Anda di halaman 1dari 21

Keamanan Obat Anti-diabetes terhadap Sistem Kardiovaskular

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di antara


pasien dengan diabetes, sehingga menggaris bawahi pentingnya memilih obat-obatan
anti-diabetik yang tidak meningkatkan resiko kardiovaskular tetapi mungkin mengurangi
risiko kejadian kardiovaskular. Kebanyakan pasien diabetes tipe 2 meninggal karena
penyebab kardiovaskular meskipun ada efek menguntungkan dari obat-obatan pada
tekanan darah dan menurunkan lemak. Prevalensi pasien dengan penyakit jantung dan
diabetes mellitus tumbuh secara eksponensial. Sekitar 40% pasien yang dirawat di rumah
sakit dengan gagal jantung dengan penurunan curah jantung memiliki penyakit diabetes
mellitus. Percobaan terakhir yang dilakukan pada pasien dengan gagal jantung yang
menderita diabetes menunjukkan respon berbeda terhadap pengobatan standar, pasien-
pasien ini menjadi lebih rentan untuk mengalami efek samping dibandingkan pasien
gagal jantung dengan tingkat yang sama tetapi tanpa diabetes mellitus. Oleh karena itu,
hati-hati memilih terapi dengan memberikan perhatian khusus terhadap keamanan sistem
kardiovaskuler penting dalam mengoptimalkan terapi antidiabetes. Ulasan ini membahas
kemanjuran dan keamanan obat anti-diabetik yang paling sering diresepkan dalam
konteks dampak kardiovaskular.
Kata kunci : diabetes mellitus, agen anti-diabetik, penyakit kardiovaskular.

Intro
Diabetes mellitus tipe 2 (T2DM) adalah gangguan yang ditandai dengan resistensi insulin
dan penurunan progresif fungsi sel beta pankreas terkait dengan hiperglikemia. Gangguan
fungsi sel beta terjadi lebih dulu dan dapat dideteksi dalam individu dengan gangguan
kadar glukosa puasa dan/atau pasca prandial. The UK Prospective Diabetes Study
(UKPDS)1 menunjukkan bahwa pada saat T2DM didiagnosis, individu telah kehilangan
hingga 50% fungsi sel beta mereka. Penurunan fungsi terjadi sebesar 6% per tahun, yang
20 kali lebih besar daripada proses penuaan normal. Pengobatan pada T2DM didasarkan
pada karakteristik pasien yang saling mempengaruhi, tingkat keparahan hiperglikemia,
dan pilihan terapi yang tersedia. Metformin, sulfonilurea (SUs), dan tiazolidindion
(TZDs) adalah obat-obatan oral yang paling sering digunakan di seluruh dunia. Mereka
memainkan peran awal yang penting dalam algoritma pengobatan T2DM yang
direkomendasikan oleh American Diabetes Association (ADA) dan European
Association Study Diabetes (EASD).2 Metformin dianggap sebagai pengobatan lini
pertama kecuali jika tidak ditoleransi atau terdapat kontraindikasi. Terapi lini kedua
mencakup SUs, TZDs, inhibitor dipeptidylpeptidase-4 (DPP-4), dan glukagon peptida-1
(GLP-1) agonis. Meglitinid juga dikenal sebagai secretagogues nonsulfonilurea dan
disarankan sebagai alternatif terapi SU untuk pasien dengan waktu makan tidak teratur
atau lambatnya efek hipoglikemia pasca prandial dengan terapi SU. Sementara itu masih
belum dapat ditentukan apa saja efek kardiovaskular dari obat anti-diabetik, efek
peningkatan kontrol glikemik pada komplikasi kardiovaskular juga tidak dapat
dipungkiri, dan meskipun armamentarium yang besar dan berkembang dari obat-obatan
anti-diabetik, mayoritas pasien dari waktu ke waktu gagal untuk mencapai tujuan
perawatan yang direkomendasikan. Ahli jantung harus menimbang risiko kardiovaskular
dan risiko lainnya dibandingkan dengan manfaat ketika meresepkan obat-obatan. Oleh
karena itu, sangat penting untuk menentukan dengan jelas manfaat dan risiko agen anti-
diabetik saat ini.

Metformin
Metformin dianjurkan sebagai lini pertama obat untuk T2DM oleh kebanyakan panduan
internasional (Figure1). Pemilihan metformin daripada obat lain yang tersedia dilihat
berdasarkan kemanjurannya pada pengontrolan glukosa darah, tolerabilitas, dan
keamanannya.3 Selain itu, metformin memiliki efek menguntungkan pada beberapa faktor
risiko, termasuk lipid, berat badan dan tekanan darah (BP). 4 Studi percobaan juga telah
menunjukkan bahwa obat ini memiliki efek menguntungkan pada fibrinolisis dan
agregasi trombosit.5 Dalam perbandingan untuk agen anti-diabetik oral lain, metformin
dianggap sebagai pilihan awal yang terbaik, menghasilkan penurunan HbA1c lebih baik
daripada SUs tetapi tanpa risiko hipoglikemia.3 Pernyataan sikap dari EASD dan ADA
2012 merekomendasikan metformin sebagai dasar pengobatan untuk T2DM disamping
diet dan olahraga,2 sebuah sikap yang juga dianut oleh American Association of Clinical
Endocrinologists.6

Efikasi
Sampai saat ini, UKPDS adalah studi yang paling luas yang menilai metformin
dibandingkan dengan pengobatan lainnya. Studi ini bertujuan untuk mempelajari efek
kontrol glikemik dalam pencegahan komplikasi, terkait morbiditas dan mortalitas
diabetes non-insulin-dependen. Pasien dengan glukosa puasa diantara 6-15 mmol/L,
diberikan sulfonilurea, insulin, metformin secara acak (hanya pada pasien yang kelebihan
berat badan: indeks massa tubuh (BMI) 25-29 kg/m 2), atau diet. Selama 3 tahun,
metformin mencapai pengurangan glukosa plasma puasa dan HbA1c yang sama seperti
SUs atau insulin, tapi selain itu juga menurunkan kadar insulin plasma puasa dan tidak
menginduksi kenaikan berat badan (Tabel 1). Metformin dikaitkan dengan lebih sedikit
episode hipoglikemik bila dibandingkan dengan SUs atau insulin; meskipun khasiat
penurunan glukosa darah pada semua terapi intensif adalah sama dan hasil klinis yang
lebih unggul pada pasien secara acak menuju pada metformin. Secara khusus, manajemen
intensif glikemia dengan metformin, tetapi tidak dengan insulin atau SUs dengan
perlakuan diet, dikaitkan dengan penurunan risiko penyebab kematian yang signifikan,
kematian berkaitan dengan diabetes dan infark miokard (MI). Telah dipublikasi
sebelumnya pada analisis Cochrane juga melaporkan bahwa pengobatan dengan
metformin pada pasien diabetes dengan kelebihan berat badan berkaitan dengan
penurunan risiko kematian kardiovaskular yang dibandingkan dengan agen anti-diabetik
lain atau plasebo.7 Oleh karena itu, pada saat ini, keuntungan efek kardioprotektif pada
metformin lebih dari efek menurunkan glukosa adalah tantangan yang lebih besar.

