Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Gagal Jantung Kongestif


2.1.1 Definisi
Gagal Jantung Kongestif adalah Suatu kondisi patofisiologi
dimana dicirikan adanya bendungan (kongesti) diparu atau sirkulasi
sistemik yang disebabkan karena jantung tidak mampu memompa
darah yang beroksigen secara cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan.1
2.1.2 Epidemiologi
Sekitar 3-20 per 1000 orang pada populasi mengalami gagal
jantung, dan prevalensinya meningkat seiring pertambahan usia (100
per 1000 orang pada usia diatas 65 tahun), dan angka ini akan
meningkat karena peningkatan usia populasi dan perbaikan ketahanan
hidup setelah infark miocard akut.2
2.1.3 Etiologi 1
1. Infark miocard
2. Penyakit Jantung Koroner
3. Kardiomiopati
4. Miokarditis
5. Mitral Stenosis
2.1.4 Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi
gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem
saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. 5,6,7
Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang
menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini
menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem
Renin Angiotensin Aldosteron (system RAA) serta kadar
vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki
lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. 5,6,7
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor
menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung,
meningkatkan kontraktilitas serta vasokons-triksi perifer (peningkatan
katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan
gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis
miokard fokal.5,6,7
Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi
renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik
yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis,
menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.
Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta
meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada
miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung. 5,6,7
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir
sama yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan
susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di
atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis
dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga
dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan
ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh darah
dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi
minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon
terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja
antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi
ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena
peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak
penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan
prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita
gagal jantung.5,6,7
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat
kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga
didpatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan
hiponatremia.5,6,7
Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan
merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek
vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab
atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin
meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga
berhubungan dengan tekanan pulmonary artery capillary wedge
pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah dikembangkan
endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang bekerja
menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat
endotelin.5,6,7
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi
miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya
compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian
ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung
koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati
hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung
amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 40 % penderita
gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada
penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan
diastolic yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri. 5,6,7
2.1.5 Manifestasi Klinis 3
Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan
gejala dan tanda seperti sesak nafas, ortopnea, paroxysmal nostural
dyspnea (PND), lelah, lemah, edema paru, peningkatan JVP,
3
hepatomegali, edema tungkai, asites.
Secara lebih rinci dapat dilihat pada table:

Gambaran klinis gagal jantung Gambaran klinis gagal jantung


kiri kanan

Gejala : Gejala :

1. Penurunan kapasitas 1. Pembengkakan pergelangan


aktivitas kaki
2. Dipsnu (PND) 2. Dipsnu (bukan PND)
3. Letargi atau kelelahan 3. Nyeri dada
4. Penurunan nafsu makan 4. Penurunan aktivitas
dan berat badan Tanda :
Tanda :
1. Denyut nadi meningkat
1. Kulit lembab 2. Peningkatan JVP
2. TD meningkat, rendah 3. Edema
atau normal 4. Hepatomegali dan asites
3. Denyut nadi 5. Gerakan bergelombang
(takikardi/aritmia) parasternal
4. Pergeseran apeks 6. S3 atau S4 RV
5. Efusi pleura 7. Efusi pleura
Gambaran klinis Gagal Jantung Kanan dan Gagal Jantung Kiri

2.1.6 Diagnosis 1
A. Anamnesis 1
Pada anamnesis didapatkan:
1. Sesak napas
2. Ortopnea
3. Paroxysmal nostural dyspnea (PND)
4. Lelah
5. Lemah
6. Noktural angina
B. Pemeriksaan Fisik 1
Pasien dengan gagal jantung sisi kiri pada pemeriksaan
klinis memperlihatkan kelainan: ronki paru, takipnea, S 3 gallop,
bising jantung (stenosis atrial, regurgitasi atrial, regurgitasi
mitral) dan paradoksal splitting dari S2.
Pasien dengan gagal jantung sisi kanan memperlihatkan
peningkatan vena jugularis, edema perifer, sianosis sekitar
mulut dan sianosis perifer, hepatomegali kongestif, asites dan
refluks hepatojugular.
C. Pemeriksaan Penunjang 2
Pada pemeriksaan foto thorax ditemukan adanya Kerley B
bila tekanan vena pulmonalis meningkat melebihi 20 mmHg
terjadi edema interstisial yang menyebabkan garis septal
(Kerley B) terutama pada basis dan adanya gambaran bat
wing bila tekanan vena pulmonalis melebihi 25 mmHg
Kerley B

Bat wing appereance


Selain itu kriteria Firmingham dapat digunakan untuk diagnosis
gagal jantung kongestif. Menurut Framingham kriterianya gagal
jantung kongestif ada 2 kriteria yaitu kriteria mayor dan kriteria minor.
Adapun kriterianya adalah sebagai berikut:
A. Kriteria mayor terdiri dari:
1. Dispneu Nocturnal Paroxymal / ortopneu
2. Distensi Vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema Paru akut S3 gallop
6. Peningkatan vena pusat
7. BB menurun > 4.5 kg dalam waktu 5 hari sebagai hasil
respon pengobatan

B. Kriteria minor terdiri dari:


1. Edema pergelangan kaki bilateral
2. Batuk pada malam hari
3. Dipneu saat berolahraga
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Takikardia

2.1.7 Penatalaksanaan 3,4


1. Diuretik merupakan obat utama untuk mengatasi gagal
jantung akut yang selalu disertai dengan kelebihan
(overload) cairan yang bermanifestasi sebagai kongesti paru
atau edema perifer. 3,4
2. ACE inhibitor
ACE inhibitor berfungsi untuk menghambat konversi
angiotensin I menjadi angiotensin II. 3,4
3. -bloker
-bloker berfungsi untuk menurunkan frekuensi kontraksi
untuk meningkatkan waktu pengisian (dengan preparat -
bloker seperti propanolol, metoprol). Peningkatan waktu
pengisian memungkinkan lebih banyak darah berkumpul
didalam ventrikel sebelum kontraksi sehingga selanjutnya
akan terjadi peningkatan curah jantung. 3,4
4. Inotropik
Meningkatkan kekuatan kontraksi ventrikel (dengan preparat
inotropik misalnya digoksin) 3,4
5. Digoksin sekarang ini hanya diindikasikan untuk pasien
gagal jantung dengan fibrilasi atrium, pasien gagal jantung
dengan ritme sinus yang masih simtomatik, terutama yang
disertai takikardi, meskipun telah mendapat terapi maksimal
dengan penghambat ACE dan -bloker. 3,4

DAFTAR PUSTAKA

1. Dr. Lyndon Saputra. Intisari Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Binapura


Aksara Publisher
2. Huon H. Gray. Lecture Notes Cardiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga
3. Berkovvitz Aaron. Lecture Notes Patofisiologi Klinik. Jakarta: Binapura
Aksara Publisher
4. Sulistia Gan Gunawan. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
5. Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. ABC of heart failure:
pathophysiology. BMJ 2000;320:167-70.
6. McNamara DM. Neurohormonal and cytokine activation in heart failure.
In: Dec GW, editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis
and treatment. New York: Marcel Dekker; 2005.p.117-36.
7. Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S.
Diagnosis dan tatalaksana praktis gagal jantung akut. 2007
8. Lily Ismudiati Rilantono. Buku Ajar Cardiologi. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
9. Dr. R. Kumar. Dasar-Dasar Patofisiologi Penyakir. Jakarta: Binarupa
Aksara Publisher
10. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Setia Siti. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia

Anda mungkin juga menyukai