Anda di halaman 1dari 3

Akhir-akhir ini marak berita mengenai artis Zarima Mirafsur yang rela menyewakan rahimnya

pada sepasang suami istri kaya raya di Surabaya. Imbalannya tidak tanggung-tanggung, uang
50jt plus sebuah mobil. Namun kabarnya Zarima menyangkal berita itu dan mengatakan kalau ia
tidak akan pernah menyewakan rahimnya untuk sebuah bayaran.

Penyewaan rahim sebenarnya sudah terjadi di Eropa sejak lama. Bayarannya pun cukup
menggiurkan, sekitar USD 40.000 untuk jangka waktu penyewaan selama 9 bulan kandungan.
Sementara di Asia, terutama di India dan China, bisnis penyewaan rahim berharga di bawah USD
5.000. Di negeri kita sendiri bisnis ini telah ada sejak 1970, yaitu sejak ditemukannya program
bayi tabung.

(dari berbagai sumber)

Dalam program bayi tabung, sprema suami dan sel telur istri dipertemukan dalam tabung, lalu
ditanamkan dalam rahim si istri, jadi pembuahan dilakukan diluar rahim. Dalam hal ini berarti si
anak benar-benar adalah anak kandung dari kedua suami istri tersebut.

Nah sekarang ini ada yang lebih aneh yaitu bahwa pembuahan tetap dilakukan di dalam rahim,
namun rahim itu milik wanita yang disewa. Ini berarti sel telur yang dibuahi adalah bukan sel
telur istri yang sah. Jadi si suami melakukan hubungan sexual seperti biasa namun dengan si
wanita sewaan yang tentunya telah mereka pilih bibit, bebet dan bobotnya dan disertai perjanjian
tertentu dan pembayaran sejumlah yang telah disepakati. Alasan mereka melakukan ini bisa
bermacam-macam, bisa karena si istri memang tidak bisa mengandung karena berbagai hal
(penyakit tertentu), atau karena memang si istri ogah menjalani repotnya hamil, sakitnya
melahirkan, serta betapa berantakannya bentuk tubuhnya setelah beranak nantinya.

Menurut MUI jika pembuahan dilakukan di luar perkawinan artinya itu adalah zina. Dalam kasus
ini perzinahan memang telah terjadi, bagaimana tidak karena si suami melakukan hubungan sex
dengan wanita lain. Meskipun wanita itu telah dibayar, dan atas ijin si istri, namun dalam segi
moral ini adalah sebuah legalisasi perzinahan.

Terlepas dari zinah atau tidaknya perbuatan pasangan yang melakukan penyewaan rahim itu, kita
akan lihat sebenarnya siapakah yang paling dirugikan dalam kasus ini?

Proses penyewaan rahim melibatkan empat pihak yang utama, kita akan bahas satu-satu:

1. Wanita yang disewa. Wanita ini sebenarnya pihak yang paling malang karena ia hanya
disewa selama 9 bulan untuk mengandung bayi pesanan, yang artinya bagaimana kesehatan dan
keadaan fisik dia setelah melahirkan nanti sudah bukan tanggung jawab pasangan yang
menyewanya. Semisal terjadi pendarahan, atau komplikasi pasca melahirkan, wanita ini tidak
berhak menuntut apapun karena dalam perjanjian, posisinya inferior. Pasangan yang menyewa
hanya berpikir untuk mengambil bayi hasil pesanan, bayar sewa, selesai. Selain itu secara psikis,
bagaimanapun seorang ibu pasti mempunyai ikatan batin yang kuat dengan bayi yang telah 9
bulan bergantung dalam rahimnya. Pasangan penyewa tidak akan berurusan dengan perasaan si
wanita yang notabene adalah seorang ibu yang pasti akan merasa sangat kehilangan sesuatu
yang telah menjadi bagian dari dirinya. Apalagi ini juga diperberat dengan jika ASI si ibu keluar
lancar, ia akan merasa kesakitan untuk bisa menghentikan aliran ASI-nya. Seorang teman yang
mendapati bayinya meninggal setelah dilahirkan, merasa bahwa ASInya yang keluar dan
terbuang percuma membuatnya semakin sedih karena selalu mengingatkannya pada sang bayi
yang belum sempat ditimangnya itu. Memang wanita sewaan telah mengetahui resiko akan ada
rasa kehilangan tersebut, namun sebelum benar-benar mengalaminya, seorang wanita tidak akan
pernah tahu seberapa sakit rasa dipisahkan dengan bayi yang seharusnya ia bisa asuh sendiri itu.
Masyarakat kita masih menjunjung tinggi kehormatan wanita dalam sebuah perkawinan yang
sah. Karena itu secara moral juga, si wanita akan dipandang hina oleh masyarakat karena
dianggap telah hamil di luar nikah, mengandung anak hasil perzinahan, dan setelah melahirkan
pun, pandangan rendah pada sosok wanita ini tak akan hilang begitu saja. Dalam hal ini wanita
sewaan mengalami kerugian fisik, mental, maupun moral.