Keamanan
Dampak kardiovaskular
Pasien diabetes memiliki risiko tinggi kejadian kardiovaskular, terutama dari penyakit
jantung koroner pada sekitar 3-fold.8 Meskipun telah berupaya mengendalikan gula darah
dan faktor risiko yang terkait, morbiditas dan mortalitas kardiovaskular tetap lebih tinggi
pada pasien diabetes daripada populasi lain. 9 Pengobatan yang tepat pada hiperglikemia
dianggap sebagai salah satu alat untuk mencegah penyakit kardiovaskular pada pasien
diabetes.10 Berbagai kelas obat telah terbukti efektif sebagai agen penurun glukosa,
setidaknya pada jangka pendek dan menengah; telah diusulkan bahwa beberapa molekul,
termasuk metformin, dapat memberikan perlindungan kardiovaskular diluar efek
menguntungkan peningkatan kontrol glukosa karena penurunan kolesterol total dan low-
density lipoprotein (LDL), trigliserida, berat badan, dan BP.11 UKPDS menunjukkan
metformin mengurangi risiko fatal komplikasi makrovaskular dibandingkan dengan
modalitas lain (Tabel 1). Studi ini menemukan bahwa manfaat yang diamati termasuk
penurunan 42% kematian berkaitan dengan diabetes (dibandingkan dengan diet saja,
P=0.017), pengurangan 36% semua penyebab kematian (P=0.011), 39% penurunan MI
(P=0.01), dan 32% pengurangan dalam setiap hasil akhir yang berkaitan dengan diabetes
(P=0.002). Mengikuti UKPDS, studi lain telah melaporkan perbaikan yang signifikan
dari semua penyebab kematian dan mortalitas kardiovaskular. Analisis retrospektif dari
data pasien di Saskatchewan, Kanada menyatakan pengurangan yang signifikan untuk
semua penyebab kematian, dan angka kematian kardiovaskuler masing-masing 40% dan
36%.12 PRESTO menunjukkan penurunan yang signifikan gejala klinis (28%), MI (69%)
dan semua penyebab kematian (61%).12 HOME melaporkan penurunan risiko
berkembangnya penyakit makrovaskular.13 Pada pasien non-diabetes dengan arteriografi
koroner normal juga dengan dua berturut-turut positif (ST depresi >1 mm) latihan tes
toleransi, dalam periode 8 minggu metformin meningkatkan maksimal segmen ST
depresi, skor Duke treadmill, dan insiden nyeri dada dibandingkan dengan plasebo. 14
Studi kohort retrospektif telah menunjukkan bahwa terapi metformin adalah pengobatan
yang aman pada pasien diabetes dengan gagal jantung.15 Pada pasien gagal jantung,
metformin dikaitkan dengan lebih rendahnya angka kematian dalam 1 tahun dan tingkat
rawat inap kembali dibandingkan dengan insulin atau SUs.16

Metformin terkait asidosis laktat


Metformin ini dianggap terapi lini pertama untuk pasien diabetes tipe 2. Namun,
metformin merupakan kontraindikasi pada individu dengan HF berat (New York Heart
Association, NYHA, kelas III-IV), karena perhatian pada asidosis laktat, 17 kondisi yang
serius, dengan perkiraan mortalitas sebesar 50%.18 Meningkatnya penggunaan radiografi
media kontras sebagai prosedur diagnostik dan prosedur intervensi nefropati yang
diinduksi kontras (CIN) telah menjadi penyebab penting gangguan ginjal iatrogenik akut.
Metformin tidak mempengaruhi CIN, tapi jika terdapat penurunan fungsi ginjal
sementara pasien dalam pengobatan metformin, terdapat risiko asidosis laktat, yang
mungkin bisa menjadi fatal dalam sejumlah besar kasus.19-21 Bukti pertama yang
berkembang dari laporan kasus pengobatan metformin. 22 Kekhawatiran tentang
keterkaitan metformin dengan asidosis laktat telah menyebabkan penghentian
penggunaan metformin sebelum angiografi diagnostik dan intervensi percutaneous
coronary. Bukti keamanan metformin telah dilaporkan dalam uji kontrol acak (the
Comparative Outcomes Study of Metformin Intervention Versus Conventional Approach
study), yang membandingkan hasil pada penderita diabetes yang mengkonsumsi
metformin selama 1 tahun (n=7227), untuk 'perawatan biasa', yaitu penderita diabetes
diperlakukan dengan sulfonilurea, TZD, insulin, atau obat lainnya selain metformin
monoterapi atau terapi kombinasi (n=1505).23 Tidak ada kasus asidosis laktat yang
dilaporkan dalam kelompok kedua. Menurut panduan dari the National Institute for
Health and Clinical Excellence di Inggris, metformin harus ditarik jika kreatinin serum
150mmol/L (Tabel 1), atau diperkirakan laju filtrasi glomerulus adalah, 30 mL/min/1.7
m2. 24 Rekomendasi waktu menghentikan metformin bervariasi, tergantung pada pedoman
yang dipelajari, dan biasanya penghentian dilakukan 48 jam sebelum prosedur, 24 jam
sebelum prosedur, atau pada hari prosedur.22 Data baru diperlukan untuk menentukan
apakah ada masalah yang signifikan dengan asidosis laktat pada pasien-pasien dengan
metformin yang menjalani angiografi koroner.

Sulfonilurea
Derivat sulfonilurea adalah kelas tertua agen anti-diabetik oral dan saat ini digunakan
sebagai lini kedua atau pengobatan pilihan untuk T2DM. Agen ini bekerja pada sel-sel
beta pankreas dengan mengikat adenosin trifosfat dependen kanal kalium yang
menyebabkan serangkaian peristiwa yang mengarah ke peningkatan sekresi insulin (Tabel
1). Sulfonilurea telah melalui beberapa langkah pengembangan dan dikategorikan
menjadi agen generasi pertama (klorpropamid, tolazamide, dan tolbutamida), agen
generasi kedua (glipizide dan glyburide), dan agen generasi ketiga (glimepiride). 25 Agen
generasi pertama memiliki waktu paruh lebih lama, peningkatan insiden hypoglikemia,
dan lebih banyak interaksi obat. Agen generasi kedua dan ketiga memiliki onset aksi
lebih cepat, waktu paruh lebih pendek dan lebih rendah insiden hipoglikemia. Akibatnya,
generasi-generasi tersebut memiliki perbedaan dalam farmakokinetik, khasiat, dan
keamanan.
Efikasi
Sulfonilurea dapat diharapkan untuk menurunkan glukosa darah puasa rata-rata 24
mmol/L disertai oleh penurunan HbA1c 1 2%.26 Dalam UKPDS, pengobatan dengan
SUs (glyburide atau klorpropamid) mencapai HbA1c <7% pada 50% pasien dalam 3
tahun.27 Meskipun respon awal ini mengesankan, hanya 34% pasien yang
mempertahankan HbA1c <7% dalam 6 tahun dan angka ini menurun menjadi 24% pada 9
tahun.27 Inisiasi pengobatan sulfonilurea pada pasien yang baru saja didiagnosis dengan
T2DM yang menunjukkan glukosa sewaktu >16.6 mmol/L dan HbA1c >910%
diperdebatkan. Karena kebutuhan insulin yang banyak, pasien dengan glukotoksisitas
yang menunjukkan kadar gula darah >16.6 mmol/L tidak mungkin untuk mencapai
glukosa terkontrol dengan monoterapi sulfonilurea dan terapi terbaik untuk pasien,
setidaknya pada awalnya, dengan terapi insulin. Setelah periode glikemik terkontrol
memadai, dapat dilakukan percobaan pemberian SUs untuk menggantikan terapi insulin,
sebagai monoterapi atau dalam kombinasi dengan metformin.28

