-eruption.html. Last updated : September
30, 2004.
3. Freedberg Irwin, Eisen Arthur, Wolff Klaus et al. Dermatology in General
Medicine, 5 th edition Vol. 1. McGrow Hill Companies, Inc. United States of
America,1999:1633-41
4. Seobaryo R, Suherman S. Erupsi Obat Alergik. Dalam: Sularsito Sri,dkk. Erupsi
Obat Alergik. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FKUI.1995:3-7,63-4
5. Thiers B. Disorders of Hyperpigmentation. In: Dermatologics Clinics. W.B
Saunders Company.2000:95-7
6. Arnold H, Odom R, James W. Contact Dermatitis in Drug Eruption. In: Diseases
of The Skin. 8 th edition. W.B Saunders Company.1990
7. Wolff K, Johnson RA, Suuemons D. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology. 5th ed. New York: McGraw Hill; 2007
8. Lever Walter, Schaumberg G. Eruptions Due to Drugs, In: Histopathology of The
Skin. J.B Lippincott Company.1983:259-61
9. Revuz Jean. Serious Drug Reactions. In : Abstracts IX International Congress of
Dermatology. May 19-22, 2004. Beijing China:5
10. Butler D. Fixed Drug Eruptions. http://emedicine.medscape.com/
article/1336702-overview. 2014

Anda mungkin juga menyukai