2. Bayi yang dilahirkan. Si bayi yang menjadi pusat permasalahan hingga terjadi proses sewa
menyewa ini tak kalah merugi dengan adanya kasus seperti ini. Bagaimana tidak karena ia sama
sekali tidak akan pernah mendapatkan haknya untuk menghisap ASI ibu kandungnya sendiri.
ASI merupakan asupan gizi vital yang seharusnya diberikan pada bayi, namun dalam kasus sewa
menyewa rahim, hal ini tidak akan pernah dipikirkan. Masa kontrak hubungan penyewa dengan
wanita yang disewanya hanya selama bayi berada dalam kandungan. Setelah bayi lahir,
hubungan mereka putus. Praktis ASI bukan bagian dari kontrak sewa rahim. Seperti yang
beberapa waktu lalu ditayangkan dalam salah satu stasiun televisi, kenyataannya ada klinik-
klinik tertentu yang malah menyediakan layanan penyewan rahim ini satu paket dengan
pengurusan dokumen-dokumennya yang notabene adalah palsu. Dalam surat dan akta kelahiran
si bayi pun tertera nama ibu kandung yang sebenarnya adalah ibu angkat yang telah menyewa
rahim wanita malang itu. Jadi selama hidupnya si bayi tidak akan pernah merasakan kasih
sayang ibu kandung yang sebenarnya. Bayi yang dilahirnya juga mengalami kerugian fisik dan
psikis.

3. Si penyewa wanita. Apakah si wanita yang menyewa juga mengalami kerugian? Sepertinya
tidak karena ia memang menghendaki semua ini terjadi. Namun siapa yang tahu bahwa di
kedalaman hatinya pastilah ada perasaan tak rela mengijinkan suaminya sendiri berhubungan sex
dengan wanita lain. Meski hanya sebatas kontrak, namun mereka pasti telah menyeleksi wanita
yang akan disewa rahimnya adalah benar-benar wanita sehat dan sesempurna mungkin.
Bagaimana dengan perasaan si istri sah ini ketika membesarkan anak hasil hubungan suaminya
dengan wanita sewaan yang pastinya bukan wanita sembarangan itu? Ketulusan kasih sayang
yang diberikan akan sangat diragukan realitasnya.
4. Si penyewa pria. Sepertinya memang hanya si suami yang sama sekali tidak merugi dengan
kasus penyewaan rahim ini. Karena ia mendapatkan anak dari benihnya sendiri, yang berarti
bahwa bayi yang dilahirkan adalah anak kandungnya. Selain itu ia juga bisa sekalian piknik
menikmati hubungannya dengan wanita selain istrinya, yang pasti adalah wanita terpilih yang
benar-benar terseleksi kwalitasnya. Karena mereka menginginkan bibit bayinya kelak adalah
bibit yang baik. Kalaupun diitung ada ruginya paling hanya besaran jumlah materi yang harus ia
keluarkan untuk biaya sewa rahim. Tapi toh itupun masih setimpal dengan apa yang didapatnya,
seorang anak kandung (yang tidak akan bisa dihargai dengan uang sebesar apapun), dan
kenikmatan sesaat yang dilegalkan. Jadi dari keempat orang yang terlibat dalam kasus ini
tampaknya si suami penyewa rahim wanita itu adalah yang paling untung dan tanpa mengalami
kerugian apapun. Bagaimana menurut anda?

Anda mungkin juga menyukai