Keamanan
Dampak kardiovaskular
Sulfonilurea telah melambangkan tulang punggung terapi oral pada T2DM; namun, ada
kontroversi dalam hal keamanan kardiovaskuler dari obat anti-diabetik ini. Pada awal
tahun 1970, laporan dari University Group Diabetes Program (UGDP) menyarankan
bahwa terapi tolbutamid tidak lebih efektif daripada diet saja dan dikaitkan dengan
peningkatan toksisitas kardiovaskular.29 Oleh karena itu, UGDP menghentikan terapi
sulfonilurea generasi pertama tolbutamid, karena peningkatan semua penyebab dan
mortalitas kardiovaskular dibandingkan dengan kelompok pengobatan lain. Beberapa ahli
untuk menyimpulkan bahwa SUs, dan terapi sekelasnya, yang terkait dengan peningkatan
mortalitas kardiovaskular, merupakan konsekuensi serius dari studi UGDP ini dan telah
menjadi kutukan terhadap penggunaan terapi dari seluruh kelas obat-obatan SUs.
Meskipun orang lain mengkritik desain dan analisis studi UGDP30, pertanyaan tentang
keamanan dan kemanjuran dari tolbutamida dan kelompok sulfonilurea lainnya obat
menjadi diangkat. Kemudian UKPDS menunjukkan bahwa pengobatan dengan SUs
menunjukkan kecenderungan ke arah perlindungan terhadap MI daripada augmentasi
angka kematian kardiovaskuler (Tabel 1).31 Namun, sebuah studi oleh Garratt et al.32
membuka kembali kontroversi ini pada sisi efek kardiovaskular dari SUs ketika mereka
menunjukkan peningkatan kematian dini pada 67 orang yang mengkonsumsi glyburid
sulfonilurea vs 118 yang menggunakan insulin atau hanya terapi gaya hidup saja. Studi
ini seperti mengutuk sulfonylureas sebagai agen terapeutik.32 Namun, critical reappraisal
dari studi ini mengungkapkan beberapa fakta yang menarik. Studi ini retrospektif,
pengacakan yang kurang, dan penggunaan sulfonilurea oleh pasien dalam studi ini tidak
spesifik. Sampel penelitian terlalu sedikit untuk mencapai keputusan tentang risiko
kardiovaskular sulfonilurea. Selain itu, di percobaan Rosiglitazone Evaluated for Cardiac
Outcomes and Regulation of Glycaemia in Diabetes (RECORD) insiden kejadian
kardiovaskular dengan glyburid yang tidak berbeda dengan rosiglitazone, yang kemudian
ditangguhkan pada beberapa negara, untuk mencukupi keamanan kardiovaskular.33 Selain
itu, kenaikan berat badan dari 2 kg sering terjadi dengan inisiasi terapi sulfonilurea. 34 Ini
mungkin memiliki dampak yang merugikan pada penyakit kardiovaskular. Akhirnya,
percobaan yang lebih kecil pada pasien dengan penyakit kardiovaskular menunjukkan
keunggulan yang jelas dari metformin daripada gliklazid.35

Dampak hipoglikemik
Perhatian utama yang kedua yang ditimbulkan sulfonilurea adalah hipoglikemia. 21
Hipoglikemia yang parah lebih mungkin terjadi pada long-acting sulfonilurea seperti
glyburid.36 Waktu timbulnya hipoglikemia cenderung mencerminkan farmakokinetik dari
sulfonilurea. Oleh karena itu, glyburid mempunyai kecenderungan untuk menyebabkan
antarprandial hipoglikemia, sedangkan klorpropamid cenderung untuk menginduksi
hypoglikemia di periode sebelum sarapan.36,37 Selain itu, mungkin saja hipoglikemia akut
yang disebabkan oleh sulfonilurea, dapat memicu iskemia dan serangan kardiovaskular.38
Hipoglikemia dan perubahan yang cepat glukosa darah telah ditunjukkan untuk
meningkatkan regulasi hormon seperti epinefrin dan norepinefrin, yang dapat
menyebabkan vasokonstriksi, agregasi trombosit, dan selanjutnya iskemia. 39 Oleh karena
itu, pilihan agen yang tepat agen sesuai dengan profil setiap pasien sangat penting untuk
mendapatkan manfaat yang maksimal (Figure1).
Meglitinid
Meglitinid secara struktural berbeda dari sulfonilurea dan mengerahkan efeknya pada
reseptor SUR-1, tetapi bekerja serupa dengan mengatur kanal kalium dependen ATP di
sel beta pankreas sehingga meningkatkan sekresi insulin. Dalam sejarah T2DM, respon
dari fase pertama glukosa yang merangsang insulin telah diamati. Hentakan awal insulin
penting untuk menekan glukoneogenesis hepatik di periode pasca prandial. Jika
mekanisme ini gagal, pasca prandial hiperglikemia akan lebih parah dan tingkat HbA1c
juga akan terpengaruh. Meglitinide dikembangkan untuk mengatasi masalah ini. Mereka
mengikat reseptor SUR-1 dalam banyak cara yang sama seperti sulfonilurea. Namun,
tindakan ini diperantarai sisi ikatan yang berbeda dengan 'reseptor sulfonilurea' pada sel
beta dan obat-obatan ini memiliki karakteristik yang agak berbeda bila dibandingkan
dengan sulfonilurea. Tidak seperti sulfonilurea yang biasa digunakan, meglitinid memiliki
onset of action yang sangat pendek dan waktu paruh yang pendek. Waktu paruh yang
pendek pada obat ini mempotensiasi efek dari tahap pertama sekresi insulin, tetapi efek
pada tahap kedua tidak dapat dipertahankan.40 Saat ini obat di kelas ini termasuk derivatif
asam benzoat repaglinid, disetujui pada tahun 1997 dan nateglinid, turunan D-
fenilalanina, disetujui pada tahun 2000.41 Mereka harus diberikan setengah jam sebelum
makan dan salah satu keuntungannya adalah bahwa mereka dapat digunakan pada pasien
insufisiensi ginjal.

Efikasi
Karena glukosa sensitif terhadap pelepasan insulin, meglitinid lebih jarang menyebabkan
hipoglikemia dibandingkan dengan sulfonilurea. Repaglinid telah terbukti untuk
meningkatkan kontrol glikemik daripada plasebo dalam beberapa percobaan acak, uji
double-blind.41 Uji double-blind percobaan acak, dengan dosis tetap pada 361 pasien
dengan latar belakang diet dilakukan lebih dari 24 minggu. Setelah periode washout,
subyek mendapatkann repaglinid 1 atau 4 mg dengan makanan, atau plasebo. 42 Dari nilai
dasar 8,7%, HbA1c meningkat sebesar 1,4% pada kelompok yang mendapat plasebo,
sementara itu terdapat penurunan 0,7 dan 0,5% pada kelompok repaglinid 1 dan 4 mg (P
<0.001). Repaglinid dan nateglinid monoterapi dibandingkan selama 16 minggu pada
subjek dengan diet yang tidak terkendali dan olahraga. Penurunan nilai-nilai HbA1c dari
nilai dasar ini secara signifikan lebih besar untuk repaglinid daripada nateglinid (1,57 vs
1,04%), dan repaglinide memberi efek lebih jelas dalam mengurangi glukosa darah puasa
dan sekresi glukagon, dengan tidak ada perbedaan pada glukosa pasca prandial dan
sekresi insulin.43 Studi yang berbeda telah membandingkan efektivitas meglitinid dan
sulfonilurea atau meglitinides dan metformin. Studi membandingkan efek 270 mg
nateglinid (n=16) dengan 20 mg gliklazid (n=8) di sebuah penelitian prospektif dalam 12
minggu menemukan bahwa gliklazid sedikit lebih efektif daripada nateglinid (HbA1c
0,2% lebih rendah daripada kelompok gliklazid).44 Dalam sebuah studi multicentre selama
24 minggu, nateglinid 360 mg sama efektifnya dengan metformin 500 mg tiga kali sehari
dalam hal pengurangan kadar HbA1c (-0,8% pada kedua kelompok).45

Keamanan
Dampak kardiovaskular
Repaglinid belum terbukti memiliki keterkaitan dengan peningkatan mortalitas dan risiko
kardiovaskular dibandingkan dengan metformin pada kelompok besar pasien diabetes
dengan atau tanpa MI sebelumnya. 46 Dalam studi acak tidak terkontrol yang melibatkan
112 pasien dengan T2DM tidak terkontrol yang sebelumnya tidak diobati dengan agen
hipoglikemik oral, penggunaan repaglinid dikaitkan dengan perbaikan dalam beberapa
parameter risiko kardiovaskular seperti homosistein, plasminogen aktivator inhibitor dan
lipoprotein.47 Dilaporkan sebelumnya percobaan acak terkontrol dalam pencegahan
diabetes, studi Nateglinid dan Valsartan in Impaired Glucose Tolerance Outcomes
Research (NAVIGATOR), menunjukkan tidak ada efek yang menguntungkan dari
nateglinid dalam menghentikan perkembangan dari prediabetes menjadi diabetes
dibandingkan dengan plasebo.48 Studi NAVIGATOR secara acak melibatkan 9306 subyek
dewasa dengan gangguan toleransi glukosa (IGT) dan penyakit kardiovaskular atau faktor
risiko kardiovaskular akan menerima plasebo atau nateglinid (60 mg sebelum makan, tiga
kali sehari), bersama dengan studi-spesifik program modifikasi gaya hidup. 48 Studi
melaporkan bahwa 36.0% dari peserta dalam kelompok nateglinid berkembang menjadi
diabetes, sementara 33.9% pada kelompok plasebo berkembang menjadi diabetes setelah
rata-rata follow up 5.0 tahun (P=0.05). Dibandingkan dengan plasebo, nateglinid
menurunkan glukosa puasa 0,03 mmol/L, tetapi meningkatkan glukosa 2 jam pasca
prandial sebanyak 0.24 mmol/L. Selain itu, 10% dari semua peserta kehilangan 5% dari
berat awal mereka dengan 6 bulan; namun, kelompok nateglinid secara keseluruhan
memiliki rata-rata berat badan yang lebih tinggi berarti sepanjang seluruh penelitian
(perbedaan rata-rata 0.35 kg, P<0.001). Agen ini merangsang sekresi insulin dengan
waktu paruh yang sangat pendek, yang memberikan keuntungan tidak menyebabkan
hipoglikemia berlebihan, kenaikan berat badan yang signifikan dan hiperinsulinemia
kronis, yang lebih sering terjadi dengan sulfonilurea.

Tiazolidindion
Tiazolidindion pertama kali dilaporkan sebagai obat pengsensitisasi insulin pada awal
1980-an oleh perusahaan farmasi Takeda,49 tapi mekanisme kerja mereka tetap menjadi
misteri sampai pertengahan 1990-an. Penemuan TZDs sebagai PPAR afinitas tinggi
adalah terobosan besar dalam farmakologi PPAR.50 Tiazolidindion (juga disebut
glitazon) adalah insulin-sensitizers ampuh yang efisien meningkatkan kontrol glikemik
pada pasien T2DM. Tiga jenis TZDs yang telah disetujui FDA untuk diabetes:
troglitazon, rosiglitazon, dan pioglitazon. Namun, meskipun jelas manfaatnya dalam
kontrol glikemik, kelas obat ini baru saja menjadi tidak digunakan karena keprihatinan
atas efek samping mereka. Kebangkitan dan jatuhnya TZDs ditunjukkan oleh
penggunaannya dalam kunjungan Ambulatori diabetes: dari 6% pada tahun 1997 menjadi
41% pada tahun 2005 dan sampai 16% pada tahun 2012.51

Efikasi
Troglitazon diperkenalkan pada tahun 1997 tetapi ditarik dari pasar pada tahun 2000
karena peningkatan risiko gagal hati dari fulminan hepatitis.52 Rosiglitazon dan
pioglitazon disetujui FDA pada tahun 1999, tetapi pioglitazon telah menjadi TZD pilihan
untuk alasan dijelaskan di bawah ini. Tiazolidindion menurunkan Hb1c secara efektif
sebesar 1% sebagai monoterapi T2DM, dimana tidak menimbulkan hipoglikemia seperti
insulin atau insulin secretagogues (seperti sulfonilurea), dan mereka dapat digunakan
untuk kombinasi dengan agen anti-diabetik lain. 53 Obat lini pertama metformin sering
disebut sebagai sensitizer insulin, tetapi pengaruhnya yang utama adalah penekanan
produksi glukosa di hepar, sedangkan efek pada sensitivitas insulin di perifer cukup kecil,
di seluruh variabel penelitian, dan hadir di meta-analisis.54 Pada analisis yang sama, TZDs
memiliki efek yang besar dan konsisten dalam meningkatkan sensitivitas insulin. Selain
itu, percobaan acak terkontrol ADOPT menunjukkan rosiglitazon memperlihatkan kontrol
glikemik yang lebih tahan lama daripada metformin atau sulfonilurea. 55 Sensitisasi insulin
juga menjadi mekanisme dimana TZDs mencegah atau menunda perkembangan T2DM
pada individu dengan pra-diabetes. Studi ACT NOW melibatkan 602 pasien dengan IGT,
pioglitazon menurunkan perubahan pre-diabetes menjadi T2DM sebesar 74% lebih dari
2,4 tahun.56 Studi sebelumnya pasien dengan pra-diabetes menunjukkan bahwa
troglitazon57 atau rosiglitazone58 juga menunjukkan penurunan perkembangan diabetes.
Karena TZDs dikenal sebagai insulin sensitizers yang paling ampuh, pasien dengan TZDs
akan membutuhkan insulin eksogen dan endogen yang lebih sedikit untuk
mempertahankan euglikemia. Memang, pasien yang menggunakan insulin yang mulai
mengkonsumsi TZDs biasanya mengurangi dosis insulin mereka atau bahkan
menghentikan suntikan insulin.59

Keamanan
Dampak kardiovaskular
Ada perhatian yang lebih besar pada rosiglitazon dibandingkan dengan pioglitazon.
Analisis data retrospektif dari >225 000 pasien60 menyimpulkan bahwa penggunaan
rosiglitazon dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke, gagal jantung, dan kematian
pada pasien berusia 65 tahun atau lebih tua (Figure 1). Atas dasar risiko lebih besar
daripada manfaatnya, penggunaan rosiglitazon dibatasi di Amerika Serikat untuk pasien
dengan T2DM yang tidak efektif diperlakukan dengan obat lain. Pada akhir 2013, FDA
meningkatkan pembatasan mereka berdasarkan hasil dari catatan uji klinis (Rosiglitazone
Evaluated for Cardiovascular Outcomes and Regulation of Glycemia in Diabetes), yang
gagal untuk mereproduksi hasil dari 2007 meta-analisis dan menunjukkan ada
peningkatan risiko serangan jantung atau kematian pada pasien yang diobati dengan
rosiglitazon vs obat diabetes.61 Selain itu, pada uji klinis PROspective pioglitAzone
Clinical Trial In macroVascular Events (PROactive), pengobatan pioglitazone secara
non-statistik menghasilkan pengurangan risiko yang signifikan sebesar 10% untuk hasil
akhir primer (semua sebab kematian, MI, sindrom koroner akut (ACS)) dan 16%
pengurangan yang signifikan secara statistik untuk hasil akhir sekunder (kematian, MI,
dan stroke) setelah rata-rata 34,5 bulan di 5238 pasien T2DM dengan penyakit
kardiovaskular (CVD) (Tabel 1).62 Perbedaan yang potensial pada risiko gagal jantung
antara pioglitazon dan rosiglitazon mungkin terletak pada perbedaan efek pada
lipoprotein, dengan pioglitazone menunjukkan efek yang lebih menguntungkan
(trigliserida menurun 15%, high-density lipoprotein (HDL) kolesterol meningkat sebesar
10%, dengan tidak ada efek LDL atau kolesterol total) daripada rosiglitazon (tidak
berpengaruh pada trigliserida, kolesterol HDL meningkat sebesar 10%, tetapi ada
peningkatan 5 10% LDL dan kolesterol total). 63 Perbedaan pada lipid ini mungkin
mencerminkan PPAR agonis lebih lemah dari pioglitazone. 64 Hal ini dan marker risiko
gagal jantung mendukung pioglitazone, dan dua studi langsung mengukur plak
ateroskleoris pada pasien dengan T2DM menunjukkan manfaat dari pioglitazone
dibandingkan dengan glimepirid sulfonilurea. Di studi CHICAGO, pioglitazon
memperlambat perkembangan ketebalan karotid intima media (CIMT), 65 sementara di
PERISCOPE, pioglitazon benar-benar menyebabkan regresi volume ateroma koroner
yang dinilai dengan USG intravaskuler.66 Dalam studi ACT NOW yang mempelajari
pasien dengan pra-diabetes, pioglitazon juga menurunkan perkembangan CIMT.67
Meskipun ada manfaat kardiovaskular yang mengesankan dengan terapi pioglitazon,
penggunaannya juga telah menurun tajam, kemungkinan karena ' kesalahan oleh asosiasi'
dengan rosiglitazon dan deskripsi risiko baru untuk patah tulang dan kanker kandung
kemih.

Kenaikan berat badan pada tiazolidindion: retensi cairan dan edema


Kenaikan berat badan 1 3 kg sering terjadi pada pasien yang mengkonsumsi TZDs
jangka panjang ketika digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan agen anti-diabetik
lainnya. Kenaikan berat lebih dari 4-5 kg mungkin terjadi, namun jika TZD digunakan
dalam kombinasi dengan pengobatan insulin. Dalam sebuah studi 52 minggu
membandingkan rosiglitazon dengan sulfonilurea (gliburid, rata-rata dosis 7,5 mg/d),
rata-rata kenaikan berat badan 1,9 kg telah diamati pada kelompok sulfonilurea dan
kelompok rosiglitazone dengan dosis harian 4-mg dan 2,9 kg berat badan telah diamati
pada kelompok rosiglitazon 8mg perhari.68 Kenaikan berat badan serupa telah diamati
ketika rosiglitazon dikombinasikan dengan metformin. Ketika ditambahkan ke terapi
insulin, kenaikan berat badan mungkin lebih dramatis. Setelah 6 bulan pengobatan,
kenaikan berat 4,1 dan 5,4 kg yang muncul ketika rosiglitazone pada 4 mg dan dosis
harian 8 mg, ditambahkan ke insulin (rata-rata dosis 70 U/d), dibandingkan dengan
kenaikan berat badan 1 kg pada pasien yang hanya diberi insulin saja. 69 Peningkatkan
serupa telah diamati pada pioglitazon, baik sebagai monoterapi atau dalam kombinasi
dengan agen anti-diabetik lain.70 Dokter paling sering melihat edema akibat terapi TZD
ketika TZDs digunakan dalam kombinasi dengan insulin. Sebagai contoh, rosiglitazon 4
atau 8 mg per hari dalam kombinasi dengan insulin dikaitkan dengan 13.1 dan 16.2%
kejadian edema, dibandingkan dengan 4,7% pada pengkonsumsi insulin saja. 71
Pioglitazon 15 atau 30 mg perhari pada kombinasi dengan insulin mengakibatkan
gabungan 15,3% kejadian edema, dibandingkan dengan 7,0% dengan insulin saja. 72 Oleh
karena itu, insiden edema lebih tinggi ketika salah satu TZDs dikombinasikan dengan
insulin dibandingkan dengan agen anti-diabetik lain (Tabel 1). Pasien harus
diinstruksikan untuk memantau untuk berat badan atau munculnya edema. Oleh karena
itu, pasien dengan NYHA fungsional kelas III atau IV gagal jantung seharusnya tidak
menerima TZDs.21

GLP-1
Inkretin adalah hormon usus yang memperkuat sekresi insulin setelah konsumsi yang
tergantung pada glukosa. Dua studi terbaik inkretin, insulinotropik polipeptida glukosa
dependen dan GLP-1, mengerahkan tindakan insulinotropik mereka melalui reseptor G-
protein-coupled tinggi diekspresikan pada sel-sel beta.73 Sebagai tambahan GLP-1
menekan pelepasan glukagon dari sel alfa pankreatik, suatu tindakan yang cenderung
dimediasi melalui pelepasan lokal somatostatin dari sel-sel islet .74 Ada dua pendekatan
saat ini untuk meningkatkan endogen GLP-1 tindakan di vivo. Pendekatan pertama
melibatkan inkretin mimetik, dimana GLP-1 analog yang meniru efek GLP-1 tetapi tahan
terhadap degradasi oleh DPP-4. Komponen di kelas ini meliputi exenatid dan liraglutid.
Pendekatan yang kedua adalah untuk menghasilkan zat yang meningkatkan waktu paruh
GLP-1 endogen. Agen di kelas ini termasuk inhibitor DPP-4 yang memperkuat hormon
inkretin dengan menghambat enzim yang berperan dalam degradasi mereka. 75 Saat ini ada
lima GLP-1 reseptor agonis disetujui untuk digunakan pada tipe 2 diabetes: exenatid dua
kali sehari/minggu, liraglutid sekali sehari, albiglutid sekali/minggu, lixisenatid sekali
sehari dan dulaglutide sekali suntikan/minggu. 76 Ketika memilih agen yang paling sesuai,
tinjauan komprehensif semua data menunjukkan bahwa exenatid dan liraglutid
tampaknya masih memperlihatkan HbA1c terbaik dan penurunan berat badan,77 agen
yang dikonsumsi sekali seminggu dapat menyebabkan lebih sedikit efek GI dibandingkan
dengan sekali setiap hari atau dua kali sehari.

Efikasi
GLP -1 agonis exenatid
Exenatide meningkatkan kontrol glikemik terutama dengan mengurangi hiperglikemia
postprandial, dengan pengurangan kadar glukosa plasma puasa.78 Ciri yang menonjol dari
T2DM adalah pengurangan yang signifikan dalam sekresi insulin tahap pertama, insulin
biasanya dikeluarkan oleh sel beta pankreas dalam jarak 10 menit setelah peningkatan
konsentrasi glukosa plasma secara tiba-tiba. Exenatid telah ditampilkan untuk
memulihkan sekresi insulin tahap pertama dan tahap kedua sebagai respon pada bolus
glukosa pada pasien dengan T2DM.79 Efektivitas dan keamanan exenatid telah dinilai
dalam uji kontrol plasebo. Semua percobaan melibatkan pasien dengan tingkat HbA1c
7,5-11% dan BMI.25 kg/m2. Dalam uji kontrol plasebo, exenatide menghasilkan
peningkatan kontrol glikemik yang tergantung dengan dosis. Kemanjuran exenatid
sebagai monoterapi (5 dan 10 mikrogram dua kali sehari) dieksplorasi pada studi
sebelumnya, yang menunjukkan bahwa tingkat HbA1c menurun terus selama 12 minggu
pengobatan dan tetap stabil 0,7 dan 0,9% di bawah nilai dasar.80 Secara khusus, exenatid
menurunkan kadar glukosa postprandial setelah sarapan dan makan malam untuk yang
jauh lebih baik daripada setelah makan siang. Waktu paruh agen ini terlalu pendek untuk
injeksi pra-sarapan untuk juga mencakup glukosa yang berhubungan dengan makan
siang. Dalam studi lain, di mana exenatid (10 mikrogram dua kali sehari) dikombinasikan
dengan metformin atau sulfonilurea, memberi perbaikan yang serupa pada HbA1c,
dengan nilai-nilai yang stabil 0,8-0,9% di bawah nilai dasar.81,82 Dalam studi exenatid-
sulfonilurea, 41% pasien mencapai HbA1c <7.0%. Kombinasi keduanya juga disebabkan
penurunan progresif berat badan.82

GLP-1 agonis liraglutid


Liraglutid mempengaruhi sekresi kedua sel-sel pankreatik, sel beta dan alfa. Efek yang
paling penting adalah stimulasi sekresi insulin glukosa-dependen dan mengurangi sekresi
glukagon oleh sel alfa pankreas dan produksi glukosa hepatik. 83 Efektivitas klinis
liraglutid sedang dievaluasi Liraglutide Effect and Action in Diabetes atau program
LEAD. Program LEAD telah membandingkan liraglutid dengan kelas-kelas obat-obatan
antidiabetes yang banyak digunakan dalam serangkaian acak, double-blind, terkendalik,
26 minggu studi pada 3800 pasien dengan T2DM dan glukosa darah tidak terkontrol
dengan terapi oral standar.84 Data dari studi ini menunjukkan bahwa penambahan
liraglutid secara terus-menerus sebagai obat anti-diabetik oral dapat secara signifikan
meningkatkan kontrol glikemik sama baiknya dengan penurunan berat badan pada pasien
T2DM yang sebelumnya tidak terkendali. 85 Liraglutide 3.0 mg sehari telah terbukti
berakibat mempertahankan penurunan berat badan, meningkatkan faktor risiko
kardiovaskular dan peningkatan kontrol glikemik pada individu yang gemuk. 86 Oleh
karena itu, hal ini juga memiliki potensi nilai klinis untuk pengobatan obesitas (Figure1).
Seluruh program percobaan LEAD, secara keseluruhan tingkat kejadian hipoglikemia
yang diamati pada pasien dengan T2DM yang diterapi dengan liraglutid pada umumnya
rendah.87

Keamanan
Dampak kardiovaskular
Penelitian pada rekombinan asli GLP-1 telah menunjukkan manfaat kardiovaskular
termasuk mengurangi aritmia, peningkatkan fungsi ventrikel kiri dan meningkatkan
fungsi endotel, pada pasien dengan atau tanpa diabetes dan penyakit jantung koroner dan
gagal jantung kronis.88 Di samping itu, potensi penurunan risiko CVD telah dilaporkan
dengan pengobatan berbasis inkretin pada pasien dengan T2DM.89 Studi klinis pada
pasien T2DM menunjukkan GLP-1 reseptor agonis melindungi terhadap faktor risiko
kardiovaskular non-glikemik dibandingkan dengan plasebo dan agen standar anti-
diabetik. Analisis retrospektif pada data yang kemungkinan memiliki insiden
kardiovaskular selama periode 1 - 4-tahun antara pasien yang diterapi exenatid dua kali
sehari dibandingkan dengan agen penurun glukosa lainnya. 90 Selain itu, infus exenatid
(0,12 pmol/kg/menit) untuk 6 jam selama dua hari berturut-turut pada pria dengan T2DM
dan gagal jantung menyebabkan peningkatan secara signifikan indeks jantung (P=0.003)
dan penurunan tekanan kapiler paru (P=0.001) dibandingkan dengan plasebo.91 Selain itu,
studi klinis pasien dengan T2DM telah dimeriksa pengurangan BP, lipid, berat badan, dan
resiko kardiovaskular biomarker, dalam respon terapi dengan liraglutid atau exenatid.92

Dipeptidylpeptidase-4 inhibitor
Dipeptidylpeptidase-4 inhibisi pertama kali disetujui untuk penggunaan klinis pada tahun
2006 dengan sitagliptin inhibitor DPP-4, dan setelah itu beberapa inhibitor DPP-4 lainnya
telah diperkenalkan ke dalam praktek klinis. Semua agen oral yang dikonsumsi sekali
atau dua kali setiap hari dan juga dikembangkan untuk sekali seminggu. Agen ini
mengurangi kadar glukosa darah puasa dan hiperglikemia pasca prandial, memiliki resiko
yang rendah untuk kejadian hipoglikemia dan berat badan tetap.21,93 Perbedaan inhibitor
DPP-4 adalah dalam metabolisme mereka (saxagliptin dan vildagliptin dimetabolisme di
hati sementara sitagliptin tidak), ekskresi mereka, dosis yang dianjurkan dan dosis harian
yang diperlukan untuk pengobatan yang efektif. Mereka serupa, namun jika
membandingkan keampuhan mereka dalam menurunkan tingkat HbA1c, profil keamanan
dan toleransi pasien.94 Dipeptidylpeptidase-4 inhibitor memiliki mekanisme kerja yang
berbeda dari agen penurun glukosa oral lainnya. Dipeptidylpeptidase-4 adalah enzim
yang secara luas diekspresikan ke seluruh tubuh dan berlimpah di dalam sel-sel endotel.
Mekanisme utama inhibisi DPP-4 adalah dalam pencegahan inaktivasi GLP-1 dalam
sirkulasi perifer, peningkatan GLP-1 dalam sirkulasi yang menghasilkan peransangan
sekresi insulin menghambat sekresi glukagon.

Efikasi
Kemanjuran inhibitor DPP-4 pada HbA1c sebagai monoterapi atau dikombinasi dengan
agen anti-diabetik oral lain diuji dalam berbagai uji yang berlangsung 12-52 minggu.
Pengobatan T2DM dengan sitagliptin dan vildagliptin >12 minggu dibandingkan dengan
plasebo dan obat anti-diabetik oral lain menunjukkan penurunan kadar HbA1c sebesar
0,74%. Hasil ini membuktikan bahwa DPP-4 inhibitor itu hanya sedikit kurang efektif
dibandingkan sulfonilurea dan efektif seperti metformin dan TZDs dalam hal mengurangi
kadar glukosa darah.94 Studi tentang pengaruh inhibitor DPP-4 pada berat badan pasien
menunjukkan variabel hasil tetapi yang sebagian besar dianggap sebagai netral (Figure1).
Penelitian mengenai pengobatan dengan sitagliptin menunjukkan variabilitas sekitar 1,5
kg penurunan berat badan dalam 52 minggu terapi dan 1.8 kg peningkatan berat badan
dalam 24 minggu terapi. Studi mengenai pengobatan dengan vildagliptin menunjukkan
variabilitas sekitar 1.8 kg penurunan berat badan dan 1.3 kg peninngkatan berat badan
dalam 24 minggu terapi. Dalam suatu meta-analisis berbagai studi mengenai pengobatan
dengan ketiga DPP-4 inhibitor, efek berat badan pada kelompok obat ini adalah netral.95

Keamanan
Dampak kardiovaskular
Profil lipid merupakan faktor risiko kardiovaskular yang penting pada T2DM. Dua puluh
pasien dengan T2DM dan indeks massa tubuh antara 28 dan 40 kg/m 2 diinklusikan dan
secara acak mendapatkan vildagliptin 100 mg atau plasebo.96 Hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa inhibisi DPP-4 meningkatkan mobilisasi lipid pasca prandial dan
oksidasi yang memberikan kontribusi untuk mengurangi risiko kardiovaskular. Dalam
percobaan EXAMINE trial (EXamination of cArdiovascular outcoMes with alogliptIN, 97
5380 pasien dengan T2DM dengan MI akut atau unstable angina dengan riwayat rawat
inap sebelumnya dalam waktu 1590 hari secara acak diberikan alogliptin atau plasebo
dan di follow up selama 1.5 tahun. Pengobatan dengan alogliptin tidak menunjukkan hasil
gabungan yang lebih baik dari hasil akhir primer termasuk penyebab kematian
kardiovaskular, non-fatal MI, dan non-fatal stroke. Demikian pula, dalam percobaan
SAVOR-TIMI (Saxagliptin Assessment of Vascular Outcomes Recorded in Patients with
Diabetes Mellitus-Thrombolysis in Myocardial Infarction), 98 16492 pasien dengan T2DM
dan dengan riwayat atau beresiko serangan CV diikuti selama 2.1 tahun dan secara acak
diberi saxagliptin atau plasebo. Konsisten dengan hasil dari EXAMINE, tidak ada
perbaikan dalam hasil kardiovaskular yang diamati dalam kelompok pengobatan yang
dibandingkan dengan pasien yang diberi plasebo. Itu harus dicatat bahwa rata-rata
periode follow up pada EXAMINE dan SAVOR-TIMI adalah 1.5 dan 2.1 tahun dan
follow up yang lebih lama lagi mungkin diperlukan untuk mengkonfirmasi hasilnya lebih
lanjut. Akhirnya, hasil dari TECOS (Trial to Evaluate Cardiovascular Outcomes after
Treatment with Sitagliptin) telah menjelaskan bahwa peningkatan risiko HF adalah bukan
efek dari DPP-4 inhibitor.99 Di TECOS, 14671 pasien diberikan sitagliptin atau plasebo
disamping terapi anti-diabetik mereka saat ini. Dengan demikian, ketiga percobaan
menunjukkan bahwa inhibitor DPP-4 pada dasarnya tidak hanya aman dari sudut pandang
kardiovaskular tetapi juga tidak meningkatkan hasil akhir kardiovaskular setidaknya
dalam jangka pendek.

Natrium glukosa kotransporter 2 inhibitor


Natrium glukosa kotransporter 2 (SGLT-2) adalah inhibitor adalah obat-obatan anti-
diabetik kelas baru dengan mekanisme kerja baru. Mereka mengurangi reabsorpsi
glukosa ginjal di tubulus proksimal, menyebabkan ekskresi glukosa urin meningkat. 100
Agen pertama yang disetujui pada T2DM adalah dapagliflozin, pada akhir 2012, segera
diikuti oleh kanagliflozin, dan baru-baru ini empagliflozin; ketiganya saat ini disetujui di
Amerika Serikat dan Uni Eropa.101 Tidak seperti kebanyakan terapi saat ini, mekanisme
kerja SGLT-2 inhibitor adalah independen sekresi atau kerja insulin sehingga tidak
tergantung fungsi sel beta. Hal ini menunjukkan bahwa SGLT-2 inhibitor mungkin efektif
di seluruh setiap tahap perkembangan penyakit dan memiliki risiko rendah untuk
hipoglikemia.21

Efikasi
Ketiga SGLT-2 inhibitor yang diterima menginduksi hilangnya glukosa urin 40 80
g/hari, terkait dengan khasiat menurunkan kadar glukosa darah yang baik pada T2DM
(pengurangan HbA1c 0,7-0,8% dari HbA1c awal 8,0%) dan menurunkan berat badan 2-3
kg.102,103 Dalam suatu meta-analisis yang besar yang termasuk data dari percobaan SGLT-2
inhibitor yang sebagian besar melibatkan dapagliflozin dan kanagliflozin, efek yang
menguntungkan pada mengurangi HbA1c diamati dengan perbedaan berarti 0,7% jika
dibandingkan dengan plasebo.104 Empagliflozin baru-baru ini telah disetujui untuk
digunakan pada pasien T2DM. Dalam sebuah studi pasien T2DM yang terkontrol dengan
metformin saja, HbA1c meningkat rata-rata 0,57% dengan empagliflozin 10 mg dan
0,64% dengan empagliflozin 25 mg dalam 24 minggu (keduanya P0.001 vs plasebo). 105
Ketika empagliflozin diselidiki sebagai terapi tambahan untuk metformin dan
sulfonilurea dan pioglitazone dengan atau tanpa metformin, diperoleh hasil yang sama. 105
Selain itu, dalam sebuah studi jangka panjang selama 78-minggu, empagliflozin 10 dan
25 mg sebagai tambahan terapi untuk pasien dengan pengobatan insulin basal
mengakibatkan penurunan berat badan yang signifikan vs plasebo (2.2 vs. 0.7 kg;
P0.01).106 Dapagliflozin juga dikaitkan dengan penurunan berat badan vs kenaikan berat
badan yang diperoleh dengan pemberian glipizid selama 52 minggu pada pasien yang
tidak terkontrol dengan metformin (3.2 vs 1.4 kg untuk dapagliflozin vs glipizid;
P0.0001).107 Pada pasien dengan penyakit ginjal kronis, kemanjuran cenderung menjadi
berkurang dan perhatian pada keamanannya dapat dipikirkan.108

Keamanan
Dampak kardiovaskular
Terapi natrium glukosa kotransporter 2 inhibitor dapat dipertimbangkan pada pasien
T2DM dengan gagal jantung kronis dengan kurangnya fraksi ejeksi (HFREF), karena
bagian dari mekanisme SGLT-2 inhibitor salah saunya adalah diuresis, yang mengarah ke
penurunan preload. Penurunan preload ini sering diperlukan pada pasien dengan
HFREF.109 Manfaat kardiovaskular yang lain pada SGLT-2 inhibitor adalah penurunan BP,
karena diuresis osmotik. Penurunan tekanan darah sistolik 3-5 mmHg dan 2 mmHg
penurunan diastolik telah terlihat tanpa adanya peningkatan kompensasi denyut
jantung.110 Meta-analisis pada 27 sampel acak terkontrol menunjukkan bahwa SGLT-2
inhibitor mengakibatkan penurunan tekanan darah sistolik sebesar 4.0 mmHg dan
diastolik sebesar 1.6 mmHg.110 Hal yang juga relevan untuk menilai keselamatan CV
adalah profil lipid plasma; itu berarti kanagliflozin (dan SGLT-2 inhibitor lainnya) sedikit
meningkatkan kadar kolesterol HDL dan LDL.111 Peningkatan ini meningkatkan kedua
lipoprotein yang mungkin sebagai konsekuensi dari hemokonsentrasi dan mungkin
memberi peningkatan yang tidak berarti pada risiko CV. Natrium glukosa cotransporter 2
inhibitor telah menunjukkan efek menguntungkan pada faktor-faktor risiko CV seperti
BP, lipid, HbA1c, dan berat badan. Apakah manfaat ini dapat diartikan ke dalam reduksi
jangka panjang dari kejadian CV masih tidak diketahui. Menurut pengetahuan saat ini
dari suatu uji klinis meta-analisis, termasuk Canagliflozin Cardiovascular Assessment
Study (CANVAS), menunjukkan bahwa kanagliflozin tidak meningkatkan risiko CV
secara keseluruhan.112 Terutama, pada pasien tanpa penyakit CV, pasien yang diberi terapi
kanagliflozin secara perhitungan lebih baik daripada terapi komparator yang berhubungan
dengan kejadian CV. CANVAS sedang melakukan percobaan untuk mengevaluasi
kejadian CV dengan menggunakan kanagliflozin pada penderita diabetes dengan risiko
tinggi CV dan diharapkan selesai pada tahun 2018.113 Efek kardiovaskular dari
dapagliflozin saat ini sedang dipelajari dalam percobaan Multicenter Trial to Evaluate the
Effect of Dapagliflozin on the Incidence of Cardiovascular Events (DECLARE-TIMI58),
hasilnya diharapkan akan dirilis pada 2019.114 Diambil bersama-sama, bukti-bukti yang
akan menentukan keseluruhan keseimbangan antara manfaat dan risiko kelas obat baru
ini diantisipasi dalam 5 tahun mendatang.

Kesimpulan
Dampak agen anti-diabetik pada morbiditas dan mortalitas kardiovaskular
Pasien dengan T2DM memiliki sifat yang melekat, peningkatan risiko untuk penyakit
kardiovaskular yang cenderung mulai muncul sebelum diagnosis hiperglikemia kronis.
Data yang menjelaskan manfaat kardiovaskular dari metformin yang ditunjang dengan
penelitian yang menunjukkan penurunan pada hasil akhir yang berkaitan dengan diabetes,
kematian yang berhubungan dengan diabetes, dan semua sebab kematian. Bukti untuk
keamanan terapi sulfonilurea masih bertentangan, tetapi jika dibandingkan dengan terapi
metformin, penggunaan sulfonilurea dikaitkan dengan peningkatan risiko gagal jantung,
terutama pada dosis yang lebih tinggi. Terapi meglitinid dengan repaglinid memiliki telah
menunjukkan pengurangan tanda-tanda kardiovaskular termasuk tanda peradangan,
aktivasi trombosit dan parameter lipid, meskipun lebih tidak efektif daripada metformin.
TZD pioglitazon juga menunjukkan menurunkan semua sebab kematian, non-fatal MI,
dan stroke pada pasien dengan T2DM yang berisiko tinggi untuk kejadian makrovascular.
Penggunaan tiazolidindion, terutama rosiglitazon, merupakan kontraindikasi pada pasien
dengan gagal jantung, seperti yang telah diperlihatkan adanya peningkatan risiko gagal
jantung. Terapi berbasis inkretin termasuk GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor
memberikan efek positif pada sistem kardiovaskular. GLP-1 agonis exenatid dikaitkan
dengan penurunan secara signifikan risiko dari CVD dan CVD-rawat inap pada pasien
dengan T2DM. Natrium glukosa kotransporter 2 inhibitor adalah agen penurun glukosa
oral baru meskipun manfaat kardiovaskular dari SGLT-2 inhibitor masih harus diteliti.
Ada banyak bukti juga yang menunjukkan bahwa pendekatan multifaktor pada perawatan
diabetes, yang menargetkan kontrol glikemik dan juga untuk pengobatan tekanan darah
tinggi dan dislipidemia, akan secara signifikan mengurangi risiko kardiovaskular.
Pengurangan risiko kardiovaskular pada diabetes, selain hanya berfokus pada manajemen
glikemik saja, juga harus bertujuan untuk mengurangi glukosa plasma beserta kolesterol
dan BP (Tabel 1). Hasil dari uji klinis yang sedang berjalan akan menyediakan bukti lebih
lanjut tentang keselamatan kardiovaskuler dan mungkin khasiat obat diabetes. Uji coba
ini pasti akan membantu untuk mempersempit pedoman terapi lebih lanjut di masa depan.

Anda mungkin juga menyukai